Share

Berita Duka

Author: Agung
last update Huling Na-update: 2025-08-09 22:01:13

Mobil sudah memasuki area perumahan. Tak berselang lama tiba di jalan depan rumah Om Herman. Aku menatap lurus ke depan. Tak terlihat ada sesuatu yang aneh. Kemudian turun, untuk membuka pagar.

Setelah mobil masuk garasi, dengan cepat kututup pagar. Perasaan ini tidak enak saat melihat jalan. Seperti ada yang memperhatikan gerak-gerikku. Bulu kuduk ini meremang. Bergegas aku berlari menuju teras.

Om Herman turun dari mobil. "Ada apa, Lang?" tanyanya.

"Gak ada apa-apa, Om," balasku.

"Oh. Kirain habis liat sesuatu."

"Aman, Om."

Om Herman membuka pintu. Kami pun masuk ke dalam lalu kembali ke kamar masing-masing. Di dalam kamar aku masih kesulitan untuk tidur.

Mungkin ini efek kemarin tidur siang terlalu lama.

Kuambil ponsel, lalu menatap layar depannya cukup lama. Terlihat foto ibu, aku dan Kak Nasrul saat liburan di Bali, tahun lalu. Jemari ini bergerak, menekan aplikasi g****e. Ada yang ingin aku cari. Tentang kronologi kecelakaan maut itu. Soalnya, semenjak kabar duka itu datang, tidak pernah sekalipun melihat berita tentang kejadian itu. Namun sekarang, sepertinya aku sudah siap untuk mengetahuinya.

Ku masukan kata kunci di kolom pencarian - kecelakaan maut Gunung Ciremai. Deretan berita muncul di halaman pertama g****e. Mobil Yang Ditumpangi Rombongan Peziarah Jatuh Ke Jurang - judul salah satu tautan berita.

Aku mengeklik tautan itu. Sebuah foto mobil yang hancur langsung menyambutku. Seketika itu, dada ini sesak. Perih rasanya melihat mobil yang sudah tak berbentuk lagi. Aku membayangkan kepanikan para penumpang di dalamnya, termasuk ibu.

Mata ini mulai berembun. Bulir-bulir bening pun jatuh di sudut mata. Ku matikan layar ponsel. Ternyata masih belum siap membaca berita kecelakaan itu. Rasa sakitnya masih sama saat pertama kali mendapatkan kabar kalau ibu menjadi salah satu korban meninggal.

Pikiran ini memutar kembali hari yang paling menyakitkan di hidupku. Hari di mana kabar duka itu datang. Efek begadang, membuatku terbangun di siang hari. Suara berisik terdengar dari luar rumah. Aku mengintil dari jendela, ternyata sudah banyak orang berkumpul di depan rumah. Dengan mata masih mengantuk, aku berjalan ke luar.

Pak Ryan - tetangga samping rumah langsung berlari mendekat. Wajahnya terlihat begitu sedih. Tanpa aba-aba, ia memelukku sambil berkata, "Yang sabar ya, Lang."

Beberapa tetangga lain pun datang menghampiri. Seperti berusaha menguatkan. Namun tak ada satupun yang memberitahuku tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Aku ingat sekali kata pertama yang ke luar dari mulutku, "Kenapa pada nangis?" tanyaku, kebingungan.

Pak Ryan menjawab pertanyaanku dengan suara pelan, "Mobil yang ditumpangi rombongan pengajian kecelakaan, Lang."

Deg!

Rasa kantukku tiba-tiba menghilang begitu saja. "Ibu." Hanya kata itu yang bisa ke luar dari mulutku.

"Bu Anisa dan beberapa orang lain menjadi korban." Sebuah jawaban yang tentunya tidak aku harapkan ke luar dari mulutnya. Jawaban yang membuat hariku berubah kelam.

Aku menangis sejadi-jadinya. Rasanya belum siap ditinggal ibu. Tak sanggup, ketika bangun tidur tidak melihat wajah ibu lagi. Pak Ryan dan beberapa tetangga lain berusaha menenangkanku. Cukup lama hingga akhirnya aku bisa lebih tenang. Namun, itu tidak berlangsung lama. Tangisku kembali pecah saat menelepon Kak Nasrul.

