LOGINSetelah selesai mengobati Prabu Surya Buana di kamarnya, Giandra dan Tubagus Dharmasuri segera dibawa lagi oleh Senopati Wibisana untuk menemui Mpu Bhiantar dan Senopati Taraka yang juga sedang demam akibat keracunan.
Dua orang yang sakit itu berada di sebuah ruangan khusus dalam lingkungan istana. Mereka tengah berbaring ditemani oleh Abirama dan juga Alindra.
Senopati Wibisana mengetuk pintu dari luar. Alindra pun berdiri dan membukakannya.
“Bagaimana keadaan mereka?” tanya Senopati Wibisana.
Alindra hanya menggeleng. “Kami sudah memberikan mereka berdua ramuan obat, tapi nampaknya tidak mempan. Aku dan kakang Abirama bahkan tidak tahu jenis racun apa yang digunakan oleh Manik Maya.”
Senopati Wibisana lalu melangkah masuk ke dalam ruangan, begitu pula Tubagus Dharmasuri dan Giandra, keduanya mengikutnya di belakang.
Mpu Bhiantar kelihatan menggigil seperti orang yang sangat kedinginan. Nafasnya terdengar sesak. Seme
Dengan menumpukan tangan di lantai teras yang terbuat dari batu, Prabu Surya Buana berjuang untuk bangkit. Argani pun lantas mendekatinya. Ketua Persaudaraan Iblis itu tentu tidak akan membiarkan lawannya yang hendak kembali berdiri. Baru beberapa langkah saja Argani berjalan, saat kaki kirinya mulai menginjak di atas lantai teras yang terbuat dari susunan batu, alih-alih terdengar ada suara yang berseru lantang sekali. “Akulah lawanmu, hai Bajingan!”Mendengar dirinya dipanggil dengan sebutan yang amat tak enak didengar oleh kuping, maka Argani pun memutar pandangannya ke belakang. Seorang pemuda rupanya telah berdiri tegak dengan dada busung dan sinar mata yang tegas. Orang itu tidak lain adalah Giandra.Argani pun membalikkan tubuhnya. Dia tak jadi mendekati Prabu Surya Buana. Kemunculan Giandra membuat Argani sangat jengkel. Seharusnya menurut Argani para pejuang kerajaan saat ini masih berada di Gunung Ratri, namun ternyata, ada satu orang yang sekarang sudah kembali, ini tentu
Baru sesaat Prabu Surya Buana tiba di halaman istana, dia lanngsung disambut dengan pemandangan yang benar-benar tidak menyenangkan. Di depan matanya sendiri, sang prabu menyaksikan mayat para pengawal yang bergeletakan di tanah. Tak ada satupun dari mereka yang masih hidup.Semua tubuh yang terkapar itu mati dalam keadaan hangus. Kulit mereka hitam legam bagaikan layaknya arang. Argani Bhadrika memang sangat kejam sekali.Melihat ada sosok yang berpakaian agung baru keluar dari dalam istana, Argani pun tak mau bertele-tele lagi, dia tahu kalau ini adalah Prabu Surya Buana, maka dia pun ingin langsung menantangnya saja sekarang.Pertemuan dengan sang raja ini sudah begitu lama direncanakan oleh Argani. Bila di akhir malam ini dia berhasil membunuh raja tersebut, niscaya tujuannya untuk mendapatkan takhta akan segera menjadi kenyataan.Prabu Surya Buana pun mengamati Argani yang mulai mendekat. Batinnya lantas bertanya-tanya siapakah orang ini. Sebelumnya sang prabu memang tak pernah b
Di akhir malam yang hampir mendekati waktu subuh, para pengawal semuanya berkumpul di halaman istana, mereka digemparkan dengan sebuah keributan, empat orang dari mereka yang menjaga pintu gerbang telah tewas tergeletak dengan mulut bersimbah darah.Saat itu hanya tinggal dua belas orang pengawal yang masih melindungi istana, sedangkan sisanya yang lain telah ikut pergi ke medan perang menjadi prajurit. Dengan jumlah yang amat sedikit ini, kekuatan mereka tak akan sepadan untuk menghadapi Argani Bhadrika.Kehadiran Argani yang muncul secara tiba-tiba bagaikan hantu di penghujung malam tentu membuat mereka jadi terheran-heran. Bagaimana bisa orang tak dikenal ini datang ke istana dan langsung melakukan porakporanda.Si peneror ini sudah membunuh empat penjaga yang berdiri di depan gerbang. Tak ada satu pun dari pengawal kerajaan yang mengenali Siapakah lelaki ini. Percakapan singkat pun lalu terjadi di antara para pengawal itu.“Sia
