Share

Bab 4. Teror

Author: Yasmin_imaji
last update Last Updated: 2024-10-29 00:12:09

Malam semakin larut, suasana dalam rumah terasa semakin menegangkan. Ketiga anggota keluarga itu hanya bisa duduk terdiam, mendengarkan suara-suara aneh yang datang dari luar, disertai dengan derap langkah yang membuat jantung mereka berdegup kencang. Setiap detik terasa seperti satu jam.

Ketika ketegangan semakin tak terkendali, Murni merasakan hawa mistis di sekelilingnya. "Bu, bagaimana jika itu benar-benar Bapak?" tanyanya, suaranya bergetar. "Aku... aku ndak mau percaya kalau Bapak sudah pergi."

Lasmi mengusap punggung Murni, berusaha menenangkannya. "Kita harus percaya, Murni. Yang kita lihat barusan adalah sesuatu yang lain. Kekuatan jahat sedang berusaha memanfaatkan kerinduanmu kepada Bapak."

"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Bu?" tanya Aji kemudian. Dia merasa perlu melakukan sesuatu untuk melindungi keluarganya, karena memang dirinyalah kini yang menjadi satu-satunya lelaki di keluarga Raharjo.

“Jangan berpikir macam-macam!" jawab Lasmi tegas. "Kita tidak bisa membiarkan perasaan kita diambil alih oleh kekuatan itu."

"Kreeek .... Kreeek ...."

Namun, saat mereka berbicara, suara di atap semakin mengerikan. Suara itu terdengar seperti seretan kuku-kuku tajam yang berat, disertai dengan bisikan halus yang datang dari segala arah, seolah mengundang mereka untuk keluar. "Buka pintu... Bapak pulang," suara itu bergetar dalam kegelapan, membuat bulu kuduk mereka meremang.

"Murni ...."

Tiba-tiba, dari arah jendela, terdengar suara ketukan halus yang diikuti oleh suara desisan. Lasmi menoleh cepat, dan saat dia melakukannya, bayangan putih melintas cepat di jendela. Jantungnya hampir copot.

“Murni, Aji! Jangan lihat!” teriak Lasmi saat Murni mulai menggerakkan kepala. Dengan cepat, ia berlari menutup tirai jendela dengan, berusaha menghalangi pandangan dari luar.

“Bu, ada apa?” tanya Murni dengan suara hampir tak terdengar, wajahnya pun sudah terlihat begitu pucat. Aji menggenggam tangan kakaknya, merasakan ketakutan yang sama seperti yang Murni rasakan.

“Ndak ada apa-apa. Cuma angin, iya ... hanya angin,” jawab Lasmi, berusaha meyakinkan dirinya sendiri lebih dari anak-anaknya. Meskipun sejujurnya, hatinya sendiri berdebar tak karuan.

"Bukaaa!"

Mendadak, suara ketukan yang semakin keras kembali terdengar, kali ini dari pintu belakang. "Lasmi" suara itu menggema hingganke dalam rumah.

Aji merinding. “Ibu, itu-itu suara Bapak!” teriaknya.

“Murni, Aji, tutup telinga kalian!” Lasmi memerintahkan, tetapi sudah terlambat. Mereka sudah mendengar suara itu, dan kini mereka bisa melihat bayangan samar di balik pintu. Sesosok tubuh dengan kain putih melilit, wajahnya tidak terlihat, tetapi aura kegelapan menyelimuti sosok itu.

Murni terisak, tidak bisa menahan air matanya. "Tapi... suaranya mirip suaranya Bapak," lirihnya, melangkah mundur tanpa sadar.

“TIDAK! Itu bukan Bapak, Mbak!” seru Aji, berusaha mengingatkan kakaknya. “Dia... Bapak sudah mati!"

Lasmi tidak dapat lagi menahan diri. Dia bergerak menuju pintu, menggenggam pegangan dengan kuat. “Siapa pun di luar, kami tidak ingin melihatmu! Pergi dari sini!”

Untuk beberapa saat, suara itu mulai hilang. Tapi setelahnya pintu bergerak-gerak cepat, seolah ingin didobrak. Suaranya begitu riuh. Aji berlari menuju ke pintu.

