Share

Gentayangan

Author: Agung
last update Huling Na-update: 2025-07-16 22:37:50

Aku melangkah mendekati pintu, lalu membukanya sedikit dan mengintip ke luar. Tak ada siapapun. Kutarik napas panjang dan berhitung dalam hati. Pada hitungan ketiga, berlari sekencang mungkin menuju kamar.

"Samson!" Aku memanggil Samson yang sedang berdiri di dekat pintu depan. Kucing itu pun berlari mendekat dan ikut masuk ke kamar.

Kututup pintu dan menguncinya.

Saat akan mengenakan sarung, baru ingat kalau tadi belum mengambil wudu. Sontak aku melangkah mendekati pintu. Berdiri sambil memegang gagang pintu.

Krek!

Kunci sudah kuputar.

BRANG!

Terdengar suara dari dapur. Spontan aku kembali mengunci pintu dan melangkah mundur. "Tayamum aja deh!" gumamku seraya mendekati jendela.

Kusibak gordin, kemudian menempelkan kedua tangan ke kaca jendela dan mulai tayamum. Saat selesai membasuh wajah. Terlihat ada bayangan putih sedang berdiri di luar pagar. Reflek aku berteriak dan menutup jendela, lalu melompat ke kasur. Sementara itu, Samson terlihat masih berdiri mematung sambil menatap jendela.

Aku menenangkan diri sebentar, lalu duduk menghadap tembok dan mengulangi tayamum. Setelah itu, mengambil sarung dan salat magrib.

Dalam salat, berkali-kali tangisku pecah karena terbayang wajah ibu. Selesai salat, aku duduk termenung di atas sajadah, memikirkan sebuah pertanyaan yang daritadi mengganggu konsentrasi. Apa salahku sehingga ibu datang menghantuiku?

Aku kembali memutar ingatan sehari sebelum ibu meninggal. Saat itu ibu memintaku ikut bersamanya. Memang sudah menjadi kebiasaan, saat ibu ada kegiatan di luar kota, pasti mengajakku. Namun, pada hari itu berbeda.

Malam hari sebelum berangkat, aku terlalu asik nongkrong bersama teman hingga menjelang subuh. Setibanya di rumah, ibu sempat mengomel.

Aku mendengar omelannya sebentar lalu masuk ke kamar untuk tidur.

Saat terbangun, ibu sudah tidak ada di rumah. Sampai sekarang itu yang menjadi penyesalan terbesarku.

BRANG!

Seketika itu lamunan ini buyar. Aku pun bangkit dan buru-buru mengganti pakaian. Kemudian mengambil dompet dan ponsel. Sebaiknya malam ini tidak tidur di rumah.

Kugendong Samson, sambil membuka pintu kamar. Dengan kecepatan penuh, aku berlari ke pintu depan.

BRANG!

"Lang," panggil Suara dari dapur. Suaranya masih sama dengan ibu. Aku tak berani menoleh, buru-buru membuka pintu dan ke luar rumah.

Kulepas Samson. Kucing itu pun langsung berlari ke luar pagar. Sontak aku pun melakukan hal yang sama. Ketika berdiri di luar pagar dan melihat motor. Baru tersadar kalau kuncinya tertinggal di kamar. Terpaksa aku pergi ke kedai kopi langganan dengan berjalan kaki. Kebetulan letaknya memang ada di dekat pintu masuk perumahan.

Aku melangkah menyusuri jalanan yang terlihat sepi. Padahal kemarin begitu ramai dengan orang yang pengajian. Soalnya, ada delapan orang penghuni komplek ini yang meninggal dunia akibat kecelakaan maut itu.

Salah satunya adalah keluarga Pak Didit yang rumahnya sebentar lagi akan kulewati. Semua anggota keluarganya meninggal dalam kecelakaan - Pak Didit, istrinya serta anaknya yang masih kecil. Kini rumahnya terlihat kosong dan gelap, karena jenazah mereka langsung dibawa ke kampung halamannya.

Teng!

Bunyi pagar besi yang dipukul. Reflek aku menoleh ke samping rumah Pak Didit. Hanya kegelapan yang terlihat.

