Home / Horor / 40 Hari Setelah Kematian Bapak / Bab 5. Pria Misterius

Share

Bab 5. Pria Misterius

Author: Yasmin_imaji
last update Last Updated: 2024-10-31 14:53:43

Ketiganya berjalan menyusuri pemakaman menuju pintu keluar. Saat itulah, seorang pria tua tampak berdiri di bawah pohon besar di pinggir jalan setapak. Penampilannya lusuh, pakaian yang ia kenakan terlihat usang, kotor, dan penuh tambalan. Ia memegang tongkat kayu yang panjang, berfungsi sebagai penopang sekaligus alat bantu berjalan. Saat melihat Lasmi dan kedua anaknya, pria tua itu tersenyum tipis, memperlihatkan gigi-giginya yang sudah tak utuh lagi.

Saat tatapan dari pria tua itu jatuh pada Murni, tiba-tiba saja Murni merasa ada hawa tak nyaman, dan ia menggenggam lengan ibunya lebih erat. Namun, pria itu justru melangkah perlahan mendekati mereka, matanya yang sayu menatap tajam ke arah Murni. Ada sorot mata yang sulit dijelaskan, seolah-olah dia tahu sesuatu yang tak diketahui siapa pun.

"Cah Ayu…," gumamnya, mengendus-endus udara seakan ingin menangkap aroma dari arah tubuh Murni. Sontak saja gadis itu segera melangkah mundur dengan perasaan risih, merasa dipelototi oleh orang asing yang sama sekali tak ia kenal.

"Ibu, ayo cepat kita pulang," bisik Murni gugup, menarik tangan ibunya untuk mempercepat langkah. Namun, pria tua itu mengangkat tongkatnya, menghalangi jalan mereka.

"Tunggu sebentar, Nduk," ucap pria tua itu dengan suara serak. "Apa yang kamu cari di sini? Kamu kehilangan seseorang, bukan?"

Lasmi mengernyit, tak paham dengan apa yang dimaksudkan oleh pria tersebut. "Maaf, Pak, kami harus segera pulang," ujarnya pelan, mencoba bersikap sopan sambil tetap menjaga jarak.

Pria itu tertawa kecil, getir, membuat bulu kuduk mereka meremang. "Apa yang kamu hindari?" tanya orang itu lagi seraya menatap tajam ke arah Lasmi.

"Apa maksud sampeyan itu, Pak? Kenapa bicara seperti?" Lasmi terlihat mulai tak suka dengan perkataan si pria tua yang terkesan ngawur.

Tanpa menghiraukan Lasmi, dia kembali menoleh pada Murni. "Cah Ayu, orang yang kau kira sudah pergi… dia belum benar-benar mati." Tatapan pria itu kini mengunci mata Murni, seolah menyampaikan pesan yang hanya ia yang tahu maknanya.

Murni menelan ludah, hatinya berdebar. "Ap-apa?" tanyanya ragu, walau setengah dari dirinya tentu saja tak mempercayai akan hal itu.

"Cukup, Pak Tua. Jangan bicara ngawur. Suami saya sudah meninggal," sahut Lasmi.

"Kamu sungguh tahu apa yang terjadi, bukan? Kenapa kamu kaget?" Sedikit senyum yang ditampilkan oleh pria tersebut membuat Lasmi bergidik ngeri.

Pria tua itu mencondongkan tubuhnya, membisikkan sesuatu pelan di samping telinga Murni, “Raharjo… dia masih di antara dunia ini dan dunia sana. Kau tak akan menemukannya di sini,” ujarnya, menunjuk pusara yang baru saja mereka tinggalkan. “Dia… tersesat!”

DEGH!

Sungguh, perasaan Murni terasa berdentam dua kali lebih cepat dari biasanya. Aji menatap pria itu dengan tatapan penuh kebingungan dan tabda tanya.

"Bapak bilang… Bapak kami masih hidup?" Aji berusaha memahami, tapi kata-kata itu seolah mengoyak kenyataan yang ia yakini.

“Bukan hidup… tapi juga bukan mati,” sahut pria itu. “Dia terjebak, dan hanya dia yang bisa menolongnya untuk kembali," ujarnya seraya menujuk ke arah Murni.

