Share

7 Hari Setelah Ibu Pergi
7 Hari Setelah Ibu Pergi
Author: Agung

Kenangan

Author: Agung
last update Last Updated: 2025-07-16 22:33:17

"Ibu, meninggal itu apa?" tanyaku sembari berbaring di pangkuannya.

"Pergi ke rumah Allah dan gak kembali lagi ke rumah ini." Ibu mengusap rambutku.

"Kalau begitu, aku gak mau meninggal, Bu."

"Semua orang pasti meninggal, Sayang."

"Nanti aku gak ketemu ibu lagi dong!" Aku bangkit lalu menatap wajahnya.

"Insya Allah nanti kita dipertemukan lagi di surga." Ibu mengecup keningku.

Percakapan masa kecil itu masih teringat jelas di pikiran ini. Kukira setelah belasan tahun berlalu, aku sudah siap menghadapi kepergiannya.

Nyatanya, baru seminggu saja rasanya sudah sangat berat.

Tok! Tok!

Kriet!

"Lang." Kak Nasrul memanggilku seraya berdiri di dekat pintu.

Aku menoleh. Pakaiannya sudah begitu rapi. "Kakak mau ke mana?"

"Pulang."

"Loh? Kok cepet amat."

"Kakak cuman ambil cuti seminggu, Lang. Besok harus masuk kerja."

"Aku sendirian dong di rumah."

"Kamu jagain rumah ya."

Aku bangkit dan menghampirinya, "Kakak gak ada niatan untuk tinggal di sini gitu? Kan ada dua kamar kosong."

"Waduh, kamu tau sendiri kantor kakak di Bandung. Masa harus bolak-balik Jakarta-Bandung tiap hari."

"Cari kerjaan di Jakarta gitu, Kak. Biar bisa tinggal di sini."

Kak Nasrul mengerutkan dahi, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Sebentar lagi kan kamu masuk kuliah. Coba ajak temen kamu tinggal di sini aja."

"Masih lama, Kak!"

"Bulan depan, kan?"

"Iya. Itu kan masih lama."

"Sebentar itu, Lang." Kak Nasrul berjalan ke luar, spontan aku mengikutinya.

Ada ojek online yang sudah menunggu di luar pagar. "Loh, kakak gak pake mobil?" tanyaku.

"Kamu pake aja," balasnya.

"Aku gak punya SIM."

"Udah 17 tahun, kan?"

"Udah."

"Tinggal bikin. Apa susahnya?"

"Kakak bawa aja mobil ibu ke Bandung." Aku agak memaksa, daripada mobil itu hanya terparkir di garasi.

"Kamu bisa nyetir?"

"Bisa "

"Yaudah, kamu pake aja mobilnya. Buat kuliah nanti."

"Kan ada motor, Kak!"

"Sekali-kali pake mobil kan bisa, Lang." Kak Nasrul berjalan ke luar pagar, aku pun mengikutinya. Ia berdiri menghadapku, kemudian menepuk pundakku. "Kamu jaga rumah baik-baik. Nanti kalau lagi libur dan gak ada kerjaan kakak bakal pulang, nemenin kamu."

"Iya, Kak."

"Kalau ada apa-apa atau butuh uang, kabarin kakak ya."

"Oke!"

"Kakak pulang dulu ya, Lang." pamitnya sembari naik ke atas motor. "Assalamualaikum."

"Walaikumsalam." Motor pun melaju. "Kabarin aku kalau udah sampe, Kak!"

"Oke!" sahutnya. Sementara itu, aku masih berdiri di luar pagar sambil menatap motor yang perlahan menjauh.

Sebelum masuk rumah, aku sempat melihat ke ujung jalan. Ada beberapa orang sedang sibuk membongkar tenda di depan rumah Bu Salmah. Salah satu teman pengajian ibu yang menjadi korban kecelakaan maut itu.

