LOGINAku bangkit lalu berlari ke arah jendela untuk menutup gordin. Tak mau kalau tiba-tiba ada sosok lain yang muncul. Kuambil ponsel, ternyata baru pukul tiga pagi.
Aku berbaring sambil menghadap kiri membelakangi jendela. Kemudian memutar video murotal Al Qur'an di youtube, sambil menunggu waktu subuh tiba. Satu jam berlalu, azan subuh berkumandang. Bergegas aku bangkit dan berjalan ke kamar mandi, untuk mengambil wudu. Setelah salat subuh, aku turun ke bawah untuk mengambil minum. Tak sengaja berpapasan dengan Om Herman. "Kirain udah tidur, Lang," ucapnya. "Belum, Om. Ini baru mau tidur," balasku. "Om belum tidur juga?" imbuhku, sambil menuangkan air ke dalam gelas. "Tadi sempet tidur sebentar terus kebangun," balasnya. "Om mimpi ibu kamu datang ke sini, Lang," sambungnya, membuat tenggorokanku sedikit tercekat. "Mimpinya gimana, Om?" tanyaku. "Om cuman liat ibu kamu berdiri di deket jendela." "Ibu gak bilang sesuatu, Om?" "Enggak." "Aku bingung, kenapa ya ibu jadi begitu." "Makanya biar lebih jelas, nanti siang atau sore. Kita pergi ke rumah temen Om. Sekarang kamu tidur aja dulu, itu mata udah merah." "Iya, Om." Aku kembali ke kamar untuk tidur. Dunia mimpi membawaku sebuah jalan. Jalan yang sama di mana aku melihat ibu dan banyak orang lainnya sedang membenturkan kepalanya. Namun, kali ini jalanan terlihat kosong dan sepi. Tak ada pula genangan darah yang membasahi jalan. Aku melangkah menyusuri jalan. Dengan tetap berjalan di bagian tengah, sambil sesekali mengedarkan pandangan. Srek! Srek! Ku hentikan langkah sambil menoleh ke arah semak-semak yang bergerak. Srek! Srek! Kini suaranya terdengar di belakangku. Saat aku menoleh sudah ada anjing hitam berukuran besar menatapku dengan sorot mata merah. Anjing itu menyalak. Suaranya membuat pepohonan di sekitarnya bergetar. Aku melangkah mundur, sambil memperhatikan gerak-gerik anjing itu. Namun, hewan menakutkan itu malah berlari kencang ke arahku. Sontak aku pun berlari sekencang mungkin. Bruk! Anjing itu menubruk dari belakang. Hingga aku jatuh tersungkur ke jalan. ARGH! Anjing itu menggigit kakiku. Ku layangkan sebuah tendangan kencang ke kepalanya. Namun, itu tidak berdampak apapun. Anjing itu malah terlihat marah dan menyerang kakiku yang lain. "Argh!" teriakku, sembari memukulnya. Anjing itu melepas gigitan lalu melompat ke atas badanku. Kukunya yang tajam menancap di perutku. Sementara giginya yang runcing berusaha meraih leherku. "Tolong!" teriakku sembari menahan mulutnya dengan kedua tangan. Tak peduli lagi dengan darah yang mengalir di tanganku. TOLONG! Aku terbangun dari tidur dengan napas tak beraturan. Hua! Terkejut saat melihat Om Herman dan Aurora sedang berdiri di dekat kasur. "Habis mimpi apa, Lang? Sampe teriak-teriak begitu?" tanya Om Herman. "Kak Gilang abis dikejar anjing, Pah," sahut Aurora. Aku menatap sepupuku dengan heran. Bagaimana ia bisa tau? "Bener, Lang?" tanya Om Herman. "Iya, Om." "Kayanya anjing itu gak suka sama Kak Gilang," ucap Aurora. "Gak suka kenapa?" tanyaku. "Aku gak tau." "Sayang ke bawah dulu. Papah mau bicara sama Kak Gilang," perintah Om Herman pada putri kecilnya. Aurora pun menurut dan berlari ke luar kamar. "Dia emang begitu dari kecil," sambungnya. "Aurora juga tau kalau para korban itu ikut