"Cukup!" Lasmi menarik Murni dan Aji ke belakangnya, ingin menjauh dari pria itu. Namun, ia tak bisa memungkiri bahwa perasaan takut mulai merasuki hatinya. "Kau ini siapa?" tanyanya dengan nada yang terdengar bergetar.

Pria tua itu tersenyum pahit. "Aku bukan siapa-siapa. Tak perlu kamu tahu siapa aku. Aku cuma orang tua yang sudah terlalu lama berkelana. Aku pernah melihat banyak orang yang tersesat, tak mampu kembali, tak mampu menemukan jalan pulang. Namun, Raharjo… dia masih menunggu."

Setelah berkata demikian, pria itu berbalik, melangkah menjauh dengan perlahan, punggungnya terlihat semakin rapuh seiring jaraknya yang kian jauh. Namun, ia meninggalkan sesuatu yang tak bisa mereka abaikan—sebuah pesan misterius dan harapan samar akan kebenaran.

"Sudahlah, ayo kita pergi, Murni, Aji." Lasmi mengajak kedua anaknya berbalik badan dan menjauh dari sang pria tua.

Murni menatap ibunya, kebingungan. "Bu, apa maksudnya itu?"

Lasmi menggeleng perlahan, mencoba menenangkan anak-anaknya meski hatinya penuh keraguan. “Entahlah, Murni… Kamu tahu jika apa yang dikatakannya itu ngawur dan mengada-ada."

"Tapi, Bu? Tunggu, Pak!" Murni berbalik untuk menanyakan kembali tentang maksud kata-kata sang pria tua. "Hah, hilang?"

Sungguh di luar nalar, mereka hanya berbalik sejenak, tetapi pria itu sudah tak lagi terlihat, lenyap begitu saja. Sepanjang perjalanan pulang, Murni terus memikirkan kata-kata yang ia dengar, membuat pikirannya penuh dengan teka-teki. Dia menoleh sesekali, berharap menemukan jejak pria tua itu di belakang mereka, tetapi jalan setapak di pemakaman sudah kosong. Sosok pria tua misterius itu lenyap seakan ditelan bumi.

--

Malam semakin larut, angin berdesir melalui celah-celah jendela, dan setiap bunyi terdengar lebih keras daripada biasanya. Lasmi menyuruh Aji dan Murni beristirahat, berharap tidur akan membuat mereka melupakan kejadian di pemakaman tadi.

Namun, Murni tak bisa memejamkan matanya. Kata-kata pria tua itu terngiang di kepalanya. "Bapakmu... bukan hidup, tapi juga bukan mati. Dia tersesat." Pikirannya berputar, berusaha mencerna pesan yang begitu aneh dan tak masuk akal. Bagaimana mungkin seseorang bisa tersesat di antara dunia ini dan dunia sana? Dia menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir kegelisahan, tetapi hal itu justru membuatnya semakin penasaran.

Ketika kedua matanya hampir terpejam, Murni mendengar suara samar seperti ketukan di jendela. Awalnya dia mengira itu hanya ranting yang terbawa angin, tetapi ketukan itu semakin keras dan berirama. Jantungnya berdentam keras. Dengan hati-hati, ia merangkak keluar dari tempat tidur, mendekati jendela sambil menahan napas. Saat ia mengintip dari balik tirai, tak ada apa pun di luar.

Namun, ketika ia berbalik, sebuah bayangan buram muncul di sudut ruangan. Murni terdiam, membeku dalam ketakutan. Perlahan, bayangan itu semakin jelas, menampakkan sosok pria dengan wajah yang tak asing. "Bapak..." Murni tergagap, merasakan campuran rasa takut dan haru. Itu adalah sosok ayahnya, Raharjo, dengan tubuh yabg berbalut kain kafan lusuh dan wajah pucat, dan kedua matanya yang mengeluarkan dar*h segar.

"Bapak?" gumamnya lagi, setengah tak percaya. Sosok itu tampak membuka mulut, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi suaranya tidak terdengar jelas. Hanya gerakan bibirnya yang tampak mengucapkan satu kata berulang kali.

"To-long ...."

