로그인Mobil sudah memasuki area perumahan. Tak berselang lama tiba di jalan depan rumah Om Herman. Aku menatap lurus ke depan. Tak terlihat ada sesuatu yang aneh. Kemudian turun, untuk membuka pagar.
Setelah mobil masuk garasi, dengan cepat kututup pagar. Perasaan ini tidak enak saat melihat jalan. Seperti ada yang memperhatikan gerak-gerikku. Bulu kuduk ini meremang. Bergegas aku berlari menuju teras. Om Herman turun dari mobil. "Ada apa, Lang?" tanyanya. "Gak ada apa-apa, Om," balasku. "Oh. Kirain habis liat sesuatu." "Aman, Om." Om Herman membuka pintu. Kami pun masuk ke dalam lalu kembali ke kamar masing-masing. Di dalam kamar aku masih kesulitan untuk tidur. Mungkin ini efek kemarin tidur siang terlalu lama. Kuambil ponsel, lalu menatap layar depannya cukup lama. Terlihat foto ibu, aku dan Kak Nasrul saat liburan di Bali, tahun lalu. Jemari ini bergerak, menekan aplikasi g****e. Ada yang ingin aku cari. Tentang kronologi kecelakaan maut itu. Soalnya, semenjak kabar duka itu datang, tidak pernah sekalipun melihat berita tentang kejadian itu. Namun sekarang, sepertinya aku sudah siap untuk mengetahuinya. Ku masukan kata kunci di kolom pencarian - kecelakaan maut Gunung Ciremai. Deretan berita muncul di halaman pertama g****e. Mobil Yang Ditumpangi Rombongan Peziarah Jatuh Ke Jurang - judul salah satu tautan berita. Aku mengeklik tautan itu. Sebuah foto mobil yang hancur langsung menyambutku. Seketika itu, dada ini sesak. Perih rasanya melihat mobil yang sudah tak berbentuk lagi. Aku membayangkan kepanikan para penumpang di dalamnya, termasuk ibu. Mata ini mulai berembun. Bulir-bulir bening pun jatuh di sudut mata. Ku matikan layar ponsel. Ternyata masih belum siap membaca berita kecelakaan itu. Rasa sakitnya masih sama saat pertama kali mendapatkan kabar kalau ibu menjadi salah satu korban meninggal. Pikiran ini memutar kembali hari yang paling menyakitkan di hidupku. Hari di mana kabar duka itu datang. Efek begadang, membuatku terbangun di siang hari. Suara berisik terdengar dari luar rumah. Aku mengintil dari jendela, ternyata sudah banyak orang berkumpul di depan rumah. Dengan mata masih mengantuk, aku berjalan ke luar. Pak Ryan - tetangga samping rumah langsung berlari mendekat. Wajahnya terlihat begitu sedih. Tanpa aba-aba, ia memelukku sambil berkata, "Yang sabar ya, Lang." Beberapa tetangga lain pun datang menghampiri. Seperti berusaha menguatkan. Namun tak ada satupun yang memberitahuku tentang apa yang sebenarnya terjadi. Aku ingat sekali kata pertama yang ke luar dari mulutku, "Kenapa pada nangis?" tanyaku, kebingungan. Pak Ryan menjawab pertanyaanku dengan suara pelan, "Mobil yang ditumpangi rombongan pengajian kecelakaan, Lang." Deg! Rasa kantukku tiba-tiba menghilang begitu saja. "Ibu." Hanya kata itu yang bisa ke luar dari mulutku. "Bu Anisa dan beberapa orang lain menjadi korban." Sebuah jawaban yang tentunya tidak aku harapkan ke luar dari mulutnya. Jawaban yang membuat hariku berubah kelam. Aku menangis sejadi-jadinya. Rasanya belum siap ditinggal ibu. Tak sanggup, ketika bangun tidur tidak melihat wajah ibu lagi. Pak Ryan dan beberapa tetangga lain berusaha menenangkanku. Cukup lama hingga akhirnya