"Ini belum saatnya kamu mati. Buka matamu, Anakku."
Suara merdu menggema. Gulzar Heer perlahan membuka mata. Sosok indah dalam balutan gaun dari bahan sutra berwarna gold tertangkap pandangan. Rambut keperakannya dihiasi rangkaian bunga-bunga putih.
Gulzar Heer bergumam lirih, "Ibu Peri?"
Sosok itu memang tidak asing bagi Gulzar Heer. Dia pertama kali menemuinya saat membantu sang ibu mengumpulkan herbal di usia 5 tahun. Awalnya, seekor kupu-kupu emas terbang memutari tubuh, seolah minta diikuti. Gulzar Heer mengikutinya hingga ke danau yang airnya gemerlapan. Tak lama kemudian, kupu-kupu mewujud wanita cantik dengan rambut dan mata perak. Dia mengenalkan diri sebagai peri kupu-kupu emas dan mengaku sebagai ibu angkatnya.
"Syukurlah, kamu bisa selamat, jika orang biasa pasti sudah tidak tertolong," gumam sang peri.
Dia mencondongkan badan. Satu kecupan lembut mendarat di kening Gulzar Heer. Cahaya keemasan menyelimuti perlahan. Rasa sakit dan terbakar akibat racun panah seketika raib.
"Itu hadiah dari Ibu."
"Terima kasih, Ibu."
"Ayo, Nak, kamu harus kembali. Tak baik berlama-lama di sini."
Peri kupu-kupu emas mengulurkan tangan. Gulzar Heer menyambutnya. Jemari lentik nan halus sang peri tampak kontras dengan jari-jari penuh luka si kesatria wanita.
"Kamu benar-benar indah seperti ibumu, tapi sayang sifatmu lebih mirip si bodoh sialan."
Peri kupu-kupu emas mendesah berat. Dia terus mengeluhkan banyak hal saat mereka berjalan bersisian di lorong panjang dengan pendar biru. Mungkin lebih tepatnya mengumpati sosok yang selalu disebutnya si bodoh sialan.
Gulzar Heer kadang tidak mengerti dengan makhluk yang mengaku ibu angkatnya itu. Dulu, Pangeran Fayruza sering membawakan buku-buku cerita tentang peri. Tidak ada satu pun yang digambarkan sebagai tukang omel dan suka mengumpat. Semuanya adalah sosok lembut dan penuh kasih sayang.
"Mungkin buku-buku itu perlu direvisi," bisik hati Gulzar Heer.
"Nah, kita sudah sampai. Kamu berjalanlah sampai di ujung cahaya sana," ucap sang peri membuyarkan lamunan.
Dia mendekap erat sebelum membiarkan Gulzar Heer pergi ke ujung lorong. Cahaya biru yang menyilaukan menerpa. Rasa hangat meliputi tubuh.
Saat membuka mata kembali, Gulzar Heer merasakan pipinya menghangat. Jantung berdebar lebih kencang. Bagaimana tidak? Dia tengah terperangkap dalam pelukan Pangeran Fayruza.
"Hmm ... Pangeran. Saya sudah baik-baik saja. Bisa Anda melepaskan pelukan?"
"Eh? Anu ... ma-maafkan aku. Tadi, benar-benar cemas." Pangeran Fayruza tergagap. Wajahnya merona.
"Ehem! Sepertinya, ada yang mengambil kesempatan dalam kesempitan," goda Pangeran Heydar yang tiba-tiba muncul. Sosoknya yang humoris memang selalu mencari kesempatan untuk menjaili sang adik.
"Bukan begitu, Kak! Aku tadi cemas!" Suara Pangeran Fayruza sedikit meninggi dan gemetar. Wajahnya merah padam, membuat Pangeran Heydar semakin terbahak-bahak. "Anu, Gulzar, kalau kamu sudah baik-baik saja, aku akan mengobati yang lain."
Gulzar Heer tersenyum manis dan bergumam lirih, "Iya, terima kasih, Pangeran."
Senyumannya seketika mengalihkan setiap pasang mata. Seperti yang dikatakan peri, dia memang indah, memiliki kecantikan melebihi manusia rata-rata. Sinar matanya seolah dapat menghipnotis. Hanya saja Gulzar Heer jarang tersenyum dan bersikap hangat, terkecuali kepada Pangeran Fayruza.
"I-iya." Pangeran Fayruza cepat berlalu. Kalau tidak, jantungnya bisa saja meledak.
"Ah, aku akan tenang jika kamu yang menjadi istri Fayruza. Dia akan aman," celetuk Pangeran Heydar.
"Berhentilah bercanda, Pangeran."
