“Ehem!”
Dengan kaget Venus menoleh dan melihat seorang cowok berbadan kekar sedang berdiri di samping Virzash. Wajah pendatang itu lumayan kekanak-kanakan, tapi Venus sama sekali tidak menganggapnya seperti bayi. Kulitnya sedikit gelap. Rambutnya yang berwarna agak cokelat itu dipotong sedemikian rupa, dengan belahan tengah dan poni. Seingat Venus, itu gaya idol-idol Korea di Bumi Pertama. Ada noda merah mencurigakan di bagian depan kausnya yang putih polos.
Intinya, cowok itu sudah terlihat keren tanpa harus berusaha. Seandainya Virzash si cowok bayi merasa iri, Venus tak akan merasa kaget.
“Aku duduk di sini, ya?” Si pendatang bertanya. Suaranya terdengar jail.
“Berdiri pun kami tidak peduli,” sahut Lou ketus.
Cowok tadi tertawa dan duduk di satu-satunya kursi yang tersedia.
“Kalian berani, ya, duduk di sini,” ujar si cowok itu seraya nyengir pada kedua juniornya yang baru.
“Kau ketinggalan gosip terbaru, ya, Shad?” Ris berkata dengan nada penuh kemenangan. “Seharusnya kau lihat aksi Venus tadi!”
Cowok yang bernama Shad itu berdecak kesal.
“Aku sudah lihat tadi,” tukasnya sombong, menghapus senyuman Ris yang cuma setengah. Shad menoleh pada Venus. “Jadi, namamu Venus, ya? Menyemprot muka anak-anak sialan itu? Hebat banget!”
Rasanya seperti ada titik-titik panas tak kasat mata yang merambati leher dan wajah Venus. Ia mencoba untuk menyunggingkan senyum unjuk gigi, dan hasilnya malah seperti seringai kurang ajar.
Duh, puing-puing tak berguna!
“Jadi,” Venus berdeham-deham. Ia melotot pada Virzash yang sedang menahan tawa. “Jadi, mereka juga memusuhimu?”
“Mungkin,” kata Shad geli. “Lagipula, tidak jadi soal kalau aku dijadikan musuh, asalkan mereka tetap mengagumiku!”
Ris dan Lou kompak mendengus. Venus menatap Shad lekat-lekat, sementara cowok itu cuma tertawa. Bahkan tawa itu mengundang perhatian beberapa cewek senior. Banyak juga cewek junior yang tampak agak terpesona dengannya. Gara-gara itu, Shad jadi terlihat makin percaya diri dalam menebar pesona.
“Dasar cowok narsis,” dengus Venus terang-terangan. “Puing-puing yang jelas tidak berguna.”
Ris nyaris tersedak, dan tawa Lou spontan meledak. Sementara yang diejek cuma cengar-cengir seperti orang idiot.
Ih.
Desisan keras tiba-tiba memenuhi udara, membuat seluruh ruangan menjadi hening. Banyak anak-anak baru yang tampangnya berubah panik, mengira ada sesuatu semacam pipa gas yang bocor, mungkin. Tadinya Venus pikir juga begitu, sampai ia melihat sikap para senior yang tampak biasa-biasa saja. Venus menatap Lou dengan pandangan bertanya. Lou cuma mengedikkan dagu ke suatu arah.
Venus menoleh dan baru menyadari ada meja-meja tunggal dengan kursi-kursinya yang besar berderet di ujung seberang, berlawanan dengan arah pintu depan. Pintu di ujung deretan meja tersebut menjeblak terbuka, dan belasan orang dewasa berpakaian serba putih berduyun-duyun memasuki aula. Satu persatu mereka mulai menduduki kursi masing-masing. Venus menduga mereka adalah krona-krona di sini, sebab Pak Rokuga ada di antara mereka juga. Seorang pria yang tampaknya paling muda dari yang lain, duduk di kursi tengah yang sekaligus paling besar. Pria itu berambut putih dan ...
“ ... apakah penglihatanku yang salah, atau mata orang itu memang putih?”
“Maksudmu yang berambut putih itu?” Shad menyahuti Venus. “Tenang saja, matamu masih oke, kok. Mata cowok itu memang putih.”
Venus menatap Shad (lagi).
“Cowok itu?”
Shad mengedikkan bahu sekilas lalu bersedekap. “Usianya masih 17 tahun. Setahun lebih tua dariku.”
“Semuda itu?!” Virzash berseru tertahan, kaget. “Jangan katakan padaku kalau dia adalah kepala sekolah di sini! Setahuku VoltaKron Zaloya tidak semuda itu, deh.”
“Siapa VoltaKron Zaloya?” Venus bertanya.
“VoltaKron itu artinya kepala sekolah,” jawab Virzash, kemudian memandang ketiga senior di depannya dengan ragu. “Iya, 'kan? Maksudku, tentang VoltaKron Zaloya.”
Ris mengangguk.