sampai ke sini, Om." "Iya, semalem dia udah cerita. Sekarang kamu mandi, terus siap-siap. Tante kamu udah masak di bawah. Abis itu kita pergi ke rumah temen Om." "Oke, Om." Om Herman pergi ke luar kamar. Sementara aku masih duduk termenung di atas kasur. Sekitar lima menit kemudian baru bergerak menuju kamar mandi. **** "Eh, Gilang udah bangun," sapa Tante Farah saat aku menuruni tangga. "Iya, Tan," balasku, sedikit canggung. "Makan dulu sana. Tante udah masak." "Iya." Aku melangkah ke dapur. Melihat banyak makanan sudah tersedia. "Pilih aja. Jangan bingung," ucap Tante Farah. "Banyak banget masaknya, Tan." "Iya, soalnya tante bingung kamu mau makan apa." "Apa aja aku makan, Tan. Soalnya buatan tante pasti enak." "Ah Gilang bisa aja. Berarti makan semuanya." "Bisa mati kekenyangan, Tan." Tante Farah tertawa, "Tante ke kamar dulu, Lang." "Oke, Tan." Aku pun fokus mengambil makanan. "Lang." Aku terkejut, sampai sendok terjatuh ke lantai. "Om ngagetin aja," sahutku, seraya mengambil sendok. "Makannya di ruang tengah aja." "Siap, Om." Setelah memilih menu makanan, aku pergi ke ruang tengah. Om Herman sudah duduk di sofa, sembari menatap layar televisi. "Kita berangkat abis ashar aja," ucapnya, saatku duduk. "Oke, Om. Rumahnya deket sini?" tanyaku. "Agak jauh sih. Di sekitar kaki Gunung Salak." "Itu sih jauh banget, Om! Kalau berangkat abis ashar gak kemaleman emangnya?" "Santai aja, Lang." "Oke."Sejujurnya aku masih trauma dengan kejadian tadi malam. Selesai makan, aku kembali ke kamar, menunggu waktu ashar yang tinggal satu jam lagi. Kulihat layar ponsel yang tergeletak di atas kasur. Ada pesan w******p dari Ega. Kubuka pesannya. Ia mengabarkan kalau Samson sudah diberi makan oleh Pak Ryan. Ia juga memberitahu kalau malam jumat nanti akan ada pengajian di lapangan komplek. [Akhirnya diadain pengajian juga!] Aku membalas pesan w******p-nya. [Iya, gara-gara permintaan Pak Dika] [Pak Dika bukannya masuk rumah sakit] [Iya, pas siuman dia minta ke Pak RW untuk diadain pengajian] [Kok bisa tiba-tiba minta itu] [Rahasia! Mending lu buruan balik, ntar gua ceritain] [Ah elah, bikin gua penasaran aja!] Ega mengirim emoticon tertawa. Waktu satu jam ini sebagian besar kuhabiskan dengan bermain game di ponsel. Baru berhenti bermain ketika azan ashar berkumandang. Setelah salat ashar, aku turun ke bawah. Terlihat Om Herman sudah siap untuk berangkat. "Yuk!" ucapnya. Kami pun berjalan ke depan. Langkah kecil Aurora terdengar di belakangku. "Rora mau ikut juga?" tanyaku. "Enggak. Aku takut," balasnya dengan suara pelan. Kemudian menghentikan langkah tepat di dekat pintu. "Takut kenapa?" "Ada anjing hitam gede di atas mobil papah." Reflek aku melihat ke atas mobil. Tak ada apa-apa di sana. "Nggak ada apa-apa." "Ada!" Aurora berlari ke kamar. Om Herman masuk ke dalam mobil lalu mencoba menyalakannya. Namun, mobil tidak bisa dinyalakan. Apa mungkin ini ada hubungannya dengan anjing hitam yang dilihat Aurora. "Mobilnya rusak, Om?" tanyaku, sembari berdiri di dekat mobil. "Nggak tau nih. Gagal di-starter terus." Aku melirik ke atas mobil. Kemudian memegang bagian atap dan merapal doa. "Aw!" teriakku saat merasakan ada benda yang menusuk tangan ini. "Kenapa, Lang?" tanya Om Herman. "Nggak apa-apa, Om," sahutku. Aku kembali