Setelah tujuh hari kematian ibu, suasana rumah berubah mencekam. Suara rintihan kerap kali terdengar dari kamarnya. Aku pun melihat, ibu sedang membenturkan kepalanya ke jalan. Ada apa dengan kematian ibu?
View More"Ibu, meninggal itu apa?" tanyaku sembari berbaring di pangkuannya.
"Pergi ke rumah Allah dan gak kembali lagi ke rumah ini." Ibu mengusap rambutku. "Kalau begitu, aku gak mau meninggal, Bu." "Semua orang pasti meninggal, Sayang." "Nanti aku gak ketemu ibu lagi dong!" Aku bangkit lalu menatap wajahnya. "Insya Allah nanti kita dipertemukan lagi di surga." Ibu mengecup keningku. Percakapan masa kecil itu masih teringat jelas di pikiran ini. Kukira setelah belasan tahun berlalu, aku sudah siap menghadapi kepergiannya. Nyatanya, baru seminggu saja rasanya sudah sangat berat. Tok! Tok! Kriet! "Lang." Kak Nasrul memanggilku seraya berdiri di dekat pintu. Aku menoleh. Pakaiannya sudah begitu rapi. "Kakak mau ke mana?" "Pulang." "Loh? Kok cepet amat." "Kakak cuman ambil cuti seminggu, Lang. Besok harus masuk kerja." "Aku sendirian dong di rumah." "Kamu jagain rumah ya." Aku bangkit dan menghampirinya, "Kakak gak ada niatan untuk tinggal di sini gitu? Kan ada dua kamar kosong." "Waduh, kamu tau sendiri kantor kakak di Bandung. Masa harus bolak-balik Jakarta-Bandung tiap hari." "Cari kerjaan di Jakarta gitu, Kak. Biar bisa tinggal di sini." Kak Nasrul mengerutkan dahi, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Sebentar lagi kan kamu masuk kuliah. Coba ajak temen kamu tinggal di sini aja." "Masih lama, Kak!" "Bulan depan, kan?" "Iya. Itu kan masih lama." "Sebentar itu, Lang." Kak Nasrul berjalan ke luar, spontan aku mengikutinya. Ada ojek online yang sudah menunggu di luar pagar. "Loh, kakak gak pake mobil?" tanyaku. "Kamu pake aja," balasnya. "Aku gak punya SIM." "Udah 17 tahun, kan?" "Udah." "Tinggal bikin. Apa susahnya?" "Kakak bawa aja mobil ibu ke Bandung." Aku agak memaksa, daripada mobil itu hanya terparkir di garasi. "Kamu bisa nyetir?" "Bisa " "Yaudah, kamu pake aja mobilnya. Buat kuliah nanti." "Kan ada motor, Kak!" "Sekali-kali pake mobil kan bisa, Lang." Kak Nasrul berjalan ke luar pagar, aku pun mengikutinya. Ia berdiri menghadapku, kemudian menepuk pundakku. "Kamu jaga rumah baik-baik. Nanti kalau lagi libur dan gak ada kerjaan kakak bakal pulang, nemenin kamu." "Iya, Kak." "Kalau ada apa-apa atau butuh uang, kabarin kakak ya." "Oke!" "Kakak pulang dulu ya, Lang." pamitnya sembari naik ke atas motor. "Assalamualaikum." "Walaikumsalam." Motor pun melaju. "Kabarin aku kalau udah sampe, Kak!" "Oke!" sahutnya. Sementara itu, aku masih berdiri di luar pagar sambil menatap motor yang perlahan menjauh. Sebelum masuk rumah, aku sempat melihat ke ujung jalan. Ada beberapa orang sedang sibuk membongkar tenda di depan rumah Bu Salmah. Salah satu teman pengajian ibu yang menjadi korban kecelakaan maut itu. Aku melangkah ke dalam rumah, menatap tanaman keladi koleksi ibu. Beberapa sudah terlihat layu dan menguning. Baru seminggu saja, aku sudah kerepotan mengurus tanaman koleksi ibu. Padahal selama ini ibu bisa mengurus semuanya dengan baik. Meski ia sangat sibuk. Bergegas aku mengambil semprotan air, lalu menyiram tanaman-tanaman itu. Senyum ini mengembang saat melihat tanaman keladi putih. Ingat sekali bagaimana proses mendapatkannya. Berawal dari kabar tentang harga Keladi Putih yang melonjak tinggi. Ibu sangat bersemangat untuk mendapatkannya. Tiba-tiba ia mendapatkan kabar kalau ada menemukan tanaman itu di hutan daerah Bogor. Bergegas ibu pergi ke sana, tidak lupa mengajakku juga. Sesampainya di sana, ia langsung memintaku menyusuri hutan itu. Berjalan menembus semak-semak. Aku berhasil menemukannya setelah beberapa jam pencarian. Sayangnya, setelah dibawa ke rumah, tanaman ini tidak pernah beranjak dari halaman depan. Pandangan ini tiba-tiba berembun. Tak lama ada air mengalir di pipi. Argh! Padahal aku