Dijebak Menjadi Istri Kedua CEO

Dijebak Menjadi Istri Kedua CEO

last updateLast Updated : 2025-03-01
By:  Juwita LilingOngoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
5Chapters
22views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Kasih Sukma Ayu, seorang sekretaris berdedikasi, tak pernah menyangka hidupnya akan hancur dalam sekejap. Sebuah jebakan kejam membuatnya terpaksa menikah dengan Eric Wijaya, CEO muda yang dingin. Semua berawal dari istrinya, Cintya—seorang model terkenal yang enggan hamil demi kariernya. Dengan licik, Cintya menjebak Kasih dan Eric, lalu memaksa Kasih dan mengancamnya agar mau menikahi suaminya dan melahirkan anak untuk suaminya. Dengan terpkasa Kasih menerima tawaran Cintya. Hari-hari Kasih pun berubah menjadi mimpi buruk. Ia harus menghadapi sikap dingin Eric serta teror Cintya yang ingin menyingkirkannya. Ketika Kasih mengetahui dirinya mengandung, ia memilih bertahan demi anaknya, meskipun Eric menuduhnya sebagai manipulatif. Namun, ketulusan Kasih perlahan meruntuhkan tembok hati Eric, membuatnya mulai melihat Kasih dengan cara berbeda. Cintya, yang merasa terancam, berencana menculik bayi Kasih dan menyingkirkannya selamanya. Namun, Kasih berhasil melarikan diri, meninggalkan segalanya demi keselamatan anaknya. Eric yang kehilangan mereka hidup dalam penyesalan dan menghabiskan dua tahun mencari keberadaan Kasih. Ketika takdir mempertemukan mereka kembali, akankah Kasih menerima Eric yang kini menyesali segalanya? Atau luka masa lalu terlalu dalam untuk dimaafkan?

View More

Chapter 1

Bab 1

Kasih mengerjapkan matanya, tubuhnya terasa lemas dan kepalanya berat seakan dipukul benda tumpul. Seluruh tubuhnya terasa tak berdaya. Saat pandangannya mulai jelas, dadanya bergemuruh melihat dirinya tak mengenakan apa pun selain selimut yang melilit tubuhnya. Ketakutan menjalar seketika, menyusup ke setiap pori-porinya.

"Apa yang terjadi?!" bisiknya panik, dadanya naik turun karena nafas yang memburu.

Di sampingnya, Eric juga terbangun. Ia mengerutkan kening, kepalanya terasa berat. Pandangannya mengabur sesaat sebelum akhirnya menyadari situasi mereka. Mata tajamnya menyapu ruangan, kemudian beralih ke Kasih yang membeku di tempat tidur.

"Sial! Kenapa kita…"

“BRAK!”

Pintu kamar terbanting keras, menghantam dinding hingga menimbulkan bunyi yang menggema di seluruh ruangan. Udara seketika terasa menegang, seolah-olah waktu membeku sejenak.

Eric dan Kasih terlonjak, tubuh mereka menegang dalam keterkejutan. Serentak, kepala mereka menoleh ke arah pintu.

Di ambang pintu, Cintya berdiri dengan mata menyala penuh amarah. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuh, rahangnya mengeras. Tatapannya tajam seperti belati, menusuk ke arah ranjang tempat Kasih mencengkram selimut yang menutupi tubuhnya. Bibir Cintya melengkung sinis sebelum ia membuka mulut.

"Luar biasa," suaranya dingin, menusuk, penuh penghinaan. "Berani sekali kau tidur dengan suamiku, Kasih. Dasar sekretaris murahan!"

Kasih membeku di tempat. Selimut yang menutupi tubuhnya terasa begitu tipis, tak cukup untuk melindunginya dari tatapan membunuh Cintya. Tangannya mencengkeram kain erat-erat, tubuhnya gemetar hebat. Napasnya tersengal, dadanya sesak oleh ketakutan yang mencengkeram.

"Tidak! Ini bukan seperti yang Anda pikirkan!" Kasih berseru, suaranya nyaris bergetar. "Saya... saya tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi!"

Cintya melangkah masuk, tatapannya semakin menajam. Matanya menyapu pemandangan di hadapannya dengan penuh penghinaan.

"Lalu kau pikir aku buta?" suaranya semakin berbahaya. "Aku melihat semuanya dengan mata kepalaku sendiri! Kau sungguh menjijikkan, Kasih!"

