Venus pikir mereka juga akan diantarkan ke dalam bangunan itu setelah Meres membuka pintu. Namun, ternyata ada seseorang yang sudah menunggu di balik pintu untuk menyambut, atau lebih tepat, mencoba mengintimidasi mereka. Orang itu adalah seorang lelaki paruh baya berbadan besar dan kekar. Tatapannya begitu dingin dengan bibir yang senantiasa merengut. Di mata Venus, Meres bahkan tampak lebih ramah dibandingkan orang ini.
“Sudah selesai?” Pria itu bertanya pada Meres dengan suara berat.
Meres cuma mengangguk, lalu ia keluar bersama Lan tanpa berkata apapun. Dan, dengan berani Venus mengganggu pria seram berpakaian serba putih di depannya itu. Tentu saja dengan perasaan agak keder.
“Siapa Anda?” Suara Venus terdengar kecil, tapi ia tak peduli.
Lelaki itu memandangnya, seketika menguarkan hawa dingin yang menakutkan. Gawat, Venus bakal ditelannya bulat-bulat!
“Rokuga.”
Venus membuang napas lega tanpa kentara.
“Ayo,” ucap Rokuga seraya berjalan pergi.
“Jadi, kita harus memanggilnya Rokuga saja tanpa embel-embel lain?” Venus berbisik pada si cowok bayi sambil mengikuti si pria seram, diam-diam berpikir betapa nama itu mengingatkannya pada negara Jepang.
“Dia itu seorang krona, jadi sopan sedikit,” tukas si cowok bayi. “Kalau-kalau kau tanya, krona itu semacam guru di sini.”
“Ah, kalau di duniaku seperti profesor, ya?” kata Venus sok tahu.
Si cowok bayi memandangnya bingung.
Si cowok bayi.
Aduh, Venus benar-benar harus menanyakan siapa namanya.
“Mungkin,” kata cowok itu ragu. “Aku tidak tahu apapun tentang duniamu, soalnya.”
Sialan. Lupakan saja soal nama itu.
Mereka melewati lorong agak panjang berlantai marmer hitam. Dinding batunya bersinar agak redup, cukup untuk menerangi jalan yang sedang mereka lewati.
“Itu semacam tumbuhan parasit bercahaya bernama biriam,” si cowok bayi tiba-tiba berbisik pada Venus.
“Memangnya aku tanya?” balas Venus jengkel. Wajah si cowok bayi memerah.
Di dunia Venus, maksudnya Bumi Pertama, juga ada tumbuhan (atau hewan?) semacam ini, meskipun sebutannya mungkin berbeda. Tentu saja Venus tidak mau menanyakan hal yang jelas-jelas sudah ia ketahui. Sudah jelas Venus bakal jadi salah satu remaja tanpa pengetahuan yang cukup di sini, jadi setidaknya ia jangan sampai kelihatan bodoh-bodoh amat. Meskipun pada dasarnya ia memang tidak begitu pintar.
Mungkin Venus memang kelewatan. Padahal niat cowok itu kelihatannya baik. Venus jadi tidak tega.
“Maaf,” gumam Venus, agak-agak tidak rela.
Cowok bayi itu tersenyum cerah, “Tidak apa-apa.”
Duh. Puing-puing tak berguna.
Beberapa detik kemudian mereka berhenti dan Venus terpana. Melihat wajah si cowok bayi yang ikut terkesan, Venus rasa dia juga bukannya serba tahu tentang segala hal di Volta Juana ini (kenapa, oh, kenapa, Venus selalu teringat dengan marijuana?!).
Mereka berdiri di sebuah aula megah yang juga berlantai marmer hitam. Pada atapnya tampak pemandangan langit siang, menyembunyikan fakta bahwa hari sebenarnya sudah malam. Si cowok bayi bilang langit-langit itu dicat dengan zat yang bisa bersinar (lagi-lagi sebuah kesia-siaan informasi). Tidak ada indikasi adanya lampu di sana, tetapi ruangan tetap saja tampak terang. Mungkin tersembunyi.