bermaksud menyiram tanaman. Kenapa pipi ini malah ikutan basah. Aku duduk di teras, menatap langit senja. Terbayang kenangan bersama ibu. Menjelang magrib begini, biasanya kami duduk di ruang tengah sembari menonton televisi. Lalu mendiskusikan menu makan malam. Sebelum tidur, kami juga biasa menonton televisi. Ibu suka sekali menonton acara komedi. Bahkan, sampai detik ini, aku masih belum bisa melupakan suara tawanya yang begitu khas. Air mata ini kembali jatuh tak tertahankan. Dasar cengeng! Benar kata orang, patah hati terbesar anak laki-laki ketika kehilangan cinta pertamanya yaitu ibu. Entahlah! Apa aku sanggup melanjutkan hidup ini tanpa kehadirannya. Perlahan, senja pun menghilang. Tak berselang lama, adzan magrib berkumandang. Aku bangkit dan masuk ke dalam rumah. Tak lupa menutup pintu. Kemudian berjalan menuju kamar, mengambil handuk dan pakaian. "Son," ucapku saat melihat kucing kesayangan ibu -Samson sedang berdiri mematung sembari menatap ke arah dapur yang gelap. "Son." Aku mendepaknya pelan. Samsom terperanjat lalu berlari ke ruang tengah. Tek! Kunyalakan lampu dapur, lalu berbelok ke kamar mandi. BRANG! Sontak aku membalikan badan,menghadap pintu. Kubuka pintu, melihat panci kecil sudah tergeletak di lantai dapur. Kuedarkan pandangan, mencari keberadaan Samson. Nihil. Kucing itu tidak terlihat di dapur. Aku kembali menutup pintu, melanjutkan mandi. Tok! Tok! Kumatikan keran air, lalu menoleh ke pintu. Jelas sekali tadi ada yang mengetuk. "Lang," panggil Seseorang dari luar. Suaranya sama persis dengan ibu. Aku mundur perlahan, menjauhi pintu. "Lang, tolong bersihkan badan ibu. Banyak darah." Deg! Jantung ini berdebar kencang. Badan pun terasa lemas dan gemetar. Sementara pikiran ini masih mencerna suara di luar. Apa benar itu suara Ibu? BERSAMBUNGAngin berhembus kencang, menggerakan pepohonan di sekitar.Daun-daun kering yang berjatuhan berputar-putar di udara, membentuk pusaran. Sontak kami melangkah mundur, mendekati mobil.Srek! Srek!Terdengar suara langkah kaki dari dalam hutan yang gelap. Langkah yang menyerupai gerombolan hewan.Habib Husein meminta kami berkumpul di satu titik, kemudian membentuk lingkaran. Berjaga-jaga bila ada serangan dari arah tertentu.Habib Husein meminta kami menyalakan flashlight ponsel. Karena suasana begitu gelap, bulan masih bersembunyi di balik awan. Namun, penerangan ponsel saja tidak cukup. Jarak pandang kami terlalu pendek."Bib, kalau pake lampu mobil aja gimana?" usul salah satu santri."Boleh."Ia berlari ke mobil, disusul Kak Hazim dan Om Herman.Bruk!Santri itu tiba-tiba terjatuh ke tanah. Om Herman dan Kak Hazim langsung menolongnya. Baru saja bangkit, ia sudah terjatuh kembali. Malahan kali ini lebih parah. Seperti ada yang menarik kakinya.Ustad Azzam yang melihat kejadian itu t
Siluman Anjing menyeret tubuhku hingga ke pinggir jalan, yang merupakan area seperti hutan. Aku berusaha melepaskan lilitan rantai di kaki, tapi tak bisa. Lilitannya begitu kuat. Sementara punggung ini terasa perih karena bergesekan dengan aspal.Sampai di pinggir jalan, terlihat banyak orang dengan wajah pucat dan penuh luka. Mereka berdiri seakan menyambut kedatanganku. Siluman Anjing itu terus menyeret tubuh ini ke dalam hutan. Di sana, semakin banyak orang berkumpul.Ada sebuah portal berwarna hitam."Sekarang kamu akan berkumpul bersama keluargamu!" ucap Siluman Anjing itu sebelum menarikku ke dalam portal.ARGH!Aku berteriak. Karena tubuh ini seperti berputar-putar di ruangan gelap. Tak lama kemudian, kami sudah ada di dasar jurang. Kali ini pemandangannya lebih menakutkan. Banyak potongan organ tubuh berserakan di tanah. Yang membuatnya lebih menakutkan adalah ... potongan organ itu masih bergerak-gerak.Lilitan rantai di kaki terlepas. Sontak aku bangkit dan berniat untuk mel