Bulu kuduk ini pun meremang.

Kupercepat langkah, melewati rumah itu.

Hihi!

Terdengar suara tawa anak kecil. Spontan aku berlari sekencang mungkin sampai ke pos satpam. "Magrib-magrib kok jogging. Ada apaan, Lang?" tegur Cecep - satpam komplek.

"Gak ada apa-apa, Ncep," sahutku, menghentikan langkah.

"Oh, kirain abis liat nganu."

"Nganu apaan?"

"Ya nganu!"

"Aih, kagak jelas lu." Aku berlalu, kemudian menyebrang jalan. Terlihat Ega sedang duduk sendirian di depan kedai. Ia menatapku heran.

"Tumben amat lu ke sini, Lang," ucapnya.

"Tumben apaan? Perasaan baru seminggu gua kagak ke sini," sahutku lalu duduk di dekatnya. "Wan, biasa ye!" Aku memanggil Iwan pelayan kedai.

"Oke, Lang," sahutnya.

"Gimana kabar lu, sehat?" tanya Ega.

"Alhamdulillah. Ngomong-ngomong sepi amat sekarang." Hanya ada tiga orang yang sedang duduk di kedai. Itupun sudah termasuk aku dan Ega.

"Semenjak kejadian itu, emang jadi sepi, Lang."

"Emang ngaruh, ya?"

"Iya, anak-anak komplek pada takut ke luar malem."

Iwan menaruh kopi pesananku di atas meja. "Lagi pada ngobrolin apa?" tanyanya.

"Tempat lu yang sepi," sahutku.

"Iya, udah seminggu ini kalau malem emang sepi."

"Emang bener gara-gara kecelakaan itu?"

"Iya, Lang." Iwan duduk di kursi sampingku. "Lu tau gak Pak Ayman?"

"Yang rumahnya di Blok A?" tanyaku. Rumah Pak Ayman tak jauh dari sini.

Hanya tinggal melewati gerbang perumahan, lalu belok kiri sampai ujung.

"Nah dia kan jadi korban kecelakaan itu."

"Innalillahi, gua baru tau. Seinget gua terakhir kali kan kita nobar bola di sini."

"Bener, itu tiga hari sebelum kejadian," balas Iwan.

"Sehari setelah kecelakaan itu ada yang liat dia jalan-jalan di sekitar Blok A sampe gerbang perumahan."

"Astaghfirullah, masa Pak Ayman gentayangan juga," balasku.

"Ibu lu gentayangan, Lang?" tanya Ega.

Duk!

Iwan memu-kul kepala Ega dengan buku menu. "Lu kalau ngomong dijaga!" omel Iwan.

"Kan gua cuman nanya, Wan," sahut Ega.

"Ya, tapi jaga perasaan orang juga."

"Gak apa-apa, Wan. Alhamdulillah ibu gua gak gentayangan." Aku tidak ingin menceritakan kejadian di rumah. Lagi pula, itu belum tentu ibu. Bisa jadi hanya hantu yang ingin menakutiku saja.

"Terus maksud omongan lu tadi apa?" tanya Ega.

"Yang mana?" balasku.

"Gentayangan juga," ucap Ega, penuh penekanan.

"Oh itu." Aku menceritakan kejadian di depan rumah Pak Didit.

"Pak Didit yang di Blok D, kan?" tanya Ega.

"Iya. Itu sekeluarga meninggal semua."

"Untung rumah gua jauh dari sana."

"Bukannya di Blok B ada yang meninggal juga satu orang?" tanya Iwan.

Aku melirik Ega, menunggu jawabannya. "Iya, Bu Wariah. Tetangga samping rumah gua."

"Dia gentayangan juga?" tanya Iwan.

Ega terdiam sebentar, "Eng-gak, kok," balasnya agak sedikit terbata.

"Yakin?" Sepertinya ia menyembunyikan sesuatu.

"Yakin."

"Muka lu kagak bisa bohong, Ga," ucapku. "Jujur aja."

Ega sedikit menggeser kursinya, lalu mendekatkan kepalanya padaku. "Iya," bisiknya.

"Hiii, kok jadi pada gentayangan gitu," ucap Iwan.