“Carilah tempat duduk,” suara es Pak Rokuga menyentak Venus. “Dan jangan membuat onar.”
Memangnya wajah mereka tampak seperti anak-anak badung?! Venus memberengut kesal.
“Eh, kita duduk di mana?” Si cowok bayi tiba-tiba bertanya.
Venus menatapnya, lalu mendengus satu kali.
“Di kursi yang masih kosong,” kata Venus datar.
Si cowok bayi cuma merengut.
Venus memandang ruangan besar itu. Ada banyak sekali meja dengan satu penyangga berbentuk tabung di bawah bundaran mejanya yang berkilat. Masing-masing meja dikelilingi lima sampai tujuh kursi kayu yang beralaskan bantal. Hampir semua kursi ditempati, dan setelah beberapa menit yang bodoh, mereka memutuskan untuk bergabung dengan dua cewek yang menempati meja di pojokan dengan tampang kalem. Sejujurnya, Venus-lah yang memutuskan, atau dalam kata lain, memaksa.
Kedua cewek tersebut tidak tampak menakutkan sama sekali, namun sikap anak-anak lain terlihat aneh. Seakan kedua cewek tadi sedang dihindari karena entah alasan apa, sebab Venus sempat melihat tatapan beberapa anak yang tampak agak takut, bahkan juga mungkin benci. Karena itulah, Venus jadi tertarik dan penasaran. Alasan itu sepertinya membuat si cowok bayi tampak sebal, namun Venus tidak peduli.
Tentu saja, Venus harus peduli.
Awalnya tak ada yang memperhatikan atau bahkan melirik Venus dan si cowok bayi, tetapi saat anak-anak lain sadar akan tujuan mereka, bisik-bisik mulai merambat menyebalkan. Wajah si cowok bayi merona merah muda, tetapi tampaknya hal itu malah membuat kepercayaan dirinya meningkat. Ia berjalan dengan tampang sombong sambil menyusupkan tangan ke saku celana, sementara Venus hanya memutar bola mata tak habis pikir.
Venus berjalan sembari membalas tatapan anak-anak yang kebanyakan berasal dari para senior itu. Ia melewati seorang cewek bertubuh kecil yang menatapnya dengan dahi berkerut khawatir. Seperti Venus akan mati saja.
Tiba-tiba, cewek tersebut mencekal lengan Venus dan berbisik dengan keras, “Mereka itu berbahaya! Lebih baik kau dan temanmu mencari tempat duduk yang lain!”
Venus memasang ekspresi sok kaget. Sayang sekali, dia salah fokus pada jerawat cewek itu.
“Masa? Kalau begitu, doakan keselamatan kami, ya?” Pandangan Venus beralih pada mulut kompor yang lain. “Nah, berhenti bergosip seakan kami bakal dibunuh alih-alih bergabung dengan kakak-kakak cantik itu! Kalian ini anak-anak baik, jadi jangan bersikap seperti orang bego!”
“Jangan membuat masalah, Anak Baru!” Si cewek berjerawat balas menggertak Venus dengan sorot mata yang berubah.
Venus menyentakkan tangan si Cewek Berjerawat, lalu menggandeng si cowok bayi. Venus menyeretnya sambil melotot pada siapapun yang masih menatap mereka secara terang-terangan.
“Jadi, siapa kakak-kakak kita yang dimusuhi ini?” Venus bertanya ringan seraya mengempaskan pantat, lupa sama sekali dengan nasibnya yang kini berada di dunia antah-berantah.
“Kau boleh juga, Dik,” kata cewek yang berada di samping Venus. Rambutnya dicat sewarna api dan dikucir kuda. Matanya yang lebar menyorot geli.
“Nggak ada yang boleh merusak kekepoan seorang Venus,” seringai Venus pongah.
