Share

Tolong

Author: Agung
last update Last Updated: 2025-07-16 22:44:29

Ega menceritakan kejadian aneh setelah tiga hari Bu Wariah meninggal dunia. "Posisi kamar gua kan dempetan sama tembok rumahnya. Nah sekitar jam dua malem, gua denger ada suara yang ngetok-ngetok tembok. Suaranya lumayan kenceng, ampe gua kebangun," ucapnya.

"Terus, tadi ... gua kan lagi tiduran di kamar. Ngedenger suara itu lagi. Gua cek dong ke rumah sebelah, ternyata gak ada orang. Pas gua balik lagi ke kamar. Eh ada suara orang nangis. Jadi gua langsung cabut aja ke mari," imbuhnya.

"Emang kalau meninggal kecelakaan gitu pasti gentayangan, ya?" tanyaku.

"Kagak sih, Lang. Temen gua ada yang meninggal kecelakaan motor tapi gak gentayangan tuh," sahut Iwan.

"Nah, terus kenapa sekarang pada gentayangan gini?"

"Nanti pas balik lu mampir dulu ke rumah Pak Didit, terus tanyain deh," balas Ega.

"Nah, terus kenapa sekarang pada gentayangan gini?"

"Nanti pas balik lu mampir dulu ke rumah Pak Didit, terus tanyain deh," balas Ega.

"Kenapa gak lu aja yang nanya ke Bu Wariah," balasku.

"Udah-udah, mending pada ngopi dulu," ucap Iwan.

Aku pun meminum kopi yang sudah agak dingin, lalu lanjut menonton sepakbola hingga pukul sepuluh malam.

Iwan terlihat sedang merapikan meja dan kursi. "Mau tutup, Wan?" tanyaku.

"Iya," sahutnya sambil mengangkat kursi.

"Masih sore padahal," ucapku.

"Iya, baru juga jam sepuluh," timpal Ega.

"Sepi gini mending tutup daripada boros listrik," sahut Iwan.

"Temenin lah, Wan. Di rumah gua kagak ada siapa-siapa," ucap Ega.

"Iya, Wan." Aku setuju dengan ucapan Ega.

"Mau sampe jam berapa?" tanya Iwan.

"Besok pagi," sahutku.

"Kagak bisa. Besok gua mau buka dari siang."

"Jam berapa dong?" Jujur setelah mendengar cerita Ega tadi, aku jadi malas pulang ke rumah.

"Jam 12 malem titik! No injury time," sahut Iwan.

"Pas banget tengah malem itu sih, jahat bener," keluhku.

"Gua takut besok bangun kesiangan, Lang."

"Lu tidur aja, Wan. Ntar gua sama Ega yang jaga."

"No no no! Pokoknya jam DUA BELAS TENG!"

"Ya udah deh." Masih ada waktu dua jam untuk membujuknya.

****

Waktu berlalu begitu cepat, lima menit lagi sudah tengah malam. Padahal aku sudah sengaja memesan cemilan dan minuman terus menerus. Namun, Iwan bersikeras untuk menutup kedai.

Tek!

Lampu depan kedai mati. "Gelap, Wan!" protesku.

"Bubar-bubar!" sahutnya.

Ega berdiri, "Mau ke mana lu?" tanyaku.

"Balik lah," balasnya.

"Yakin?" Dari wajahnya tampak sekali ia masih ragu.

"Habis mau ke mana lagi?"

"Ke Mekdi yuk! Ampe pagi."

"Kagak deh, gua udah ngantuk juga."

"Lu emang berani sendirian di rumah?"

"Berani-beraniin aja, tinggal pake earphone terus tidur. Aman." Ega berlalu ke motornya.

"Balik dulu, Wan!" teriakku, lalu mengikuti Ega.

"Oke, Lang!" sahut Iwan.

"Lu ngapa ikutin gua, Lang?" tegur Ega sembari berdiri di samping motornya.

"Gua nginep di rumah lu dong." Tak ada jalan lain, daripada harus pulang ke rumah, lalu jalan kaki sendirian dan melewati rumah Pak Didit.

"Lah, kenapa gak balik ke rumah aja."

"Lu mau anterin?"

"Kagak."

"Tuhkan."

Ega mengeluarkan kunci motor dari saku celananya. "Emang, lu yakin mau nginep di rumah gua?"

"Iya, lagian di rumah gua juga gak ada siapa-siapa."

