공유

Bab 3. Ketegangan

작가: Yasmin_imaji
last update 최신 업데이트: 2024-10-25 08:09:16

Lasmi masih berdiri terdiam di ruang tamu, sorot matanya waspada dan napasnya terengah. Ketukan itu semakin keras, menggema, seolah-olah memaksa masuk.

“Ji… kamu dengar itu?” bisik Murni, suaranya gemetar.

Aji mengangguk, tangannya meremas lengan kakaknya untuk memberikan sedikit ketenangan. "Mbak, tunggu di sini. Biar aku lihat," katanya berusaha tenang, meski hatinya diliputi kegelisahan.

Aji perlahan melangkah keluar kamar dan menuju pintu depan, setiap langkahnya terasa berat. Lasmi menunggu di ujung ruang tamu, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ketukan itu semakin kencang, nyaris seperti dobrakan.

BRAK! BRAK! BRAK!

Aji menggenggam pegangan pintu dengan tangan bergetar. Dengan satu tarikan napas panjang, ia membuka pintu itu perlahan, menahan rasa takut yang kian mencengkram. Namun, di luar hanya ada kegelapan yang pekat, tidak ada tanda-tanda siapa pun.

“Aji, siapa itu?” tanya Lasmi dari belakang.

Aji menatap ke luar dengan ragu, mencoba menembus kegelapan dengan matanya. Hanya hembusan angin malam yang terasa dingin, dan suara jangkrik di kejauhan yang terdengar. Tak ada siapapun. Namun, perasaan aneh tetap menyelimutinya, seperti ada sesuatu yang mengintai mereka dari kegelapan.

“Aku... nggak ada siapa-siapa, Bu,” Aji menjawab dengan suara serak.

Baru saja ia akan menutup pintu, tiba-tiba angin dingin menerpa wajahnya. Dari sudut matanya, ia melihat sesuatu yang bergerak di halaman, samar-samar seperti bayangan hitam yang merayap di tanah. Seketika jantungnya berdegup lebih cepat, pandangannya fokus pada sosok itu. Perlahan, bayangan itu berubah jelas, memperlihatkan sesosok tubuh yang dililit sesuatu yang hitam berkilat.

Mata Aji membelalak. Tubuhnya mematung. "Bapak?" bisiknya, nyaris tak terdengar.

Bayangan itu kian mendekat, tubuhnya penuh dengan lumpur dan lilitan ular hitam yang melingkari seluruh badannya. Wajah yang dahulu dikenalnya sebagai sang ayah kini tampak pucat, dengan mata yang menghitam. Namun dari bola matanya... ia masih menatap aji dengan penuh kesakitan. Ular-ular itu bergerak pelan, seolah memperkuat cengkeramannya di sekitar tubuh Raharjo.

"Aji," panggil Murni yang menyusul adiknya itu karena merasa penasaran.

Hening... tak ada jawaban yang terdengar. Tubuh Aji kaku di depan pintu.

"Ajik!" Kembali Murni memanggil nama sang adik seraya menepuk pundaknya. Aji pun kemudian menoleh dan menatap kebingungan pada kakaknya.

"Mbak ...," ucapnya terbata.

"Siapa?" tanya Murni.

"Ndak ada, Mbak," jawab Aji yang tidak ingin menambah beban pikiran Murni.

Tak percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan Aji, Murni menghempas tubuh Aji, dan kini dirinya sudah berada di depan pintu.

Tak ada apapun yang dapar dilihat Murni. Hanya gelap dan desau angin berbisik lirih di telinganya, "Murni ...."

"Bapak," lirih Murni mencari dari mana suara itu berasal.

"Murni, masuk!" titah sang ibu–Lasmi.

Murni hanya menoleh sekilas pada sang ibu, tapi sejurus kemudian, ia justru kembali berjalan ke luar. Dengan sangat jelas, ia mendengar suara berisik dari ranting yang seolah terinjak.

"Mbak Murni, berhenti!" pekik Aji yang merasa khawatir melihat Murni berjalan semakin jauh. Aji pun berjalan cepat menarik tangan Murni untuk kembali masuk ke dalam rumah.

Sreeet!

Murni terjatuh, dengan tangan yang masih digenggam oleh Aji.

"Mbak Murni ...!"

"Aww, Aji. Tolong!" pekik Murni keras.

