Home / Horor / 7 Hari Setelah Ibu Pergi / Mereka Mengikutiku

Share

Mereka Mengikutiku

Author: Agung
last update Last Updated: 2025-08-09 13:28:55

Om Herman memintaku duduk di sofa, kemudian ia pergi ke dapur. Sementara itu, Aurora terus menatapku dengan mata tajam. "Ada apa?" tanyaku.

"Mereka terus meminta tolong ya, Kak?" tanyanya.

"Siapa?"

"Itu ... orang-orang berwajah menakutkan yang ikut sama kakak."

Aku mengerti maksudnya. "Dari mana kamu tau?"

"Salah satunya datang duluan ke rumah in, Kak."

"Tidur, sayang. Udah malem." Om Herman datang sambil membawa segelas teh hangat.

"Iya, Papah!" Aurora bangkit dan berlari ke kamarnya.

Om Herman duduk di dekatku.

"Tumben banget, Lang. Datang ke Bogor tengah malem terus naek motor. Mana kehujanan juga."

"Iya, Om. Lagi pengen aja main ke sini," balasku.

"Kan bisa besok pagi atau siang. Kenapa harus malem-malem?"

"Lebih enak malem, Om. Sepi plus dingin."

"Yang jujur, Lang. Om tau pasti ada sesuatu."

Aku menghela napas. "Sebenernya, emang ada sesuatu, Om. Apa Om percaya sama setan gentayangan?"

"Percaya."

"Om pernah liat?"

"Pernah beberapa kali."

"Nah, semenjak kejadian kecelakaan maut itu. Suasana perumahan jadi horor banget, Om."

"Horor gimana? Perasaan waktu tujuh harian ibu kamu, suasananya masih biasa aja."

"Keliatannya biasa aja, tapi sebenernya banyak korban kecelakaan itu yang gentayangan."

"Termasuk Mbak Anisa (ibuku)?"

Aku mengangguk.

"Pantes," ucap Om Herman.

"Pantes kenapa?"

"Beberapa hari terakhir ini, Om sering mimpiin ibu kamu, Lang.

"Gimana mimpinya, Om?"

"Ibu kamu cuman nangis."

"Ibu gak ngomong sesuatu?"

"Gak."

"Aku juga mimpi begitu, Om."

"Apa ibu kamu punya utang atau janji yang belum ditepati?"

"Aku gak tau, Om."

"Nanti coba kamu cari tau. Kasian kalau ternyata masih punya utang."

"Iya, Om."

"Ngomong-ngomong, tadi Aurora bilang apa? Apa dia cerita tentang kejadian tadi?" tanya Om Herman.

"Kejadian apa, Om?" Dari tadi aku juga penasaran dengan ucapan Aurora yang bilang bukan kak Gilang yang ini. Memangnya, ada Gilang yang lain?

Om Herman bercerita, kalau sekitar sepuluh menit sebelum aku datang. Ada orang yang mirip denganku datang lebih dulu. "Bedanya, dia kayanya jalan kaki, terus badannya basah kuyup," ucap Om Herman.

"Waktu Om suruh masuk ke dalam. Aurora bilang jangan. Tapi Om kasian, soalnya wajahnya pucet banget dan kedinginan," sambungnya.

"Terus ... dia minta izin ke kamar mandi, buat ganti baju. Abis itu, gak lama kamu nelpon," sambungnya lagi.

"Terus orangnya ke mana, Om?" tanyaku.

"Ngilang. Om udah cek kamar mandi, ternyata kosong. Gak ada orang."

"Ya Allah, masa sampe ada yang ngikut ke sini."

"Ya udah gak usah dipikirin, sekarang kamu abisin dulu aja tehnya. Om udah siapin kamar atas."

"Iya, Om." Kuhabiskan dengan cepat teh hangat itu.

****

Setelah mandi dan mengganti baju.

Aku merebahkan badan di atas kasur.

Waktu menunjukan pukul satu malam.

Namun, aku masih belum bisa tidur.

Aku bangkit dan berjalan menuju teras. Kemudian duduk sambil menatap jalanan depan rumah. Fokus ini berubah saat melihat ada orang lewat. Orang itu berhenti di depan rumah, lalu menatapku.

Deg!

