Om Herman memintaku duduk di sofa, kemudian ia pergi ke dapur. Sementara itu, Aurora terus menatapku dengan mata tajam. "Ada apa?" tanyaku.
"Mereka terus meminta tolong ya, Kak?" tanyanya. "Siapa?" "Itu ... orang-orang berwajah menakutkan yang ikut sama kakak." Aku mengerti maksudnya. "Dari mana kamu tau?" "Salah satunya datang duluan ke rumah in, Kak." "Tidur, sayang. Udah malem." Om Herman datang sambil membawa segelas teh hangat. "Iya, Papah!" Aurora bangkit dan berlari ke kamarnya. Om Herman duduk di dekatku. "Tumben banget, Lang. Datang ke Bogor tengah malem terus naek motor. Mana kehujanan juga." "Iya, Om. Lagi pengen aja main ke sini," balasku. "Kan bisa besok pagi atau siang. Kenapa harus malem-malem?" "Lebih enak malem, Om. Sepi plus dingin." "Yang jujur, Lang. Om tau pasti ada sesuatu." Aku menghela napas. "Sebenernya, emang ada sesuatu, Om. Apa Om percaya sama setan gentayangan?" "Percaya." "Om pernah liat?" "Pernah beberapa kali." "Nah, semenjak kejadian kecelakaan maut itu. Suasana perumahan jadi horor banget, Om." "Horor gimana? Perasaan waktu tujuh harian ibu kamu, suasananya masih biasa aja." "Keliatannya biasa aja, tapi sebenernya banyak korban kecelakaan itu yang gentayangan." "Termasuk Mbak Anisa (ibuku)?" Aku mengangguk. "Pantes," ucap Om Herman. "Pantes kenapa?" "Beberapa hari terakhir ini, Om sering mimpiin ibu kamu, Lang. "Gimana mimpinya, Om?" "Ibu kamu cuman nangis." "Ibu gak ngomong sesuatu?" "Gak." "Aku juga mimpi begitu, Om." "Apa ibu kamu punya utang atau janji yang belum ditepati?" "Aku gak tau, Om." "Nanti coba kamu cari tau. Kasian kalau ternyata masih punya utang." "Iya, Om." "Ngomong-ngomong, tadi Aurora bilang apa? Apa dia cerita tentang kejadian tadi?" tanya Om Herman. "Kejadian apa, Om?" Dari tadi aku juga penasaran dengan ucapan Aurora yang bilang bukan kak Gilang yang ini. Memangnya, ada Gilang yang lain? Om Herman bercerita, kalau sekitar sepuluh menit sebelum aku datang. Ada orang yang mirip denganku datang lebih dulu. "Bedanya, dia kayanya jalan kaki, terus badannya basah kuyup," ucap Om Herman. "Waktu Om suruh masuk ke dalam. Aurora bilang jangan. Tapi Om kasian, soalnya wajahnya pucet banget dan kedinginan," sambungnya. "Terus ... dia minta izin ke kamar mandi, buat ganti baju. Abis itu, gak lama kamu nelpon," sambungnya lagi. "Terus orangnya ke mana, Om?" tanyaku. "Ngilang. Om udah cek kamar mandi, ternyata kosong. Gak ada orang." "Ya Allah, masa sampe ada yang ngikut ke sini." "Ya udah gak usah dipikirin, sekarang kamu abisin dulu aja tehnya. Om udah siapin kamar atas." "Iya, Om." Kuhabiskan dengan cepat teh hangat itu. **** Setelah mandi dan mengganti baju. Aku merebahkan badan di atas kasur. Waktu menunjukan pukul satu malam. Namun, aku masih belum bisa tidur. Aku bangkit dan berjalan menuju teras. Kemudian duduk sambil menatap jalanan depan rumah. Fokus ini berubah saat melihat ada orang lewat. Orang itu berhenti di depan rumah, lalu menatapku. Deg! Jantung ini seakan berhenti berdetak saat melihat wajahnya. Jelas sekali itu Pak Ayman! Bergegas aku masuk ke