Saat menoleh ke belakang, betapa terkejutnya Murni dan Aji saat seekor ulat hitam dan besar melilit pada pergelangan kaki Murni. Ular itu berusaha untuk bisa menarik tubuh Murni kuat-kuat.

"Mbak!" Dengan panik, Aji mengambil ranting kayu yang ia arahkan di depan sang ular. Dia berharap agar ular itu mau pergi.

Tapi tidak, seberapa keras usaha Murni untuk bisa lepas. Ular hitam itu justru menarik kaki Murni dengan semakin kuat, membuat dirinya tertarik beberapa jengkal ke belakang.

"Lepaskan!" teriak Lasmi yang kini sudah berdiri di dekat kedua anaknya. Seketika gerakan sang ular pun terhenti.

"Lepaskan Murni!" titah Lasmi sekali lagi. Hingga akhirnya, ular hitam besar tersebut melepaskan lilitannya dari kaki Muri secara perlahan.

Murni bergegas berdiri dan segera menghambur ke pelukan Lasmi dengan tubuh yang gemetar.

"Sudah Ibu katakan, masuk!" ucap Lasmi tegas.

"Ma-maaf, Bu." Murni berkata dengan terbata karena isak tangis yang tertahan.

Mereka bertiga pun kemudian masuk kembali ke dalam rumah, mengistirahatkan dori dari lelah dan takut yang luar biasa.

Malam semakin larut, tetapi ketenangan tak kunjung datang bagi Lasmi, Aji, dan Murni. Di dalam rumah yang seolah terasa semakin menyempit, ketegangan memenuhi udara. Murni masih gemetar dalam pelukan Lasmi, sementara Aji mencoba menenangkan diri di kursi kayu tua di sudut ruangan. Pikiran mereka semua kembali pada kejadian aneh yang baru saja terjadi. Lasmi memandang kedua anaknya, matanya penuh kekhawatiran.

“Kalian harus mendengarkan Ibu. Mulai sekarang, apapun yang terjadi di luar, jangan pernah membuka pintu tanpa izin,” ujar Lasmi dengan nada yang tegas namun lembut. “Ada sesuatu di luar sana yang sedang mengintai kita.”

Aji mengangguk pelan, tetapi pikirannya masih tertuju pada sosok yang dilihatnya di luar—sosok yang ia yakini sebagai ayahnya, Raharjo. Meski tubuh ayahnya dililit ular dan penuh lumpur, Aji tahu betul tatapan penuh kesakitan yang terarah kepadanya. Tetapi apakah itu benar-benar ayahnya? Atau hanya ilusi yang diciptakan oleh kekuatan jahat di luar sana?

Suasana dalam rumah kembali sunyi. Hanya terdengar suara napas berat Murni yang masih terisak pelan. Lasmi menutup pintu dengan rapat, memastikan tidak ada celah sedikitpun. Dia lalu berjalan menuju jendela dan menutupnya, menutup seluruh tirai, berusaha melindungi keluarganya dari apa pun yang mengintai di luar.

“Bu, apa itu tadi benar-benar Bapak?” tanya Aji tiba-tiba, memecah keheningan. Suaranya pelan, nyaris tak terdengar, tetapi penuh harap akan jawaban yang ia butuhkan.

Lasmi terdiam sejenak. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi apapun, tetapi hatinya terasa berat. “Apa yang kamu lihat, Ji?”

Aji ragu sejenak. “Aku... aku melihat Bapak, Bu. Tapi... dia terlihat berbeda. Matanya hitam, tubuhnya... seperti dipenuhi lumpur dan ular.” Suaranya gemetar, tidak yakin apakah yang ia lihat adalah kenyataan atau bayangan semata.

Lasmi menatap putranya dalam-dalam. “Itu bukan bapakmu, Ji. Bapakmu sudah pergi."

"Tapi, Bu ...," sela Aji.

Tiba-tiba, suara keras terdengar dari atap. Seperti ada sesuatu yang merayap dengan cepat di atas rumah mereka. Suara itu membuat ketiganya terpaku, tubuh mereka kaku di tempat masing-masing. Murni mengerutkan tubuhnya lebih dekat pada Lasmi, sementara Aji berdiri dari kursinya dengan mata terbelalak, memandang ke atas.

“Apa itu?” bisik Murni, suaranya nyaris tak terdengar.

Lasmi menutup matanya sejenak, menarik napas panjang. Dia tahu, kekuatan yang ada di luar tidak akan berhenti sampai mereka masuk ke dalam rumah ini. Dia berdiri, menatap anak-anaknya dengan ketegasan seorang ibu yang siap melindungi mereka apa pun yang terjadi.