“Bapak, apa maksudnya?” tanya Murni lirih, tetapi sosok itu tetap membisu, hanya mengulangi kata yang sama sambil menatap Murni dengan mata penuh kesedihan.

Murni mengulurkan tangan, ingin menyentuhnya, tetapi sosok itu tiba-tiba memudar, lenyap begitu saja. Hanya tersisa keheningan yang menegangkan di ruangan itu. Hati Murni berdebar tak karuan. Ia mencoba memanggil ibunya, namun kata-kata pria tua di pemakaman kembali bergaung dalam pikirannya, membuatnya ragu. "Apa benar Bapak belum sepenuhnya pergi?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (51)
goodnovel comment avatar
Trie Sumanti
semua kejanggalan itu hanya Lasmi yg tau jawaban nya karna sepetinya Lasmi yg membuat pak Raharjo seperti itu
goodnovel comment avatar
Lestari Arsyila
lasmi pasti tau sesuatu sama apa yang terjadi sama pak raharjo
goodnovel comment avatar
Erisa Zulfa
kek ada sesuatu yg disembunyikan Bu lasmi
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 147. TAMAT

    Laras & Sopir Truk: Lolos dari Teror PocongSopir truk itu menggertakkan giginya, tangannya mencengkeram setir erat-erat. Laras menutup matanya rapat-rapat, tubuhnya bergetar hebat. Keduanya sama-sama tahu bahwa mereka sedang dikejar oleh sesuatu yang tidak seharusnya ada di dunia ini.Jalanan semakin menurun tajam, membuat truk melaju lebih kencang. Namun, ketika sopir menoleh ke spion, jantungnya hampir berhenti berdetak.Sosok pocong itu masih ada di sana. Melompat-lompat, mendekat semakin cepat. Tubuhnya yang membusuk bergerak tidak wajar, sementara mulutnya yang menganga terus mengeluarkan suara parau:"Kembaaliii... Kembaaliiii...."Laras mencengkeram sabuk pengamannya erat-erat, air mata mulai menggenang di matanya. "Pak, jangan berhenti! Tolong, jangan berhenti apa pun yang terjadi!"Sopir truk mengangguk cepat, meskipun keringat dingin sudah membasahi dahinya. "Saya nggak akan berhenti, Mbak! Pegangan yang kuat!"Truk terus melaju di jalanan gelap, melewati tikungan demi tiku

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 146. Perjalanan

    Sopir truk itu mengguncang tubuh Laras dengan cemas. "Mbak! Sadar, Mbak! Kamu dari mana?! Kok tiba-tiba muncul dari hutan?!" Laras terhuyung sedikit, kesadarannya masih berkabut. Nafasnya memburu, tubuhnya gemetar hebat. Ketakutan masih mencengkeram pikirannya. Ia menatap sopir itu dengan mata kosong, sebelum akhirnya berbisik dengan suara serak. "Tolong ... Bawa saya pergi dari sini, Pak." Sopir itu mengerutkan kening, jelas kebingungan. "Mbak, kamu kenapa? Kamu kelihatan kayak habis lihat setan!" Laras menelan ludah, tubuhnya masih bergetar. Bayangan Joni, Rani, dan Damar masih jelas di pikirannya. Bisikan-bisikan itu masih terngiang di telinganya. Ia merasa lelah, begitu lelah, dan satu-satunya yang ia inginkan hanyalah pergi sejauh mungkin dari tempat terkutuk itu. "Aku nggak mau ada di sini lagi." suaranya lirih, hampir seperti rintihan. "Tolong, Pak ... Cepat pergi." Sopir itu menatapnya ragu sejenak, lalu mengangguk. "Ya sudah, ayo naik. Tapi, kita mau ke mana, Mbak?" "P