"Aji, jangan buka pintu! Sembunyi!” Lasmi berteriak, menahan napasnya.

Tapi ternyata ketakutan Lasmi tidak terbukti. Aji justru berdiri dan menahan pintu itu kuat-kuat. Semakin kuat ia menahannya, semakin keras gebrakan dari luar. Suara di luar semakin memekakkan telinga, seolah ada banyak suara yang berteriak bersamaan, menuntut perhatian mereka.

Tak hanya pintu, bahkan jendela-jendela kamar yang terbuat dari papan kayu pun ikut bergerak-gerak. Bayangan pocong dengan mata melotot, wajah yang penuh kesedihan, seolah baru saja bangkit dari kuburnya. Lasmi terkejut, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. “TIDAK!” teriaknya, memalingkan wajahnya.

Suara ketukan di pintu semakin menggila, dan saat itu, sosok pocong mulai mendekat dan mengantukkan kepala di jendela, Murni menjerit kuat-kuat.

"Hentikaaan!"

Cukup dengan satu teriakan, semua teror itu berhenti, semua kengerian hilang. Hening, tak ada lagi suara yang dapat didengar kecuali dari napas mereka sendiri-sendiri. Malam itu ketegangan pun berakhir.

--

Pagi itu, ketika sinar matahari pertama menyelinap masuk melalui celah-celah jendela, suasana mencekam yang meliputi rumah Raharjo semalam juga ikut menghilang. Murni, Aji, dan Lasmi masih terduduk di ruang tengah, letih namun sedikit lega karena akhirnya malam penuh teror itu telah berlalu. Mereka bertiga belum tidur sama sekali, berjaga-jaga hingga fajar menyingsing, memastikan bahwa tidak akan ada lagi ketukan pintu atau bisikan misterius yang akan mengganggu.

Murni menghela napas panjang, menatap ibunya dengan wajah lelah. "Bu... Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah benar-benar bukan Bapak?" tanyanya dengan suara yang nyaris tenggelam dalam keheningan pagi.

Lasmi menggeleng pelan, menenangkan putrinya. "Ndak, Murni... Itu bukan Bapakmu. Terkadang, ketika seseorang pergi meninggalkan kita, ada kekuatan-kekuatan gelap yang memanfaatkan sedikit untuk bisa masuk melalui kesedihan kita. Semalam, mereka mencoba memasuki pikiran dan hati kita," jawabnya dengan suara tenang.

Aji, yang sejak tadi duduk terdiam, memandangi lantai dengan ekspresi termenung. "Apa Bapak ... apa mungkin Bapak ndak tenang di sana, Bu?" tanyanya lirih, suaranya penuh dengan keraguan, takut jika sang ibu akan tersinggung.

Lasmi merengkuh bahu kedua anaknya, menggenggam tangan mereka erat. "Kita harus percaya bahwa Bapak sudah tenang di sana. Apa pun yang terjadi, kita tidak boleh biarkan rasa kehilangan ini membuat kita lengah."

"Murni mau ke makam Bapak, Bu," ucap Murni tiba-tiba. Sontak saja kata-kata yang batu saja keluar itu membuat Lasmi dan juga Aji menoleh, menatap Murni secara bersamaan.

"Untuk apa, Murni?" tanya Lasmi.

"Aku mau lihat makam Bapak. Aku –"

"Jangan katakan kamu merindukannya, Murni." Lasmi segera memutus ucapan Murni yang belum selesai.

"Apapun yang Ibu katakan, aku akan tetap pergi ke makam Bapak!" Murni segera beranjak dari tempat duduknya untuk membersihkan diri.

"Bu," lirih Aji menatap sang ibu.

"Kita juga akan pergi ke sana, Ji," ujar Lasmi kemudian.

Hari itu mereka memutuskan untuk mengunjungi makam Raharjo. Murni merasa sedikit lega karena sang ibu dan juga adiknya ikut menemani. Ia berharap untuk bisa melepaskan segala kecemasan dan rasa bersalah atas pesan sang ayah yang pernah diabaikannya. Di tengah keheningan pemakaman, ketiganya duduk di dekat makam Raharjo. Lasmi menundukkan kepala, merapalkan doa. Ah

Murni meraih sekuntum bunga yang ia petik di halaman rumahnya, lalu meletakkannya di atas pusara Raharjo yang benar-benar masih basah. "Pak, semalam kami mendengar suaramu, tapi... itu bukan dirimu, kan?" bisiknya lirih, berusaha menenangkan hatinya sendiri.