“Dengarkan Ibu. Kita harus terus bersama. Ingat, jangan membuka pintu atau jendela. Apapun yang kalian dengar, jangan tergoda untuk keluar. Paham?”

Murni dan Aji mengangguk dengan cepat, rasa takut menyelimuti mereka, tetapi mereka berdua percaya pada yang ibu mereka katakan.

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요
댓글 (53)
goodnovel comment avatar
Trie Sumanti
siapa yg sudah bersekutu, Lasmi pasti tau yg terjadi dgn Raharjo semasa hidupnya atau bisa jd Lasmi yg sudah menumbalkan suaminya sendiri ya
goodnovel comment avatar
Lestari Arsyila
bu lasmi pasti tau sesuatu dengan apa yg terjadi sama pak raharjo
goodnovel comment avatar
My Sweet
Tolong ini sereeem tapi seru wehh ... Bikin merinding untung bacanya gak tengah malem Masih bingung, kenapa ular itu nurut sama Lasmi ya saat Lasmi menyuruh lepaskan kaki murni ? apa itu di atas atap tolong ini menyeramkan
댓글 모두 보기

최신 챕터

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 147. TAMAT

    Laras & Sopir Truk: Lolos dari Teror PocongSopir truk itu menggertakkan giginya, tangannya mencengkeram setir erat-erat. Laras menutup matanya rapat-rapat, tubuhnya bergetar hebat. Keduanya sama-sama tahu bahwa mereka sedang dikejar oleh sesuatu yang tidak seharusnya ada di dunia ini.Jalanan semakin menurun tajam, membuat truk melaju lebih kencang. Namun, ketika sopir menoleh ke spion, jantungnya hampir berhenti berdetak.Sosok pocong itu masih ada di sana. Melompat-lompat, mendekat semakin cepat. Tubuhnya yang membusuk bergerak tidak wajar, sementara mulutnya yang menganga terus mengeluarkan suara parau:"Kembaaliii... Kembaaliiii...."Laras mencengkeram sabuk pengamannya erat-erat, air mata mulai menggenang di matanya. "Pak, jangan berhenti! Tolong, jangan berhenti apa pun yang terjadi!"Sopir truk mengangguk cepat, meskipun keringat dingin sudah membasahi dahinya. "Saya nggak akan berhenti, Mbak! Pegangan yang kuat!"Truk terus melaju di jalanan gelap, melewati tikungan demi tiku

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 146. Perjalanan

    Sopir truk itu mengguncang tubuh Laras dengan cemas. "Mbak! Sadar, Mbak! Kamu dari mana?! Kok tiba-tiba muncul dari hutan?!" Laras terhuyung sedikit, kesadarannya masih berkabut. Nafasnya memburu, tubuhnya gemetar hebat. Ketakutan masih mencengkeram pikirannya. Ia menatap sopir itu dengan mata kosong, sebelum akhirnya berbisik dengan suara serak. "Tolong ... Bawa saya pergi dari sini, Pak." Sopir itu mengerutkan kening, jelas kebingungan. "Mbak, kamu kenapa? Kamu kelihatan kayak habis lihat setan!" Laras menelan ludah, tubuhnya masih bergetar. Bayangan Joni, Rani, dan Damar masih jelas di pikirannya. Bisikan-bisikan itu masih terngiang di telinganya. Ia merasa lelah, begitu lelah, dan satu-satunya yang ia inginkan hanyalah pergi sejauh mungkin dari tempat terkutuk itu. "Aku nggak mau ada di sini lagi." suaranya lirih, hampir seperti rintihan. "Tolong, Pak ... Cepat pergi." Sopir itu menatapnya ragu sejenak, lalu mengangguk. "Ya sudah, ayo naik. Tapi, kita mau ke mana, Mbak?" "P