dalam. Kriet! Pintu kamar terbuka. Sontak aku berdiri mematung dan menutup mata. "Lang," tanya Suara Om Herman. Aku membuka mata, "Ya, Om," sahutku. "Kamu ngapain berdiri di situ?" tanyanya. "Oh, tadi abis liat pemandangan di luar." "Apa yang diliat? Paling cuman jalan doang." "Nah itu Om tau." "Kamu lapar, gak?" "Sedikit." "Makan di luar yuk!" "Om gak tidur?" "Gak ngantuk." "Wah berarti sama." Kami pun pergi ke lantai bawah, kemudian Om Herman mengambil kunci mobil di kamar. "Gak naek motor aja, Om?" tanyaku. "Nanti kalau hujan repot," balasnya, sembari membuka pintu depan. "Mau makan di mana, Om?" tanyaku. "Di Pajajaran. Kalau malem rame yang jual makanan." Om Herman membuka pintu mobil. Sementara aku berjalan ke depan untuk membuka pagar. "Dikunci gak, Om?" tanyaku sambil memegang gembok. Entah kenapa aku sedikit trauma melihat benda ini. "Gak usah, cuman sebentar ini." "Oke!" Aku berlari menuju mobil. Namun ... saat membuka pintu, dari ekor mata terlihat ada seseorang yang berdiri di tengah jalan. Orang itu bergerak, mendekat. Bergegas aku masuk ke dalam mobil dan menutup pintu. "Yuk, Om!" Mobil pun melaju. Aku membuka kaca jendela samping, lalu melirik ke spion. Orang itu sudah menghilang. "Lagi liat apa, Lang?" tanya Om Herman. "Gak liat apa-apa," elakku sambil menutup jendela. "Jangan bohong. Kamu liat orang berdiri di tengah jalan, kan?" "Loh, Om juga liat?" "Iya." "Sebenernya pas tadi aku duduk di teras, sempet ngeliat juga, Om." "Orang yang sama?" "Nah kalau itu gak tau. Cuman kalau yang aku liat di teras itu, salah satu korban kecelakaan." "Kenapa mereka ngikutin kamu?" "Aku juga gak tau, Om." "Pasti ada alasannya atau ada pesan yang ingin mereka sampaikan. Tapi kamu terlalu takut." "Ya takut, Om. Mukanya aja serem gitu." "Lain kali jangan takur. Ajak mereka bicara." "Waduh, aku gak berani, Om." Mobil melaju dengan cepat, melewati jalan utama kota Bogor. Hanya kurang dari lima menit, kami sudah sampai ke tempat tujuan. "Mau makan apa, Lang?" tanya Om Herman. "Apa aja bebas," sahutku. "Pecel Ayam?" "Yang lain, Om." "Katanya bebas." "Tadi pas berangkat ke sini, udah makan Pecel Ayam." "Oh, bilang dong. Ya udah, makan nasi uduk aja biar kenyang." "Nah boleh tuh. Ntar tidurnya pules." Om Herman memarkirkan mobil tepat di samping pedagang nasi uduk. Aku pun turun dari mobil, melihat menu yang tersedia. "Pilih aja, Lang!" ucap Om Herman seraya berjalan ke arahku. Setelah memilih menu makanan, kami pun duduk dan makan. "Lang, kamu pulang kapan?" tanya Om Herman. "Hmm, belum tau, Om," balasku. "Besok kamu ikut Om, ya?" "Ke mana?" "Ke rumah temen Om. Siapa tau dia punya solusi biar kamu gak diikutin mereka terus." "Boleh, Om." Setelah makan, kami pun pulang. Om Herman melajukan mobil dengan cepat, melewati jalan yang sepi. Perasaanku tidak enak saat melihat lampu di ujung jalan kedap-kedip. Dep! Lampu mati, sesaat sebelum mobil lewat. Om Herman terlihat tidak terganggu dengan hal itu. Ia membelokan mobil ke kanan. Di saat bersamaan, aku melihar ada anak kecil berlari menyebrang jalan. "AWAS OM!" teriakku, panik. Om