"Pergi!" ucapan dan suara tersebut begitu pelan, tapi sangat jelas di indera pendengaran Murni.

Mendadak, angin sepoi berembus lembut, membuat dedaunan pohon bergemerisik. Seolah ada kehadiran halus yang menemani mereka di sana, memberikan ketenangan tanpa kata. Murni merasakan sedikit beban di hatinya terangkat, dan dia tersenyum samar.

"Ayo pulang," ajak Lasmi tak lama kemudian.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (54)
goodnovel comment avatar
Trie Sumanti
baru malam pertama stlh kepergian bapaknya udh ada kejadian menegangkan gmn dgn malam malam selanjutnya
goodnovel comment avatar
Nie hidayat
deg2an plus merinding
goodnovel comment avatar
Erisa Zulfa
asli gabisa bayangin klw MLM ada di rumah itu.. pdhl baru MLM pertama yaa
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 147. TAMAT

    Laras & Sopir Truk: Lolos dari Teror PocongSopir truk itu menggertakkan giginya, tangannya mencengkeram setir erat-erat. Laras menutup matanya rapat-rapat, tubuhnya bergetar hebat. Keduanya sama-sama tahu bahwa mereka sedang dikejar oleh sesuatu yang tidak seharusnya ada di dunia ini.Jalanan semakin menurun tajam, membuat truk melaju lebih kencang. Namun, ketika sopir menoleh ke spion, jantungnya hampir berhenti berdetak.Sosok pocong itu masih ada di sana. Melompat-lompat, mendekat semakin cepat. Tubuhnya yang membusuk bergerak tidak wajar, sementara mulutnya yang menganga terus mengeluarkan suara parau:"Kembaaliii... Kembaaliiii...."Laras mencengkeram sabuk pengamannya erat-erat, air mata mulai menggenang di matanya. "Pak, jangan berhenti! Tolong, jangan berhenti apa pun yang terjadi!"Sopir truk mengangguk cepat, meskipun keringat dingin sudah membasahi dahinya. "Saya nggak akan berhenti, Mbak! Pegangan yang kuat!"Truk terus melaju di jalanan gelap, melewati tikungan demi tiku

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 146. Perjalanan

    Sopir truk itu mengguncang tubuh Laras dengan cemas. "Mbak! Sadar, Mbak! Kamu dari mana?! Kok tiba-tiba muncul dari hutan?!" Laras terhuyung sedikit, kesadarannya masih berkabut. Nafasnya memburu, tubuhnya gemetar hebat. Ketakutan masih mencengkeram pikirannya. Ia menatap sopir itu dengan mata kosong, sebelum akhirnya berbisik dengan suara serak. "Tolong ... Bawa saya pergi dari sini, Pak." Sopir itu mengerutkan kening, jelas kebingungan. "Mbak, kamu kenapa? Kamu kelihatan kayak habis lihat setan!" Laras menelan ludah, tubuhnya masih bergetar. Bayangan Joni, Rani, dan Damar masih jelas di pikirannya. Bisikan-bisikan itu masih terngiang di telinganya. Ia merasa lelah, begitu lelah, dan satu-satunya yang ia inginkan hanyalah pergi sejauh mungkin dari tempat terkutuk itu. "Aku nggak mau ada di sini lagi." suaranya lirih, hampir seperti rintihan. "Tolong, Pak ... Cepat pergi." Sopir itu menatapnya ragu sejenak, lalu mengangguk. "Ya sudah, ayo naik. Tapi, kita mau ke mana, Mbak?" "P