Siluman Kera Putih dan Prabaswara saling bergerak dari arah berlawanan. Yang satu kelihatan ingin melimbai gada dan yang satu lagi hendak membabatkan golok. Langkah keduanya bagaikan arus sungai yang deras. Tak lagi mengenal kata surut apalagi tertahan.Saat golok Prabaswara akan mulai menyabet ke leher, tangan kirinya yang kosong menempel di dada, bersiap menepis bila Siluman Kera Putih juga akan memukul.Ternyata hal yang terjadi malah diluar perhitungan Prabaswara. Sabda Alam yang menyongsong dari arah berlawanan melentikkan tubuhnya ke belakang. Mata golok yang tajam itu gagal menyentuh dirinya. Tiba-tiba lalu dari bawah, ayunan gada yang berduri menghantam ke selengkangan Prabaswara!Pukulan dahsyat itu sampai sampai membuatnya terlonjak, bola matanya terbalalak menatap ke langit, dan saking menahan sakit yang tak dapat dibahasakan, mulut Prabaswara pun tak bisa lagi bersuara.Dengan kaki yang gemetar Prabaswara berjalan mundur. Bak pohon limbung didera tiupan angin, langkahnya t
Bayu Halimun terus mengejar orang yang dahulu pernah menjadi sahabat dekatnya itu. Dia tak tahu kemanakah Pangeran Kelelawar ingin membawanya. Mereka terbang melewati pohon-pohon besar di tengah kegelapan hutan yang sunyi.Walau mata Pangeran Kelelawar tak menoleh ke belakang, namun kehadiran Bayu Halimun yang dari tadi mengikuti dapat dirasakan olehnya. Aura kegelapan milik siluman burung hantu itu memang tak pernah berubah. Energinya sangat negatif. Itu disebabkan karena dia telah lama bergabung dalam persaudaraan Iblis, berkumpul dengan orang-orang jahat yang membuat jiwanya jadi tambah gelap.Setelah cukup jauh melayang di bawah binar purnama yang muram, akhirnya Pangeran Kelelawar menemukan juga lokasi yang cocok untuk meladeni Bayu Halimun. Yaitu hamparan rumput luas yang lumayan lengang dari pepohonan. Dalam pertarungan ini, Mahesa Bhamantara bertekad akan mengerahkan seluruh kemampuan kanuragan yang dia miliki. Bila dirinya berhasil mengalahkan Bayu Halimun, dia berharap deng
Malam yang dingin semakin larut. Lereng Gunung Ratri yang penuh pepohonan meranti sudah terlewati di belakang Giandra. Kini dia sedang berada di sebuah kawasan lembah yang masih tertutup hutan.Giandra coba-coba menghitung-hitung jarak perjalanan, menurut perkiraannya, dia nanti akan sampai di istana bertepatan dengan waktu terbit fajar.“Aku tidak boleh terlambat. Semoga saja Argani Bhadrika belum tiba di gerbang istana kerajaan. Jangan sampai bajingan itu mencelekai gusti prabu,” bantin Giandra dalam hati.Dari satu dahan pohon ke dahan pohon yang lain, Giandra terus melompat menggunakan ilmu peringatan tubuh. Temaram pucat cahaya bulan sudah cukup sebagai lentera yang menemaninya sepanjang jalan.Kecepatan Giandra saat melesat di udara dapat melebih laju seekor kuda perang. Sepanjang jalan Giandra tak melihat apa pun di sekitar kecuali hanya kegelapan belantara liar.Bayangan silam kembali terlintas di pikiran Giandra. Di