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 145. Keluar

    Laras berdiri di depan rumah kecil Pak Warso, merapikan tas ransel yang menggantung di punggungnya. Malam masih menyisakan sisa dingin, dan kabut tipis mengambang di antara pepohonan desa.Pak Warso menghela napas panjang, menatap Laras dengan mata penuh pemahaman. “Jadi, kamu benar-benar mau pergi?”Laras mengangguk. “Saya sudah nggak punya alasan untuk tetap tinggal di sini, Pak.” Suaranya bergetar, meski ia berusaha terdengar tegar.Darto dan Giman, yang berdiri tak jauh darinya, saling bertukar pandang sebelum akhirnya Darto bicara, “Laras, kami ngerti, Nduk. Setelah kedua temanmu, Joni dan Rani …” Ia berhenti, tak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Nama kedua temannya itu kini hanya tinggal bayang-bayang di tempat terkutuk yang tak boleh lagi mereka datangi.“Dan sekarang Damar juga menghilang.” Suara Laras semakin kecil. Hatinya terasa berat. Damar adalah satu-satunya harapan yang tersisa, satu-satunya alasan untuk tetap bertahan. Tapi kini ia juga sudah pergi, entah hilang dalam

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 144. Memilih

    Damar berdiri kaku di depan rumah tua itu. Ucapannya masih menggantung di udara, sementara Joni dan Rani menunggu tanpa sedikit pun bersuara—atau mungkin, dengan harapan licik bahwa Damar akan menyerah. Angin malam berembus pelan, membawa bisikan dari sebuah tempat gelap yang tak terlihat. Rumah tua itu seakan bernapas, meresapi kebimbangan Damar untuk memilih. "Setiap kutukan butuh penebus." Kata-kata yang terucap dari mulut Joni terus bergema di kepalanya. Apakah benar-benae harus seperti itu? Jika ingin bebas, ia harus menyerahkan seseorang lainnya sebagai gantinya. Satu nama pun seketika melintas di benaknya—Laras. Damar memejamkan mata, mengingat bagaimana Laras menatapnya dengan penuh cinta, tetapi juga sarat ketakutan. Ia tak ingin melihatnya ketakutan lagi. Ia tak ingin Laras menjadi bagian dari kegelapan yang saat ini membelenggunya. Alih-alih menjadikan Laras sebagai penebus, Damar justru berkeinginan untuk kembali bersamanya. Keinginan itu begitu kuat hingga mampu mem

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 143. Perpisahan

    Darto menoleh cepat, matanya menajam ke arah Laras. “Apa maksudmu, Laras?”Laras menggigit bibir, suaranya bergetar saat berbicara. “Damar… dia ada di sini. Aku bisa merasakannya.”Mbah Rebo mengetukkan tongkat kayunya ke tanah tiga kali lagi. Suara ketukan itu menggema di udara, seolah memantul dari sesuatu yang tak terlihat. Angin semakin kencang, membuat dedaunan kering berputar-putar di sekitar mereka.“Jangan panik,” ujar Mbah Rebo tenang, meski matanya waspada. “Tetap dekat dan jangan sampai ada yang terpisah.”Tiba-tiba, dari balik pohon, terdengar suara gemerisik. Seperti seseorang yang berjalan di atas dedaunan kering.Giman menoleh cepat. “Siapa di sana?”Tak ada jawaban. Hanya suara langkah yang semakin mendekat.Laras menegang. Ia bisa merasakan hawa dingin menjalari tubuhnya. Perlahan, dari balik batang pohon yang besar, sesosok bayangan muncul.Damar.Pakaian yang dikenakannya sama seperti terakhir kali Laras melihatnya—kemeja putih yang kini lusuh dan sobek di beberapa

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 142. Mencari Petunjuk

    Pagi menjelang dengan lambat, membawa serta kabut tipis yang menggantung di udara desa. Darto menguap lebar, matanya sembab karena semalaman tak bisa tidur. Warso duduk bersandar di dinding, wajahnya masih menyisakan ketegangan semalam. Sementara itu, Laras tertidur di tikar dengan nafas berat, tubuhnya masih terasa lemah setelah apa yang terjadi.Mbah Rebo, yang sedari tadi duduk bersila sambil memegang tongkat kayunya, menghela napas panjang. “Kita tak bisa berdiam diri. Meski makhluk itu sudah pergi, aku yakin ia belum benar-benar menyerah.”Warso mengangguk pelan. “Jadi apa yang harus kita lakukan, Mbah?”Orang tua itu menatap ke luar jendela. “Aku harus mencari tahu siapa makhluk itu dan mengapa ia begitu menginginkan Laras. Ada sesuatu yang belum terungkap.”Darto menelan ludah. “Mbah … tadi malam, sebelum makhluk itu muncul, Laras sempat menyebut nama Damar. Apakah mungkin … Damar benar-benar ada hubungannya dengan ini?”Mbah Rebo terdiam sejenak. “Mungkin. Kita harus mencari t