aku bisa lebih tenang. Namun, itu tidak berlangsung lama. Tangisku kembali pecah saat menelepon Kak Nasrul. Kak Nasrul pergi ke Cirebon untuk menjemput ibu. Sementara aku hanya berdiam diri di kamar ibu. Ada masih belum percaya yang terjadi pada hari itu. Ku dekap erat baju milik ibu. Tercium aroma wewangian yang biasa ia pakai. Sebuah ketukan terdengar di pintu. Om Herman masuk ke dalam kamar. Ia memelukku sambil mengucapkan pesan yang menguatkanku. Namun,bukannya kuat, tangisku kembali pecah. Entah sudah berapa banyak air mata yang jatuh pada hari itu. Menjelang magrib, mobil ambulan datang. Dengan langkah gontai, aku berjalan ke depan rumah. Om Herman terus mendampingiku sampai di depan ambulan. Kak Nasrul turun dari ambulan dan langsung memelukku. Kami pun menangis. Tak menyangka ditinggal ibu secepat ini. Kak Nasrul mengajakku ke belakang ambulan. Kemudian sang supir membuka pintu itu. Terlihat sebuah peti jenazah berwarna putih. Jenazah ibu yang sudah terbungkus rapi dikeluarkan dari peti. Aku, Kak Nasrul dan Om Herman membawa jenazah ibu ke dalam rumah. Kemudian dibaringkan di ruang tengah. Aku menangis sambil memeluk jenazah ibu. Saat akan membuka bagian wajahnya. Kak Nasrul malah melarang. Ia bilang sebaiknya kain kafannya tidak dibuka, karena kondisi jenazah ibu kurang baik. Aku pun terduduk lemas. Pasrah, tak bisa melihat wajah ibu untuk terakhir kalinya. Tak bisa mengecup keningnya, sebagai salam perpisahan. Sementara wajah yang terakhir kuingat adalah saat ia mengomeliku tadi pagi. Setelah semua keluarga besar datang, jenazah ibu langsung dibawa ke pemakaman. Sebuah perjalanan yang begitu berat bagiku. Mengantarkan ibu ke tempat peristirahatan terakhirnya. Pemakaman terlihat cukup ramai, karena bukan ibu saja yang dimakamkan pada malam itu. Antrian mobil mengular hingga puluhan meter. Di gerbang pemakaman sudah ada beberapa stasiun televisi yang melakukan siaran langsung. Aku hanya bisa berjalan menunduk, masuk ke pemakaman. Prosesi penguburan jenazah berlangsung begitu tenang. Aku dan Kak Nasrul turun ke liang lahat. Lantunan suara azan mengiringi kepergian ibu. Aku menangis sembari memeluk Kak Nasrul saat tanah mulai menutupi jenazah ibu. Malam itu, aku memilih tidur di kamar ibu. Berharap semuanya hanya mimpi buruk. Berharap saat bangun tidur, ibu sudah ada di hadapan dengan senyuman yang manis. Sayangnya itu tidak pernah terjadi. Tuk! Tuk! Lamunanku terhenti saat mendengar suara ketukan di jendela. Aku melirik ke sana. Terlihat gordin yang bergerak sedikit. Tuk! Tuk! Kini dari ekor mata, terlihat ada bayangan seseorang sedang berdiri di balkon. "Lang." Jelas sekali itu suara ibu. "Tolong, ibu." Aku menutup mata sebentar, sembari mengumpulkan keberanian. Sosok yang tadi aku bayangkan kini hadir. Kubuka mata, lalu menatap bayangan itu. "Bu, pergilah dengan tenang. Tempat ibu bukan di sini. Ibu jangan khawatirin Gilang. Gilang janji bakal belajar hidup mandiri. Gilang juga janji untuk belajar ikhlas, Bu. Gilang gak akan lupa doain ibu. Sekarang ibu pergi ya. Jangan ganggu Gilang lagi." "Tolong ibu, Lang. Badan ibu sakit semua." Seketika itu gordin bergerak seperti tertiup angin kencang. Srek! Gordin terbuka sebagian. Kini aku bisa melihat ibu sedang berdiri mengenakan seragam pengajian yang berlumuran darah. Wajahnya pun sudah penuh dengan darah. Aku menutup mata, sambil merapal doa. Saat mata ini terbuka, ibu sudah tidak ada. BERSAMBUNGAyah berlari ke arah jendela, "HAMID!" panggilnya. Rasanya tak mungkin jika Hamid melompat ke bawah. "HAMID!" Kami pun berlari ke bawah. "Ada apa, Yah?" tanya Ibu yang baru saja ke luar kamar. "Hamid gak ada, Bu!" sahut Ayah. "Nggak ada gimana?" "Nggak ada di kamarnya!" "Mungkin lagi di kamar mandi." "Nggak ada, Bu!" sahutku. "Tadi kamarnya dikunci, pas Ayah dobrak, Hamid gak ada di dalem. Cuman jendela kamarnya kebuka," imbuhku. "Ya Allah, Hamid ...." Ayah berlari ke pintu depan, lalu ke luar rumah. Sementara aku dan ibu mencari keberadaan Hamid di dalam rumah. Kami mencari hampir di setiap sudut rumah, tapi Hamid belum juga ketemu. "Apa mungkin di dalem gudang?" ucapku. "Nggak mungkin. Gundangnya kan dikunci," balas Ayah. "Terus Hamid ke mana? Malem-malem gini." Suara ibu bergetar menahan tangis. "Coba dicek lagi di atas," usul Ayah. Kami pun naik ke lantai dua. Pertama mencari di dalam kamarku. Nihil. Kemudian di kamar Hamid. "Hamid!" teriakku saat men
Aku berlari ke bawah, sambil memegangi perut yang terasa sakit. Darah terus menetes, membasahi lantai dan anak tangga. "Ayah!" teriakku dengan nada panik, saat melihat Ayah sedang duduk di ruang tengah. "Ada apa, Syad?" tanyanya bingung, saatku menghampirinya. Tangisku pecah. "Ada apa, Syad?" tanyanya lagi seraya bangkit dari kursi. "Hamid," balasku, terisak. "Hamid kenapa?" "Hamid nusuk perut aku." Ku tunjukan pensil yang masih menancap di perut. "Nusuk gimana? Orang perut kamu gak kenapa-napa gitu?" Aku melihat ke perut. Tak ada sedikit pun noda darah di pakaian. Kemudian mengangkat pensil yang daritadi kupegang. Ternyata pensilnya pun tidak menancap di perut. "Tadi perut aku berdarah, kok sekarang ...." Sungguh aku sangat bingung. "Mungkin kamu cuman mimpi, tapi kebawa sampai dunia nyata. Makanya sebelum tidur baca doa dulu." "Aku udah baca doa, Ayah. Tadi beneran sakit banget perutnya, sama ke luar darah." "Kenyataannya? Perut kamu gak kenapa-napa, kan?" Sepert
"Ini rumahnya, Yah?" tanyaku. "Iya," balas Ayah. Aku berdiri di depan sebuah rumah berlantai dua. Dari bentuk dan jendelanya, mirip sekali dengan rumah Belanda. Ayah bilang, kalau rumah ini sudah tiga tahun tak ditempati. Terlihat jelas sekali dari cat putihnya yang kusam dan kehitaman. Rumput di halaman depannya pun lumayan tinggi. Cukup untuk menenggelamkan adikku -Hamid. Bagian terseramnya adalah ada satu pohon mangga dan pohon beringin di depan rumah. Hiii ~ melihatnya saja aku sudah merinding. Ngik! Ayah membuka pagar besi yang sudah berkarat, suara decitannya bahkan terdengar ngilu di telingaku. "Ayo, masuk." Kami berjalan melewati rerumputan yang tinggi. "Hamid, jangan jauh-jauh dari kakak. Nanti ilang," candaku disertai tawa. "Bu, kakak ngeledek!" sahutnya. "Arsyad, jangan dibecandain terus adiknya," tegur Ibu. "Iya, Bu." "Awas licin!" ucap Ayah saat menginjakan kaki di lantai teras yang agak berlumut. "Wah, bisa kerja bakti sampe malem ini," celetukku.
