Share

Tempatku Tidur

Krona itu menjelaskan, hanya murid-murid yang menghuni asrama terkait yang bisa memasukinya. Sebab, murid terkait harus memindai matanya sebelum masuk. Saat itu Venus bertanya, bagaimana bisa Volta Juana bisa memindai mata seorang murid baru dan asing seperti dirinya, sementara mereka baru datang hari ini di sini? Pak Saka menjawabnya dengan mengatakan bahwa data dan identitas mereka sudah didaftarkan sejak mereka masih bayi, termasuk sidik jari dan identitas mata seperti ini.

“Mungkin ayahmu sempat mengurus segalanya setelah kau lahir,” gumam Virzash pada Venus yang kebingungan.

Pemikiran bahwa ayahnya masih memiliki setitik kepedulian, bahkan hanya untuk mengurus keperluan sesepele sekolah di dimensi lain, sungguh membuat Venus merasa setidak-tidaknya berharap.

Perlu beberapa saat sebelum tiba giliran Venus untuk memindai matanya. Pemindai mata itu berada di tembok samping pintu, dan meskipun pintu sudah terbuka sejak murid pertama memindai matanya, ada dinding energi tembus pandang yang menghalangi lubang pintu tersebut. Kata Pak Saka, dinding energi itu kedap Bakat, sehingga tak ada kemungkinan seseorang berbuat curang dengan mengandalkan kekuatannya, bahkan seorang Petir yang ahli dengan listrik sekalipun.

Dua detik setelah Venus memindai matanya, dinding energi itu meluruh nonaktif. Tepat setelah Venus melewati garis pintu, dinding energi itu muncul lagi secepat kilat. Virzash melakukan hal yang sama, dan terakhir Pak Saka yang kemudian menutup pintu bajanya.

Hal pertama yang dilihat Venus adalah ruang rekreasi sebesar lapangan, segalanya tampak perak dan beberapa hitam. Di ruangan itu tersebar banyak sekali kursi berbantal, sofa, ataupun kursi kayu dengan meja-meja senada. Lantai di bawah kursi dan meja-meja itu dilapisi karpet atau permadani bundar yang tampak halus dan nyaman. Di masing-masing ujung ruangan, berdiri tiga rak buku besar yang menutupi seluruh sisi dinding itu. Pada dinding di samping kanan pintu, ada mega layar LCD yang berfungsi sebagai pengganti papan mading atau pengumuman. Pada dinding yang masih kosong terpasang foto-foto berpigura yang menunjukkan para penghuni sebelumnya yang kini telah lulus.

Pak Saka beranjak ke seberang ruangan. Ia berdiri di antara dua kotak persegi panjang tembus pandang yang berjarak kira-kira tiga atau empat meter dari satu sama lain.

“Lift yang kiri menuju asrama putri,” jelas Pak Saka. “Dan yang sebelah kanan untuk putra. Silakan memeriksa Layar Informasi untuk mengetahui nomor kamar kalian. Dan, aku ingin seorang relawan. Laki-laki. Siapa saja, majulah.”

Seorang cowok maju dengan percaya diri, sementara Venus dan murid-murid yang lain hanya memandang Pak Saka dengan tatapan bingung.

“Tolong masuk ke lift putri, Nak,” perintah Pak Saka.

Meski agak bingung, cowok itu menurutinya dan masuk ke dalam lift untuk putri. Baru beberapa langkah ia tiba di dalam lift itu, tiba-tiba ia terlempar keluar seakan ada yang menendangnya. Cowok itu bangkit berdiri begitu cepat dengan agak linglung, sementara murid-murid lain berdengap kaget. Pak Saka menyuruhnya kembali.

“Nah, itulah jadinya jika ada yang melanggar peraturan dengan memasuki asrama lawan jenis kalian. Putra maupun putri,” Pak Saka memperingatkan.

Sebelum pergi, Pak Saka memberitahu bahwa semua murid akan mendapat sebuah tablet yang akan mereka temukan di kamar masing-masing. Semua yang diperlukan ada di kamar dan tablet itu, katanya, termasuk peta Volta Juana di dalamnya, yang langsung membesarkan hati para murid. Begitu Pak Saka pergi, murid-murid berbondong-bondong mencari tahu nomor kamar mereka di Layar Info, sementara Venus dan Virzash menunggu dengan lebih sabar dan duduk di sebuah sofa. Atau lebih tepat, menghindari adanya tatapan-tatapan aneh yang tak diinginkan akibat keberadaan keduanya.

