Share

Pertemuan

Venus tiba-tiba merasa sangat kotor meskipun ia baru saja selesai mandi dengan sabun berbusa banyak. Terlebih lagi, sisa sarapan yang sempat dihabiskannya nyaris naik ke kerongkongan hingga membuat anak itu mabuk luar biasa.

Seperti yang dikatakan Ildara: vingsai dapat berteleportasi, baik sendiri maupun dengan orang lain. Masalah terbesarnya adalah: yang dibawa vingsai itu bukan kaumnya sendiri, melainkan manusia volt yang sehat tanpa belatung di wajah mereka.

Jika menjaga jarak saja aromanya sudah sangat buruk, Venus benar-benar membayangkan apa jadinya jika ia bersisian dengan vingsai. Berimpitan.

Venus awalnya menolak berada di salah satu sisi vingsai itu, tapi Ildara berkata bahwa itulah caranya agar mereka bisa ikut diteleportasi.

“Aku akan memegang lenganmu saja, Ildara!” sentak Venus di antara napasnya.

Si vingsai mengangkat kepala dan menggeram rendah, seakan ingin mengatakan bahwa cuma itu caranya. Dan Venus harus mau kalau tidak ingin terlambat. Makhluk itu mengguncang lengan kanannya secara sambil lalu. Venus bergidik. Ia menoleh sebentar untuk mengambil napas banyak-banyak menggunakan mulut. Hal itu membuat langit-langit mulutnya jadi kering.

“Kuharap teleportasi ini berlangsung cepat,” geram Venus pada si vingsai maupun Ildara.

Venus mencengkeram lengan kanan si vingsai yang untungnya terbalut lengan jubah. Namun tak urung gadis itu terperanjat juga. Ia memperlonggar cengkeramannya. Daging di balik lengan jubah itu terasa sangat lunak. Ia tak paham bagaimana makhluk seperti ini bisa hidup.

Belum selesai Venus mengumpat dalam hati, kegelapan menyedotnya secara tiba-tiba; membuat si gadis berdengap kaget.

Venus mengerjap-ngerjap karena ia benar-benar tak bisa melihat apa-apa. Anak itu hanya bisa merasakan lengan jubah si vingsai. Ia sempat bertanya-tanya apakah Kaisar atau Druiksa akan muncul juga di sini. Namun ternyata tidak.

Mendadak mereka tersedot lagi. Venus limbung sesaat, dan perutnya bergejolak lagi. Ia menunduk sebentar seraya menahan napas untuk yang kesekian kali. Dilihatnya tanah yang telah dipijak oleh kedua kakinya di bawah.

Venus mundur agak sempoyongan, melangkah menjauhi si vingsai. Akhirnya ia tak bisa menahan-nahan lagi.

Gadis itu muntah di tepi semak belukar. Sarapan nasi telurnya terdesak keluar semua hingga cairan pahit memenuhi rongga mulut Venus. Ildara memijit leher belakang gadis itu dengan pelan.

“Sialan,” gerutu Venus, masih terbungkuk-bungkuk. Ia muntah lagi.

“Jangan khawatir,” kata Ildara santai. “Pertama kali aku bertemu dengan vingsai, semua darah yang kutelan keluar semua. Rasanya sia-sia saja aku memangsa dua bayi sebelumnya.”

Venus meludahkan cairan terakhir, lalu berdiri. Ia meraih tisu yang Ildara berikan dan menatap wanita dewasa itu sekilas.

“Dua bayi,” dengus Venus seraya mengelap bibirnya. “Kenapa harus bayi?”

“Karena lebih segar dan nikmat,” kekeh Ildara.

Venus meludahkan cairan pahit sekali lagi. “Bagaimana darah-darah itu bisa ada di perutmu? Bukankah bentuk kuyang-mu cuma sebatas kepala dan usus yang terburai?”

Ildara menyeringai, lalu tertawa. “Biarkan itu jadi rahasia semesta, Venus.”

Venus mendengus lagi, mulutnya terasa sangat tidak enak. Ia terpicing-picing sambil memutar badan, lantas kepalanya mendongak.