Kasih menggeleng putus asa, air mata mulai menggenang di matanya. Tapi tatapan Cintya tak menunjukkan belas kasihan sedikit pun. Sementara itu, Eric hanya duduk diam, ekspresinya gelap dan sulit ditebak. Apakah ia marah? Bingung? Atau justru menikmati kekacauan yang terjadi?

Cintya melangkah mendekat, sepatu hak tingginya menghantam lantai dengan bunyi nyaring, menambah tekanan dalam ruangan. Kasih semakin mengecil, tangannya meremas erat selimut yang menutupi tubuhnya.

Eric berusaha bangkit dari ranjang. "Cintya, dengarkan dulu…"

"Diam, Eric! Jangan coba-coba membelanya!" Cintya menatapnya penuh penghinaan sebelum kembali mengalihkan amarahnya pada Kasih.

Cintya berdiri tegak, tidak berusaha mendekat. Tetapi tatapannya yang tajam tetap menusuk Kasih seperti pisau.

"Kau benar-benar sekertaris tidak tahu diri! Dan kau Eric suami tidak tahu diri, kau tidur bersama sekertarismu.” suaranya rendah, namun penuh tekanan.

Kasih menggigil ketakutan, dia tak mampu melakukan apapun. Saat ini dia berada di posisi yang salah walaupun dia tidak tahu mengapa semua ini bisa terjadi. Sedangkan Eric hanya mampu mengusap kasar wajahnya.

Cintya mengeluarkan ponselnya dan membuka rekaman CCTV dari kamar ini. Kasih melihat bagaimana gambar itu, jelas memperlihatkan dirinya dan Eric tidur bersama tanpa busana.

"Bagaimana kalau video ini bocor ke publik? Apa yang akan terjadi dengan reputasimu, Eric? Apa yang akan terjadi pada perusahaanmu?" suaranya dingin, menusuk. Dia mengulas seringai tak terlihat di wajahnya yang cantik.

Tubuh Eric menegang. Ia tahu Cintya bisa melakukan apa saja untuk menekan situasi ini. “Apa yang kamu inginkan Cintya?” tanya Eric, dia pasrah menerima semua konsekuensi yang harus  di terimanya.

Alis Cintya terangkat, senyum sinis menghiasi wajahnya, “Kau tahu apa yang harus kau lakukan,” katanya.

Dengan berat, Eric mengangguk, "Baiklah. Aku akan menikahi Kasih."

Kasih menjerit dalam hati, tubuhnya gemetar hebat. Tidak ada harapan lagi. Sedangkan Cintya dia tersenyum penuh kemenangan mendengar jawaban Eric.

Semua terjadi begitu cepat, Kasih kini duduk dengan tubuh gemetar di sofa mewah dalam ruangan hotel yang telah disiapkan Cintya. Hatinya terasa hancur, seakan seluruh dunianya runtuh dalam sekejap. Di hadapannya, Eric duduk dengan wajah tanpa ekspresi. Matanya dingin, tak sedikit pun menunjukkan keberatan atas pernikahan ini. Kasih berharap menemukan secercah harapan di tatapan pria itu, tetapi yang dia dapatkan hanyalah kehampaan.

Sementara itu, Cintya berdiri di samping mereka dengan seulas senyum puas. Wanita itu tampak luar biasa cantik dengan balutan gaun merah darah, namun tatapannya tajam dan dingin, penuh dengan rencana yang tersembunyi di balik kebencian yang mendalam.

"Ayo, cepat selesaikan, aku tidak punya waktu banyak untuk drama yang tidak penting " suara Cintya terdengar tegas, namun ada ketegangan yang bisa dirasakan di balik ketenangannya yang terjaga.

Penghulu yang sudah dipanggil khusus mulai membaca ijab kabul. Suasana begitu mencekam, hanya suara penghulu yang menggema di ruangan itu, sementara Cintya berdiri dengan anggun, namun dengan ekspresi yang jelas menyiratkan kebencian dan ketidakpedulian pada segala yang terjadi.

Eric menghela napas pendek, lalu berkata dengan suara datar dan tanpa emosi, "Aku terima nikahnya Kasih secara siri dengan mahar yang telah disebutkan."

Kasih memejamkan mata, air matanya jatuh tanpa bisa dibendung. Dadanya terasa sesak, seakan ada sesuatu yang menghimpitnya. Dia telah menikah, tetapi bukan karena cinta.

Penghulu mengangguk, menutup prosesi dengan doa. Setelah itu, dia pergi meninggalkan mereka bertiga dalam keheningan yang mencekik.