Kak Nasrul memintaku diam sebentar, karena ia ingin menceritakan semuanya. Peristiwa masa kecil yang sama sekali tak kuingat."Waktu kecil Gilang itu punya temen khayalan. Dia sering ngomong sendiri di kamar. Awalnya ibu sama ayah gak pernah ambil pusing sama kelakuannya. Soalnya ibu juga waktu kecil pernah kaya gitu," cerita Kak Nasrul."Tapi ... lama kelamaan tingkah Gilang semakin aneh. Dia pernah tiba-tiba ngilang. Tau-tau ada di jalan raya. Dia juga jadi sering tantrum. Tantrumnya ngamuk-ngamuk, ancur-ancurin barang. Pernah juga ngomong kasar, padahal orang rumah gak ada yang ngomong kasar. Akhirnya ayah sama ibu bawa ke Kyai untuk ditutup mata batinnya," sambungnya.Aku hanya bisa melongo mendengar cerita Kak Nasrul. Kenapa ia, ayah dan ibu tidak pernah menceritakan padaku."Sekarang udah semakin jelas," ucap Ustad Azzam."Jelas gimana, Pak Ustad," sahutku."Kemampuan kamu itu dianggap ancaman bagi mereka.""Tapi kan, gara-gara mereka saya jadi bisa liat lagi. Kenapa jadi saya y
Aku melihat sosok yang tadi terlihat di rumahnya. Pak Dika. Kini ia sudah menjadi bagian dari mereka. Dengan begitu, kematiannya ada campur tangan Siluman Anjing itu.Aku melangkah mundur dan duduk di samping Aurora. "Kamu tau gak kenapa mereka terus ngejar kakak?""Sebelumnya mereka ingin meminta tolong, tapi sekarang niatnya berbeda, Kak. Mereka ingin kakak menjadi bagian dari mereka.""Berarti sekarang kakak diincar?"Aurora mengangguk, "Kakak harus lebih berhati-hati. Kemaren waktu sakit, aku sempet liat kakak diikat rantai.""Sama siapa?""Anjing Hitam. Aku coba lepasin tapi gak bisa, Kak. Malahan aku yang dikejar sama Anjing Hitam itu."Sudah beberapa kali ucapan Aurora benar dan menjadi kenyataan. Namun, ucapannya kali ini membuatku benar-benar takut. Jika benar aku akan diikat oleh Siluman Anjing itu, berarti ia berhasil menangkapku. Dengan kata lain aku berhasil dijadikan tumbal."Apa kamu tau cara agar kakak gak ditangkep?""Aku gak tau, Kak. Semua yang terjadi ke depan, ter
"Itu mobilnya Pak Dika, Kak," ucapku."Bukannya kamu bilang Pak Dika dirawat di rumah sakit," balas Kak Nasrul."Iya."Rasa penasaran ini membuat suasana sarapan jadi kurang nyaman. Aku ini cepat-cepat pulang, melihat apa yang terjadi pada Pak Dika. Yang jelas, perasaan ini sudah tidak enak. Pasti terjadi sesuatu padanya. Semoga saja bukan hal yang buruk."Buru-buru amat, Lang?" tegur Cecep, lalu menyeruput kopi."Sakit perut gua," balasku. "Lu gak ngecek ke rumah Pak Dika, Cер?""Gua mau balik, lagian sekarang shift-nya Mas Andi."Kak Nasrul berdiri dan membayar semua pesanan. Setelah itu kami pun pulang. "Kamu bohong kan bilang sakit perut?" tanyanya.Aku tersenyum, "Iya.""Pasti penasaran sama ambulan tadi.""Iya, Kak."Dengan langkah cepat kami meluncur menuju rumah. Setibanya di belokan terakhir, mata ini langsung tertuju pada ujung jalan. Di depan rumah Pak Dika sudah ramai orang. Bergegas kami melangkah ke sana."Ada apa, Pak?" tanyaku pada pada Pak Ryan yang sedang berdiri di
Kak Nasrul malah termenung sambil menatap ke depan. "Maju, Kak!" tegurku."Banyak orang, Lang!" balasnya, tak sedikitpun melepaskan pandangan ke jalan."Itu setan, Kak. Bukan orang!""Kamu liat juga?""Alhamdulillah, sekarang gak liat."DUG!Ada yang memukul kaca jendela di sampingku. Reflek aku menoleh. Ada wajah seorang wanita yang sangat menakutkan sudah menyambut dengan senyuman menyeringai.HUA!Aku berteriak sambil bergeser mundur mendekati Kak Nasrul. "Nanti tuas maticnya patah, Lang!" omelnya, sambil mendorongku. Tak sadar hampir menduduki tuas matic. "Tadi kayanya gak liat. Kok sekarang malah teriak. Ngagetin aja!" imbuhnya."Sekarang aku bisa liat semuanya, Kak!" balasku, sembari menundukan, setelah tak sengaja melihat ke depan. Ada puluhan orang sedang berdiri di menghalangi jalan. "Terobos aja, Kak!" teriakku.Mobil mulai bergerak perlahan.BRUK!Ada suara dari depan mobil. "Apa itu, Kak?" tanyaku, masih tak berani melihat ke depan."Gak tau," balas Kak Nasrul."Jangan ke
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments