LOGINEga menceritakan kejadian aneh setelah tiga hari Bu Wariah meninggal dunia. "Posisi kamar gua kan dempetan sama tembok rumahnya. Nah sekitar jam dua malem, gua denger ada suara yang ngetok-ngetok tembok. Suaranya lumayan kenceng, ampe gua kebangun," ucapnya.
"Terus, tadi ... gua kan lagi tiduran di kamar. Ngedenger suara itu lagi. Gua cek dong ke rumah sebelah, ternyata gak ada orang. Pas gua balik lagi ke kamar. Eh ada suara orang nangis. Jadi gua langsung cabut aja ke mari," imbuhnya. "Emang kalau meninggal kecelakaan gitu pasti gentayangan, ya?" tanyaku. "Kagak sih, Lang. Temen gua ada yang meninggal kecelakaan motor tapi gak gentayangan tuh," sahut Iwan. "Nah, terus kenapa sekarang pada gentayangan gini?" "Nanti pas balik lu mampir dulu ke rumah Pak Didit, terus tanyain deh," balas Ega. "Nah, terus kenapa sekarang pada gentayangan gini?" "Nanti pas balik lu mampir dulu ke rumah Pak Didit, terus tanyain deh," balas Ega. "Kenapa gak lu aja yang nanya ke Bu Wariah," balasku. "Udah-udah, mending pada ngopi dulu," ucap Iwan. Aku pun meminum kopi yang sudah agak dingin, lalu lanjut menonton sepakbola hingga pukul sepuluh malam. Iwan terlihat sedang merapikan meja dan kursi. "Mau tutup, Wan?" tanyaku. "Iya," sahutnya sambil mengangkat kursi. "Masih sore padahal," ucapku. "Iya, baru juga jam sepuluh," timpal Ega. "Sepi gini mending tutup daripada boros listrik," sahut Iwan. "Temenin lah, Wan. Di rumah gua kagak ada siapa-siapa," ucap Ega. "Iya, Wan." Aku setuju dengan ucapan Ega. "Mau sampe jam berapa?" tanya Iwan. "Besok pagi," sahutku. "Kagak bisa. Besok gua mau buka dari siang." "Jam berapa dong?" Jujur setelah mendengar cerita Ega tadi, aku jadi malas pulang ke rumah. "Jam 12 malem titik! No injury time," sahut Iwan. "Pas banget tengah malem itu sih, jahat bener," keluhku. "Gua takut besok bangun kesiangan, Lang." "Lu tidur aja, Wan. Ntar gua sama Ega yang jaga." "No no no! Pokoknya jam DUA BELAS TENG!" "Ya udah deh." Masih ada waktu dua jam untuk membujuknya. **** Waktu berlalu begitu cepat, lima menit lagi sudah tengah malam. Padahal aku sudah sengaja memesan cemilan dan minuman terus menerus. Namun, Iwan bersikeras untuk menutup kedai. Tek! Lampu depan kedai mati. "Gelap, Wan!" protesku. "Bubar-bubar!" sahutnya. Ega berdiri, "Mau ke mana lu?" tanyaku. "Balik lah," balasnya. "Yakin?" Dari wajahnya tampak sekali ia masih ragu. "Habis mau ke mana lagi?" "Ke Mekdi yuk! Ampe pagi." "Kagak deh, gua udah ngantuk juga." "Lu emang berani sendirian di rumah?" "Berani-beraniin aja, tinggal pake earphone terus tidur. Aman." Ega berlalu ke motornya. "Balik dulu, Wan!" teriakku, lalu mengikuti Ega. "Oke, Lang!" sahut Iwan. "Lu ngapa ikutin gua, Lang?" tegur Ega sembari berdiri di samping motornya. "Gua nginep di rumah lu dong." Tak ada jalan lain, daripada harus pulang ke rumah, lalu jalan kaki sendirian dan melewati rumah Pak Didit. "Lah, kenapa gak balik ke rumah aja." "Lu mau anterin?" "Kagak." "Tuhkan." Ega mengeluarkan kunci motor dari saku celananya. "Emang, lu yakin mau nginep di rumah gua?" "Iya, lagian di rumah gua juga gak ada siapa-siapa." "Ya udah!" Ega menyalakan motor, "Yuk!" Bergegas aku naik ke atas motor. Motor pun melaju dengan cepat melewati gerbang perumahan. "Cep." Aku menyapa Cecep yang sedang berjaga sendirian. Kurang dari tiga menit, kami sudah sampai di rumah. Bergegas, aku turun dari motor, sedikit melirik ke arah rumah Bu Wariah. Lampu rumahnya mati, tanda tak ada orang. Wus~ Ada angin yang menggerakan daun pohon mangga di depan rumah Bu Wariah. Tak lama kemudian tercium bau anyir seperti darah. "Ega." Aku berdiri di samping Ega. Ia menyikut tubuhku, "Apaan?" "Tadi lu nyium sesuatu, gak?" "Kagak." Ega mengeluarkan kunci gembok dari saku celananya. Satu menit berlalu gemboknya belum berhasil dibuka. "Lama amat, Ga?" protesku. "Ini gembok emang suka macet." "Astaga, buruan!" "SABAR!" Ega berusaha membuka gembok. Kemudian ia berhenti sembari menarik napas panjang. 3 "Kenapa?" "Gua nyium bau anyir." "Kan udah gua bilang. Buruan! Badan gua udah merinding disko ini." "Ya Allah, kenapa ini gembok macet pas situasi kaya gini," keluh Ega. Tolong~ HUA! Sontak kami berteriak saat mendengar suara lirih itu dari rumah Bu Wariah"BURUAN, GA!" Aku menundukan kepala sambil merapatkan tubuh ke pagar. "IYAAA!" Gerakan tangan Ega semakin panik. Tek! Gembok terbuka. Bergegas Ega membuka pagar, lalu kami berlari ke teras. "Pintu rumah lu kagak macet juga, kan?" ucapku. "Kagak!" Ega membuka pintu dan kami pun masuk ke dalam rumah. Aku langsung menjatuhkan diri di sofa ruang tamu. "Parah, udah kaya lagi syuting pilem horor. Pake adegan gembok macet." "Iya, lain kali kagak gua gembok dah." Ega berjalan ke dalam. "Mau ke mana lu?" tanyaku, seraya bangkit. "Kamar." sahutnya. "Ikut." Kami pun masuk ke kamar. Ega langsung membaringkan tubuhnya di atas kasur. Sementara aku menutup pintu rapat-rapat. "Nyokap sama bokap lu ke mana, Ga?" tanyaku, sembari duduk di atas karpet - samping kasur. "Lagi ke rumah saudara gua." "Lu mau tidur?" "Iya, gua dah ngantuk." Ega mengambil earphone di dekat kasur. Kuedarkan pandangan, "Di kamar lu gak ada speaker gitu?" "Lu liat aja sendiri." Ega sudah memasang earphone. "Duh." "Emangnya kenapa?" "Ntar kalau ada suara-suara dari sebelah, gua bisa denger dong." "Lu nyalain aja laptop, terus muter lagu apa kek." "Oke-oke." Kulihat Ega sudah menutup mata. "Jangan tidur dulu!" Aku menggelitik kakinya. "Ish, dibilang gua dah ngantuk!" "Tahan bentar." Kunyalakan laptop, lalu memutar lagu. "Ini dangdut koplo semua?" "Ada banyak lagu! Lu pilih aja," sahut Ega. "Oh, oke." Setelah memilih lagu dan menyetelnya dengan suara kencang, aku pun tidur di atas karpet. Gilang! Gilang! Samar terdengar suara ibu memanggilku. Kriet! Kini ada suara pintu terbuka. Aku pun membuka mata melirik ke arah pintu. Ibu sedang berdiri di sana. "Lang, tolong ibu," ucapnya, sambil memegang kepala. Kemudian melangkah mendekat. Terlihat darah mengalir di keningnya, hingga mambasahi lantai kamar. "Lang, tolong ibu." "Astaghfirullah." Aku terbangun dan membuka mata. Jantung ini berdebar kencang. Debarannya semakin kencang saat melihat pintu yang terbuka. Suasana kamar begitu hening. Musik yang tadi kunyalakan sudah mati. Kulirik layar laptop, terlihat pukul 03:27. Kemudian, bangkit untuk menutup pintu. Dug! Dug! Baru beberapa langkah, terdengar suara benda yang dibenturkan. Sontak aku menoleh ke belakang, menatap tembok di samping kasur. Sepertinya suaranya tidak berasal dari sana, melainkan dari .... Dug! Dug! Aku