Aku melangkah ke dalam rumah, menatap tanaman keladi koleksi ibu. Beberapa sudah terlihat layu dan menguning. Baru seminggu saja, aku sudah kerepotan mengurus tanaman koleksi ibu. Padahal selama ini ibu bisa mengurus semuanya dengan baik. Meski ia sangat sibuk.

Bergegas aku mengambil semprotan air, lalu menyiram tanaman-tanaman itu. Senyum ini mengembang saat melihat tanaman keladi putih. Ingat sekali bagaimana proses mendapatkannya.

Berawal dari kabar tentang harga Keladi Putih yang melonjak tinggi. Ibu sangat bersemangat untuk mendapatkannya. Tiba-tiba ia mendapatkan kabar kalau ada menemukan tanaman itu di hutan daerah Bogor.

Bergegas ibu pergi ke sana, tidak lupa mengajakku juga. Sesampainya di sana, ia langsung memintaku menyusuri hutan itu. Berjalan menembus semak-semak. Aku berhasil menemukannya setelah beberapa jam pencarian. Sayangnya, setelah dibawa ke rumah, tanaman ini tidak pernah beranjak dari halaman depan.

Pandangan ini tiba-tiba berembun. Tak lama ada air mengalir di pipi. Argh! Padahal aku bermaksud menyiram tanaman. Kenapa pipi ini malah ikutan basah.

Aku duduk di teras, menatap langit senja. Terbayang kenangan bersama ibu. Menjelang magrib begini, biasanya kami duduk di ruang tengah sembari menonton televisi. Lalu mendiskusikan menu makan malam.

Sebelum tidur, kami juga biasa menonton televisi. Ibu suka sekali menonton acara komedi. Bahkan, sampai detik ini, aku masih belum bisa melupakan suara tawanya yang begitu khas.

Air mata ini kembali jatuh tak tertahankan. Dasar cengeng! Benar kata orang, patah hati terbesar anak laki-laki ketika kehilangan cinta pertamanya yaitu ibu. Entahlah! Apa aku sanggup melanjutkan hidup ini tanpa kehadirannya.

Perlahan, senja pun menghilang. Tak berselang lama, adzan magrib berkumandang. Aku bangkit dan masuk ke dalam rumah. Tak lupa menutup pintu. Kemudian berjalan menuju kamar, mengambil handuk dan pakaian.

"Son," ucapku saat melihat kucing kesayangan ibu -Samson sedang berdiri mematung sembari menatap ke arah dapur yang gelap. "Son." Aku mendepaknya pelan. Samsom terperanjat lalu berlari ke ruang tengah.

Tek!

Kunyalakan lampu dapur, lalu berbelok ke kamar mandi.

BRANG!

Sontak aku membalikan badan,menghadap pintu. Kubuka pintu, melihat panci kecil sudah tergeletak di lantai dapur. Kuedarkan pandangan, mencari keberadaan Samson. Nihil. Kucing itu tidak terlihat di dapur. Aku kembali menutup pintu, melanjutkan mandi.

Tok! Tok!

Kumatikan keran air, lalu menoleh ke pintu. Jelas sekali tadi ada yang mengetuk.

"Lang," panggil Seseorang dari luar. Suaranya sama persis dengan ibu. Aku mundur perlahan, menjauhi pintu. "Lang, tolong bersihkan badan ibu. Banyak darah."

Deg!

Jantung ini berdebar kencang. Badan pun terasa lemas dan gemetar. Sementara pikiran ini masih mencerna suara di luar. Apa benar itu suara Ibu?