Cintya memandang Kasih, tatapan matanya berbinar penuh kemenangan, namun ada sesuatu dalam sikapnya yang tidak dinampakkan olehnya. "Sekarang, Kasih, kau resmi menjadi istri kedua Eric."

Kasih menoleh ke arah Eric, berharap pria itu akan membela atau setidaknya mengatakan sesuatu. Tetapi yang didapatinya hanya tatapan dingin dan penuh ketidakpedulian.

Eric berdiri, memasukkan tangannya ke dalam saku celana. "Sudah selesai?" tanyanya tanpa ekspresi, seolah pernikahan ini bukanlah hal penting baginya.

Cintya tertawa kecil, namun tawa itu lebih terdengar seperti sebuah sindiran yang tajam, lalu berjalan mendekati Eric, melingkarkan tangannya ke lengan pria itu dengan posesif. "Tentu saja, sayang. Tapi masih ada satu hal lagi yang harus kusampaikan pada pengantin baru kita."

Dia berbalik menatap Kasih dengan tatapan penuh penghinaan, namun nada suaranya tetap terjaga, penuh kendali. "Kau tahu alasan kenapa aku membiarkanmu menikahi suamiku?"

Kasih menatapnya bingung, hatinya dipenuhi ketakutan.

Cintya terkekeh pelan, nada suaranya tetap tenang, namun tajam. "Karena aku ingin kau mengandung anak Eric."

Kasih membelalak. "A-apa?"

Cintya mencibir, meski senyumannya tetap terpelihara dengan penuh kesabaran, namun ada sesuatu yang menggantung di setiap kata yang diucapkannya. "Aku tidak punya waktu untuk hamil. Karier modelingku jauh lebih penting daripada merusak bentuk tubuhku demi seorang bayi. Tapi tentu saja, suamiku butuh penerus. Dan di situlah kau berperan, Kasih."

Kasih merasa jantungnya seakan berhenti berdetak. Tubuhnya melemas, rasa ngeri menjalari seluruh dirinya. "Anda tidak serius..." bisiknya lemah.

Cintya menyeringai dengan sinisme yang terjaga, tetap memegang kendali pada dirinya. "Oh, aku sangat serius."

Kasih menoleh ke Eric, berharap pria itu akan membantah, tetapi Eric hanya berdiri diam. Mata dinginnya menatap Kasih seakan dia bukan siapa-siapa.

Kasih merasakan dunianya runtuh. Dia menahan perasaan yang ingin meledak, namun tak ada gunanya. Hanya ada kehampaan dan kebisuan yang menenggelamkan segala perasaan.

Cintya tertawa puas, lalu dengan langkah angkuh, Cintya menarik Eric pergi, meninggalkan Kasih yang terduduk lemas di lantai. Air matanya mengalir deras, menyadari bahwa ia telah benar-benar terjebak dalam pernikahan tanpa cinta, hanya sebagai alat bagi wanita kejam itu.

Kini Kasih duduk di dalam mobil mewah yang melaju menuju mansion Eric, tetapi hatinya terasa hampa. Dia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa saat ini dia adalah istri kedua atasannya sendiri. Sebuah status yang dipaksakan dan tak diinginkan.

Di sebelahnya, Cintya duduk dengan anggun, kaki disilangkan, tak ada sedikit pun keramahan, hanya wajah yang dingin dan datar. Sementara Eric mengemudi tanpa sepatah kata pun. Tidak ada kehangatan, tidak ada rasa peduli, hanya kebisuan yang menusuk. Setiap detik terasa begitu lama, seolah waktu berjalan perlahan agar rasa sakitnya lebih terasa.

Beberapa puluh menit kemudian, mobil berhenti di depan gerbang besi besar yang langsung terbuka secara otomatis. Begitu masuk, mansion megah bak istana terpampang di hadapan Kasih.

“Kau beruntung, Kasih. Tidak semua wanita bisa tinggal di rumah semewah ini,” suara Cintya yang sarat sarkasme memecah keheningan.

Kasih tidak menjawab. Pandangannya tetap lurus ke depan, meskipun hatinya teriris. Dia tahu bahwa ini bukanlah rumah baginya, tetapi sangkar emas tempat dia dikurung.

Begitu mereka masuk ke dalam mansion, para pelayan berbaris rapi. Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang menyambut Kasih dengan ramah. Tatapan mereka penuh rasa ingin tahu dan meremehkan. Beberapa bahkan saling berbisik di belakangnya. Kasih bisa merasakannya, namun dia berusaha untuk tidak menunjukkan kelemahan.