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 145. Keluar

    Laras berdiri di depan rumah kecil Pak Warso, merapikan tas ransel yang menggantung di punggungnya. Malam masih menyisakan sisa dingin, dan kabut tipis mengambang di antara pepohonan desa.Pak Warso menghela napas panjang, menatap Laras dengan mata penuh pemahaman. “Jadi, kamu benar-benar mau pergi?”Laras mengangguk. “Saya sudah nggak punya alasan untuk tetap tinggal di sini, Pak.” Suaranya bergetar, meski ia berusaha terdengar tegar.Darto dan Giman, yang berdiri tak jauh darinya, saling bertukar pandang sebelum akhirnya Darto bicara, “Laras, kami ngerti, Nduk. Setelah kedua temanmu, Joni dan Rani …” Ia berhenti, tak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Nama kedua temannya itu kini hanya tinggal bayang-bayang di tempat terkutuk yang tak boleh lagi mereka datangi.“Dan sekarang Damar juga menghilang.” Suara Laras semakin kecil. Hatinya terasa berat. Damar adalah satu-satunya harapan yang tersisa, satu-satunya alasan untuk tetap bertahan. Tapi kini ia juga sudah pergi, entah hilang dalam

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 144. Memilih

    Damar berdiri kaku di depan rumah tua itu. Ucapannya masih menggantung di udara, sementara Joni dan Rani menunggu tanpa sedikit pun bersuara—atau mungkin, dengan harapan licik bahwa Damar akan menyerah. Angin malam berembus pelan, membawa bisikan dari sebuah tempat gelap yang tak terlihat. Rumah tua itu seakan bernapas, meresapi kebimbangan Damar untuk memilih. "Setiap kutukan butuh penebus." Kata-kata yang terucap dari mulut Joni terus bergema di kepalanya. Apakah benar-benae harus seperti itu? Jika ingin bebas, ia harus menyerahkan seseorang lainnya sebagai gantinya. Satu nama pun seketika melintas di benaknya—Laras. Damar memejamkan mata, mengingat bagaimana Laras menatapnya dengan penuh cinta, tetapi juga sarat ketakutan. Ia tak ingin melihatnya ketakutan lagi. Ia tak ingin Laras menjadi bagian dari kegelapan yang saat ini membelenggunya. Alih-alih menjadikan Laras sebagai penebus, Damar justru berkeinginan untuk kembali bersamanya. Keinginan itu begitu kuat hingga mampu mem

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 143. Perpisahan

    Darto menoleh cepat, matanya menajam ke arah Laras. “Apa maksudmu, Laras?”Laras menggigit bibir, suaranya bergetar saat berbicara. “Damar… dia ada di sini. Aku bisa merasakannya.”Mbah Rebo mengetukkan tongkat kayunya ke tanah tiga kali lagi. Suara ketukan itu menggema di udara, seolah memantul dari sesuatu yang tak terlihat. Angin semakin kencang, membuat dedaunan kering berputar-putar di sekitar mereka.“Jangan panik,” ujar Mbah Rebo tenang, meski matanya waspada. “Tetap dekat dan jangan sampai ada yang terpisah.”Tiba-tiba, dari balik pohon, terdengar suara gemerisik. Seperti seseorang yang berjalan di atas dedaunan kering.Giman menoleh cepat. “Siapa di sana?”Tak ada jawaban. Hanya suara langkah yang semakin mendekat.Laras menegang. Ia bisa merasakan hawa dingin menjalari tubuhnya. Perlahan, dari balik batang pohon yang besar, sesosok bayangan muncul.Damar.Pakaian yang dikenakannya sama seperti terakhir kali Laras melihatnya—kemeja putih yang kini lusuh dan sobek di beberapa

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 142. Mencari Petunjuk

    Pagi menjelang dengan lambat, membawa serta kabut tipis yang menggantung di udara desa. Darto menguap lebar, matanya sembab karena semalaman tak bisa tidur. Warso duduk bersandar di dinding, wajahnya masih menyisakan ketegangan semalam. Sementara itu, Laras tertidur di tikar dengan nafas berat, tubuhnya masih terasa lemah setelah apa yang terjadi.Mbah Rebo, yang sedari tadi duduk bersila sambil memegang tongkat kayunya, menghela napas panjang. “Kita tak bisa berdiam diri. Meski makhluk itu sudah pergi, aku yakin ia belum benar-benar menyerah.”Warso mengangguk pelan. “Jadi apa yang harus kita lakukan, Mbah?”Orang tua itu menatap ke luar jendela. “Aku harus mencari tahu siapa makhluk itu dan mengapa ia begitu menginginkan Laras. Ada sesuatu yang belum terungkap.”Darto menelan ludah. “Mbah … tadi malam, sebelum makhluk itu muncul, Laras sempat menyebut nama Damar. Apakah mungkin … Damar benar-benar ada hubungannya dengan ini?”Mbah Rebo terdiam sejenak. “Mungkin. Kita harus mencari t

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status