Kak Nasrul pergi ke Cirebon untuk menjemput ibu. Sementara aku hanya berdiam diri di kamar ibu. Ada masih belum percaya yang terjadi pada hari itu. Ku dekap erat baju milik ibu. Tercium aroma wewangian yang biasa ia pakai.

Sebuah ketukan terdengar di pintu. Om Herman masuk ke dalam kamar. Ia memelukku sambil mengucapkan pesan yang menguatkanku. Namun,bukannya kuat, tangisku kembali pecah. Entah sudah berapa banyak air mata yang jatuh pada hari itu.

Menjelang magrib, mobil ambulan datang. Dengan langkah gontai, aku berjalan ke depan rumah. Om Herman terus mendampingiku sampai di depan ambulan.

Kak Nasrul turun dari ambulan dan langsung memelukku. Kami pun menangis. Tak menyangka ditinggal ibu secepat ini. Kak Nasrul mengajakku ke belakang ambulan. Kemudian sang supir membuka pintu itu. Terlihat sebuah peti jenazah berwarna putih.

Jenazah ibu yang sudah terbungkus rapi dikeluarkan dari peti. Aku, Kak Nasrul dan Om Herman membawa jenazah ibu ke dalam rumah. Kemudian dibaringkan di ruang tengah.

Aku menangis sambil memeluk jenazah ibu. Saat akan membuka bagian wajahnya. Kak Nasrul malah melarang. Ia bilang sebaiknya kain kafannya tidak dibuka, karena kondisi jenazah ibu kurang baik.

Aku pun terduduk lemas. Pasrah, tak bisa melihat wajah ibu untuk terakhir kalinya. Tak bisa mengecup keningnya, sebagai salam perpisahan. Sementara wajah yang terakhir kuingat adalah saat ia mengomeliku tadi pagi.

Setelah semua keluarga besar datang, jenazah ibu langsung dibawa ke pemakaman. Sebuah perjalanan yang begitu berat bagiku. Mengantarkan ibu ke tempat peristirahatan terakhirnya.

Pemakaman terlihat cukup ramai, karena bukan ibu saja yang dimakamkan pada malam itu. Antrian mobil mengular hingga puluhan meter. Di gerbang pemakaman sudah ada beberapa stasiun televisi yang melakukan siaran langsung.

Aku hanya bisa berjalan menunduk, masuk ke pemakaman. Prosesi penguburan jenazah berlangsung begitu tenang. Aku dan Kak Nasrul turun ke liang lahat. Lantunan suara azan mengiringi kepergian ibu. Aku menangis sembari memeluk Kak Nasrul saat tanah mulai menutupi jenazah ibu.

Malam itu, aku memilih tidur di kamar ibu. Berharap semuanya hanya mimpi buruk. Berharap saat bangun tidur, ibu sudah ada di hadapan dengan senyuman yang manis. Sayangnya itu tidak pernah terjadi.

Tuk! Tuk!

Lamunanku terhenti saat mendengar suara ketukan di jendela. Aku melirik ke sana. Terlihat gordin yang bergerak sedikit.

Tuk! Tuk!

Kini dari ekor mata, terlihat ada bayangan seseorang sedang berdiri di balkon. "Lang." Jelas sekali itu suara ibu. "Tolong, ibu."

Aku menutup mata sebentar, sembari mengumpulkan keberanian. Sosok yang tadi aku bayangkan kini hadir. Kubuka mata, lalu menatap bayangan itu. "Bu, pergilah dengan tenang. Tempat ibu bukan di sini. Ibu jangan khawatirin Gilang. Gilang janji bakal belajar hidup mandiri. Gilang juga janji untuk belajar ikhlas, Bu. Gilang gak akan lupa doain ibu. Sekarang ibu pergi ya. Jangan ganggu Gilang lagi."

"Tolong ibu, Lang. Badan ibu sakit semua." Seketika itu gordin bergerak seperti tertiup angin kencang.

Srek!

Gordin terbuka sebagian. Kini aku bisa melihat ibu sedang berdiri mengenakan seragam pengajian yang berlumuran darah. Wajahnya pun sudah penuh dengan darah. Aku menutup mata, sambil merapal doa.