Jantung ini seakan berhenti berdetak saat melihat wajahnya. Jelas sekali itu Pak Ayman! Bergegas aku masuk ke dalam.

Kriet!

Pintu kamar terbuka. Sontak aku berdiri mematung dan menutup mata.

"Lang," tanya Suara Om Herman.

Aku membuka mata, "Ya, Om," sahutku.

"Kamu ngapain berdiri di situ?" tanyanya.

"Oh, tadi abis liat pemandangan di luar."

"Apa yang diliat? Paling cuman jalan doang."

"Nah itu Om tau."

"Kamu lapar, gak?"

"Sedikit."

"Makan di luar yuk!"

"Om gak tidur?"

"Gak ngantuk."

"Wah berarti sama."

Kami pun pergi ke lantai bawah, kemudian Om Herman mengambil kunci mobil di kamar. "Gak naek motor aja, Om?" tanyaku.

"Nanti kalau hujan repot," balasnya, sembari membuka pintu depan.

"Mau makan di mana, Om?" tanyaku.

"Di Pajajaran. Kalau malem rame yang jual makanan." Om Herman membuka pintu mobil. Sementara aku berjalan ke depan untuk membuka pagar.

"Dikunci gak, Om?" tanyaku sambil memegang gembok. Entah kenapa aku sedikit trauma melihat benda ini.

"Gak usah, cuman sebentar ini."

"Oke!" Aku berlari menuju mobil. Namun ... saat membuka pintu, dari ekor mata terlihat ada seseorang yang berdiri di tengah jalan. Orang itu bergerak, mendekat. Bergegas aku masuk ke dalam mobil dan menutup pintu. "Yuk, Om!"

Mobil pun melaju. Aku membuka kaca jendela samping, lalu melirik ke spion.

Orang itu sudah menghilang.

"Lagi liat apa, Lang?" tanya Om Herman.

"Gak liat apa-apa," elakku sambil menutup jendela.

"Jangan bohong. Kamu liat orang berdiri di tengah jalan, kan?"

"Loh, Om juga liat?"

"Iya."

"Sebenernya pas tadi aku duduk di teras, sempet ngeliat juga, Om."

"Orang yang sama?"

"Nah kalau itu gak tau. Cuman kalau yang aku liat di teras itu, salah satu korban kecelakaan."

"Kenapa mereka ngikutin kamu?"

"Aku juga gak tau, Om."

"Pasti ada alasannya atau ada pesan yang ingin mereka sampaikan. Tapi kamu terlalu takut."

"Ya takut, Om. Mukanya aja serem gitu."

"Lain kali jangan takur. Ajak mereka bicara."

"Waduh, aku gak berani, Om."

Mobil melaju dengan cepat, melewati jalan utama kota Bogor. Hanya kurang dari lima menit, kami sudah sampai ke tempat tujuan.

"Mau makan apa, Lang?" tanya Om Herman.

"Apa aja bebas," sahutku.

"Pecel Ayam?"

"Yang lain, Om."

"Katanya bebas."

"Tadi pas berangkat ke sini, udah makan Pecel Ayam."

"Oh, bilang dong. Ya udah, makan nasi uduk aja biar kenyang."

"Nah boleh tuh. Ntar tidurnya pules."

Om Herman memarkirkan mobil tepat di samping pedagang nasi uduk. Aku pun turun dari mobil, melihat menu yang tersedia.

"Pilih aja, Lang!" ucap Om Herman seraya berjalan ke arahku.

Setelah memilih menu makanan, kami pun duduk dan makan. "Lang, kamu pulang kapan?" tanya Om Herman.

"Hmm, belum tau, Om," balasku.

"Besok kamu ikut Om, ya?"

"Ke mana?"

"Ke rumah temen Om. Siapa tau dia punya solusi biar kamu gak diikutin mereka terus."

"Boleh, Om."

Setelah makan, kami pun pulang. Om Herman melajukan mobil dengan cepat, melewati jalan yang sepi. Perasaanku tidak enak saat melihat lampu di ujung jalan kedap-kedip.

Dep!

Lampu mati, sesaat sebelum mobil lewat. Om Herman terlihat tidak terganggu dengan hal itu. Ia membelokan mobil ke kanan. Di saat bersamaan, aku melihar ada anak kecil berlari menyebrang jalan.

