LOGINAku melangkah mendekati pintu, lalu membukanya sedikit dan mengintip ke luar. Tak ada siapapun. Kutarik napas panjang dan berhitung dalam hati. Pada hitungan ketiga, berlari sekencang mungkin menuju kamar.
"Samson!" Aku memanggil Samson yang sedang berdiri di dekat pintu depan. Kucing itu pun berlari mendekat dan ikut masuk ke kamar. Kututup pintu dan menguncinya. Saat akan mengenakan sarung, baru ingat kalau tadi belum mengambil wudu. Sontak aku melangkah mendekati pintu. Berdiri sambil memegang gagang pintu. Krek! Kunci sudah kuputar. BRANG! Terdengar suara dari dapur. Spontan aku kembali mengunci pintu dan melangkah mundur. "Tayamum aja deh!" gumamku seraya mendekati jendela. Kusibak gordin, kemudian menempelkan kedua tangan ke kaca jendela dan mulai tayamum. Saat selesai membasuh wajah. Terlihat ada bayangan putih sedang berdiri di luar pagar. Reflek aku berteriak dan menutup jendela, lalu melompat ke kasur. Sementara itu, Samson terlihat masih berdiri mematung sambil menatap jendela. Aku menenangkan diri sebentar, lalu duduk menghadap tembok dan mengulangi tayamum. Setelah itu, mengambil sarung dan salat magrib. Dalam salat, berkali-kali tangisku pecah karena terbayang wajah ibu. Selesai salat, aku duduk termenung di atas sajadah, memikirkan sebuah pertanyaan yang daritadi mengganggu konsentrasi. Apa salahku sehingga ibu datang menghantuiku? Aku kembali memutar ingatan sehari sebelum ibu meninggal. Saat itu ibu memintaku ikut bersamanya. Memang sudah menjadi kebiasaan, saat ibu ada kegiatan di luar kota, pasti mengajakku. Namun, pada hari itu berbeda. Malam hari sebelum berangkat, aku terlalu asik nongkrong bersama teman hingga menjelang subuh. Setibanya di rumah, ibu sempat mengomel. Aku mendengar omelannya sebentar lalu masuk ke kamar untuk tidur. Saat terbangun, ibu sudah tidak ada di rumah. Sampai sekarang itu yang menjadi penyesalan terbesarku. BRANG! Seketika itu lamunan ini buyar. Aku pun bangkit dan buru-buru mengganti pakaian. Kemudian mengambil dompet dan ponsel. Sebaiknya malam ini tidak tidur di rumah. Kugendong Samson, sambil membuka pintu kamar. Dengan kecepatan penuh, aku berlari ke pintu depan. BRANG! "Lang," panggil Suara dari dapur. Suaranya masih sama dengan ibu. Aku tak berani menoleh, buru-buru membuka pintu dan ke luar rumah. Kulepas Samson. Kucing itu pun langsung berlari ke luar pagar. Sontak aku pun melakukan hal yang sama. Ketika berdiri di luar pagar dan melihat motor. Baru tersadar kalau kuncinya tertinggal di kamar. Terpaksa aku pergi ke kedai kopi langganan dengan berjalan kaki. Kebetulan letaknya memang ada di dekat pintu masuk perumahan. Aku melangkah menyusuri jalanan yang terlihat sepi. Padahal kemarin begitu ramai dengan orang yang pengajian. Soalnya, ada delapan orang penghuni komplek ini yang meninggal dunia akibat kecelakaan maut itu. Salah satunya adalah keluarga Pak Didit yang rumahnya sebentar lagi akan kulewati. Semua anggota keluarganya meninggal dalam kecelakaan - Pak Didit, istrinya serta anaknya yang masih kecil. Kini rumahnya terlihat kosong dan gelap, karena