Saat mata ini terbuka, ibu sudah tidak ada.

BERSAMBUNG

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • 7 Hari Setelah Ibu Pergi    Anjing Hitam

    Aku bangkit lalu berlari ke arah jendela untuk menutup gordin. Tak mau kalau tiba-tiba ada sosok lain yang muncul. Kuambil ponsel, ternyata baru pukul tiga pagi.Aku berbaring sambil menghadap kiri membelakangi jendela. Kemudian memutar video murotal Al Qur'an di youtube, sambil menunggu waktu subuh tiba.Satu jam berlalu, azan subuh berkumandang. Bergegas aku bangkit dan berjalan ke kamar mandi, untuk mengambil wudu.Setelah salat subuh, aku turun ke bawah untuk mengambil minum. Tak sengaja berpapasan dengan Om Herman. "Kirain udah tidur, Lang," ucapnya."Belum, Om. Ini baru mau tidur," balasku. "Om belum tidur juga?" imbuhku, sambil menuangkan air ke dalam gelas."Tadi sempet tidur sebentar terus kebangun," balasnya."Om mimpi ibu kamu datang ke sini, Lang," sambungnya, membuat tenggorokanku sedikit tercekat."Mimpinya gimana, Om?" tanyaku."Om cuman liat ibu kamu berdiri di deket jendela.""Ibu gak bilang sesuatu, Om?""Enggak.""Aku bingung, kenapa ya ibu jadi begitu.""Makanya bi

  • 7 Hari Setelah Ibu Pergi    Berita Duka

    Mobil sudah memasuki area perumahan. Tak berselang lama tiba di jalan depan rumah Om Herman. Aku menatap lurus ke depan. Tak terlihat ada sesuatu yang aneh. Kemudian turun, untuk membuka pagar.Setelah mobil masuk garasi, dengan cepat kututup pagar. Perasaan ini tidak enak saat melihat jalan. Seperti ada yang memperhatikan gerak-gerikku. Bulu kuduk ini meremang. Bergegas aku berlari menuju teras.Om Herman turun dari mobil. "Ada apa, Lang?" tanyanya."Gak ada apa-apa, Om," balasku."Oh. Kirain habis liat sesuatu.""Aman, Om."Om Herman membuka pintu. Kami pun masuk ke dalam lalu kembali ke kamar masing-masing. Di dalam kamar aku masih kesulitan untuk tidur.Mungkin ini efek kemarin tidur siang terlalu lama.Kuambil ponsel, lalu menatap layar depannya cukup lama. Terlihat foto ibu, aku dan Kak Nasrul saat liburan di Bali, tahun lalu. Jemari ini bergerak, menekan aplikasi google. Ada yang ingin aku cari. Tentang kronologi kecelakaan maut itu. Soalnya, semenjak kabar duka itu datang, tid

  • 7 Hari Setelah Ibu Pergi    Mereka Mengikutiku

    Om Herman memintaku duduk di sofa, kemudian ia pergi ke dapur. Sementara itu, Aurora terus menatapku dengan mata tajam. "Ada apa?" tanyaku."Mereka terus meminta tolong ya, Kak?" tanyanya."Siapa?""Itu ... orang-orang berwajah menakutkan yang ikut sama kakak."Aku mengerti maksudnya. "Dari mana kamu tau?""Salah satunya datang duluan ke rumah in, Kak.""Tidur, sayang. Udah malem." Om Herman datang sambil membawa segelas teh hangat."Iya, Papah!" Aurora bangkit dan berlari ke kamarnya.Om Herman duduk di dekatku."Tumben banget, Lang. Datang ke Bogor tengah malem terus naek motor. Mana kehujanan juga.""Iya, Om. Lagi pengen aja main ke sini," balasku."Kan bisa besok pagi atau siang. Kenapa harus malem-malem?""Lebih enak malem, Om. Sepi plus dingin.""Yang jujur, Lang. Om tau pasti ada sesuatu."Aku menghela napas. "Sebenernya, emang ada sesuatu, Om. Apa Om percaya sama setan gentayangan?""Percaya.""Om pernah liat?""Pernah beberapa kali.""Nah, semenjak kejadian kecelakaan maut it