"Ya udah!" Ega menyalakan motor, "Yuk!"

Bergegas aku naik ke atas motor. Motor pun melaju dengan cepat melewati gerbang perumahan. "Cep." Aku menyapa Cecep yang sedang berjaga sendirian.

Kurang dari tiga menit, kami sudah sampai di rumah. Bergegas, aku turun dari motor, sedikit melirik ke arah rumah Bu Wariah. Lampu rumahnya mati, tanda tak ada orang.

Wus~

Ada angin yang menggerakan daun pohon mangga di depan rumah Bu Wariah. Tak lama kemudian tercium bau anyir seperti darah.

"Ega." Aku berdiri di samping Ega.

Ia menyikut tubuhku, "Apaan?"

"Tadi lu nyium sesuatu, gak?"

"Kagak." Ega mengeluarkan kunci gembok dari saku celananya. Satu menit berlalu gemboknya belum berhasil dibuka.

"Lama amat, Ga?" protesku.

"Ini gembok emang suka macet."

"Astaga, buruan!"

"SABAR!" Ega berusaha membuka gembok. Kemudian ia berhenti sembari menarik napas panjang.

3

"Kenapa?"

"Gua nyium bau anyir."

"Kan udah gua bilang. Buruan! Badan gua udah merinding disko ini."

"Ya Allah, kenapa ini gembok macet pas situasi kaya gini," keluh Ega.

Tolong~

HUA!

Sontak kami berteriak saat mendengar suara lirih itu dari rumah Bu Wariah"BURUAN, GA!" Aku menundukan kepala sambil merapatkan tubuh ke pagar.

"IYAAA!" Gerakan tangan Ega semakin panik.

Tek!

Gembok terbuka. Bergegas Ega membuka pagar, lalu kami berlari ke teras. "Pintu rumah lu kagak macet juga, kan?" ucapku.

"Kagak!" Ega membuka pintu dan kami pun masuk ke dalam rumah.

Aku langsung menjatuhkan diri di sofa ruang tamu. "Parah, udah kaya lagi syuting pilem horor. Pake adegan gembok macet."

"Iya, lain kali kagak gua gembok dah." Ega berjalan ke dalam.

"Mau ke mana lu?" tanyaku, seraya bangkit.

"Kamar." sahutnya.

"Ikut."

Kami pun masuk ke kamar. Ega langsung membaringkan tubuhnya di atas kasur. Sementara aku menutup pintu rapat-rapat. "Nyokap sama bokap lu ke mana, Ga?" tanyaku, sembari duduk di atas karpet - samping kasur.

"Lagi ke rumah saudara gua."

"Lu mau tidur?"

"Iya, gua dah ngantuk." Ega mengambil earphone di dekat kasur.

Kuedarkan pandangan, "Di kamar lu gak ada speaker gitu?"

"Lu liat aja sendiri." Ega sudah memasang earphone.

"Duh."

"Emangnya kenapa?"

"Ntar kalau ada suara-suara dari sebelah, gua bisa denger dong."

"Lu nyalain aja laptop, terus muter lagu apa kek."

"Oke-oke." Kulihat Ega sudah menutup mata. "Jangan tidur dulu!" Aku menggelitik kakinya.

"Ish, dibilang gua dah ngantuk!"

"Tahan bentar." Kunyalakan laptop, lalu memutar lagu. "Ini dangdut koplo semua?"

"Ada banyak lagu! Lu pilih aja," sahut Ega.

"Oh, oke."

Setelah memilih lagu dan menyetelnya dengan suara kencang, aku pun tidur di atas karpet.

Gilang!

Gilang!

Samar terdengar suara ibu memanggilku.

Kriet!

Kini ada suara pintu terbuka. Aku pun membuka mata melirik ke arah pintu. Ibu sedang berdiri di sana.

"Lang, tolong ibu," ucapnya, sambil memegang kepala. Kemudian melangkah mendekat. Terlihat darah mengalir di keningnya, hingga mambasahi lantai kamar. "Lang, tolong ibu."

"Astaghfirullah." Aku terbangun dan membuka mata. Jantung ini berdebar kencang. Debarannya semakin kencang saat melihat pintu yang terbuka.

Suasana kamar begitu hening. Musik yang tadi kunyalakan sudah mati. Kulirik layar laptop, terlihat pukul 03:27. Kemudian, bangkit untuk menutup pintu.

Dug! Dug!