jenazah mereka langsung dibawa ke kampung halamannya. Teng! Bunyi pagar besi yang dipukul. Reflek aku menoleh ke samping rumah Pak Didit. Hanya kegelapan yang terlihat. Bulu kuduk ini pun meremang. Kupercepat langkah, melewati rumah itu. Hihi! Terdengar suara tawa anak kecil. Spontan aku berlari sekencang mungkin sampai ke pos satpam. "Magrib-magrib kok jogging. Ada apaan, Lang?" tegur Cecep - satpam komplek. "Gak ada apa-apa, Ncep," sahutku, menghentikan langkah. "Oh, kirain abis liat nganu." "Nganu apaan?" "Ya nganu!" "Aih, kagak jelas lu." Aku berlalu, kemudian menyebrang jalan. Terlihat Ega sedang duduk sendirian di depan kedai. Ia menatapku heran. "Tumben amat lu ke sini, Lang," ucapnya. "Tumben apaan? Perasaan baru seminggu gua kagak ke sini," sahutku lalu duduk di dekatnya. "Wan, biasa ye!" Aku memanggil Iwan pelayan kedai. "Oke, Lang," sahutnya. "Gimana kabar lu, sehat?" tanya Ega. "Alhamdulillah. Ngomong-ngomong sepi amat sekarang." Hanya ada tiga orang yang sedang duduk di kedai. Itupun sudah termasuk aku dan Ega. "Semenjak kejadian itu, emang jadi sepi, Lang." "Emang ngaruh, ya?" "Iya, anak-anak komplek pada takut ke luar malem." Iwan menaruh kopi pesananku di atas meja. "Lagi pada ngobrolin apa?" tanyanya. "Tempat lu yang sepi," sahutku. "Iya, udah seminggu ini kalau malem emang sepi." "Emang bener gara-gara kecelakaan itu?" "Iya, Lang." Iwan duduk di kursi sampingku. "Lu tau gak Pak Ayman?" "Yang rumahnya di Blok A?" tanyaku. Rumah Pak Ayman tak jauh dari sini. Hanya tinggal melewati gerbang perumahan, lalu belok kiri sampai ujung. "Nah dia kan jadi korban kecelakaan itu." "Innalillahi, gua baru tau. Seinget gua terakhir kali kan kita nobar bola di sini." "Bener, itu tiga hari sebelum kejadian," balas Iwan. "Sehari setelah kecelakaan itu ada yang liat dia jalan-jalan di sekitar Blok A sampe gerbang perumahan." "Astaghfirullah, masa Pak Ayman gentayangan juga," balasku. "Ibu lu gentayangan, Lang?" tanya Ega. Duk! Iwan memu-kul kepala Ega dengan buku menu. "Lu kalau ngomong dijaga!" omel Iwan. "Kan gua cuman nanya, Wan," sahut Ega. "Ya, tapi jaga perasaan orang juga." "Gak apa-apa, Wan. Alhamdulillah ibu gua gak gentayangan." Aku tidak ingin menceritakan kejadian di rumah. Lagi pula, itu belum tentu ibu. Bisa jadi hanya hantu yang ingin menakutiku saja. "Terus maksud omongan lu tadi apa?" tanya Ega. "Yang mana?" balasku. "Gentayangan juga," ucap Ega, penuh penekanan. "Oh itu." Aku menceritakan kejadian di depan rumah Pak Didit. "Pak Didit yang di Blok D, kan?" tanya Ega. "Iya. Itu sekeluarga meninggal semua." "Untung rumah gua jauh dari sana." "Bukannya di Blok B ada yang meninggal juga satu orang?" tanya Iwan. Aku melirik Ega, menunggu jawabannya. "Iya, Bu Wariah. Tetangga samping rumah gua." "Dia gentayangan juga?" tanya Iwan. Ega terdiam sebentar, "Eng-gak, kok," balasnya agak sedikit terbata. "Yakin?" Sepertinya ia menyembunyikan sesuatu. "Yakin." "Muka lu kagak bisa bohong, Ga," ucapku. "Jujur aja." Ega sedikit menggeser kursinya, lalu mendekatkan kepalanya padaku. "Iya," bisiknya. "Hiii, kok jadi pada