menatap pintu yang terbuka. "Aduh ... sakit." Terdengar suara rintihan dari luar. "GA! EGA!" Aku berteriak. Sementara mata ini masih tertuju pada pintu. Deg! Mataku terbelalak saat melihat ada tangan pucat muncul dan menggenggam kusen pintu. "Tolong." Suara lirih itu kembali terdengar. "EGAAAA!" Aku berteriak sekecang mungkin. BERSAMBUNGAyah berlari ke arah jendela, "HAMID!" panggilnya. Rasanya tak mungkin jika Hamid melompat ke bawah. "HAMID!" Kami pun berlari ke bawah. "Ada apa, Yah?" tanya Ibu yang baru saja ke luar kamar. "Hamid gak ada, Bu!" sahut Ayah. "Nggak ada gimana?" "Nggak ada di kamarnya!" "Mungkin lagi di kamar mandi." "Nggak ada, Bu!" sahutku. "Tadi kamarnya dikunci, pas Ayah dobrak, Hamid gak ada di dalem. Cuman jendela kamarnya kebuka," imbuhku. "Ya Allah, Hamid ...." Ayah berlari ke pintu depan, lalu ke luar rumah. Sementara aku dan ibu mencari keberadaan Hamid di dalam rumah. Kami mencari hampir di setiap sudut rumah, tapi Hamid belum juga ketemu. "Apa mungkin di dalem gudang?" ucapku. "Nggak mungkin. Gundangnya kan dikunci," balas Ayah. "Terus Hamid ke mana? Malem-malem gini." Suara ibu bergetar menahan tangis. "Coba dicek lagi di atas," usul Ayah. Kami pun naik ke lantai dua. Pertama mencari di dalam kamarku. Nihil. Kemudian di kamar Hamid. "Hamid!" teriakku saat men
Aku berlari ke bawah, sambil memegangi perut yang terasa sakit. Darah terus menetes, membasahi lantai dan anak tangga. "Ayah!" teriakku dengan nada panik, saat melihat Ayah sedang duduk di ruang tengah. "Ada apa, Syad?" tanyanya bingung, saatku menghampirinya. Tangisku pecah. "Ada apa, Syad?" tanyanya lagi seraya bangkit dari kursi. "Hamid," balasku, terisak. "Hamid kenapa?" "Hamid nusuk perut aku." Ku tunjukan pensil yang masih menancap di perut. "Nusuk gimana? Orang perut kamu gak kenapa-napa gitu?" Aku melihat ke perut. Tak ada sedikit pun noda darah di pakaian. Kemudian mengangkat pensil yang daritadi kupegang. Ternyata pensilnya pun tidak menancap di perut. "Tadi perut aku berdarah, kok sekarang ...." Sungguh aku sangat bingung. "Mungkin kamu cuman mimpi, tapi kebawa sampai dunia nyata. Makanya sebelum tidur baca doa dulu." "Aku udah baca doa, Ayah. Tadi beneran sakit banget perutnya, sama ke luar darah." "Kenyataannya? Perut kamu gak kenapa-napa, kan?" Sepert
"Ini rumahnya, Yah?" tanyaku. "Iya," balas Ayah. Aku berdiri di depan sebuah rumah berlantai dua. Dari bentuk dan jendelanya, mirip sekali dengan rumah Belanda. Ayah bilang, kalau rumah ini sudah tiga tahun tak ditempati. Terlihat jelas sekali dari cat putihnya yang kusam dan kehitaman. Rumput di halaman depannya pun lumayan tinggi. Cukup untuk menenggelamkan adikku -Hamid. Bagian terseramnya adalah ada satu pohon mangga dan pohon beringin di depan rumah. Hiii ~ melihatnya saja aku sudah merinding. Ngik! Ayah membuka pagar besi yang sudah berkarat, suara decitannya bahkan terdengar ngilu di telingaku. "Ayo, masuk." Kami berjalan melewati rerumputan yang tinggi. "Hamid, jangan jauh-jauh dari kakak. Nanti ilang," candaku disertai tawa. "Bu, kakak ngeledek!" sahutnya. "Arsyad, jangan dibecandain terus adiknya," tegur Ibu. "Iya, Bu." "Awas licin!" ucap Ayah saat menginjakan kaki di lantai teras yang agak berlumut. "Wah, bisa kerja bakti sampe malem ini," celetukku.