memegang atap mobil sambil merapal doa. Tak berselang lama, mobil pun akhirnya menyala. "Alhamdulillah!" seruku. "Masuk, Lang!" "Pagernya gimana, Om." "Biar nanti tante kamu yang tutup." "Oke." Aku masuk ke dalam mobil dan kami pun berangkat. Tak lupa berdoa agar tidak ada gangguan di jalan dan bisa selamat sampai tujuan. BERSAMBUNGAyah berlari ke arah jendela, "HAMID!" panggilnya. Rasanya tak mungkin jika Hamid melompat ke bawah. "HAMID!" Kami pun berlari ke bawah. "Ada apa, Yah?" tanya Ibu yang baru saja ke luar kamar. "Hamid gak ada, Bu!" sahut Ayah. "Nggak ada gimana?" "Nggak ada di kamarnya!" "Mungkin lagi di kamar mandi." "Nggak ada, Bu!" sahutku. "Tadi kamarnya dikunci, pas Ayah dobrak, Hamid gak ada di dalem. Cuman jendela kamarnya kebuka," imbuhku. "Ya Allah, Hamid ...." Ayah berlari ke pintu depan, lalu ke luar rumah. Sementara aku dan ibu mencari keberadaan Hamid di dalam rumah. Kami mencari hampir di setiap sudut rumah, tapi Hamid belum juga ketemu. "Apa mungkin di dalem gudang?" ucapku. "Nggak mungkin. Gundangnya kan dikunci," balas Ayah. "Terus Hamid ke mana? Malem-malem gini." Suara ibu bergetar menahan tangis. "Coba dicek lagi di atas," usul Ayah. Kami pun naik ke lantai dua. Pertama mencari di dalam kamarku. Nihil. Kemudian di kamar Hamid. "Hamid!" teriakku saat men
Aku berlari ke bawah, sambil memegangi perut yang terasa sakit. Darah terus menetes, membasahi lantai dan anak tangga. "Ayah!" teriakku dengan nada panik, saat melihat Ayah sedang duduk di ruang tengah. "Ada apa, Syad?" tanyanya bingung, saatku menghampirinya. Tangisku pecah. "Ada apa, Syad?" tanyanya lagi seraya bangkit dari kursi. "Hamid," balasku, terisak. "Hamid kenapa?" "Hamid nusuk perut aku." Ku tunjukan pensil yang masih menancap di perut. "Nusuk gimana? Orang perut kamu gak kenapa-napa gitu?" Aku melihat ke perut. Tak ada sedikit pun noda darah di pakaian. Kemudian mengangkat pensil yang daritadi kupegang. Ternyata pensilnya pun tidak menancap di perut. "Tadi perut aku berdarah, kok sekarang ...." Sungguh aku sangat bingung. "Mungkin kamu cuman mimpi, tapi kebawa sampai dunia nyata. Makanya sebelum tidur baca doa dulu." "Aku udah baca doa, Ayah. Tadi beneran sakit banget perutnya, sama ke luar darah." "Kenyataannya? Perut kamu gak kenapa-napa, kan?" Sepert
"Ini rumahnya, Yah?" tanyaku. "Iya," balas Ayah. Aku berdiri di depan sebuah rumah berlantai dua. Dari bentuk dan jendelanya, mirip sekali dengan rumah Belanda. Ayah bilang, kalau rumah ini sudah tiga tahun tak ditempati. Terlihat jelas sekali dari cat putihnya yang kusam dan kehitaman. Rumput di halaman depannya pun lumayan tinggi. Cukup untuk menenggelamkan adikku -Hamid. Bagian terseramnya adalah ada satu pohon mangga dan pohon beringin di depan rumah. Hiii ~ melihatnya saja aku sudah merinding. Ngik! Ayah membuka pagar besi yang sudah berkarat, suara decitannya bahkan terdengar ngilu di telingaku. "Ayo, masuk." Kami berjalan melewati rerumputan yang tinggi. "Hamid, jangan jauh-jauh dari kakak. Nanti ilang," candaku disertai tawa. "Bu, kakak ngeledek!" sahutnya. "Arsyad, jangan dibecandain terus adiknya," tegur Ibu. "Iya, Bu." "Awas licin!" ucap Ayah saat menginjakan kaki di lantai teras yang agak berlumut. "Wah, bisa kerja bakti sampe malem ini," celetukku.