“Kau terlihat seperti belum pernah mendengar tentang isi Volta Juana,” tebak Venus pada Virzash sambil memeluk sebuah bantal sofa.

“Kalau cuma mendengar, semuanya juga pernah,” kata Virzash mengangkat bahu, matanya memandang sekilas kaki Venus yang naik ke atas meja dengan serampangan. “Kalau melihat, nah, itu beda. Volta Juana tak pernah memperbolehkan media-media luar memotret atau meliput isi bangunan ini.”

Venus bergumam tak jelas sambil menatap kerumunan teman-teman seasramanya yang berisik. Beberapa dari mereka tak sengaja beradu pandang dengan Venus, dan wajah mereka berubah pucat dalam sekejap. Venus hampir tertawa seraya menoleh pada cowok bayi di sampingnya.

“Aku tidak pernah merasa seasyik ini saat melihat ada orang yang takut cuma karena melihatku,” ujarnya geli. “Fakta paling lucu adalah bahwa aku bukan hantu.”

“Bukan,” Virzash menyetujui. “Masalahnya, kau itu hampir-hampir seperti bans.”

“Bans?” Gadis itu menatap Virzash tak mengerti.

“Kepala setan terbang.”

Venus tak tahu apakah itu cuma lelucon tentang Bizura atau sebangsanya. Venus memutuskan untuk menganggapnya sebagai candaan belaka.

Setelah beberapa menit yang cukup membuat Venus sebal, sebab ia sudah sangat mengantuk, akhirnya ruang rekreasi kosong dan hanya menyisakan mereka berdua. Venus berdiri seperti seekor kucing yang menggeliat, menyusul Virzash yang telah beranjak lebih dulu.

“Nomor berapa?” Venus bertanya.

Virzash tertawa. “Kenapa? Mau ikut masuk ke asrama putra?”

Venus mendengus, memilih untuk mengabaikan anak itu. Ia melihat sebuah gambar sidik jari pada sebuah tab kecil di tengah-tengah layar. Ia menekankan jarinya di sana tanpa berkata apa-apa, meski ia melakukan itu dengan jalan menebak-nebak. Untunglah, Virzash tidak memberitahukan informasi sia-sia seperti yang sudah-sudah.

Nomor 28 muncul sedetik kemudian. Setelahnya tab kecil itu menghilang.

“Oke,” gumam Venus sambil berbalik menuju lift dan melambai pada Virzash. “Dadah.”

“Dah.”

Venus masuk ke dalam lift dengan mata berat. Dilihatnya Virzash yang menuju lift putra. Lift berdenting, dan suara monoton seperti robot jantan terdengar keluar entah dari mana.

“Nomor berapa?”

Robot jantan.

Venus mendengus menahan geli saat menyebutkan nomor kamarnya pada suara itu. Lift bergerak, entah naik atau turun, Venus tak begitu peduli. Ia menyandar pada dinding kaca transparan lift itu sambil mengerjapkan mata dengan paksa. Beberapa detik kemudian lift berdenting dan pintunya membuka. Dengan gontai Venus melangkah keluar dan disambut lorong lagi sepanjang kurang lebih sepuluh meter. Pintu-pintu kamarnya hanya terdapat di sisi lorong sebelah kiri, sisi bagian kanan cuma ada ... dinding. Ada tiga kamar di lantai ini, dan Venus menempati kamar pertama. Setelah memindai sidik jari pada pintunya, ia mendorong dirinya sendiri masuk ke kamar tersebut.

Kamar itu sederhana dan lumayan lega. Terdiri atas sebuah ranjang, sebuah lemari, sebuah kamar mandi, dan seperangkat meja belajar. Segalanya bernuansa perak dan hitam, seperti biasa. Namun, Venus tak mau repot-repot mengeluh. Ia melemparkan diri ke atas ranjang, tetapi dengan segera mengerang. Sesuatu mengganjal punggungnya.

Sebuah tablet.

Venus meletakkan gawai itu ke atas nakas, dan kemudian rebah kembali ke ranjang dan memeluk guling.

Sebodoh amat. Tablet sialan itu bisa menunggu sampai besok.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status