Seorang pelayan wanita berusia sekitar empat puluh tahun mendekat dan membungkuk hormat kepada Cintya. “Selamat datang, Nyonya.”

Cintya tersenyum puas, lalu melirik Kasih dengan tatapan menghina. “Mulai sekarang, perempuan ini akan tinggal di sini. Pastikan dia tahu tempatnya.”

Kasih menegang, tetapi dia tetap diam. Dia tahu bahwa apapun yang dia katakan, itu tidak akan mengubah apapun.

Eric, yang sejak tadi hanya diam, akhirnya berbicara. “Aku akan ke kamar.”

Cintya langsung menggandeng tangannya dengan mesra. “Tentu, sayang.”

Kasih hanya bisa menatap punggung keduanya saat mereka menaiki tangga bersama. Air matanya menetes tanpa bisa dibendung, tetapi ia menghapusnya dengan cepat. Dia tidak akan memberi mereka kesempatan untuk melihat dirinya lemah.

Seorang pelayan mendekat dan membawanya ke sebuah kamar di ujung lorong, jauh dari kamar utama. Begitu masuk, Kasih menatap sekeliling. Kamarnya memang mewah, namun terasa dingin dan asing, jauh dari yang bisa ia anggap sebagai tempat yang nyaman.

Dia menutup matanya, berusaha menahan sesak di dada. Di rumah megah ini, dia tidak lebih dari seorang tamu yang tak diinginkan. Kasih menunduk dan berkata dalam hati, "Apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa harus terjadi padaku?"

Pernikahan ini bukanlah sesuatu yang dia inginkan, bukan sesuatu yang dia impikan. Ini hanyalah pernikahan yang lahir dari sebuah insiden. Insiden yang bahkan dirinya sendiri tidak mengerti bagaimana bisa terjadi.

Pintu terbuka, dan Cintya melangkah masuk. “Bukankah kamar ini sangat mewah? Itulah keuntunganmu menjadi istri kedua Eric,” ujar Cintya dengan senyum sinis yang begitu mencolok.

Kasih memberanikan diri menatap Cintya. “Aku tidak meminta ini,” jawabnya pelan namun jelas.

Namun, Cintya tidak mengindahkan kata-katanya. “Ingat apa yang sudah kita perbincangkan! Selama kau menjadi maduku, kau harus mengingat batasanmu. Jangan pernah melanggarnya!”

Cintya melangkah mendekat, dan sorot matanya semakin tajam. “Aku tidak ingin kau melakukan sesuatu yang membuatku malu. Derajat kita berbeda. Kau hanya wanita rendahan yang tidur bersama suamiku.”

Dada Kasih terasa sesak mendengar kata-kata itu. Dia ingin membela diri, ingin mengatakan bahwa semua ini bukan keinginannya. Namun, dia menahan semuanya dalam diam. Tidak ada gunanya melawan kata-kata Cintya, Dia hanya bisa pasrah menerima keinginan Cintya. Dia tahu Cintya adalah seorang wanita yang angkuh dan sombong. Dia mampu mengendalikan Eric dan mengubah keadaan sesuai dengan keinginannya. Bagi Cintya apa yang diinginkanya harus didapatkannya.

Cintya memandang Kasih. Tatapannya dingin, namun matanya menyiratkan api yang tersembunyi. Perasaannya campur aduk, namun, ekspresinya tetap terjaga dengan elegan, tanpa satu pun gejolak yang terlihat.

Kasih hanya diam, berusaha menahan air mata yang menggenang, tetapi Cintya bisa melihat melalui sikapnya yang tertahan. Cintya berdehem pelan, menundukkan wajahnya dengan anggun dan berbicara dengan suara yang penuh kontrol.

Cintya mengangkat alis, senyum tipis di wajahnya, penuh sarkasme. “Eric membutuhkan seorang anak untuk menjadi ahli warisnya. Itu tugasmu sekarang.”

Kasih menatapnya, tanpa bisa menahan perasaan hancurnya. Cintya tertawa sinis dan melangkah mendekat. “Jangan coba-coba melawan,” ucap Cintya dingin.

Kasih membuka mulut, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Cintya hanya tertawa dengan angkuh dan melangkah pergi, meninggalkan Kasih dalam kesepian yang semakin mencekam.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
5 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status