"AWAS OM!" teriakku, panik.

Om Herman menginjak pedal rem.

"Ada apa, Lang?" tanyanya.

"Tadi aku liat ada anak kecil nyebrang."

"Gak ada siapa-siapa, Lang." Om Herman kembali melajukan mobil menuju rumah.

BERSAMBUNG

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • 7 Hari Setelah Ibu Pergi    Belakang Rumah

    Ayah berlari ke arah jendela, "HAMID!" panggilnya. Rasanya tak mungkin jika Hamid melompat ke bawah. "HAMID!" Kami pun berlari ke bawah. "Ada apa, Yah?" tanya Ibu yang baru saja ke luar kamar. "Hamid gak ada, Bu!" sahut Ayah. "Nggak ada gimana?" "Nggak ada di kamarnya!" "Mungkin lagi di kamar mandi." "Nggak ada, Bu!" sahutku. "Tadi kamarnya dikunci, pas Ayah dobrak, Hamid gak ada di dalem. Cuman jendela kamarnya kebuka," imbuhku. "Ya Allah, Hamid ...." Ayah berlari ke pintu depan, lalu ke luar rumah. Sementara aku dan ibu mencari keberadaan Hamid di dalam rumah. Kami mencari hampir di setiap sudut rumah, tapi Hamid belum juga ketemu. "Apa mungkin di dalem gudang?" ucapku. "Nggak mungkin. Gundangnya kan dikunci," balas Ayah. "Terus Hamid ke mana? Malem-malem gini." Suara ibu bergetar menahan tangis. "Coba dicek lagi di atas," usul Ayah. Kami pun naik ke lantai dua. Pertama mencari di dalam kamarku. Nihil. Kemudian di kamar Hamid. "Hamid!" teriakku saat men

  • 7 Hari Setelah Ibu Pergi    Hamid

    Aku berlari ke bawah, sambil memegangi perut yang terasa sakit. Darah terus menetes, membasahi lantai dan anak tangga. "Ayah!" teriakku dengan nada panik, saat melihat Ayah sedang duduk di ruang tengah. "Ada apa, Syad?" tanyanya bingung, saatku menghampirinya. Tangisku pecah. "Ada apa, Syad?" tanyanya lagi seraya bangkit dari kursi. "Hamid," balasku, terisak. "Hamid kenapa?" "Hamid nusuk perut aku." Ku tunjukan pensil yang masih menancap di perut. "Nusuk gimana? Orang perut kamu gak kenapa-napa gitu?" Aku melihat ke perut. Tak ada sedikit pun noda darah di pakaian. Kemudian mengangkat pensil yang daritadi kupegang. Ternyata pensilnya pun tidak menancap di perut. "Tadi perut aku berdarah, kok sekarang ...." Sungguh aku sangat bingung. "Mungkin kamu cuman mimpi, tapi kebawa sampai dunia nyata. Makanya sebelum tidur baca doa dulu." "Aku udah baca doa, Ayah. Tadi beneran sakit banget perutnya, sama ke luar darah." "Kenyataannya? Perut kamu gak kenapa-napa, kan?" Sepert

  • 7 Hari Setelah Ibu Pergi    Rumah Dukun

    "Ini rumahnya, Yah?" tanyaku. "Iya," balas Ayah. Aku berdiri di depan sebuah rumah berlantai dua. Dari bentuk dan jendelanya, mirip sekali dengan rumah Belanda. Ayah bilang, kalau rumah ini sudah tiga tahun tak ditempati. Terlihat jelas sekali dari cat putihnya yang kusam dan kehitaman. Rumput di halaman depannya pun lumayan tinggi. Cukup untuk menenggelamkan adikku -Hamid. Bagian terseramnya adalah ada satu pohon mangga dan pohon beringin di depan rumah. Hiii ~ melihatnya saja aku sudah merinding. Ngik! Ayah membuka pagar besi yang sudah berkarat, suara decitannya bahkan terdengar ngilu di telingaku. "Ayo, masuk." Kami berjalan melewati rerumputan yang tinggi. "Hamid, jangan jauh-jauh dari kakak. Nanti ilang," candaku disertai tawa. "Bu, kakak ngeledek!" sahutnya. "Arsyad, jangan dibecandain terus adiknya," tegur Ibu. "Iya, Bu." "Awas licin!" ucap Ayah saat menginjakan kaki di lantai teras yang agak berlumut. "Wah, bisa kerja bakti sampe malem ini," celetukku.

