Pangeran Fayruza dan Gulzar Heer keluar dari sungai kecil di belakang rumah penduduk. Cahaya biru berpendar perlahan memudar saat mereka naik ke daratan. Sebelum memasuki area perkampungan, mereka terlebih dahulu melakukan penyamaran dengan pakaian rakyat biasa dan jubah berwarna kelabu. Kini, keduanya terlihat seperti sepasang pengembara.
“Hari ini, kita akan melayani malaikat-malaikat kecil di Panti Asuhan Atefeh,” gumam Pangeran Fayruza riang. Dalam hati, dia berkata, ‘Kapan lagi aku bisa melihatmu tampak begitu manis dengan pakaian wanita, Gulzar.’
Sementara itu, Gulzar Heer diam-diam tersenyum kecil. Pangeran Fayruza memang sangat istimewa. Saat saudara-saudaranya melakukan kegiatan amal dengan sorotan publik agar mendapat perhatian rakyat, dia malah lebih suka menyembunyikan identitas. Namun, entah kenapa selalu saja ada yang mengetahui, sehingga pamornya malah semakin melejit di mata rakyat.
Setelah penyamaran dirasa sempurna, Pangeran Fayruza mengajak Gulzar Heer membeli banyak makanan. Barulah mereka pergi ke panti asuhan, memperkenalkan diri sebagai Tuan Fay dan Nona Zar. Pengurus dan anak-anak panti menyambut antusias.
Gulzar Heer kembali tersenyum kecil ketika melihat keakraban dan keluwesan sang pangeran bermain bersama anak-anak. Gadis kecil berusia sekitar 5 tahun dengan rambut dikepang tiba-tiba menarik pelan lengan baju Pangeran Fayruza. Dia tampak menelan ludah berkali-kali.
“Umm ... Tuan Fay ...,” gumamnya lirih.
“Ada apa, Anak Manis?” Pangeran Fayruza tersenyum lembut sembari mengusap rambut dikepang. Gulzar Heer langsung memalingkan muka, menenangkan debaran dalam dada.
“Ah itu ... apa kami boleh memanggilmu dan Nona Zar ayah dan ibu?”
Wajah Pangeran Fayruza seketika memerah. Bayangan rumah tangga yang manis dan harmonis dengan Gulzar Heer merasuk di pikiran. Dia harus menggeleng berkali-kali saat adegan suami istri nan mesra, juga senyuman anak-anak yang lucu melintas dalam benak. Sementara itu, Gulzar Heer terbatuk-batuk.
“Maafkan adikku sudah lancang, jangan marah, Tuan Fay.” Anak yang tertua langsung angkat suara. Sementara gadis kecil berkepang menatap dengan mata berkaca-kaca.
Pangeran Fayruza tersadar dan mengusap kembali rambut berkepang. “Aku tidak marah, Nak. Aku justru sangat senang sampai tidak bisa bicara.”
“Benarkah, Tuan? Tapi kenapa Tuan Fay menggeleng?”
“Ah, itu karena aku terlalu senang."
"Begitu, ya, Tuan Fay?"
"Hmm ... jadi, kenapa aku masih dipanggil, Tuan?” Pangeran Fayruza berpura-pura merajuk.
“Maaf, A-a-a.” Gadis kecil berkepang mencengkeram ujung bajunya. “Ayah!”
Pangeran Fayruza terkekeh dan mendudukkan tubuh mungil di pangkuan. “Putri kita ini manis sekali, bukankah begitu, Ibu?” cetusnya sambil mengerling pada Gulzar Heer yang tersedak.
“Ah i-i-iya, Fay eh Ayah.”
Sandiwara menjadi keluarga pun dimulai. Mata anak-anak itu tampak berbinar. Pangeran Fayruza sangat menikmati perannya, bahkan beberapa kali mengambil kesempatan merangkul Gulzar Heer dengan alasan menjadi ayah yang menyayangi ibu.
Sayangnya, kebahagiaan kecil nan manis itu tak berlangsung lama. Pengawal Pangeran Fayruza mendadak muncul. Dia tampak tersengal saat melakukan salam penghormatan.
“Ah, di sini rupanya Anda, Pangeran. Hamba sudah mencari ke mana-mana.”