“Kita cuma berteleportasi kira-kira tak sampai lima detik,” gumam Venus terheran-heran. “Bagaimana mungkin langit sudah semalam ini?”

Ildara berjalan beberapa langkah ke depan. Cahaya bulan menerpa rambut pendeknya yang tersibak pelan dtiup angin malam.

“Teleportasi mempercepat waktu hingga kurang lebih sebanyak dua belas jam.” Ildara memaparkan. “Itulah mengapa aku datang di pagi hari seperti tadi.”

“Jadi kau mulai berteleportasi kemarin … sore?” Venus menyimpulkan ragu-ragu.

Ildara mengangguk. Venus mengikuti langkah Ildara, sementara si vingsai berada di belakang keduanya dalam jarak lebih dari tiga meter. Meskipun itu masih terbilang dekat bagi Venus, tapi ia diam saja. Itu lebih baik daripada harus saling mengaitkan lengan.

Tatapan Venus mengawasi pemandangan akbar yang kini berdiri di depan mereka. Dua tebing curam nan tinggi terlihat keabuan di bawah sinar rembulan nan lembayung. Kedua tebing itu mengapit jalan sempit nan gelap di bawahnya.

Pemandangan itu mengingatkan Venus akan mahakarya Tolkien dengan trilogi “Lord of The Ring”-nya. Venus samar-samar mengingat adegan ini, tapi ia sedikit lupa. Anak itu belum lagi menyelesaikan ketiga bukunya yang sangat tebal, meski ia sudah menonton film-filmnya.

Namun, itu dulu. Saat ia masih berada di Bumi Pertama.

Venus menghela napas perlahan. Gadis itu menoleh memandang Ildara yang juga tengah menatap dirinya.

“Kita masuk ke sana? Itukah Ngarai Hiren yang kau maksud?” Venus bertanya tanpa nada. Udara dingin nan menusuk dari celah tebing-tebing itu mengusik ketenangannya.

Ildara merogoh sesuatu dari mantel gelapnya yang panjang. Tangannya memegang dua benda serupa kacamata hitam. Ia memakainya satu, lalu memberikan yang lain pada Venus.

Venus menerimanya. “Apa ini?”

“Kacamata Malam,” jawab Ildara. “Aku tak ingin kau membuat penerangan menggunakan Bakat. Mereka lebih suka gelap, dan pasti akan merasa terganggu.”

“Mereka,” ulang Venus datar.

Venus memakai kacamata itu dan penglihatannya jadi lebih baik, meski visinya jadi agak kebiruan.

Ildara berjalan lagi. “Ayo, mereka sudah lama menunggu.”

Venus mengikutinya dari belakang. Langkah-langkah mereka terukur: tidak terlalu cepat ataupun terlalu lambat.

Begitu Venus memasuki celah pintu nan gelap itu, tubuhnya sejenak mengejang. Ia mengambil napas dalam dan pelan; tahu ia harus memberanikan diri karena itulah yang seharusnya ia lakukan.

Itu, atau tidak sama sekali.

(Ada banyak sekali roh di sini.) Tiba-tiba Mustaka menyeletuk di kepala Venus.

Venus menatap dinding-dinding tebing nan tajam dan berpola yang pasti akan terlihat cantik di siang hari itu.

(Apa mereka termasuk pasukan yang akan kupimpin?) Venus menanggapi Mustaka.

(Ya.)

Cuma satu kata, tetapi mampu membuat Venus bingung sendiri.

“Bagaimana caraku berkomunikasi dengan mereka?” Tak sengaja Venus mengucapkan itu keras-keras.

Ildara dan si vingsai berhenti. Venus menatap Ildara yang tampak heran memandangnya.

(Tidak apa-apa, Venus.) Suara Mustaka seakan berdengung di kepala Venus. (Berbohong saja. Meski Ildara adalah tangan kanan Kaisar, tapi Kaisar tidak memberitahunya tentang kita.)

“Ada apa?” Ildara bertanya curiga. “Kau bicara dengan siapa?”

Venus baru saja akan menjawab Ildara, saat suara telepati Kaisar menggelegar di benaknya.

(Kau tidak boleh buka suara tentang keberadaan Mustaka, Bizura.) Kaisar Azafer berdendang; Venus sesaat terpaku. (Kau tidak boleh.)

Venus berdeham-deham. Kebohongan dengan cepat terbentuk di kepalanya.

“Aku bisa mendengar roh-roh di sini saling berbicara.” Akhirnya Venus berkata pada Ildara. “Mereka bilang, Kaisar memerintahkan mereka juga untuk membantuku.”

Wajah Ildara kembali santai, kecurigaan telah hilang dari matanya. “Oh, roh-roh jahat dari Bumi Keempat pilihan Kaisar itu.”

Mereka kembali berjalan.

“Tapi bagaimana bisa kau mendengar perkataan mereka?” Ildara tiba-tiba melanjutkan. “Kau tahu, bukan? Hanya orang mati yang bisa ….”

Ildara mengangkat bahu seraya mengerling Venus.

“Entahlah.” Venus langsung berbohong lagi. “Mungkin kekuatan bawaan Bizura dan semacamnya.”

Ildara mengangguk. “Bisa kupahami. Amerta juga begitu. Sering berbicara sendiri. Saat kutanya, dia bilang dia sedang mengobrol dengan para roh. Lalu, dia mengusirku.”

Jari-jari Venus saling terkait di depan perutnya. “Yah, kalau begitu tidak aneh. Aku nyaris mengira ini sedikit aneh.”

Ildara mengangkat bahu sekali lagi. Venus diam-diam membuang napas lega.

(Kaisar?) Venus memanggil, meski tahu ia belum pernah berhasil menelepati Kaisar terlebih dahulu. Berbeda dengan Mustaka.

(Kaisar mungkin saja masih mengawasi Anda.) Justru Mustaka yang menjawab. (Tapi saya kira dia tidak akan menjawab Anda kalau dirasa itu tidak perlu.)

Venus diam-diam mendengus. Hebat sekali. Disebut-sebut sebagai anak kesayangan Kaisar, tapi sendirinya ia tidak terlalu diperhatikan. Venus harus mengingat-ingat lagi bahwa yang menyebutnya begitu cuma Ildara, dan Kaisar dengan jelas hanya berkata "tertarik". Tidak lebih.

(Kenapa aku harus menyembunyikan tentang kau pada Ildara?) Venus bertanya lagi. (Dan Amerta … ia juga punya teman roh seperti aku dan kau?)

(Tidak tahu.)

Venus lagi-lagi lupa betapa tidak bergunanya Mustaka jika mulai memasuki tahap-tahap pengetahuan berbasis kerahasiaan.

Tiba-tiba Venus menghentikan langkahnya. Ildara ikut berhenti. Lagi-lagi wanita itu menanyakan ada apa pada Venus. Yang ditanya hanya menggeleng. Ia bergumam tak jelas dan melanjutkan langkah lagi. Ildara mengikutinya dengan tatapan heran.

(Bau ini berbeda sekali dengan bau vingsai.) Benak Venus bergumam pada Mustaka.

Mustaka mengirimkan dengusan ke otak Venus. (Karena memang bukan berasal dari vingsai.)

(Bagaimana kau bisa tahu?) Venus mencercanya. (Kau membuatku bingung. Kadang tahu banyak hal, kadang malah bodoh sama sekali padahal aku membutuhkan informasinya.)

(Yah, saya memang hanya tahu beberapa.) Mustaka menyahut dengan nada ringan. (Termasuk yang ini.)

(Memangnya ini bau apa?) Venus berkata datar.

(Ebu Gogo.) Mustaka menjawab. (Makhluk rakus nan pendek dengan mata dan mulut besar. Mereka sangat berbulu. Saya harap Anda tidak dekat-dekat dengan mereka, Venus.)

(Meskipun bau, mereka juga akan jadi sekutuku!) Venus menukas tajam. (Kenapa juga aku harus memusuhi mereka?)

(Bukan memusuhi, hanya … menjauhlah sedikit.)

Venus geram. (Kenapa?)

(Mereka suka daging manusia.)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status