Aku berdiri di depan gerbang perumahan. Suasana begitu sepi. Di pos satpam pun tak ada siapa-siapa.Aku melangkah masuk ke area perumahan.Duk! Duk!Terdengar suara langkah, aku menoleh ke kanan. Ada Pak Ayman sedang berlari ke arahku. Namun seperti wujudnya seperti manusia biasa, tidak semenyeramkan dulu."Lang," panggilnya, sembari melambaikan tangan.Aku terdiam, bingung harus merespon apa. Dengan canggung, membalas lambaian tangannya. Kemudian, berlalu menuju rumah.Suara langkah kaki terdengar mendekat. Puk! Seseorang menepuk pundakku. HUA! Aku berteriak saat melihat Pak Ayman sudah ada di samping."Kenapa teriak?" tanyanya."Kaget, Pak.""Bapak cuman mau ucapin terimakasih.""Terimakasih kenapa, Pak?""Kamu udah bebasin bapak."Aku mengerutkan dahi. Apa maksudnya dibebaskan dari jerat Siluman Anjing?"Sama-sama, Pak," balasku, tak mau mengobrol terlalu lama dengannya agak trauma.Sayup terdengar suara musik senam dari arah lapangan. Dari kejauhan terlihat ada empat orang sedang
Pak Ryan tersenyum, "Halo Gilang. Jangan kaget gitu dong," ucapnya tanpa sedikitpun rasa bersalah.Rasa bersalah telah bersekongkol dengan Haji Rofi atas kecelakaan itu. Rasa bersalah karena telah membu-nuh Samson. Ya! Pasti itu ulahnya juga."Kok diem aja?" ucap Magdalena. Aku melirik wanita muda berambut panjang itu. Mungkin usianya tak begitu jauh dariku."Kenapa bapak ngelakuin ini semua. Padahal ibu udah baik banget sama bapak. Samson juga gak bersalah," ucapku."Ibu kamu memang baik, tapi salah karena udah ngelahirin kamu. Kalau kucing itu cukup mengganggu.""Apa yang salah dari saya?""Lena, kamu saja yang jelaskan, saya mau menghabisi yang lain dulu." Pak Ryan mengambil belati dari kantung jubahnya. "Kamu tau kenapa saya memakai warna merah?""Saya gak peduli!" sahutku."Hahahahah, merah adalah darah. Saya lah yang biasa ditugaskan sebagai eksekutor." Pak Ryan memutar-mutar belatinya. "Hmm, siapa dulu ya? Gimana kalau Nasrul?" Ia menatap tubuh Kak Nasrul."Bu-nuh saya aja, Pak
Angin berhembus kencang, menggerakan pepohonan di sekitar.Daun-daun kering yang berjatuhan berputar-putar di udara, membentuk pusaran. Sontak kami melangkah mundur, mendekati mobil.Srek! Srek!Terdengar suara langkah kaki dari dalam hutan yang gelap. Langkah yang menyerupai gerombolan hewan.Habib Husein meminta kami berkumpul di satu titik, kemudian membentuk lingkaran. Berjaga-jaga bila ada serangan dari arah tertentu.Habib Husein meminta kami menyalakan flashlight ponsel. Karena suasana begitu gelap, bulan masih bersembunyi di balik awan. Namun, penerangan ponsel saja tidak cukup. Jarak pandang kami terlalu pendek."Bib, kalau pake lampu mobil aja gimana?" usul salah satu santri."Boleh."Ia berlari ke mobil, disusul Kak Hazim dan Om Herman.Bruk!Santri itu tiba-tiba terjatuh ke tanah. Om Herman dan Kak Hazim langsung menolongnya. Baru saja bangkit, ia sudah terjatuh kembali. Malahan kali ini lebih parah. Seperti ada yang menarik kakinya.Ustad Azzam yang melihat kejadian itu t