Baru beberapa langkah, terdengar suara benda yang dibenturkan. Sontak aku menoleh ke belakang, menatap tembok di samping kasur. Sepertinya suaranya tidak berasal dari sana, melainkan dari ....

Dug! Dug!

Aku menatap pintu yang terbuka.

"Aduh ... sakit." Terdengar suara rintihan dari luar.

"GA! EGA!" Aku berteriak. Sementara mata ini masih tertuju pada pintu.

Deg!

Mataku terbelalak saat melihat ada tangan pucat muncul dan menggenggam kusen pintu. "Tolong." Suara lirih itu kembali terdengar.

"EGAAAA!" Aku berteriak sekecang mungkin.

BERSAMBUNG

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • 7 Hari Setelah Ibu Pergi    Jangan Pulang

    Sore ini, jalanan di sekitar Bogor seperti penghijauan. Penuh dengan angkot berwarna hijau. Hampir setengah jam, mobil hanya bergerak beberapa meter."Bisa malem nih sampenya," celetukku.Om Herman hanya tertawa sambil memperhatikan jalan. "Kalau sampenya malem ntar nginep aja di sana.""Setuju, Om! Dari pada nanti liat anak kecil nyebrang jalan lagi.""Kamu itu emang sensitif atau bisa liat?"Aku bingung dengan pertanyaannya, "Maksudnya apa, Om?""Maksudnya sering liat hantu atau sejenisnya?""Gak pernah, Om. Baru beberapa hari terakhir ini aja.""Hmm, Om kira emang bisa ngeliat dari dulu.""Kalau itu iya, Om. Nih lagi liat jalanan."Om Herman tertawa. "Tadi Aurora bilang apa?""Dia bilang ada Anjing Hitam di atas mobil ini.""Oh, mungkin itu yang bikin mobil gak bisa nyala.""Kayanya begitu.""Sekarang ada?""Nah ... aku gak tau Om. Soalnya yang liat cuman Aurora."Setelah satu jam lebih berkutat dengan kemacetan. Kini jalanan sudah agak lengang. Mobil melaju dengan cepat ke sebuah

  • 7 Hari Setelah Ibu Pergi    Anjing Hitam

    Aku bangkit lalu berlari ke arah jendela untuk menutup gordin. Tak mau kalau tiba-tiba ada sosok lain yang muncul. Kuambil ponsel, ternyata baru pukul tiga pagi.Aku berbaring sambil menghadap kiri membelakangi jendela. Kemudian memutar video murotal Al Qur'an di youtube, sambil menunggu waktu subuh tiba.Satu jam berlalu, azan subuh berkumandang. Bergegas aku bangkit dan berjalan ke kamar mandi, untuk mengambil wudu.Setelah salat subuh, aku turun ke bawah untuk mengambil minum. Tak sengaja berpapasan dengan Om Herman. "Kirain udah tidur, Lang," ucapnya."Belum, Om. Ini baru mau tidur," balasku. "Om belum tidur juga?" imbuhku, sambil menuangkan air ke dalam gelas."Tadi sempet tidur sebentar terus kebangun," balasnya."Om mimpi ibu kamu datang ke sini, Lang," sambungnya, membuat tenggorokanku sedikit tercekat."Mimpinya gimana, Om?" tanyaku."Om cuman liat ibu kamu berdiri di deket jendela.""Ibu gak bilang sesuatu, Om?""Enggak.""Aku bingung, kenapa ya ibu jadi begitu.""Makanya bi

  • 7 Hari Setelah Ibu Pergi    Berita Duka

    Mobil sudah memasuki area perumahan. Tak berselang lama tiba di jalan depan rumah Om Herman. Aku menatap lurus ke depan. Tak terlihat ada sesuatu yang aneh. Kemudian turun, untuk membuka pagar.Setelah mobil masuk garasi, dengan cepat kututup pagar. Perasaan ini tidak enak saat melihat jalan. Seperti ada yang memperhatikan gerak-gerikku. Bulu kuduk ini meremang. Bergegas aku berlari menuju teras.Om Herman turun dari mobil. "Ada apa, Lang?" tanyanya."Gak ada apa-apa, Om," balasku."Oh. Kirain habis liat sesuatu.""Aman, Om."Om Herman membuka pintu. Kami pun masuk ke dalam lalu kembali ke kamar masing-masing. Di dalam kamar aku masih kesulitan untuk tidur.Mungkin ini efek kemarin tidur siang terlalu lama.Kuambil ponsel, lalu menatap layar depannya cukup lama. Terlihat foto ibu, aku dan Kak Nasrul saat liburan di Bali, tahun lalu. Jemari ini bergerak, menekan aplikasi google. Ada yang ingin aku cari. Tentang kronologi kecelakaan maut itu. Soalnya, semenjak kabar duka itu datang, tid