BERSAMBUNG

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • 7 Hari Setelah Ibu Pergi    Belakang Rumah

    Ayah berlari ke arah jendela, "HAMID!" panggilnya. Rasanya tak mungkin jika Hamid melompat ke bawah. "HAMID!" Kami pun berlari ke bawah. "Ada apa, Yah?" tanya Ibu yang baru saja ke luar kamar. "Hamid gak ada, Bu!" sahut Ayah. "Nggak ada gimana?" "Nggak ada di kamarnya!" "Mungkin lagi di kamar mandi." "Nggak ada, Bu!" sahutku. "Tadi kamarnya dikunci, pas Ayah dobrak, Hamid gak ada di dalem. Cuman jendela kamarnya kebuka," imbuhku. "Ya Allah, Hamid ...." Ayah berlari ke pintu depan, lalu ke luar rumah. Sementara aku dan ibu mencari keberadaan Hamid di dalam rumah. Kami mencari hampir di setiap sudut rumah, tapi Hamid belum juga ketemu. "Apa mungkin di dalem gudang?" ucapku. "Nggak mungkin. Gundangnya kan dikunci," balas Ayah. "Terus Hamid ke mana? Malem-malem gini." Suara ibu bergetar menahan tangis. "Coba dicek lagi di atas," usul Ayah. Kami pun naik ke lantai dua. Pertama mencari di dalam kamarku. Nihil. Kemudian di kamar Hamid. "Hamid!" teriakku saat men

  • 7 Hari Setelah Ibu Pergi    Hamid

    Aku berlari ke bawah, sambil memegangi perut yang terasa sakit. Darah terus menetes, membasahi lantai dan anak tangga. "Ayah!" teriakku dengan nada panik, saat melihat Ayah sedang duduk di ruang tengah. "Ada apa, Syad?" tanyanya bingung, saatku menghampirinya. Tangisku pecah. "Ada apa, Syad?" tanyanya lagi seraya bangkit dari kursi. "Hamid," balasku, terisak. "Hamid kenapa?" "Hamid nusuk perut aku." Ku tunjukan pensil yang masih menancap di perut. "Nusuk gimana? Orang perut kamu gak kenapa-napa gitu?" Aku melihat ke perut. Tak ada sedikit pun noda darah di pakaian. Kemudian mengangkat pensil yang daritadi kupegang. Ternyata pensilnya pun tidak menancap di perut. "Tadi perut aku berdarah, kok sekarang ...." Sungguh aku sangat bingung. "Mungkin kamu cuman mimpi, tapi kebawa sampai dunia nyata. Makanya sebelum tidur baca doa dulu." "Aku udah baca doa, Ayah. Tadi beneran sakit banget perutnya, sama ke luar darah." "Kenyataannya? Perut kamu gak kenapa-napa, kan?" Sepert

  • 7 Hari Setelah Ibu Pergi    Rumah Dukun

    "Ini rumahnya, Yah?" tanyaku. "Iya," balas Ayah. Aku berdiri di depan sebuah rumah berlantai dua. Dari bentuk dan jendelanya, mirip sekali dengan rumah Belanda. Ayah bilang, kalau rumah ini sudah tiga tahun tak ditempati. Terlihat jelas sekali dari cat putihnya yang kusam dan kehitaman. Rumput di halaman depannya pun lumayan tinggi. Cukup untuk menenggelamkan adikku -Hamid. Bagian terseramnya adalah ada satu pohon mangga dan pohon beringin di depan rumah. Hiii ~ melihatnya saja aku sudah merinding. Ngik! Ayah membuka pagar besi yang sudah berkarat, suara decitannya bahkan terdengar ngilu di telingaku. "Ayo, masuk." Kami berjalan melewati rerumputan yang tinggi. "Hamid, jangan jauh-jauh dari kakak. Nanti ilang," candaku disertai tawa. "Bu, kakak ngeledek!" sahutnya. "Arsyad, jangan dibecandain terus adiknya," tegur Ibu. "Iya, Bu." "Awas licin!" ucap Ayah saat menginjakan kaki di lantai teras yang agak berlumut. "Wah, bisa kerja bakti sampe malem ini," celetukku.