"Hei, kukira kalian saling mencintai? Kalian sangat serasi."
"Seorang kesatria tidak pantas memiliki perasaan untuk tuannya."
Pangeran Heydar berdecih. Merasa tak ada yang bisa diledek lagi, dia beranjak pergi, memburu adiknya untuk dijaili. Sementara itu, Gulzar Heer menatap langit biru sejenak.
Sejak menginjak usia remaja, dia memang telah merasakan hal aneh pada jantungnya setiap berada terlalu dekat dengan Pangeran Fayruza. Apakah benar-benar cinta seperti yang dikatakan Pangeran Heydar? Gulzar Heer selalu menepisnya dengan loyalitas tinggi.
***
Iring-iringan pasukan yang telah membawa kemenangan mendapat sambutan hangat dari rakyat. Mereka terus mengelukan pujian dan menebarkan kelopak bunga kepada para pahlawan, hingga kuda-kuda gagah itu menghilang di balik gerbang istana.
"Berkat restu Yang Mulia, kami berhasil memenangkan pertempuran," lapor Pangeran Heydar selaku pimpinan pasukan begitu berada di hadapan Raja Faryzan.
Sang ayah tersenyum bangga. Namun, tidak dengan wanita cantik di sebelahnya. Ratu Azanie melirik sinis. Prestasi anak selir seperti Pangeran Heydar pasti terasa mengancam. Dia sedikit gemas pada putranya, Pangeran Fayruza yang malah menjadi kelompok penyembuh.
Sementara itu, Pangeran Ardavan, calon putra mahkota juga tak kalah sinis dengan ibunya. Dia berdiri kaku di samping singgasana raja dengan tangan terkepal kuat. Seandainya, kemampuan bela diri Pangeran Heydar tidak tinggi, pasti sudah lama disingkirkannya.
Raja Faryzan mengisyaratkan untuk memulai upacara penghargaan. Pangeran Heydar mendapat giliran pertama, diikuti oleh Farzam dan Gulzar Heer.
"Kami juga membawa hadiah, Yang Mulia."
Gulzar Heer maju sambil membawa kotak kayu berbau anyir dengan bercak merah yang telah mengering. Setelah dipersilakan, dia membukanya perlahan. Kepala panglima musuh dengan mata melotot tergelak di sana.
Ratu Azanie terkulai, pingsan. Para dayang segera mengamankannya. Raja Faryzan menghela napas berat. Sementara itu, Pangeran Ardavan tampak girang. Matanya berkilat-kilat saat melihat kepala dalam kotak kayu.
"Gulzar, kamu tidak perlu sampai membawa kepalanya."
"Yang Mulia, menurut hamba tindakan Gulzar Heer sudah benar. Ini akan menunjukkan kehebatan negeri kita."
"Kita adalah negeri yang cinta damai, Ardavan. Kita hanya melawan karena diserang."
"Beginilah kalau Yang Mulia terus lemah, kita akan terus diserang."
Pangeran Ardavan memang sudah sering protes atas sikap welas asih sang ayah. Menurutnya, militer kerajaan mereka sangatlah kuat dan bisa membawa Kerajaan Arion sebagai penakluk negeri-negeri lain. Namun, Raja Faryzan memegang teguh prinsip leluhur agar tidak bersikap serakah.
Sang raja sebenarnya enggan mewariskan tahta kepada putra pertamanya itu. Dia lebih melihat potensi raja yang bijaksana pada diri Pangeran Fayruza.
"Sudahlah, Ardavan. Perang hanya akan membawa rakyat kepada penderitaan." Raja Faryzan mengalihkan pandangan pada Gulzar Heer. "Kamu mengerti, Gulzar? Jika sampai terlibat pertempuran lagi, kamu tidak perlu membawa kepala panglima musuh. Baik itu lawan maupun kawan, kuburkan mayat mereka dengan baik."
"Hamba akan mengingatnya, Yang Mulia."
Akhirnya, kepala dalam kotak kayu disingkirkan dari ruangan. Upacara penghargaan kembali dilanjutkan. Raja Faryzan menganugerahkan gelar tambahan dan hadiah. Para kesatria sekali lagi mengikrarkan sumpah kesetiaan. Mereka juga diberikan kesempatan untuk berlibur agar bisa berkumpul dengan keluarga.
Upacara penghargaan kepada para kesatria yang berjasa pun telah selesai. Usai berpamitan dengan Pangeran Fayruza, Gulzar Heer berencana pulang ke kampung halaman bersama Farzam. Mereka sudah cukup lama meninggalkan sang ibu di sana. Namun, baru saja keluar dari aula utama istana, satu sosok familar mendadak muncul di hadapannya.