“Kekepoan?!” Si cowok bayi tiba-tiba menceletuk jengkel. “Gara-gara itulah kau baru saja mengundang ketidaksukaan orang pada kita!”
“Ah, sudahlah. Tidak apa-apa,” tukas Venus mengibas-ngibaskan tangan di depan hidung si cowok bayi, tiba-tiba saja meneladani cowok itu dengan mengubah kata “tidak”-nya yang tidak baku dengan lebih sopan. “Orang tidak boleh begitu saja berpikiran buruk! Bukan salahku kalau aku tidak terima dan jadi marah pada mereka. Lagipula, kau tadi terlihat menikmatinya. Jadi, buat apa jadi munafik?”
Wajah si cowok bayi kontan berubah merah.
Cewek yang satu lagi berdeham-deham. Rambutnya yang ikal berwarna coklat dan terurai. Sebenarnya ia manis, andaikan ekspresinya tak setegas itu.
“Kau membuatku terharu,” ujarnya tersenyum singkat. “Namun, benar apa kata temanmu. Kau tidak boleh bersikap sembarangan, bahkan jika nalurimu mengatakan demikian. Siapa yang tahu semisal kami memang sejahat itu?”
Venus menatapnya sebal.
“Sudahlah, Ris,” sela si cewek berambut merah. “Dia sudah berbaik hati mempercayai kita!”
Cewek itu balik memandang Venus dan si cowok bayi, lalu berkata, “Aku Lou, dan yang di sebelahku ini Ris. Dan tolong, panggil saja nama kami tanpa sebutan Kakak. Kalian?”
“Venus,” gadis itu menatap si cowok bayi, “tapi, aku belum tahu siapa namanya.”
“Sudah sejauh ini, dan kalian bahkan belum berkenalan?!” Lou tertawa geli. “Apa-apaan ini?”
Venus melemparkan cengiran pada si cowok bayi.
“Ah, kurasa Venus lupa berkenalan gara-gara terlalu fokus dengan dunia barunya,” ujar si cowok bayi sambil tersenyum maklum. “Ngomong-ngomong, aku Virzash.”
Venus mengangguk-angguk. Dipikir-pikir, tampang si cowok bayi bertubuh kecil ini ternyata lumayan juga (aduh, Venus tetap saja menyebutnya si cowok bayi!). Sejauh ini, Venus menyimpulkan Virzash selalu berusaha tampak keren, hanya saja dalam waktu yang bersamaan wajahnya menjadi merah padam. Seolah bersikap menjadi keren akan selalu membuatnya malu sekaligus juga bangga. Lihat, seperti anak kecil, bukan? Imut banget.
“Ehem!”Dengan kaget Venus menoleh dan melihat seorang cowok berbadan kekar sedang berdiri di samping Virzash. Wajah pendatang itu lumayan kekanak-kanakan, tapi Venus sama sekali tidak menganggapnya seperti bayi. Kulitnya sedikit gelap. Rambutnya yang berwarna agak cokelat itu dipotong sedemikian rupa, dengan belahan tengah dan poni. Seingat Venus, itu gaya idol-idol Korea di Bumi Pertama. Ada noda merah mencurigakan di bagian depan kausnya yang putih polos.Intinya, cowok itu sudah terlihat keren tanpa harus berusaha. Seandainya Virzash si cowok bayi merasa iri, Venus tak akan merasa kaget.“Aku duduk di sini, ya?” Si pendatang bertanya. Suaranya terdengar jail.“Berdiri pun kami tidak peduli,” sahut Lou ketus.Cowok tadi tertawa dan duduk di satu-satunya kursi yang tersedia.“Kalian berani, ya, duduk di sini,” ujar si cowok itu seraya nyengir pada kedua juniornya yang baru.&l