Aku berdiri di depan gerbang perumahan. Suasana begitu sepi. Di pos satpam pun tak ada siapa-siapa.Aku melangkah masuk ke area perumahan.Duk! Duk!Terdengar suara langkah, aku menoleh ke kanan. Ada Pak Ayman sedang berlari ke arahku. Namun seperti wujudnya seperti manusia biasa, tidak semenyeramkan dulu."Lang," panggilnya, sembari melambaikan tangan.Aku terdiam, bingung harus merespon apa. Dengan canggung, membalas lambaian tangannya. Kemudian, berlalu menuju rumah.Suara langkah kaki terdengar mendekat. Puk! Seseorang menepuk pundakku. HUA! Aku berteriak saat melihat Pak Ayman sudah ada di samping."Kenapa teriak?" tanyanya."Kaget, Pak.""Bapak cuman mau ucapin terimakasih.""Terimakasih kenapa, Pak?""Kamu udah bebasin bapak."Aku mengerutkan dahi. Apa maksudnya dibebaskan dari jerat Siluman Anjing?"Sama-sama, Pak," balasku, tak mau mengobrol terlalu lama dengannya agak trauma.Sayup terdengar suara musik senam dari arah lapangan. Dari kejauhan terlihat ada empat orang sedang
Pak Ryan tersenyum, "Halo Gilang. Jangan kaget gitu dong," ucapnya tanpa sedikitpun rasa bersalah.Rasa bersalah telah bersekongkol dengan Haji Rofi atas kecelakaan itu. Rasa bersalah karena telah membu-nuh Samson. Ya! Pasti itu ulahnya juga."Kok diem aja?" ucap Magdalena. Aku melirik wanita muda berambut panjang itu. Mungkin usianya tak begitu jauh dariku."Kenapa bapak ngelakuin ini semua. Padahal ibu udah baik banget sama bapak. Samson juga gak bersalah," ucapku."Ibu kamu memang baik, tapi salah karena udah ngelahirin kamu. Kalau kucing itu cukup mengganggu.""Apa yang salah dari saya?""Lena, kamu saja yang jelaskan, saya mau menghabisi yang lain dulu." Pak Ryan mengambil belati dari kantung jubahnya. "Kamu tau kenapa saya memakai warna merah?""Saya gak peduli!" sahutku."Hahahahah, merah adalah darah. Saya lah yang biasa ditugaskan sebagai eksekutor." Pak Ryan memutar-mutar belatinya. "Hmm, siapa dulu ya? Gimana kalau Nasrul?" Ia menatap tubuh Kak Nasrul."Bu-nuh saya aja, Pak
Angin berhembus kencang, menggerakan pepohonan di sekitar.Daun-daun kering yang berjatuhan berputar-putar di udara, membentuk pusaran. Sontak kami melangkah mundur, mendekati mobil.Srek! Srek!Terdengar suara langkah kaki dari dalam hutan yang gelap. Langkah yang menyerupai gerombolan hewan.Habib Husein meminta kami berkumpul di satu titik, kemudian membentuk lingkaran. Berjaga-jaga bila ada serangan dari arah tertentu.Habib Husein meminta kami menyalakan flashlight ponsel. Karena suasana begitu gelap, bulan masih bersembunyi di balik awan. Namun, penerangan ponsel saja tidak cukup. Jarak pandang kami terlalu pendek."Bib, kalau pake lampu mobil aja gimana?" usul salah satu santri."Boleh."Ia berlari ke mobil, disusul Kak Hazim dan Om Herman.Bruk!Santri itu tiba-tiba terjatuh ke tanah. Om Herman dan Kak Hazim langsung menolongnya. Baru saja bangkit, ia sudah terjatuh kembali. Malahan kali ini lebih parah. Seperti ada yang menarik kakinya.Ustad Azzam yang melihat kejadian itu t