  • 7 Hari Setelah Ibu Pergi    Pulang

    Aku berdiri di depan gerbang perumahan. Suasana begitu sepi. Di pos satpam pun tak ada siapa-siapa.Aku melangkah masuk ke area perumahan.Duk! Duk!Terdengar suara langkah, aku menoleh ke kanan. Ada Pak Ayman sedang berlari ke arahku. Namun seperti wujudnya seperti manusia biasa, tidak semenyeramkan dulu."Lang," panggilnya, sembari melambaikan tangan.Aku terdiam, bingung harus merespon apa. Dengan canggung, membalas lambaian tangannya. Kemudian, berlalu menuju rumah.Suara langkah kaki terdengar mendekat. Puk! Seseorang menepuk pundakku. HUA! Aku berteriak saat melihat Pak Ayman sudah ada di samping."Kenapa teriak?" tanyanya."Kaget, Pak.""Bapak cuman mau ucapin terimakasih.""Terimakasih kenapa, Pak?""Kamu udah bebasin bapak."Aku mengerutkan dahi. Apa maksudnya dibebaskan dari jerat Siluman Anjing?"Sama-sama, Pak," balasku, tak mau mengobrol terlalu lama dengannya agak trauma.Sayup terdengar suara musik senam dari arah lapangan. Dari kejauhan terlihat ada empat orang sedang

  • 7 Hari Setelah Ibu Pergi    Bayangan Hitam

    Pak Ryan tersenyum, "Halo Gilang. Jangan kaget gitu dong," ucapnya tanpa sedikitpun rasa bersalah.Rasa bersalah telah bersekongkol dengan Haji Rofi atas kecelakaan itu. Rasa bersalah karena telah membu-nuh Samson. Ya! Pasti itu ulahnya juga."Kok diem aja?" ucap Magdalena. Aku melirik wanita muda berambut panjang itu. Mungkin usianya tak begitu jauh dariku."Kenapa bapak ngelakuin ini semua. Padahal ibu udah baik banget sama bapak. Samson juga gak bersalah," ucapku."Ibu kamu memang baik, tapi salah karena udah ngelahirin kamu. Kalau kucing itu cukup mengganggu.""Apa yang salah dari saya?""Lena, kamu saja yang jelaskan, saya mau menghabisi yang lain dulu." Pak Ryan mengambil belati dari kantung jubahnya. "Kamu tau kenapa saya memakai warna merah?""Saya gak peduli!" sahutku."Hahahahah, merah adalah darah. Saya lah yang biasa ditugaskan sebagai eksekutor." Pak Ryan memutar-mutar belatinya. "Hmm, siapa dulu ya? Gimana kalau Nasrul?" Ia menatap tubuh Kak Nasrul."Bu-nuh saya aja, Pak

  • 7 Hari Setelah Ibu Pergi    Jubah Merah

    Angin berhembus kencang, menggerakan pepohonan di sekitar.Daun-daun kering yang berjatuhan berputar-putar di udara, membentuk pusaran. Sontak kami melangkah mundur, mendekati mobil.Srek! Srek!Terdengar suara langkah kaki dari dalam hutan yang gelap. Langkah yang menyerupai gerombolan hewan.Habib Husein meminta kami berkumpul di satu titik, kemudian membentuk lingkaran. Berjaga-jaga bila ada serangan dari arah tertentu.Habib Husein meminta kami menyalakan flashlight ponsel. Karena suasana begitu gelap, bulan masih bersembunyi di balik awan. Namun, penerangan ponsel saja tidak cukup. Jarak pandang kami terlalu pendek."Bib, kalau pake lampu mobil aja gimana?" usul salah satu santri."Boleh."Ia berlari ke mobil, disusul Kak Hazim dan Om Herman.Bruk!Santri itu tiba-tiba terjatuh ke tanah. Om Herman dan Kak Hazim langsung menolongnya. Baru saja bangkit, ia sudah terjatuh kembali. Malahan kali ini lebih parah. Seperti ada yang menarik kakinya.Ustad Azzam yang melihat kejadian itu t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status