Sang pengawal tampak mengembuskan napas lega. Namun, anak-anak panti asuhan menjadi ketakutan. Tubuh-tubuh mungil itu terlihat gemetaran. Anak yang paling tertua langsung bersujud di hadapan Pangeran Fayruza.
“Maafkan kami, Pangeran! Kami sudah bersikap tidak sopan!”
Pangeran Fayruza mendesah berat. Dia mendelik pada pengawal yang sudah membongkar penyamarannya. Pangeran Fayruza mengusap kepala anak-anak dengan lembut.
“Aku lebih suka dipanggil ayah oleh kalian,” cetusnya. “Ayo panggil aku ayah lag–”
Gulzar Heer tersentak. Benda abu-abu kehitaman bergerak cepat dari kejauhan tepat mengarah ke bagian leher Pangeran Fayruza. Refleks, dia mendorong pemuda itu, membuat mereka tersungkur, lalu terguling-guling di tanah dan baru berhenti saat menubruk tembok panti asuhan. Tepat waktu, tiga belati yang tadi hampir mengancam nyawa sang pangeran hanya menancap di tanah.
Sementara itu, pipi Pangeran Fayruza seketika memerah. Bagaimana tidak? Wajah Gulzar Heer hanya berjarak beberapa senti. Namun, belum reda gemuruh dalam dada, kesatria pujaan hatinya itu langsung bangkit dan berlari kencang ke arah barat, mengejar si pembunuh bayaran. Pangeran Fayruza hanya bisa melongo sambil memegangi dada yang berdebar.
Kini, Gulzar Heer telah sampai di pinggiran kota, daerah kumuh yang rawan kejahatan. Si pembunuh bayaran tak lagi berlari. Seringaian terukir di sudut bibirnya.
“Kau wanita yang bodoh sekali, Nona. Tempat ini berbahaya bagi nona yang manis.”
Si pembunuh bayaran mendekat. Dia menatap Gulzar Heer sambil menjilati bibir, seolah tengah menemukan makanan super lezat. Saat tangan penuh jaringan parut itu hendak menyentuh pipi ....
Kraaak!
“Arggh! Wanita sialan!”
“Maaf, aku tidak punya waktu untuk bermain-main dengan cecunguk sepertimu,” tutur Gulzar Heer sembari mengempaskan dengan kasar lengan berotot yang tadi dipelintirnya.
Sraaat!
Satu kepala lagi yang harus menggelinding akibat sabetan pedang Gulzar Heer. Dia memungutnya dengan wajah dingin, lalu melemparkannya ke sungai terdekat. Setelah membersihkan pedang dan wajah yang sempat terciprat darah, Gulzar Heer segera kembali ke panti asuhan.
***
Raja Faryzan menekan kening. Ratu Azanie mengusap-usap punggung sang suami. Pangeran Ardavan memasang wajah malas sementara Putri Arezha malah dengan santai menyantap dessert di piringnya.
Helaan napas berat terdengar untuk yang ketiga kalinya. “Lagi-lagi, Fayruza melarikan diri dari perjodohan,” keluh Raja Faryzan.
“Ayolah, Ayah, apa pernikahan memang sepenting itu?” cetus Putri Arezha sambil memainkan garpu di permukaan kue cokelatnya.
“Tentu saja pernikahan tidak penting bagimu, Perawan Tua,” sindir Pangeran Ardavan.
Raja menatap nanar putri tertuanya itu. “Arezha, kenapa kamu juga tidak mau menikah?”
Putri Arezha mendecakkan lidah. Dia memutar bola mata. Garpu ditancapkannya di kue cokelat. Stroberi malang di atasnya menjadi terbelah dua.
“Impianku akan kacau jika menikah. Aku tidak akan bisa mengagumi para pria tampan lagi.”
Ratu Azanie tersedak, lalu terbatuk-batuk. Pelayan langsung sigap menyiapkan air minum untuknya. Sang ratu memegangi kening yang mendadak berdenyut-denyut.
“Arezhaaaa, arggh! Aku harus beristirahat di kamar.” Ratu Azanie menatap Raja Faryzan. “Hamba permisi, Yang Mulia.”
Setelah mendapat persetujuan raja, Ratu Azanie bangkit dari kursi. Beberapa dayang langsung membantu memapah.