"Gulzar, Gulzarku yang indah sudah datang! Ayo sini!" Tangan halus yang penuh noda merah menarik Gulzar Heer dengan cepat.
***
“Ayo kemari, Gulzarku!”“Iya, Tuan Putri.”Gulzar Heer pasrah saja diseret oleh gadis dengan rambut hitam sepinggang itu. Dialah putri pertama Kerajaan Arion, Putri Arezha. Meskipun kelakuannya sedikit aneh, sang putri merupakan sosok yang cerdas dan selalu mampu memberikan solusi pada setiap permasalahan kerajaan. Oleh karena itu, Raja Faryzan sangat menyayanginya melebihi anak-anak yang lain.“Kamu diam di sini, ya,” titah Putri Arezha.“Baik, Tuan Putri.”Putri Arezha memang meminta Gulzar Heer berdiri dengan bersandar di salah satu pohon. Rambut hitam pekat sebahu si kesatria wanita tertiup angin semilir membuat posenya semakin estetik, memancarkan kecantikan sekaligus kegagahan di saat bersamaan. Sang putri segera duduk di kursinya dan mulai melukis.“Ya ampun, indah sekali. Kamu seperti mawar, indah tapi berduri, sangat menakjubkan!” seru Putri Arezha sambil menyapukan kuas.
Sraaat!Darah menyembur ke udara. Aroma anyir menyeruak, menusuk hidung. Suara geraman memekakkan telinga. Farzam berguling ke kanan saat lawannya mencoba menyeruduk.Tanduk megah bozkou menancap di salah satu batang pohon. Farzam melompat setinggi mungkin. Satu gerakan cepat, pedangnya memenggal kepala hewan buruan.“Satu lagi persediaan makanan.”Tawa Farzam pecah. Target buruan kesatria terkuat Kerajaan Arion memang berbeda. Tempat berburunya pun sangat ekstrim, Lembah Kematian.Lokasi terkutuk ini memiliki hewan-hewan aneh. Bozkou adalah salah satunya, makhluk bertubuh seperti sapi, tetapi bertanduk layaknya rusa jantan. Ekornya memiliki ujung runcing nan tajam dan beracun. Perburuan bozkou oleh Farzam adalah ajang pelatihan, bukan sekedar mencari persediaan makanan.Farzam tersenyum puas melihat tumpukan bozkou bersimbah darah. Keluarga kecil
“Lain kali, kau bersikan dulu dengan benar, Farzam!”“Iya, iya, Sayang.”Semangkuk sup diletakkan dengan sedikit diihentak di meja. Farzam menelan ludah. Delaram melotot seolah-olah matanya akan terlempar keluar. Dia mendengkus sambil berkacak pinggang.“Kau selalu mengatakan iya, tapi tidak pernah dilakukan dengan benar! Ada-ada saja yang kacau!”Farzam mencoba merayu sang istri. “Maafkan aku, Sayang. Aku hanya sedikit lupa. Kau tahu, kan, suamimu ini sangat sibuk sehingga–”“Selalu banyak alasan!” sergah Delaram, lalu melanjutkan omelannya.Ya, seminggu berlalu tanpa terasa. Aktivitas pagi di rumah Farzam tak berubah. Delaram mengomeli sang suami sambil menata masakannya di meja makan. Gulzar Heer telah terbiasa dengan pertengkaran “manis” orang tuanya, tak banyak bicara, tampak fokus mengelap permukaan pedang. Sesekali dia me
Tumpukan kayu yang telah dipotong rapi berhamburan di tanah bersama dua ekor bozkou tak bernyawa. Sementara Gulzar Heer duduk bersandar di pohon. Jemari penuh bekas luka mengusap wajah oval penuh keringat, meninggalkan bercak-bercak cokelat kemerahan di kulit putih.Gulzar Heer menghela napas berat sembari mengipasi wajah dengan topi. Tidak, dia bukannya lelah, hanya sedang banyak pikiran. Menggarap sebatang pohon hingga diperoleh ratusan potong kayu dan membunuh dua ekor bozkou hanya akan mengurangi 5 % tenaganya. Seorang Gulzar Heer bahkan sanggup tak tidur 2 hari 2 malam dalam peperangan.“Apa kamu akan menikah dengannya, Fay? Ah, mungkin saja, dia sangat cantik dan anggun. Kamu pasti sangat bahagia saat ini ....”Gulzar Heer menggeleng berkali-kali. Dia juga menekan kening yang mendadak berdenyut, juga memegangi dada. Rasa perih yang tak dapat dimengertinya melesak-lesak di dalam sana. Gulzar Heer menggeram, l
Pangeran Fayruza dan Gulzar Heer keluar dari sungai kecil di belakang rumah penduduk. Cahaya biru berpendar perlahan memudar saat mereka naik ke daratan. Sebelum memasuki area perkampungan, mereka terlebih dahulu melakukan penyamaran dengan pakaian rakyat biasa dan jubah berwarna kelabu. Kini, keduanya terlihat seperti sepasang pengembara.“Hari ini, kita akan melayani malaikat-malaikat kecil di Panti Asuhan Atefeh,” gumam Pangeran Fayruza riang. Dalam hati, dia berkata, ‘Kapan lagi aku bisa melihatmu tampak begitu manis dengan pakaian wanita, Gulzar.’Sementara itu, Gulzar Heer diam-diam tersenyum kecil. Pangeran Fayruza memang sangat istimewa. Saat saudara-saudaranya melakukan kegiatan amal dengan sorotan publik agar mendapat perhatian rakyat, dia malah lebih suka menyembunyikan identitas. Namun, entah kenapa selalu saja ada yang mengetahui, sehingga pamornya malah semakin melejit di mata rakyat.