“Pak Zaloya tentu saja masih menjadi VoltaKron di sini,” katanya. “Tapi, saat ini Pak Zaloya sedang ada urusan, dan untuk sementara kehadiran beliau diwakilkan pada anaknya, Pasirr. Maksudku, cowok itu.”
Venus menatap Pasirr (pasir, sand?!) dengan ragu.
“Maksud kalian dia ini jenius?” Entah mengapa Venus berpikiran begitu.
Lou menyeringai. “Dia cuma cowok menyebalkan yang sama sekali tidak jenius. Dia berada di sana karena kemungkinan besar VoltaKron hanya ingin mengajarkan sesuatu pada anak itu, agar kepalanya semakin membesar.”
Venus dan Virzash tertawa.
“Itu, kan, katamu!” Shad menukas tak puas. “Setahuku, Pasirr memang tidak sejenius itu, tapi alasan yang kau katakan bukannya benar juga! Kau cuma sebal padanya, titik.”
Lou mulai berdebat dan bertengkar dengan Shad. Yang dapat Venus tangkap dari ocehan mereka hanya tentang siapa yang sebal pada siapa. Sama sekali tidak berguna.
“PERHATIAN!”
Seruan itu menengahi pertengkaran Lou dan Shad, juga obrolan anak-anak yang lain. Yang berseru adalah seorang wanita bertubuh besar dengan rambut yang disanggul tinggi. Tampangnya mirip donat, bulat dan berbintik-bintik. Wanita itu mulanya duduk di samping kanan Pasirr, kemudian berjalan keluar menuju podium berbentuk bulat di depan meja para krona.
“Selamat datang, para junior, dan selamat malam untuk semuanya,” wanita itu memulai sambil merentangkan tangan sebentar. “Perkenalkan, Anak-anak Baru, aku Bu Mana! Kita akan memulai sesi Pemilihan Bakat terlebih dahulu sebelum acara makan malam—” perut Venus kontan berbunyi, “—dan tidur setelahnya. Dalam sesi ini, siswa terpanggil dimohon untuk naik dan berdiri di sini.”
Bu Mana (serius, masa kata mana dijadikan nama?!) kemudian turun dari podium yang tak seberapa tinggi itu dan mengambil sebuah komputer tablet dari atas mejanya. Venus lumayan terkejut dengan keberadaan tablet itu. Bukannya apa, ia cuma mengira dunia ini tidak membutuhkan teknologi. Kau tahu, seperti dalam novel. Namun, setelah dipikir-pikir, teknologi pasti dibutuhkan di sekolah semacam Volta Juana ini. Untuk menyimpan data dan identitas para siswanya ... tunggu.
Venus menatap Bu Mana dengan perasaan campur aduk. Perutnya mendadak terasa mulas.
Venus tidak yakin ayahnya masih peduli dengan status blasteran Venus. Sedangkan ia tahu ibu kandungnya sudah meninggal. Lalu, bagaimana caranya pihak Volta Juana bisa tahu siapa identitas Venus? Lantas, siapa yang akan membiayai sekolah dan hidupnya di sini?
Venus menggigit bibirnya, menunggu nama Venus Samudera yang tak akan kunjung dipanggil.
Venus melihat mereka melalui kacamata malam yang dia kenakan, ketika akhirnya dia dan Ildara tiba di sebuah lubang yang hampir melingkar dengan tebing-tebing tinggi yang mengelilingi mereka. Berada di sisi tebing, sekelompok orang "kecil" berbisik ketika mereka menyaksikan kedatangan Venus dan Ildara.“Orang-orang” ini, yang Mustaka panggil Ebu Gogo, tingginya hanya sekitar satu meter, wajah mereka ditutupi bulu lebat seperti primata non-manusia. Perut mereka membuncit seperti pot, dengan telinga mencuat seolah-olah telinga mereka telah menggunakan beban yang tidak terlihat selama sisa hidup mereka.Venus terus berjalan ke tengah lapangan kecil yang terbuka dengan langkah lambat sambil mengamati makhluk lain. Namun, tiba-tiba salah satu Ebu Gogo dengan bulu coklat muda di wajahnya mendekati Venus dengan cara berjalan kikuk. Meski begitu, ekspresinya terlihat seperti sedang marah.Ven
Venus tiba-tiba merasa sangat kotor meskipun ia baru saja selesai mandi dengan sabun berbusa banyak. Terlebih lagi, sisa sarapan yang sempat dihabiskannya nyaris naik ke kerongkongan hingga membuat anak itu mabuk luar biasa.Seperti yang dikatakan Ildara: vingsai dapat berteleportasi, baik sendiri maupun dengan orang lain. Masalah terbesarnya adalah: yang dibawa vingsai itu bukan kaumnya sendiri, melainkan manusia volt yang sehat tanpa belatung di wajah mereka.Jika menjaga jarak saja aromanya sudah sangat buruk, Venus benar-benar membayangkan apa jadinya jika ia bersisian dengan vingsai. Berimpitan.Venus awalnya menolak berada di salah satu sisi vingsai itu, tapi Ildara berkata bahwa itulah caranya agar mereka bisa ikut diteleportasi.“Aku akan memegang lenganmu saja, Ildara!” sentak Venus di antara napasnya.Si vingsai mengangkat kepala dan menggeram rendah, seakan ingin mengatakan bahwa cuma itu caranya. Dan Venus harus mau kalau ti