Bu Mana memindai tabletnya dengan konsentrasi, dan kemudian mulai memanggil nama anak-anak baru secara acak. Anak pertama bernama Kirka Sorawa. Gadis itu bertubuh kecil dan kurus, dengan wajah berbintik yang khas. Ia berjalan tersaruk-saruk dan hampir saja tersandung podium. Padahal Venus memperkirakan tinggi podium itu tidak sampai sejengkal. Venus begitu tegang, sampai-sampai kulit kepalanya pun terasa gatal. Benar-benar mengganggu.“Berdiri di tengah, Sayang,” kata Bu Mana sok manis.Dengan gugup Kirka menurut. Venus tak bisa melihat dengan jelas apa yang sedang dilakukan Bu Mana, selain bahwa sedari tadi ia cuma menotol-notol layar tabletnya. Namun, tiba-tiba dari bawah podium terdengar bunyi desing halus, mengagetkan Kirka. Leher Venus melongok-longok seperti jerapah, dan bahkan harus berdiri gara-gara tempat duduk yang tidak strategis.Dari tepi bulatan podium itu, menyembullah setidaknya sembilan macam benda aneh beserta seekor gagak yang mema
Virzash berjalan dengan langkah-langkah cepat, diiringi tatapan para krona yang hampir semuanya tampak khawatir. Wajahnya memerah.Ada apa ini?“Seaneh itukah Bakat Ganda?” Venus langsung bertanya begitu Virzash tiba di kursinya.Virzash menggaruk telinganya sembari bertopang di atas meja. Wajahnya agak menunduk, menghindari tatapan anak-anak lain; junior maupun senior.“Ini Bakat langka,” katanya pelan. “Kurasa aku mendapatkan warisan Bakat ini dari nenekku yang ketiga.”“Hah? Bagaimana?” sambar Venus tak mengerti. “Nenek ketiga bagaimana?”“Neneknya nenek nenekku,” jawab Virzash membingungkan.Rupanya dia melihat ekspresi Venus yang kosong, sebab ia lantas menjelaskan, “Nenekku punya nenek. Nah, neneknya nenekku ini punya nenek lagi. Nenek itulah yang kumaksud.”Shad berdecak kesal.“Itu tidak penting, tahu?!” Shad menukas s
Venus ingat saat ia turun dari podium, setelah Bu Mana mengumumkan dengan gemetar bahwa ia adalah seorang Bizura, seluruh yang ada di ruangan besar itu menjadi sangat hening. Pandangan para murid lain sungguh membuat gadis itu menggigil. Mereka menatapnya dengan sorot mata seakan dia adalah malaikat pencabut nyawa berwujud kalajengking raksasa. Ada ketakutan dan kekhawatiran yang begitu besar dalam tatapan mereka, tetapi yang paling membuat Venus takut adalah sorot kebencian yang tidak dikemukakan secara jelas oleh mereka. Kebencian itu tertutup oleh rasa takut, tetapi kau bisa merasakannya dengan jelas di udara.Venus berjalan dengan langkah-langkah yang ia usahakan agar tetap tenang. Namun, udara seperti memaksanya untuk berhenti dan bersembunyi. Tatapan ratusan siswa dan belasan krona di ruangan itu menghunjam punggung dan seluruh tubuhnya. Rasa dingin yang menakutkan menyebar hingga ke dalam tulang-tulangnya. Rasanya butuh bertahun-tahun kemudian, sebelum akhirnya Venus t
Krona itu menjelaskan, hanya murid-murid yang menghuni asrama terkait yang bisa memasukinya. Sebab, murid terkait harus memindai matanya sebelum masuk. Saat itu Venus bertanya, bagaimana bisa Volta Juana bisa memindai mata seorang murid baru dan asing seperti dirinya, sementara mereka baru datang hari ini di sini? Pak Saka menjawabnya dengan mengatakan bahwa data dan identitas mereka sudah didaftarkan sejak mereka masih bayi, termasuk sidik jari dan identitas mata seperti ini.“Mungkin ayahmu sempat mengurus segalanya setelah kau lahir,” gumam Virzash pada Venus yang kebingungan.Pemikiran bahwa ayahnya masih memiliki setitik kepedulian, bahkan hanya untuk mengurus keperluan sesepele sekolah di dimensi lain, sungguh membuat Venus merasa setidak-tidaknya berharap.Perlu beberapa saat sebelum tiba giliran Venus untuk memindai matanya. Pemindai mata itu berada di tembok samping pintu, dan meskipun pintu sudah terbuka sejak murid pertama memindai matanya