gentayangan gitu," ucap Iwan. "Pasti ada sesuatu," ucapku, pelan. Sembari memikirkan sebuah pertanyaan besar. Kenapa mereka semua gentayangan? BERSAMBUNGAyah berlari ke arah jendela, "HAMID!" panggilnya. Rasanya tak mungkin jika Hamid melompat ke bawah. "HAMID!" Kami pun berlari ke bawah. "Ada apa, Yah?" tanya Ibu yang baru saja ke luar kamar. "Hamid gak ada, Bu!" sahut Ayah. "Nggak ada gimana?" "Nggak ada di kamarnya!" "Mungkin lagi di kamar mandi." "Nggak ada, Bu!" sahutku. "Tadi kamarnya dikunci, pas Ayah dobrak, Hamid gak ada di dalem. Cuman jendela kamarnya kebuka," imbuhku. "Ya Allah, Hamid ...." Ayah berlari ke pintu depan, lalu ke luar rumah. Sementara aku dan ibu mencari keberadaan Hamid di dalam rumah. Kami mencari hampir di setiap sudut rumah, tapi Hamid belum juga ketemu. "Apa mungkin di dalem gudang?" ucapku. "Nggak mungkin. Gundangnya kan dikunci," balas Ayah. "Terus Hamid ke mana? Malem-malem gini." Suara ibu bergetar menahan tangis. "Coba dicek lagi di atas," usul Ayah. Kami pun naik ke lantai dua. Pertama mencari di dalam kamarku. Nihil. Kemudian di kamar Hamid. "Hamid!" teriakku saat men
Aku berlari ke bawah, sambil memegangi perut yang terasa sakit. Darah terus menetes, membasahi lantai dan anak tangga. "Ayah!" teriakku dengan nada panik, saat melihat Ayah sedang duduk di ruang tengah. "Ada apa, Syad?" tanyanya bingung, saatku menghampirinya. Tangisku pecah. "Ada apa, Syad?" tanyanya lagi seraya bangkit dari kursi. "Hamid," balasku, terisak. "Hamid kenapa?" "Hamid nusuk perut aku." Ku tunjukan pensil yang masih menancap di perut. "Nusuk gimana? Orang perut kamu gak kenapa-napa gitu?" Aku melihat ke perut. Tak ada sedikit pun noda darah di pakaian. Kemudian mengangkat pensil yang daritadi kupegang. Ternyata pensilnya pun tidak menancap di perut. "Tadi perut aku berdarah, kok sekarang ...." Sungguh aku sangat bingung. "Mungkin kamu cuman mimpi, tapi kebawa sampai dunia nyata. Makanya sebelum tidur baca doa dulu." "Aku udah baca doa, Ayah. Tadi beneran sakit banget perutnya, sama ke luar darah." "Kenyataannya? Perut kamu gak kenapa-napa, kan?" Sepert
"Ini rumahnya, Yah?" tanyaku. "Iya," balas Ayah. Aku berdiri di depan sebuah rumah berlantai dua. Dari bentuk dan jendelanya, mirip sekali dengan rumah Belanda. Ayah bilang, kalau rumah ini sudah tiga tahun tak ditempati. Terlihat jelas sekali dari cat putihnya yang kusam dan kehitaman. Rumput di halaman depannya pun lumayan tinggi. Cukup untuk menenggelamkan adikku -Hamid. Bagian terseramnya adalah ada satu pohon mangga dan pohon beringin di depan rumah. Hiii ~ melihatnya saja aku sudah merinding. Ngik! Ayah membuka pagar besi yang sudah berkarat, suara decitannya bahkan terdengar ngilu di telingaku. "Ayo, masuk." Kami berjalan melewati rerumputan yang tinggi. "Hamid, jangan jauh-jauh dari kakak. Nanti ilang," candaku disertai tawa. "Bu, kakak ngeledek!" sahutnya. "Arsyad, jangan dibecandain terus adiknya," tegur Ibu. "Iya, Bu." "Awas licin!" ucap Ayah saat menginjakan kaki di lantai teras yang agak berlumut. "Wah, bisa kerja bakti sampe malem ini," celetukku.