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 145. Keluar

    Laras berdiri di depan rumah kecil Pak Warso, merapikan tas ransel yang menggantung di punggungnya. Malam masih menyisakan sisa dingin, dan kabut tipis mengambang di antara pepohonan desa.Pak Warso menghela napas panjang, menatap Laras dengan mata penuh pemahaman. “Jadi, kamu benar-benar mau pergi?”Laras mengangguk. “Saya sudah nggak punya alasan untuk tetap tinggal di sini, Pak.” Suaranya bergetar, meski ia berusaha terdengar tegar.Darto dan Giman, yang berdiri tak jauh darinya, saling bertukar pandang sebelum akhirnya Darto bicara, “Laras, kami ngerti, Nduk. Setelah kedua temanmu, Joni dan Rani …” Ia berhenti, tak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Nama kedua temannya itu kini hanya tinggal bayang-bayang di tempat terkutuk yang tak boleh lagi mereka datangi.“Dan sekarang Damar juga menghilang.” Suara Laras semakin kecil. Hatinya terasa berat. Damar adalah satu-satunya harapan yang tersisa, satu-satunya alasan untuk tetap bertahan. Tapi kini ia juga sudah pergi, entah hilang dalam

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 144. Memilih

    Damar berdiri kaku di depan rumah tua itu. Ucapannya masih menggantung di udara, sementara Joni dan Rani menunggu tanpa sedikit pun bersuara—atau mungkin, dengan harapan licik bahwa Damar akan menyerah. Angin malam berembus pelan, membawa bisikan dari sebuah tempat gelap yang tak terlihat. Rumah tua itu seakan bernapas, meresapi kebimbangan Damar untuk memilih. "Setiap kutukan butuh penebus." Kata-kata yang terucap dari mulut Joni terus bergema di kepalanya. Apakah benar-benae harus seperti itu? Jika ingin bebas, ia harus menyerahkan seseorang lainnya sebagai gantinya. Satu nama pun seketika melintas di benaknya—Laras. Damar memejamkan mata, mengingat bagaimana Laras menatapnya dengan penuh cinta, tetapi juga sarat ketakutan. Ia tak ingin melihatnya ketakutan lagi. Ia tak ingin Laras menjadi bagian dari kegelapan yang saat ini membelenggunya. Alih-alih menjadikan Laras sebagai penebus, Damar justru berkeinginan untuk kembali bersamanya. Keinginan itu begitu kuat hingga mampu mem

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 143. Perpisahan

    Darto menoleh cepat, matanya menajam ke arah Laras. “Apa maksudmu, Laras?”Laras menggigit bibir, suaranya bergetar saat berbicara. “Damar… dia ada di sini. Aku bisa merasakannya.”Mbah Rebo mengetukkan tongkat kayunya ke tanah tiga kali lagi. Suara ketukan itu menggema di udara, seolah memantul dari sesuatu yang tak terlihat. Angin semakin kencang, membuat dedaunan kering berputar-putar di sekitar mereka.“Jangan panik,” ujar Mbah Rebo tenang, meski matanya waspada. “Tetap dekat dan jangan sampai ada yang terpisah.”Tiba-tiba, dari balik pohon, terdengar suara gemerisik. Seperti seseorang yang berjalan di atas dedaunan kering.Giman menoleh cepat. “Siapa di sana?”Tak ada jawaban. Hanya suara langkah yang semakin mendekat.Laras menegang. Ia bisa merasakan hawa dingin menjalari tubuhnya. Perlahan, dari balik batang pohon yang besar, sesosok bayangan muncul.Damar.Pakaian yang dikenakannya sama seperti terakhir kali Laras melihatnya—kemeja putih yang kini lusuh dan sobek di beberapa

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 142. Mencari Petunjuk

    Pagi menjelang dengan lambat, membawa serta kabut tipis yang menggantung di udara desa. Darto menguap lebar, matanya sembab karena semalaman tak bisa tidur. Warso duduk bersandar di dinding, wajahnya masih menyisakan ketegangan semalam. Sementara itu, Laras tertidur di tikar dengan nafas berat, tubuhnya masih terasa lemah setelah apa yang terjadi.Mbah Rebo, yang sedari tadi duduk bersila sambil memegang tongkat kayunya, menghela napas panjang. “Kita tak bisa berdiam diri. Meski makhluk itu sudah pergi, aku yakin ia belum benar-benar menyerah.”Warso mengangguk pelan. “Jadi apa yang harus kita lakukan, Mbah?”Orang tua itu menatap ke luar jendela. “Aku harus mencari tahu siapa makhluk itu dan mengapa ia begitu menginginkan Laras. Ada sesuatu yang belum terungkap.”Darto menelan ludah. “Mbah … tadi malam, sebelum makhluk itu muncul, Laras sempat menyebut nama Damar. Apakah mungkin … Damar benar-benar ada hubungannya dengan ini?”Mbah Rebo terdiam sejenak. “Mungkin. Kita harus mencari t