Malam itu Venus hanya tidur selama beberapa jam saja. Entah kenapa ia akhir-akhir ini punya masalah dengan pola tidurnya. Rasanya seperti ia lelah jika harus tidur lama-lama. Padahal tidurnya selalu kurang dari delapan jam.Setelah melempar tubuh lelaki yang ia bunuh tadi malam keluar gerbang kompleks, Venus segera pergi tidur saat jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.Namun pada jam tiga pagi, ia terbangun dan tak bisa lagi memejamkan mata. Venus menghabiskan dini hari itu dengan menjelajahi ruang bawah tanah yang berdebu dan membaca beberapa buku fiksi koleksi Ildara di sana.Mustaka sama sekali tak menyahut saat gadis itu memanggilnya dengan telepati. Sedangkan Kaisar … sepertinya memang Venus tak bisa berbicara dengannya secara sembarangan. Kecuali Kaisar sendiri yang memulai.Pada jam lima, mata Venus berkedip-kedip lelah. Ia setengah mendesah lega, karena akhirnya mengantuk lagi. Namun gadis itu terpaksa berteriak sebal sendiri di kamarn
Besok adalah hari keempat belas sejak kepergian Ildara. Untuk yang kesekian kalinya dalam beberapa hari ini, Venus merasakan kemarahan yang berlebih akibat Ildara yang sama sekali tak memberi kabar padanya. Venus bahkan sempat berpikir, kenapa waktu itu dia tidak memberikan masa tenggat lebih cepat dari ini pada Ildara. Ketidaksabaran membuat anak itu menjadi gerah terus-terusan berada di rumah besar ini. Meskipun punya teman tak kasatmata seperti Mustaka atau Kaisar—meski yang satu ini jarang sekali bertelepati dengannya—tapi Venus tetap merasakan kesepian. Benda yang disebut dengan televisi … Venus hanya menyalakan itu saat ia butuh melihat berita tentangnya lagi. Lagipula, Venus tiba-tiba menjadi benci dengan segala film yang ada di dimensi bumi ini. Semua film menceritakan tentang kebaikan akan selalu menang; bahwa kejahatan pasti akan hancur. Sesuatu yang menjadikan diri Venus lebih sinis dari seharusnya. Takdir nyata tak seindah dalam halusinasi film semata, pikir Venus saat
Malam itu Venus tak bisa tidur. Ia pergi ke halaman belakang rumah Ildara yang megah. Halaman itu tersambung dengan hutan lebat yang gelap dan tampak menakutkan.Venus melatih dan mengerahkan Bakat-nya dengan kegilaan yang tak kunjung mereda. Sekali Ildara pernah menegur Venus karena terlalu berlebih-lebihan dalam mengerahkan Bakat Petir, sehingga menciptakan guntur dan petir di mana-mana.Beberapa pohon di dalam hutan tampak terbakar. Namun, dalam ketidaksadaran, ia juga menurunkan hujan lebat di atasnya, sehingga api cepat padam.Venus membentak liar pada Ildara dan mengusirnya dengan percikan-percikan listrik. Setelah itu si kuyang tak lagi muncul untuk menegurnya.Venus membentak ke udara saat beberapa pohon di tepi hutan tercerabut dan terlempar satu-dua meter jauhnya.Belasan banaspati tiba-tiba melesat dan melemparkan api ke arah Venus. Namun, makhluk-makhluk itu tak mendapatkan ketakutan Venus, sehingga ukuran dan kekuatan mereka tak lebih
“Kau sekarang termasuk atasanku, Venus.”Venus menoleh menatap Ildara. Sudah seminggu sejak ia berada di kamar serupa rumah sakit itu, dan kini Venus sedang menikmati masa-masa kewarasannya kembali.Kekuatannya sudah lebih baik. Meski telinganya masih suka berdenging menyakitkan di waktu-waktu tertentu.Venus bersandar pada sofa yang didudukinya dengan perasaan tanpa beban.“Apa Kaisar yang menyuruhmu?” tanya anak itu perlahan.Ildara mengangguk. Ia menyesap teh di cangkirnya dengan gerakan anggun.Venus menoleh lagi. Pandangannya menyapu ruangan serupa ruang keluarga yang dipenuhi perabot dan hiasan serba emas itu. Ada foto-foto berpigura yang diletakkan di atas meja, beberapa digantung ke dinding.Sebuah monitor besar menempel di salah satu bagian dinding. Benda itu seakan menyatu dengan dinding itu sendiri. Venus mengawasi jalanan dan beberapa perumahan yang tampak kosong dari monitor itu.Ildara ting