Share

Simpanan Istri Pejabat
Simpanan Istri Pejabat
Penulis: agneslovely2014

Menantu Buangan

"Goooollllll!" seru para warga yang menonton permainan bola di tanah lapang Dusun Tapan, Bojonegoro.

Pemuda berkumis tipis itu melakukan selebrasi meninju udara atas gol yang dia lesakkan ke gawang tim lawannya.

"Mantep tendangane koen, Gus!" puji sobatnya Sronto sembari merangkul bahu Agus.

( (Mantap tendanganmu, Gus!) 

"Lha iyo, To. Agus!" sahut pemuda berparas rupawan dengan rambut gondrong itu menepuk dadanya dengan bangga.

Tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti di tepi tanah lapang lalu pria berusia 50an tahun yang mengendarainya berlari tergopoh-gopoh mendekati Agus.

Masih ngos-ngosan menata napasnya, pria itu berkata, "Gawat, Gus! Koen digoleki morotuwomu, penting! Ndang mulio ... lek ndang!"

(Gawat, Gus! Kamu dicari mertuamu, penting! Segeralah pulang ... cepat!)

Pria paruh baya itu pelayan di rumah mertua Agus yang merupakan golongan konglomerat di kampung itu, nama panggilannya Lik Mukidi.

"Iyo, Lik. Aku tak mulih disik yo, To!" pamit Agus pada kawannya Sronto.

(Iya, Lik. Aku pulang duluan ya, To!) 

Dengan segera Agus membonceng sepeda motor Lik Mukidi untuk pulang ke rumah mertuanya yang tidak jauh lokasinya dari tanah lapang.

Rumah mertuanya itu paling megah di Dusun Tapan karena memang nenek buyut keluarga Artosuwiryo itu dulunya tuan tanah zaman kompeni Belanda. 

Sesampainya di rumah mertuanya, Agus pun bergegas ke pendopo. Ternyata istrinya, Ratih Sitoresmi juga duduk di kursi pendopo itu menemani ayah dan ibunya. 

Agus tidak mengerti perkara apa yang membuat Lik Mukidi panik tergopoh-gopoh menjemputnya tadi di tanah lapang, mana pertandingan bolanya sedang seru-serunya pula.

"Kulonuwun, Pak ... Buk ...," ujar Agus seraya mencium tangan bapak dan ibu mertuanya lalu duduk di kursi sebelah istrinya.

Ki Agung Artosuwiryo berdecih menatap menantu miskin yang dia benci itu. Dia pun berkata, "Ratih, sampai kapan kamu akan berharap suamimu itu bisa memberi penghidupan yang layak buat kamu. Kerjaannya cuma main bola tiap hari!"

Mendengar kata-kata sindiran dari mulut mertuanya, Agus pun tertunduk. Selama ini memang dia belum bisa menafkahi istrinya itu. Di kampung pekerjaannya hanya menggarap sawah milik mertuanya dan hasil panennya tentunya langsung masuk saku mertuanya lagi. Di mata mertuanya, dia seolah hanya numpang makan dan tidur saja di rumahnya.

Istrinya pun angkat bicara membelanya. "Pak, Mas Agus itu 'kan juga kerja mbantu Bapak di sawah setiap hari. Dia menghidupi Ratih juga," ujarnya dengan logat Jawa yang halus nan medok.

Merasa ditentang puteri semata wayangnya itu, Ki Agung Artosuwiryo pun naik pitam, dia bertolak pinggang seraya menunjuk-nunjuk muka menantunya. "RATIH! ORA PERLU MBELANI BOJOMU! LANANGAN ORA JEGOS BAE MBOK BELANI!"

(Ratih! Tidak perlu membela suamimu! Lelaki tidak berguna saja kamu bela!)

"Ratih, ndak paham mau Bapak itu apa?" lanjut Ratih menundukkan kepalanya takut-takut di hadapan bapaknya yang mengamuk.

"PEGATAN!" seru Ki Agung Artosuwiryo.

 (Cerai!) 

Air mata bercucuran di kedua pipi Ratih mendengar kata itu meluncur dari mulut bapaknya. Dia merangkul tubuh suaminya dengan erat sambil menangis tersedu-sedu. "Kang Mas ... Ratih ndak mau pegatan. Ngomong tho, Kang Mas!" desak Ratih karena suaminya diam saja seolah tak berdaya di hadapan bapaknya.

"Pak, kami tidak mau bercerai. Tolong dipertimbangkan lagi ... saya cinta mati sama Ratih!" ujar Agus memeluk tubuh istrinya yang terguncang-guncang karena menangis tersedu-sedu.

"Tsskkk ... mantu kere koyok koen iku ora ono gunane! Wes ndang pegatan! Ratih arep tak rabike maneh karo Arman, putrane Raden Cokro Abimanyu, juragan mbako kampung wetane Dusun Tapan," jawab Ki Agung Artosuwiryo dengan tegas. 