Herman menginjak pedal rem. "Ada apa, Lang?" tanyanya. "Tadi aku liat ada anak kecil nyebrang." "Gak ada siapa-siapa, Lang." Om Herman kembali melajukan mobil menuju rumah. BERSAMBUNGAku bangkit lalu berlari ke arah jendela untuk menutup gordin. Tak mau kalau tiba-tiba ada sosok lain yang muncul. Kuambil ponsel, ternyata baru pukul tiga pagi.Aku berbaring sambil menghadap kiri membelakangi jendela. Kemudian memutar video murotal Al Qur'an di youtube, sambil menunggu waktu subuh tiba.Satu jam berlalu, azan subuh berkumandang. Bergegas aku bangkit dan berjalan ke kamar mandi, untuk mengambil wudu.Setelah salat subuh, aku turun ke bawah untuk mengambil minum. Tak sengaja berpapasan dengan Om Herman. "Kirain udah tidur, Lang," ucapnya."Belum, Om. Ini baru mau tidur," balasku. "Om belum tidur juga?" imbuhku, sambil menuangkan air ke dalam gelas."Tadi sempet tidur sebentar terus kebangun," balasnya."Om mimpi ibu kamu datang ke sini, Lang," sambungnya, membuat tenggorokanku sedikit tercekat."Mimpinya gimana, Om?" tanyaku."Om cuman liat ibu kamu berdiri di deket jendela.""Ibu gak bilang sesuatu, Om?""Enggak.""Aku bingung, kenapa ya ibu jadi begitu.""Makanya bi
Mobil sudah memasuki area perumahan. Tak berselang lama tiba di jalan depan rumah Om Herman. Aku menatap lurus ke depan. Tak terlihat ada sesuatu yang aneh. Kemudian turun, untuk membuka pagar.Setelah mobil masuk garasi, dengan cepat kututup pagar. Perasaan ini tidak enak saat melihat jalan. Seperti ada yang memperhatikan gerak-gerikku. Bulu kuduk ini meremang. Bergegas aku berlari menuju teras.Om Herman turun dari mobil. "Ada apa, Lang?" tanyanya."Gak ada apa-apa, Om," balasku."Oh. Kirain habis liat sesuatu.""Aman, Om."Om Herman membuka pintu. Kami pun masuk ke dalam lalu kembali ke kamar masing-masing. Di dalam kamar aku masih kesulitan untuk tidur.Mungkin ini efek kemarin tidur siang terlalu lama.Kuambil ponsel, lalu menatap layar depannya cukup lama. Terlihat foto ibu, aku dan Kak Nasrul saat liburan di Bali, tahun lalu. Jemari ini bergerak, menekan aplikasi google. Ada yang ingin aku cari. Tentang kronologi kecelakaan maut itu. Soalnya, semenjak kabar duka itu datang, tid
Om Herman memintaku duduk di sofa, kemudian ia pergi ke dapur. Sementara itu, Aurora terus menatapku dengan mata tajam. "Ada apa?" tanyaku."Mereka terus meminta tolong ya, Kak?" tanyanya."Siapa?""Itu ... orang-orang berwajah menakutkan yang ikut sama kakak."Aku mengerti maksudnya. "Dari mana kamu tau?""Salah satunya datang duluan ke rumah in, Kak.""Tidur, sayang. Udah malem." Om Herman datang sambil membawa segelas teh hangat."Iya, Papah!" Aurora bangkit dan berlari ke kamarnya.Om Herman duduk di dekatku."Tumben banget, Lang. Datang ke Bogor tengah malem terus naek motor. Mana kehujanan juga.""Iya, Om. Lagi pengen aja main ke sini," balasku."Kan bisa besok pagi atau siang. Kenapa harus malem-malem?""Lebih enak malem, Om. Sepi plus dingin.""Yang jujur, Lang. Om tau pasti ada sesuatu."Aku menghela napas. "Sebenernya, emang ada sesuatu, Om. Apa Om percaya sama setan gentayangan?""Percaya.""Om pernah liat?""Pernah beberapa kali.""Nah, semenjak kejadian kecelakaan maut it
Hujan belum juga reda. Sementara aku dan Cecep masih bertahan di dalam pos satpam. Dari tadi, ia terus memaksaku menonton youtube cerita horor. Semuanya bertemakan pesugihan. Sehingga aku mulai sedikit mengerti tentang hal itu."Emang bisa numbalin orang lain, Cep?" tanyaku."Bisa banget, Lang," balasnya."Enak banget dong! Kaya tanpa ngorbanin keluarga sendiri.""Iya. Tapi ... kasian keturunannya nanti.""Kok kasian? Kan enak dapet warisan banyak.""Namanya harta instan, Lang. Bisa ilang secara instan juga. Di kampung gua dulu ada yang ngelakuin begituan, terus hidup anak cucunya kaya ketiban sial terus, mana miskin pula.Tapi ada juga yang malah ngelanjutin kelakukan bapaknya. Biar tetep kaya.""Berarti masuk ke lubang yang sama.""Iya.""Lu tau gak bentuk Jin Pesugihan itu kaya gimana?""Ada yang bentuknya Kuntilanak, Tuyul, Genderuwo, Pocong dan Siluman.""Oh, kalau yang bentuknya kaya anjing itu apa ya?" Aku penasaran dengan sosok yang ada di dalam mimpi tadi sore."Ya itu Siluma
Sudah satu jam aku berdiam diri di masjid komplek. Masih belum menentukan tujuan. Kucoba mengirim pesan ke Ega, tapi belum ada balasan.Ting!Panjang umur, akhirnya Ega membalas pesanku.[Gua gak ada di rumah, Lang][Balik kapan][Besok]Aku tak begitu saja percaya dengan ucapannya. Kucoba meneleponnya."Apaan, Lang?" ucapnya saat telepon diangkat."Lu beneran gak ada di rumah?""Iye. Ini gua lagi di rumah saudara.""Oh ya udah deh.""Gara-gara kejadian di rumah lu kemaren. Gua jadi takut sendirian di rumah." Aku mencari alasan."Oh. Besok aja Lang kalau mau nginep.""Oke, sip!"Kututup telepon. Terdengar suara gemuruh di langit. Sepertinya aku tidak bisa berlama-lama di masjid. Lagian, masjid pun sudah terlihat sepi. Hanya ada beberapa jamaah saja yang menunggu waktu isya.Aku mengendarai motor menuju kedai kopi. Saat melewati Blok A, dari kejauhan terlihat ada orang sedang berjalan dengan kaki picang. Seketika itu teringat omongan Cecep. Kupercepat laju motor, berniat melewatinya. I
Kuseka air mata, lalu meraih ponsel yang sedang diisi dayanya. Waktu menunjukan pukul satu siang. Bergegas aku bangkit lalu membuka jendela. Di luar terlihat sepi, suara anak-anak komplek yang biasanya bermain pun tidak terdengar.Aku berjalan ke luar kamar. Rasa takut ini kembali muncul saat melihat ke arah dapur. Namun, kandungan kemih yang sudah terisi penuh ini memaksaku untuk berjalan ke sana.Lampu dapur begitu terang, tapi entah kenapa membuat bulu kuduk ini meremang. Kulihat wajan dan panci stainless sudah tergeletak di lantai. Kurapikan semuanya mengembalikan ke tempat semula. Aku mulai ragu kalau yang datang semalam itu adalah ibu. Soalnya, ia tidak mungkin membanting alat dapur kesayangannya.Sebelum melangkah ke kamar mandi, aku meminum segelas air dingin. Membahasi kerongkongan yang terasa kering. Kemudian buang air kecil dan lanjut mengambil wudu.Aku pun kembali ke kamar, langsung menyalakan pendingin ruangan. Soalnya jam segini, Jakarta sedang panas-panasnya. Kemudian,