“Kenapa putra dan putri pertamaku ikut mata keranjang seperti ayahnya?” gerutu sang ratu lirih hampir tak terdengar. Pangeran Ardavan memang suka main perempuan. Meskipun belum memiliki istri resmi, dia sudah mengoleksi sepuluh selir.
Sepeninggal Ratu Azanie, ruang makan menjadi hening, hanya terdengar suara garpu beradu dengan piring. Raja Faryzan mendadak berdeham. Putri Arezha dan Pangeran Ardavan kompak menatap ayahnya dengan alis bertaut.
“Soal Fayruza tadi .....”
“Sudahlah, Ayah, menyerah saja soal perjodohan itu. Fayruza tidak akan mau karena dia mencin–”
Kata-kata Putri Arezha terpotong karena pembawa pesan kerajaan datang untuk melapor. Jika pemuda itu sampai menganggu waktu makan keluarga kerajaan, berarti berita yang dibawa sangatlah penting. Setelah dipersilakan masuk, dia menyerahkan surat bersegel pada Raja Faryzan. Wajah raja seketika cerah saat membaca isinya.
***
Pangeran Heydar memasuki pondok dengan wajah semringah. Nyanyian terlantun merdu dari bibirnya. Shirin yang tengah mengelus perut seketika mengalihkan pandangan."Kau tampak senang, Sayang. Ada apa?"Pangeran Heydar menghampiri Shirin, mendekap dari belakang. Lengan kekarnya melingkar erat di pinggang sang istri. Dia meletakkan dagu di bahu Shirin, lalu memejamkan mata sejenak."Ya, Sayang. Ada kabar yang sangat membahagiakan."Shirin melepaskan pelukan Pangeran Heydar. Dia berbalik dengan cepat dan menatap antusias. Wanita itu memang paling tak tahan dengan rasa penasaran."Kabar gembira apa, Sayang? Jangan membuatku penasaran!" cecarnya.Pangeran Heydar menyengir lebar, lalu mengecup perut istrinya yang mulai membukit. "Aku mendapat pesan dari Gulzar""Apa? Cepat bacakan! Cepat bacakan!" desak Shirin. Dia hampir saja menjambak rambut sang suami."Tenanglah, Sayang. Pesannya tidak akan hilang jika kamu sedikit bersabar.""Jangan membuatku tambah kesal, Heydar! Kau tahu aku sangat mer
Pangeran Fayruza tersentak, lalu menatap lekat Delaram yang masih tersengal-sengal. Delaram mengatur napas sejenak. Pakaiannya tampak basah oleh keringat. Wajah cantik dan tegas itu sampai memerah."Anda harus ikut saya untuk menyelamatkan Pangeran Heydar!" seru Delaram setelah napasnya lebih teratur.Kecemasan Delaram menular kepada Pangeran Fayruza. "Ada apa dengan Kak Heydar, Bi?" desaknya. Pangeran Fayruza terus menatap lekat meminta penjelasan. Delaram hendak menyahut. Namun, udara tiba-tiba terasa menyesakkan. Aroma mawar menyeruak diikuti kerlipan-kerlipan cahaya keemasan yang semakin lama memperjelas wujudnya, belasan kupu-kupu.Houri langsung melakukan salam penghormatan. Kupu-kupu yang paling indah perlahan menjelma menjadi wanita cantik dengan tiara indah di kepala. Dialah ratu peri kupu-kupu emas. Sang ratu menghampiri Ghumaysa dan menusukkan tongkatnya ke perut wanita itu."Argggh!" Erangan memilukan terasa memekakkan telinga. "Tidak! Tidak! Tidaaak!"Teriakan Ghumaysa m
"Arghhh!" Erangan Ayzard memenuhi udara.Dia langsung melompat ke belakang menghindari serangan Gulzar Heer. Pedang suci menghantam sebongkah batu dan membuatnya hancur berkeping. Ayzard tampak mencengkeram dada kiri dengan napas tersengal. Dia terbatuk, lalu memuntahkan darah. Kabut hitam yang semula memberikan tambahan energi secara terus-menerus tak bisa lagi mengalir ke tubuh Ayzard seperti terhalang sesuatu.Gulzar Heer tak ingin membuang kesempatan. Dia memusatkan kekuatan. Pedang suci berpendar. Kilat putih melesat mengincar Ayzard. Ghumaysa melihat ada yang tak beres pada Ayzard seketika membuat perisai dari kabut hitam.Ledakan besar memekakkan telinga. Kilat putih pedang suci berbelok ke segala arah. Beberapa siluman jahat terbakar olehnya. Sementara itu, Ayzard kembali muntah darah. Ghumaysa mendecakkan lidah.“Si bodoh Heydar pasti melakukan sesuatu yang konyol!” umpatnya, lalu menggertakkan gigi.“Lawanmu adalah kami, Wanita Iblis!” bentak Kyra seraya melesatkan panah-pan