(Tsskkk ... menantu miskin seperti kamu itu tidak ada gunanya! Sudah segera cerai! Ratih mau kunikahkan lagi dengan Arman, putranya saudagar tembakau kampung sebelah timur Dusun Tapan) 

 

Ibu kandung Ratih pun menarik tangan puterinya itu untuk masuk ke rumah tanpa memedulikan teriakan protes dari Ratih. "Lepasin Ratih, Bu! Ratih ndak mau pegatan," ucapnya sambil menangis.

"Mas! Mas Agus!" teriak Ratih memanggil-manggil suaminya saat diseret masuk oleh ibunya ke dalam rumah.

Melihat istrinya diseret paksa masuk ke dalam rumah, hati Agus pun mencelos. Sepertinya kali ini niat mertuanya untuk memaksanya bercerai memang serius.

Sambil berdiri tertunduk di hadapan mertuanya. "Pak, apa tidak ada jalan lain agar kami tidak perlu bercerai? Kalau perlu saya akan merantau ke ibu kota untuk mencari pekerjaan," bujuk Agus sambil meremas-remas telapak tangannya yang berkeringat dingin.

"Sudah cukup! Kalian cerai! Pulang sana ke rumah orangtuamu. Mulai hari ini kamu tidak diterima di kediaman Artosuwiryo lagi!" jawab Ki Agung Artosuwiryo lalu bergegas masuk ke dalam rumah meninggalkan Agus di pendopo seorang diri.

Pikiran Agus ruwet, dia bingung mimpi apa semalam hingga mertuanya memaksanya menceraikan istrinya. Padahal selama ini dia selalu 'nrimo', tidak pernah menuntut bagi hasil ini itu dari kerja kerasnya menggarap sawah dan ladang dari mulai tanam bibit hingga panen.

Dengan langkah gontai, Agus berjalan kaki keluar dari pendopo. Lik Mukidi mendekatinya sembari bertanya, "Ono opo tho, Gus, kok rame tenan ning pendopo?" (Ada apa sih, Gus, kok ramai sekali di pendopo?)

"Bapak pengin aku pegatan sama Ratih, Lik. Pamit ya, Lik. Aku nitip Ratih ...," jawab Agus tak ada semangat lalu berjalan melewati pelataran pendopo menuju ke gerbang keluar kediaman Artosuwiryo.

Lik Mukidi menstarter sepeda motor tuanya lalu menyusul Agus di pintu gerbang. "Yok tak terno mulih omahmu, Gus!"

(Ayo kuantar pulang ke rumahmu, Gus!)

Karena tubuhnya terasa lemas pasca ditalak paksa oleh mertuanya, Agus pun tidak menolak tawaran Lik Mukidi untuk mengantarnya pulang ke rumahnya. 

Selama dalam perjalanan, Agus hanya bisa bengong. Dia tidak tahu bagaimana nasibnya selanjutnya. Terus terang dia tidak punya uang simpanan sama sekali. Susah memang jadi pria yang lugu dan tidak punya ambisi.

Memang tepat predikat sebagai menantu kere alias miskin itu diberikan kepadanya. Mas kawin sekadarnya, pesta pernikahan dibiayai mertuanya, tempat tinggal sesudah menikah ikut mertua juga. Harga diri Agus sudah tergadaikan semenjak dia menikahi puteri Ki Agung Artosuwiryo.

Sebetulnya dia punya banyak keahlian, tetapi sayangnya mertuanya itu sudah dibutakan oleh kekayaan duniawi. Jadi mau mantunya jago main bola, bisa menyetir mobil, bisa membetulkan mesin kendaraan dan elektronik sepertinya tidak ada gunanya bagi Ki Agung Artosuwiryo. Bahkan, semua sawah dan ladangnya digarapkan oleh Agus tidak pernah masuk hitungan di mata mertuanya itu.

Selama ini hanya Ratih saja yang menghargainya di rumah mertuanya itu. Untungnya sekalipun tidak bisa memberi nafkah lahir, tapi nafkah batin selalu tertunaikan sempurna oleh Agus. Istrinya itu selalu menyanjung betapa perkasanya dirinya di atas ranjang. Tentu saja, pekerjaan sehari-hari yang dijalani oleh Agus melibatkan kekuatan fisik dengan tenaga besar. Dia tak ubahnya seperti kuli kasar di mata mertuanya.

Menikahi kembang desa di Dusun Tapan ternyata tidak cukup modal tampang dan cinta. Yang paling penting ternyata ... DUIT!

Komen (7)
goodnovel comment avatar
Puspita Adi Pratiwi
Bojenegoro
goodnovel comment avatar
Metta Azam
waahh Bojonegoro mana nih,aku di suwaloh nih, berarti penulis ny orang Bojonegoro yaakk...
goodnovel comment avatar
Reeinnaa Dhiya
salken jg mbk...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status