"Pasti ada sesuatu," ucapku, pelan. Sembari memikirkan sebuah pertanyaan besar. Kenapa mereka semua gentayangan?

BERSAMBUNG

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • 7 Hari Setelah Ibu Pergi    Anjing Hitam

    Aku bangkit lalu berlari ke arah jendela untuk menutup gordin. Tak mau kalau tiba-tiba ada sosok lain yang muncul. Kuambil ponsel, ternyata baru pukul tiga pagi.Aku berbaring sambil menghadap kiri membelakangi jendela. Kemudian memutar video murotal Al Qur'an di youtube, sambil menunggu waktu subuh tiba.Satu jam berlalu, azan subuh berkumandang. Bergegas aku bangkit dan berjalan ke kamar mandi, untuk mengambil wudu.Setelah salat subuh, aku turun ke bawah untuk mengambil minum. Tak sengaja berpapasan dengan Om Herman. "Kirain udah tidur, Lang," ucapnya."Belum, Om. Ini baru mau tidur," balasku. "Om belum tidur juga?" imbuhku, sambil menuangkan air ke dalam gelas."Tadi sempet tidur sebentar terus kebangun," balasnya."Om mimpi ibu kamu datang ke sini, Lang," sambungnya, membuat tenggorokanku sedikit tercekat."Mimpinya gimana, Om?" tanyaku."Om cuman liat ibu kamu berdiri di deket jendela.""Ibu gak bilang sesuatu, Om?""Enggak.""Aku bingung, kenapa ya ibu jadi begitu.""Makanya bi

  • 7 Hari Setelah Ibu Pergi    Berita Duka

    Mobil sudah memasuki area perumahan. Tak berselang lama tiba di jalan depan rumah Om Herman. Aku menatap lurus ke depan. Tak terlihat ada sesuatu yang aneh. Kemudian turun, untuk membuka pagar.Setelah mobil masuk garasi, dengan cepat kututup pagar. Perasaan ini tidak enak saat melihat jalan. Seperti ada yang memperhatikan gerak-gerikku. Bulu kuduk ini meremang. Bergegas aku berlari menuju teras.Om Herman turun dari mobil. "Ada apa, Lang?" tanyanya."Gak ada apa-apa, Om," balasku."Oh. Kirain habis liat sesuatu.""Aman, Om."Om Herman membuka pintu. Kami pun masuk ke dalam lalu kembali ke kamar masing-masing. Di dalam kamar aku masih kesulitan untuk tidur.Mungkin ini efek kemarin tidur siang terlalu lama.Kuambil ponsel, lalu menatap layar depannya cukup lama. Terlihat foto ibu, aku dan Kak Nasrul saat liburan di Bali, tahun lalu. Jemari ini bergerak, menekan aplikasi google. Ada yang ingin aku cari. Tentang kronologi kecelakaan maut itu. Soalnya, semenjak kabar duka itu datang, tid

  • 7 Hari Setelah Ibu Pergi    Mereka Mengikutiku

    Om Herman memintaku duduk di sofa, kemudian ia pergi ke dapur. Sementara itu, Aurora terus menatapku dengan mata tajam. "Ada apa?" tanyaku."Mereka terus meminta tolong ya, Kak?" tanyanya."Siapa?""Itu ... orang-orang berwajah menakutkan yang ikut sama kakak."Aku mengerti maksudnya. "Dari mana kamu tau?""Salah satunya datang duluan ke rumah in, Kak.""Tidur, sayang. Udah malem." Om Herman datang sambil membawa segelas teh hangat."Iya, Papah!" Aurora bangkit dan berlari ke kamarnya.Om Herman duduk di dekatku."Tumben banget, Lang. Datang ke Bogor tengah malem terus naek motor. Mana kehujanan juga.""Iya, Om. Lagi pengen aja main ke sini," balasku."Kan bisa besok pagi atau siang. Kenapa harus malem-malem?""Lebih enak malem, Om. Sepi plus dingin.""Yang jujur, Lang. Om tau pasti ada sesuatu."Aku menghela napas. "Sebenernya, emang ada sesuatu, Om. Apa Om percaya sama setan gentayangan?""Percaya.""Om pernah liat?""Pernah beberapa kali.""Nah, semenjak kejadian kecelakaan maut it