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 141. Mengawasi dan Menunggu

    Warso mengusap wajahnya yang basah oleh keringat. Napasnya tersengal, sementara matanya terus mengawasi Laras yang kini terkulai di tikar.“Darto, kita nggak bisa nunggu lebih lama. Kita harus cari orang pintar buat nolongin Laras,” katanya dengan suara parau.Darto mengangguk, meski pikirannya masih dipenuhi pertanyaan. “Giman, kamu ikut aku. Kita cari Mbah Rebo.atau siapa pun yang bisa bantu.”Giman tampak ragu, tapi melihat kondisi Laras, ia akhirnya mengangguk. “B-baik. Tapi cepat ya, aku nggak mau kalau harus lama-lama menunggu di luar.”Darto dan Giman segera keluar, meninggalkan Warso yang berjaga di samping Laras. Malam semakin pekat, udara terasa berat. Warso merapatkan jaketnya, mencoba mengusir hawa dingin yang entah berasal dari cuaca atau sesuatu yang lain.Tiba-tiba, Laras menggeliat. Kelopak matanya terbuka perlahan. Namun, ketika Warso menatap wajahnya, jantungnya hampir berhenti berdetak.Mata Laras kini bukan hanya hitam, tetapi juga dipenuhi urat-urat merah yang men

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 140. Rasuk

    Darto, Warso, dan Giman semakin panik ketika mereka melihat Laras yang terus menatap bayangan Damar dengan mata berkaca-kaca. Angin bertiup semakin kencang, membawa aroma tanah basah dan anyir yang menusuk hidung. Tiba-tiba, Laras tersentak. Tubuhnya menegang, matanya membelalak. Seakan ada sesuatu yang saat ini tengah menghantam jiwanya. “Laras?!” Warso mengguncang bahunya dengan cukup keras. Namun, Laras sama sekali tidak memberikan reaksi. Ia malah tersenyum lebar—senyum yang bukan miliknya. Senyum itu terlalu lebar, terlalu dingin, terlalu menyeramkan. "Damar … aku akan ikut bersamamu ...." Suaranya terdengar jauh, bergema seperti bukan berasal dari dirinya sendiri. Tak lama kemudian, tubuhnya terhuyung ke belakang dan dalam sekejap, ia tertawa. Suara tawanya melengking tinggi, bergema di udara malam. Tawa yang tentu saja itu bukan milik Laras. Giman mundur dengan napas memburu. “To, Darto, bocah ini ... dia kesurupan!” Darto menggertakkan giginya. Ia pernah melihat kej

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 139. Menolak

    Damar menggertakkan giginya. "Tidak mungkin! Kita masih hidup! Kalian berdua yang sudah mati!" Rani mengangkat tangannya perlahan. Seketika, kabut pekat muncul dari tanah, mengelilingi mereka. Laras menjerit saat tubuhnya mulai terasa ringan, seakan ditarik oleh sesuatu yang tak terlihat. Damar berusaha meraihnya, tetapi tiba-tiba semuanya berubah. Mata Damar membelalak. Ia tidak lagi berada di hutan. Sekelilingnya kini adalah lorong rumah tua yang gelap, dindingnya dipenuhi coretan-coretan aneh. Bau anyir menyengat hidungnya. Laras berdiri di sampingnya, tubuhnya gemetar, matanya menatap lurus ke depan. Di ujung lorong, sesosok tubuh tergantung di langit-langit. Sosok itu berayun pelan, mengenakan baju yang sama seperti yang Damar kenakan. Jantung Damar seakan berhenti berdetak. Itu dirinya sendiri. "Laras... A-apa yang terjadi...?" Laras tidak menjawab. Dia hanya menoleh perlahan ke arah Damar, matanya berubah hitam legam, bibirnya menyeringai lebar. “Kamu sudah mati, Damar.

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status