Aku berdiri di depan gerbang perumahan. Suasana begitu sepi. Di pos satpam pun tak ada siapa-siapa.Aku melangkah masuk ke area perumahan.Duk! Duk!Terdengar suara langkah, aku menoleh ke kanan. Ada Pak Ayman sedang berlari ke arahku. Namun seperti wujudnya seperti manusia biasa, tidak semenyeramkan dulu."Lang," panggilnya, sembari melambaikan tangan.Aku terdiam, bingung harus merespon apa. Dengan canggung, membalas lambaian tangannya. Kemudian, berlalu menuju rumah.Suara langkah kaki terdengar mendekat. Puk! Seseorang menepuk pundakku. HUA! Aku berteriak saat melihat Pak Ayman sudah ada di samping."Kenapa teriak?" tanyanya."Kaget, Pak.""Bapak cuman mau ucapin terimakasih.""Terimakasih kenapa, Pak?""Kamu udah bebasin bapak."Aku mengerutkan dahi. Apa maksudnya dibebaskan dari jerat Siluman Anjing?"Sama-sama, Pak," balasku, tak mau mengobrol terlalu lama dengannya agak trauma.Sayup terdengar suara musik senam dari arah lapangan. Dari kejauhan terlihat ada empat orang sedang
Pak Ryan tersenyum, "Halo Gilang. Jangan kaget gitu dong," ucapnya tanpa sedikitpun rasa bersalah.Rasa bersalah telah bersekongkol dengan Haji Rofi atas kecelakaan itu. Rasa bersalah karena telah membu-nuh Samson. Ya! Pasti itu ulahnya juga."Kok diem aja?" ucap Magdalena. Aku melirik wanita muda berambut panjang itu. Mungkin usianya tak begitu jauh dariku."Kenapa bapak ngelakuin ini semua. Padahal ibu udah baik banget sama bapak. Samson juga gak bersalah," ucapku."Ibu kamu memang baik, tapi salah karena udah ngelahirin kamu. Kalau kucing itu cukup mengganggu.""Apa yang salah dari saya?""Lena, kamu saja yang jelaskan, saya mau menghabisi yang lain dulu." Pak Ryan mengambil belati dari kantung jubahnya. "Kamu tau kenapa saya memakai warna merah?""Saya gak peduli!" sahutku."Hahahahah, merah adalah darah. Saya lah yang biasa ditugaskan sebagai eksekutor." Pak Ryan memutar-mutar belatinya. "Hmm, siapa dulu ya? Gimana kalau Nasrul?" Ia menatap tubuh Kak Nasrul."Bu-nuh saya aja, Pak
Angin berhembus kencang, menggerakan pepohonan di sekitar.Daun-daun kering yang berjatuhan berputar-putar di udara, membentuk pusaran. Sontak kami melangkah mundur, mendekati mobil.Srek! Srek!Terdengar suara langkah kaki dari dalam hutan yang gelap. Langkah yang menyerupai gerombolan hewan.Habib Husein meminta kami berkumpul di satu titik, kemudian membentuk lingkaran. Berjaga-jaga bila ada serangan dari arah tertentu.Habib Husein meminta kami menyalakan flashlight ponsel. Karena suasana begitu gelap, bulan masih bersembunyi di balik awan. Namun, penerangan ponsel saja tidak cukup. Jarak pandang kami terlalu pendek."Bib, kalau pake lampu mobil aja gimana?" usul salah satu santri."Boleh."Ia berlari ke mobil, disusul Kak Hazim dan Om Herman.Bruk!Santri itu tiba-tiba terjatuh ke tanah. Om Herman dan Kak Hazim langsung menolongnya. Baru saja bangkit, ia sudah terjatuh kembali. Malahan kali ini lebih parah. Seperti ada yang menarik kakinya.Ustad Azzam yang melihat kejadian itu t