  • 7 Hari Setelah Ibu Pergi    Menembus Hujan

    Hujan belum juga reda. Sementara aku dan Cecep masih bertahan di dalam pos satpam. Dari tadi, ia terus memaksaku menonton youtube cerita horor. Semuanya bertemakan pesugihan. Sehingga aku mulai sedikit mengerti tentang hal itu."Emang bisa numbalin orang lain, Cep?" tanyaku."Bisa banget, Lang," balasnya."Enak banget dong! Kaya tanpa ngorbanin keluarga sendiri.""Iya. Tapi ... kasian keturunannya nanti.""Kok kasian? Kan enak dapet warisan banyak.""Namanya harta instan, Lang. Bisa ilang secara instan juga. Di kampung gua dulu ada yang ngelakuin begituan, terus hidup anak cucunya kaya ketiban sial terus, mana miskin pula.Tapi ada juga yang malah ngelanjutin kelakukan bapaknya. Biar tetep kaya.""Berarti masuk ke lubang yang sama.""Iya.""Lu tau gak bentuk Jin Pesugihan itu kaya gimana?""Ada yang bentuknya Kuntilanak, Tuyul, Genderuwo, Pocong dan Siluman.""Oh, kalau yang bentuknya kaya anjing itu apa ya?" Aku penasaran dengan sosok yang ada di dalam mimpi tadi sore."Ya itu Siluma

  • 7 Hari Setelah Ibu Pergi    Desas- Desus

    Sudah satu jam aku berdiam diri di masjid komplek. Masih belum menentukan tujuan. Kucoba mengirim pesan ke Ega, tapi belum ada balasan.Ting!Panjang umur, akhirnya Ega membalas pesanku.[Gua gak ada di rumah, Lang][Balik kapan][Besok]Aku tak begitu saja percaya dengan ucapannya. Kucoba meneleponnya."Apaan, Lang?" ucapnya saat telepon diangkat."Lu beneran gak ada di rumah?""Iye. Ini gua lagi di rumah saudara.""Oh ya udah deh.""Gara-gara kejadian di rumah lu kemaren. Gua jadi takut sendirian di rumah." Aku mencari alasan."Oh. Besok aja Lang kalau mau nginep.""Oke, sip!"Kututup telepon. Terdengar suara gemuruh di langit. Sepertinya aku tidak bisa berlama-lama di masjid. Lagian, masjid pun sudah terlihat sepi. Hanya ada beberapa jamaah saja yang menunggu waktu isya.Aku mengendarai motor menuju kedai kopi. Saat melewati Blok A, dari kejauhan terlihat ada orang sedang berjalan dengan kaki picang. Seketika itu teringat omongan Cecep. Kupercepat laju motor, berniat melewatinya. I

  • 7 Hari Setelah Ibu Pergi    Dejavu

    Kuseka air mata, lalu meraih ponsel yang sedang diisi dayanya. Waktu menunjukan pukul satu siang. Bergegas aku bangkit lalu membuka jendela. Di luar terlihat sepi, suara anak-anak komplek yang biasanya bermain pun tidak terdengar.Aku berjalan ke luar kamar. Rasa takut ini kembali muncul saat melihat ke arah dapur. Namun, kandungan kemih yang sudah terisi penuh ini memaksaku untuk berjalan ke sana.Lampu dapur begitu terang, tapi entah kenapa membuat bulu kuduk ini meremang. Kulihat wajan dan panci stainless sudah tergeletak di lantai. Kurapikan semuanya mengembalikan ke tempat semula. Aku mulai ragu kalau yang datang semalam itu adalah ibu. Soalnya, ia tidak mungkin membanting alat dapur kesayangannya.Sebelum melangkah ke kamar mandi, aku meminum segelas air dingin. Membahasi kerongkongan yang terasa kering. Kemudian buang air kecil dan lanjut mengambil wudu.Aku pun kembali ke kamar, langsung menyalakan pendingin ruangan. Soalnya jam segini, Jakarta sedang panas-panasnya. Kemudian,

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status