"Ayo kemarilah, Putriku," panggil Ayzard lagi.Ghumaysa yang menyamar menjadi Daria tak ingin ketinggalan. Dia juga menampakkan diri, lalu meracuni pikiran Gulzar Heer dengan ucapan manis. Tak ketinggalan, sihir hitam dalam bentuk kabut tipis diembuskan untuk semakin melemahkan mental."Anakku yang cantik, kami sangat rindu kemarilah," bujuk Ghumaysa."Baik, Ayah, Ibu."Jarak yang memisahkan Gulzar Heer dengan Ayzard dan Ghumaysa semakin sempit. Ayzard diam-diam menyeringai. Tangannya menggenggam erat gagang pedang hitam."Berhenti, Farah! Ayah dan Ibu ada di sini, Anakku!" seruan dari suara yang tak asing menghentikan langkah Gulzar Heer.Dia berbalik. Atashanoush dan Daria berdiri di sana. Kekuatan kasih sayang terhadap anak semata wayang membuat mereka bisa menembus dimensi yang dibuat Ghumaysa dan menampakkan diri."Dasar adik durhaka! Berani kamu menyamar menjadi aku!" bentak Ghumaysa berusaha mengacaukan pikiran Gulzar Heer."Kaulah yang menyamar, Ghumaysa!" sergah Daria yang as
Sudah sepuluh kali Kayvan menghela napas berat. Dia juga terus memandangi langit malam dari jendela menara sihir. Lelaki tua itu mendecakkan lidah, lalu mulai mondar-mandir memutari bejana sihir sambil memijat-mijat kening.Bruk!Kayvan terduduk. Akibat mondar-mandir tak jelas, dia bertabrakan dengan Kaili yang baru memasuki ruangan sambil membawa beberapa alat sihir. Untunglah, pemuda itu berhasil menangkap semua barang bawaannya sebelum membentur lantai. Kalau tidak, bisa-bisa ruangan utama menara sihir akan meledak. "Maafkan saya, Guru," tutur Kaili takzim sembari membantu sang guru berdiri. Tentu saja, dia meletakkan alat-alat sihir dengan hati-hati terlebih dulu."Akulah yang salah sudah menabrakmu."Hening. Kaili diam-diam melirik wajah Kayvan. Mereka menjadi guru dan murid bertahun-tahun. Dia bisa merasakan keresahan hanya dari sorot mata atau bahkan sedikit kernyitan di dahi gurunya."Ada apa, Guru? Apa Anda mencemaskan Nona Shirin?" celetuk Kaili setelah terdiam cukup lama.
Rombongan Gulzar Heer telah tiba di Kerajaan Asytar. Gelembung yang dibuat Pangeran Fayruza perlahan menyembul dari kolam istana. Putri Arezha, Raja Faryzan, Kaili telah menunggu dengan wajah cemas. Mereka kompak menghela napas lega begitu rombongan penyelamat Shirin dan Pangeran Heydar kembali tanpa terluka.Pangeran Heydar langsung berlutut di hadapan ayah dan kakaknya. Meskipun di bawah kendali sihir hitam, ingatan pernah hampir membunuh Raja Faryzan masih terekam. Pangeran Heydar terus menggumamkan kata maaf dengan suara bergetar hebat. Raja Faryzan menepuk bahu sang putra dengan lembut.“Bangunlah, Nak. Kejadian itu sudah terlanjur terjadi, Heydar. Sekarang, lebih baik mencoba menebus kesalahanmu dengan menyelamatkan lebih banyak nyawa.”Pangeran Heydar masih enggan bangun meskipun lututnya tampak terluka. Putri Arezha mendecakkan lidah.“Kenapa kita kembali ke istana? Harusnya kita langsung ke kuil suci!” protes Gulzar Heer.“Tubuhmu baru pulih, istirahatlah dulu,” pinta Pangera