  • 7 Hari Setelah Ibu Pergi    Mereka Mengikutiku

    Om Herman memintaku duduk di sofa, kemudian ia pergi ke dapur. Sementara itu, Aurora terus menatapku dengan mata tajam. "Ada apa?" tanyaku."Mereka terus meminta tolong ya, Kak?" tanyanya."Siapa?""Itu ... orang-orang berwajah menakutkan yang ikut sama kakak."Aku mengerti maksudnya. "Dari mana kamu tau?""Salah satunya datang duluan ke rumah in, Kak.""Tidur, sayang. Udah malem." Om Herman datang sambil membawa segelas teh hangat."Iya, Papah!" Aurora bangkit dan berlari ke kamarnya.Om Herman duduk di dekatku."Tumben banget, Lang. Datang ke Bogor tengah malem terus naek motor. Mana kehujanan juga.""Iya, Om. Lagi pengen aja main ke sini," balasku."Kan bisa besok pagi atau siang. Kenapa harus malem-malem?""Lebih enak malem, Om. Sepi plus dingin.""Yang jujur, Lang. Om tau pasti ada sesuatu."Aku menghela napas. "Sebenernya, emang ada sesuatu, Om. Apa Om percaya sama setan gentayangan?""Percaya.""Om pernah liat?""Pernah beberapa kali.""Nah, semenjak kejadian kecelakaan maut it

  • 7 Hari Setelah Ibu Pergi    Menembus Hujan

    Hujan belum juga reda. Sementara aku dan Cecep masih bertahan di dalam pos satpam. Dari tadi, ia terus memaksaku menonton youtube cerita horor. Semuanya bertemakan pesugihan. Sehingga aku mulai sedikit mengerti tentang hal itu."Emang bisa numbalin orang lain, Cep?" tanyaku."Bisa banget, Lang," balasnya."Enak banget dong! Kaya tanpa ngorbanin keluarga sendiri.""Iya. Tapi ... kasian keturunannya nanti.""Kok kasian? Kan enak dapet warisan banyak.""Namanya harta instan, Lang. Bisa ilang secara instan juga. Di kampung gua dulu ada yang ngelakuin begituan, terus hidup anak cucunya kaya ketiban sial terus, mana miskin pula.Tapi ada juga yang malah ngelanjutin kelakukan bapaknya. Biar tetep kaya.""Berarti masuk ke lubang yang sama.""Iya.""Lu tau gak bentuk Jin Pesugihan itu kaya gimana?""Ada yang bentuknya Kuntilanak, Tuyul, Genderuwo, Pocong dan Siluman.""Oh, kalau yang bentuknya kaya anjing itu apa ya?" Aku penasaran dengan sosok yang ada di dalam mimpi tadi sore."Ya itu Siluma

  • 7 Hari Setelah Ibu Pergi    Desas- Desus

    Sudah satu jam aku berdiam diri di masjid komplek. Masih belum menentukan tujuan. Kucoba mengirim pesan ke Ega, tapi belum ada balasan.Ting!Panjang umur, akhirnya Ega membalas pesanku.[Gua gak ada di rumah, Lang][Balik kapan][Besok]Aku tak begitu saja percaya dengan ucapannya. Kucoba meneleponnya."Apaan, Lang?" ucapnya saat telepon diangkat."Lu beneran gak ada di rumah?""Iye. Ini gua lagi di rumah saudara.""Oh ya udah deh.""Gara-gara kejadian di rumah lu kemaren. Gua jadi takut sendirian di rumah." Aku mencari alasan."Oh. Besok aja Lang kalau mau nginep.""Oke, sip!"Kututup telepon. Terdengar suara gemuruh di langit. Sepertinya aku tidak bisa berlama-lama di masjid. Lagian, masjid pun sudah terlihat sepi. Hanya ada beberapa jamaah saja yang menunggu waktu isya.Aku mengendarai motor menuju kedai kopi. Saat melewati Blok A, dari kejauhan terlihat ada orang sedang berjalan dengan kaki picang. Seketika itu teringat omongan Cecep. Kupercepat laju motor, berniat melewatinya. I

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status