  • 7 Hari Setelah Ibu Pergi    Pulang

    Aku berdiri di depan gerbang perumahan. Suasana begitu sepi. Di pos satpam pun tak ada siapa-siapa.Aku melangkah masuk ke area perumahan.Duk! Duk!Terdengar suara langkah, aku menoleh ke kanan. Ada Pak Ayman sedang berlari ke arahku. Namun seperti wujudnya seperti manusia biasa, tidak semenyeramkan dulu."Lang," panggilnya, sembari melambaikan tangan.Aku terdiam, bingung harus merespon apa. Dengan canggung, membalas lambaian tangannya. Kemudian, berlalu menuju rumah.Suara langkah kaki terdengar mendekat. Puk! Seseorang menepuk pundakku. HUA! Aku berteriak saat melihat Pak Ayman sudah ada di samping."Kenapa teriak?" tanyanya."Kaget, Pak.""Bapak cuman mau ucapin terimakasih.""Terimakasih kenapa, Pak?""Kamu udah bebasin bapak."Aku mengerutkan dahi. Apa maksudnya dibebaskan dari jerat Siluman Anjing?"Sama-sama, Pak," balasku, tak mau mengobrol terlalu lama dengannya agak trauma.Sayup terdengar suara musik senam dari arah lapangan. Dari kejauhan terlihat ada empat orang sedang

  • 7 Hari Setelah Ibu Pergi    Bayangan Hitam

    Pak Ryan tersenyum, "Halo Gilang. Jangan kaget gitu dong," ucapnya tanpa sedikitpun rasa bersalah.Rasa bersalah telah bersekongkol dengan Haji Rofi atas kecelakaan itu. Rasa bersalah karena telah membu-nuh Samson. Ya! Pasti itu ulahnya juga."Kok diem aja?" ucap Magdalena. Aku melirik wanita muda berambut panjang itu. Mungkin usianya tak begitu jauh dariku."Kenapa bapak ngelakuin ini semua. Padahal ibu udah baik banget sama bapak. Samson juga gak bersalah," ucapku."Ibu kamu memang baik, tapi salah karena udah ngelahirin kamu. Kalau kucing itu cukup mengganggu.""Apa yang salah dari saya?""Lena, kamu saja yang jelaskan, saya mau menghabisi yang lain dulu." Pak Ryan mengambil belati dari kantung jubahnya. "Kamu tau kenapa saya memakai warna merah?""Saya gak peduli!" sahutku."Hahahahah, merah adalah darah. Saya lah yang biasa ditugaskan sebagai eksekutor." Pak Ryan memutar-mutar belatinya. "Hmm, siapa dulu ya? Gimana kalau Nasrul?" Ia menatap tubuh Kak Nasrul."Bu-nuh saya aja, Pak

  • 7 Hari Setelah Ibu Pergi    Jubah Merah

    Angin berhembus kencang, menggerakan pepohonan di sekitar.Daun-daun kering yang berjatuhan berputar-putar di udara, membentuk pusaran. Sontak kami melangkah mundur, mendekati mobil.Srek! Srek!Terdengar suara langkah kaki dari dalam hutan yang gelap. Langkah yang menyerupai gerombolan hewan.Habib Husein meminta kami berkumpul di satu titik, kemudian membentuk lingkaran. Berjaga-jaga bila ada serangan dari arah tertentu.Habib Husein meminta kami menyalakan flashlight ponsel. Karena suasana begitu gelap, bulan masih bersembunyi di balik awan. Namun, penerangan ponsel saja tidak cukup. Jarak pandang kami terlalu pendek."Bib, kalau pake lampu mobil aja gimana?" usul salah satu santri."Boleh."Ia berlari ke mobil, disusul Kak Hazim dan Om Herman.Bruk!Santri itu tiba-tiba terjatuh ke tanah. Om Herman dan Kak Hazim langsung menolongnya. Baru saja bangkit, ia sudah terjatuh kembali. Malahan kali ini lebih parah. Seperti ada yang menarik kakinya.Ustad Azzam yang melihat kejadian itu t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status