Rasanya Venus baru saja bermimpi tentang dirinya yang sedang berduel dengan seekor belalang raksasa, ketika suara alarm yang sangat melengking menyentaknya, hingga ia bangun dan terduduk tiba-tiba. Gara-gara itu pandangannya jadi agak berkunang-kunang. Venus mengerang dan berbaring lagi selama beberapa detik. Diraihnya tablet di atas nakas. Hari masih menunjukkan pukul 6 pagi, dan ada sebuah pesan masuk di gawai itu dengan bunyi berdenting keras satu kali. Gadis itu membuka pesannya dengan tangan masih memeluk guling. Pesan itu berisi jadwal pelajaran untuk siswa baru kelas satu. Venus berkedip-kedip membaca jadwal pada hari ini.Venus mengeluh. Ia mencoba tidur lagi, tetapi semenit kemudian suara alarm kembali menyentak telinganya.“Duh, Gusti!”Ia duduk dan menatap langit-langit kamarnya, berharap bisa menemukan mata-mata teknologi yang sedang mengawasinya. Sambil mengucek matanya, Venus mencoba menanyakan hal itu pada gawainya. Ia tak mengira bend
“Jadi, apakah ada yang tahu apa batasan dalam menggunakan Bakat?”Saat ini, Venus dan seluruh murid kelas satu sedang berbaris di tengah-tengah sebuah lapangan tertutup. Dinding-dinding hitam yang mengelilingi tanah lapang itu tampak berdiri angkuh, seakan ingin menghalangi siapapun yang ingin masuk ke lapangan itu tanpa izin. Mereka berada di sana dalam rangka praktik pelajaran Pengembangan Bakat, tepat setelah jam istirahat selesai.Pak Zub, krona pelatih berwajah tegas yang barusan bicara, memandang wajah-wajah di depannya dengan tajam. Venus menoleh pada Virzash dan menatapnya.“Apa?” bisik Virzash, merasa terganggu.“Kau tahu jawabannya?” selidik Venus.“Kau tidak pernah membuka tabletmu?”Venus memutar bola mata.“Kau berkata seakan kau sudah tahu,” gumam Venus sebal. “Kenapa tidak menjawab pertanyaan dari Pak Zub, kalau begitu?”Wajah Virzash memerah
Kesepuluh Pelatih Sementara berseru-seru kepada kelompoknya masing-masing, menggiring mereka untuk keluar dari lapangan tertutup tersebut. Ekspresi murid-murid baru terlihat panik dan agak takut, tetapi para pelatih menyarankan untuk tetap tenang agar tidak mengacaukan suasana. Meski begitu, kaki mereka melangkah lebih cepat daripada sekadar berjalan saja.Venus menoleh pada Virzash, merasa bingung harus bagaimana. Pak Zub saat itu sedang menengadahkan kepala, matanya seperti mencari-cari sesuatu. Krona beruban itu sama sekali tidak menghiraukan Venus dan Virzash.“Kita pergi sendiri atau bagaimana?” bisik Venus tegang, meski gadis itu tak tahu apa tepatnya yang membuat ia tegang.Virzash menatap separuh anak-anak lain yang sudah setengah jalan menuju pintu keluar.“Kita susul mereka sajalah,” Virzash memutuskan, matanya mengerling Pak Zub. “Krona pelatih ini sepertinya bahkan tidak akan sadar kalau kita hilang. Yuk!”