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 141. Mengawasi dan Menunggu

    Warso mengusap wajahnya yang basah oleh keringat. Napasnya tersengal, sementara matanya terus mengawasi Laras yang kini terkulai di tikar.“Darto, kita nggak bisa nunggu lebih lama. Kita harus cari orang pintar buat nolongin Laras,” katanya dengan suara parau.Darto mengangguk, meski pikirannya masih dipenuhi pertanyaan. “Giman, kamu ikut aku. Kita cari Mbah Rebo.atau siapa pun yang bisa bantu.”Giman tampak ragu, tapi melihat kondisi Laras, ia akhirnya mengangguk. “B-baik. Tapi cepat ya, aku nggak mau kalau harus lama-lama menunggu di luar.”Darto dan Giman segera keluar, meninggalkan Warso yang berjaga di samping Laras. Malam semakin pekat, udara terasa berat. Warso merapatkan jaketnya, mencoba mengusir hawa dingin yang entah berasal dari cuaca atau sesuatu yang lain.Tiba-tiba, Laras menggeliat. Kelopak matanya terbuka perlahan. Namun, ketika Warso menatap wajahnya, jantungnya hampir berhenti berdetak.Mata Laras kini bukan hanya hitam, tetapi juga dipenuhi urat-urat merah yang men

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 140. Rasuk

    Darto, Warso, dan Giman semakin panik ketika mereka melihat Laras yang terus menatap bayangan Damar dengan mata berkaca-kaca. Angin bertiup semakin kencang, membawa aroma tanah basah dan anyir yang menusuk hidung. Tiba-tiba, Laras tersentak. Tubuhnya menegang, matanya membelalak. Seakan ada sesuatu yang saat ini tengah menghantam jiwanya. “Laras?!” Warso mengguncang bahunya dengan cukup keras. Namun, Laras sama sekali tidak memberikan reaksi. Ia malah tersenyum lebar—senyum yang bukan miliknya. Senyum itu terlalu lebar, terlalu dingin, terlalu menyeramkan. "Damar … aku akan ikut bersamamu ...." Suaranya terdengar jauh, bergema seperti bukan berasal dari dirinya sendiri. Tak lama kemudian, tubuhnya terhuyung ke belakang dan dalam sekejap, ia tertawa. Suara tawanya melengking tinggi, bergema di udara malam. Tawa yang tentu saja itu bukan milik Laras. Giman mundur dengan napas memburu. “To, Darto, bocah ini ... dia kesurupan!” Darto menggertakkan giginya. Ia pernah melihat kej

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 139. Menolak

    Damar menggertakkan giginya. "Tidak mungkin! Kita masih hidup! Kalian berdua yang sudah mati!" Rani mengangkat tangannya perlahan. Seketika, kabut pekat muncul dari tanah, mengelilingi mereka. Laras menjerit saat tubuhnya mulai terasa ringan, seakan ditarik oleh sesuatu yang tak terlihat. Damar berusaha meraihnya, tetapi tiba-tiba semuanya berubah. Mata Damar membelalak. Ia tidak lagi berada di hutan. Sekelilingnya kini adalah lorong rumah tua yang gelap, dindingnya dipenuhi coretan-coretan aneh. Bau anyir menyengat hidungnya. Laras berdiri di sampingnya, tubuhnya gemetar, matanya menatap lurus ke depan. Di ujung lorong, sesosok tubuh tergantung di langit-langit. Sosok itu berayun pelan, mengenakan baju yang sama seperti yang Damar kenakan. Jantung Damar seakan berhenti berdetak. Itu dirinya sendiri. "Laras... A-apa yang terjadi...?" Laras tidak menjawab. Dia hanya menoleh perlahan ke arah Damar, matanya berubah hitam legam, bibirnya menyeringai lebar. “Kamu sudah mati, Damar.

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status