Aku berdiri di depan gerbang perumahan. Suasana begitu sepi. Di pos satpam pun tak ada siapa-siapa.Aku melangkah masuk ke area perumahan.Duk! Duk!Terdengar suara langkah, aku menoleh ke kanan. Ada Pak Ayman sedang berlari ke arahku. Namun seperti wujudnya seperti manusia biasa, tidak semenyeramkan dulu."Lang," panggilnya, sembari melambaikan tangan.Aku terdiam, bingung harus merespon apa. Dengan canggung, membalas lambaian tangannya. Kemudian, berlalu menuju rumah.Suara langkah kaki terdengar mendekat. Puk! Seseorang menepuk pundakku. HUA! Aku berteriak saat melihat Pak Ayman sudah ada di samping."Kenapa teriak?" tanyanya."Kaget, Pak.""Bapak cuman mau ucapin terimakasih.""Terimakasih kenapa, Pak?""Kamu udah bebasin bapak."Aku mengerutkan dahi. Apa maksudnya dibebaskan dari jerat Siluman Anjing?"Sama-sama, Pak," balasku, tak mau mengobrol terlalu lama dengannya agak trauma.Sayup terdengar suara musik senam dari arah lapangan. Dari kejauhan terlihat ada empat orang sedang
Pak Ryan tersenyum, "Halo Gilang. Jangan kaget gitu dong," ucapnya tanpa sedikitpun rasa bersalah.Rasa bersalah telah bersekongkol dengan Haji Rofi atas kecelakaan itu. Rasa bersalah karena telah membu-nuh Samson. Ya! Pasti itu ulahnya juga."Kok diem aja?" ucap Magdalena. Aku melirik wanita muda berambut panjang itu. Mungkin usianya tak begitu jauh dariku."Kenapa bapak ngelakuin ini semua. Padahal ibu udah baik banget sama bapak. Samson juga gak bersalah," ucapku."Ibu kamu memang baik, tapi salah karena udah ngelahirin kamu. Kalau kucing itu cukup mengganggu.""Apa yang salah dari saya?""Lena, kamu saja yang jelaskan, saya mau menghabisi yang lain dulu." Pak Ryan mengambil belati dari kantung jubahnya. "Kamu tau kenapa saya memakai warna merah?""Saya gak peduli!" sahutku."Hahahahah, merah adalah darah. Saya lah yang biasa ditugaskan sebagai eksekutor." Pak Ryan memutar-mutar belatinya. "Hmm, siapa dulu ya? Gimana kalau Nasrul?" Ia menatap tubuh Kak Nasrul."Bu-nuh saya aja, Pak
Angin berhembus kencang, menggerakan pepohonan di sekitar.Daun-daun kering yang berjatuhan berputar-putar di udara, membentuk pusaran. Sontak kami melangkah mundur, mendekati mobil.Srek! Srek!Terdengar suara langkah kaki dari dalam hutan yang gelap. Langkah yang menyerupai gerombolan hewan.Habib Husein meminta kami berkumpul di satu titik, kemudian membentuk lingkaran. Berjaga-jaga bila ada serangan dari arah tertentu.Habib Husein meminta kami menyalakan flashlight ponsel. Karena suasana begitu gelap, bulan masih bersembunyi di balik awan. Namun, penerangan ponsel saja tidak cukup. Jarak pandang kami terlalu pendek."Bib, kalau pake lampu mobil aja gimana?" usul salah satu santri."Boleh."Ia berlari ke mobil, disusul Kak Hazim dan Om Herman.Bruk!Santri itu tiba-tiba terjatuh ke tanah. Om Herman dan Kak Hazim langsung menolongnya. Baru saja bangkit, ia sudah terjatuh kembali. Malahan kali ini lebih parah. Seperti ada yang menarik kakinya.Ustad Azzam yang melihat kejadian itu t