Derap kaki kuda sedikit mengusik para penghuni hutan. Burung-burung liar terbang serentak, melarikan diri. Sementara beberapa ekor rusa berlarian ke bagian dalam hutan yang lebih rimbun.Iring-iringan kuda tersebut adalah rombongan Kerajaan Arion. Mereka tengah memenuhi undangan Kerajaan Khaz dalam kompetisi pedang tahunan. Surat undangan itulah yang diterima Raja Faryzan beberapa hari lalu. Hadiah untuk pemenang tak main-main, bisa memperistri Putri Kheva, sang bunga Kerajaan Khaz. Artinya, akan terjalin kerja sama amat menguntungkan mengingat Kerajaan Khaz sangat kuat di bidang militer maupun ekonomi.Pangeran Ardavan tampak sangat antusias, memimpin perjalanan dengan wajah semringah. Dia bahkan meninggalkan rombongan adik-adiknya di belakang. Kabar kecantikan Putri Kheva dari Kerajaan Khaz memang telah lama menjadi buah bibir. Lelaki genit sepertinya tentu tak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk memperistri sang putri.Sebenarnya, P
Rombongan Kerajaan Arion segera menuju sumber suara. Kuda-kuda berlari cepat menembus semak dan meliuk-liuk di antara pepohonan. Pangeran Ardavan mengangkat tangan, sebuah isyarat untuk berhenti. Debu berterbangan saat laju kuda para pasukan dihentikan mendadak."Wah, ini menakjubkan! Apa aku sedang melihat seorang peri?"Pangeran Ardavan terpaku dengan pemandangan unik di hadapannya. Gadis cantik bertubuh semampai berdiri tegar dikelilingi tujuh ekor hizkel, elang raksasa. Baju ala pemburu yang dikenakannya dipenuhi bercak darah. Rambut pirang dikucir kuda bergerak-gerak nakal dipermainkan angin semilir. Sorot mata tegas memiliki pesona tersendiri.Sraat! Trang!Pedang di tangan si gadis ditebaskan. Namun, tubuh hizkel tak tergores sedikit pun. Bulu makhluk buas legendaris itu memang sekuat baja.“Bertahanlah, Manvash!” seru si gadis kepada gadis lain yang terbaring meregang nyawa di belakangnya.Rombongan K
Rombongan Kerajaan Arion tiba di Kerajaan Khaz tepat setelah matahari terbenam sempurna. Mereka segera memasuki aula utama. Kedatangan mereka menjadi pusat perhatian para pangeran dari kerajaan lain yang telah datang lebih dulu. Tentu saja, Pangeran Heydar yang paling menjadi buah bibir mengingat kemampuan berpedangnya memang tersohor.“Salam hormat kami kepada Raja Khamzad,” cetus Pangeran Ardavan sembari membungkukkan badan begitu mereka berada di hadapan Raja Khamzad, penguasa Kerajaan Khaz.Pangeran Fayruza dan Pangeran Heydar turut membungkukkan badan di belakangnya. Putri Arezha melakukan penghormatan selayaknya seorang putri. Sementara seluruh kesatria dan pelayan yang mengiringi melakukan salam hormat dengan berlutut.“Salam kepada para tamu agung dari Kerajaan Arion.” Hening sejenak. “Aku sudah mendengar dari Kheva bagaimana kalian menyelamatkannya dan Manvash. Kami atas nama Kerajaan Khaz mengucapkan terima kasih sebesar-b