  • 7 Hari Setelah Ibu Pergi    Menembus Hujan

    Hujan belum juga reda. Sementara aku dan Cecep masih bertahan di dalam pos satpam. Dari tadi, ia terus memaksaku menonton youtube cerita horor. Semuanya bertemakan pesugihan. Sehingga aku mulai sedikit mengerti tentang hal itu."Emang bisa numbalin orang lain, Cep?" tanyaku."Bisa banget, Lang," balasnya."Enak banget dong! Kaya tanpa ngorbanin keluarga sendiri.""Iya. Tapi ... kasian keturunannya nanti.""Kok kasian? Kan enak dapet warisan banyak.""Namanya harta instan, Lang. Bisa ilang secara instan juga. Di kampung gua dulu ada yang ngelakuin begituan, terus hidup anak cucunya kaya ketiban sial terus, mana miskin pula.Tapi ada juga yang malah ngelanjutin kelakukan bapaknya. Biar tetep kaya.""Berarti masuk ke lubang yang sama.""Iya.""Lu tau gak bentuk Jin Pesugihan itu kaya gimana?""Ada yang bentuknya Kuntilanak, Tuyul, Genderuwo, Pocong dan Siluman.""Oh, kalau yang bentuknya kaya anjing itu apa ya?" Aku penasaran dengan sosok yang ada di dalam mimpi tadi sore."Ya itu Siluma

  • 7 Hari Setelah Ibu Pergi    Desas- Desus

    Sudah satu jam aku berdiam diri di masjid komplek. Masih belum menentukan tujuan. Kucoba mengirim pesan ke Ega, tapi belum ada balasan.Ting!Panjang umur, akhirnya Ega membalas pesanku.[Gua gak ada di rumah, Lang][Balik kapan][Besok]Aku tak begitu saja percaya dengan ucapannya. Kucoba meneleponnya."Apaan, Lang?" ucapnya saat telepon diangkat."Lu beneran gak ada di rumah?""Iye. Ini gua lagi di rumah saudara.""Oh ya udah deh.""Gara-gara kejadian di rumah lu kemaren. Gua jadi takut sendirian di rumah." Aku mencari alasan."Oh. Besok aja Lang kalau mau nginep.""Oke, sip!"Kututup telepon. Terdengar suara gemuruh di langit. Sepertinya aku tidak bisa berlama-lama di masjid. Lagian, masjid pun sudah terlihat sepi. Hanya ada beberapa jamaah saja yang menunggu waktu isya.Aku mengendarai motor menuju kedai kopi. Saat melewati Blok A, dari kejauhan terlihat ada orang sedang berjalan dengan kaki picang. Seketika itu teringat omongan Cecep. Kupercepat laju motor, berniat melewatinya. I

  • 7 Hari Setelah Ibu Pergi    Dejavu

    Kuseka air mata, lalu meraih ponsel yang sedang diisi dayanya. Waktu menunjukan pukul satu siang. Bergegas aku bangkit lalu membuka jendela. Di luar terlihat sepi, suara anak-anak komplek yang biasanya bermain pun tidak terdengar.Aku berjalan ke luar kamar. Rasa takut ini kembali muncul saat melihat ke arah dapur. Namun, kandungan kemih yang sudah terisi penuh ini memaksaku untuk berjalan ke sana.Lampu dapur begitu terang, tapi entah kenapa membuat bulu kuduk ini meremang. Kulihat wajan dan panci stainless sudah tergeletak di lantai. Kurapikan semuanya mengembalikan ke tempat semula. Aku mulai ragu kalau yang datang semalam itu adalah ibu. Soalnya, ia tidak mungkin membanting alat dapur kesayangannya.Sebelum melangkah ke kamar mandi, aku meminum segelas air dingin. Membahasi kerongkongan yang terasa kering. Kemudian buang air kecil dan lanjut mengambil wudu.Aku pun kembali ke kamar, langsung menyalakan pendingin ruangan. Soalnya jam segini, Jakarta sedang panas-panasnya. Kemudian,

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status