“Keinginan terbesarku adalah melihat kematianmu, kehancuranmu, keterpurukanmu. Namun ketika aku melihatnya langsung, hal yang paling aku inginkan adalah menahanmu disisiku lebih lama. ”
Odelia Karina.
Jean tak tahu mengapa ia melakukan hal ini untuk wanita itu. Ia tak mengerti mengapa tubuhnya bergerak tanpa perintah dari otaknya. Ia pun juga tak mengerti mengapa dunianya serasa seperti berhenti berputar karena melihat wanita itu yang memilih menenggelamkan dirinya sendiri dari pada bertahan lebih lama dengan pria sepertinya.
Jean takkan pernah mengerti dan mau mengerti.
"Aku memilih untuk melupakanmu. Melupakan semua kenangan buruk tentang kita. Aku akan pergi, takkan kembali untukmu lagi. "Aku ingin melupakannya.Aku tak ingin berada disini.Aku ingin segera menghilang dari tempat ini.Lelah.Aku sudah lelah.Aku ingin tidur.Aku ingin beristirahat.Aku berharap Tuhan segera mencabut nyawaku.Dengan begitu rasa nyeri ini takkan lagi menghantui hidupku.Sungguh, aku b
"Aku akan mengabulkan semua permintaanmu. Apapun, asalkan mengabulkan permintaanmu yang meminta hatiku. ""Jadi, kau sama sekali tidak mengingatku?"Wanita bermata hitam besar itu hanya menggeleng lemah. Didepannya ada seorang wanita lainnya yang memiliki warna mata yang unik. Hijau. Warna yang tak biasa untuk orang asia. Entah mengapa di rumah ini Odelia seperti dipaksa mengingat masing-masing orang melalui warna mata mereka.Ada Clara, si bungsu keluarga ini. Wanita yang lebih muda beberapa tahun darinya itu menjadi yang paling banyak bicara disini. Odelia dengan mudah dapat mengenali wanita muda itu dari warna matanya yang mencolok. Dan lagi, kemana pun wanita itu pergi pasti ada sesosok lelaki, Marko yang selalu mengikuti dari belakang.
"Apakah kau percaya bahwa kita akan kembali menikah. Kita akan kembali menjadi sepasang suami istri seperti dulu. ""Aku akan pergi meninggalkanmu."Jean tak bisa memosisikan tidurnya dengan benar. Ia gelisah. Sepanjang malam, ia menghabiskan waktunya mendengarkan dengugan suara semu yang entah datang dari mana. Suara itu terus menggaung seolah tak mengijinkannya untuk tidur malam ini. Ia seperti disiksa terus-menerus oleh suara asing yang bahkan ia tahu pemiliknya saat ini telah jatuh ke alam mimpinya.Disana, Odelia bergelung nyaman didalam selimu tebal yang membungkusnya. Wanita itu telah tertidur sejak beberapa jam yang lalu tanpa beban. Odelia terpejam setelah berhasil memporak-porandakan hati lelaki yang kini menjadi gelisah. Wanita itu meminta sebuah pe
"Kau percaya takdir? Aku akan tunjukkan bagaimana takdir itu berjalan untukmu.""Selamat pagi!"Jean pagi itu nampak menunjukkan senyum seribu wattnya pada semua orang. Lelaki itu tak segan memamerkan deretan gigi putihnya kepada semua orang yang harus ini duduk memenuhi kursi meja makan. Disana ada Grace, Yonash dan juga Clara. Mereka semua nampak takjub melihat perubahan sikap Jean.Lain Jean, lain pula sosok wanita yang berjalan disampingnya. Wanita itu terlihat tidak nyaman dengan posisinya. Pasalnya sejak mereka berjalan keluar dari kamar yang semalam mereka tempati, Jean tanpa ragu melingkarkan tangannya disekeliling pinggang Odelia. Pria itu dengan sangat berhati-hati membimbingnya menuruni tangga.Perlakuan it
"Kau tahu, sebelum dan sesudah ini aku hanya akan mengatakannya sekali. Kau harus mendengarnya baik-baik. aku adalah manusia yang paling benci menunggu. Aku tak suka menunggu, karena aku tahu menunggu hanyalah akan berakhir dengan kesia-siaan.""Apa kau sungguh melupakanku?" Tanya Jean. Ia ingin tahu dari mulut wanita iu sendiri, benarkah Odelia sama sekali tak mengingatnya. Barang sedikit pun apakah kenangan mereka sama sekali tak membekas dalam ingatan wanita itu. Meski menyakitkan, Jean tahu Odelia takkan pernah melupakannya. Wanita yang dikenalnya itu, sangat memujanya. Keyakinan itu yang membuatnya ragu akan kondisi Odelia saat ini."Apa?" Hari ini mungkin menjadi hari dimana Odelia selalu tak mengerti apa yang disampaikan pria itu kepadanya. Ia tertegun. Dalam kediamannya ia berusaha memproses dalam otakn
"Jika kau menginginkan bukti, maka biarkanlah aku membuktikannya. Itu hanya sebuah cincin tak lebih dari apa yang telah mengikat hubungan diantara kita berdua selama ini."Jean bersandar pada kepala tempat tidur. Sepasang mata kelabunya terus memandangi wanita yang terlelap disampingnya. Napas wanita itu nampak teratur dan terdengar lelah. Setelah bercinta dengan wanita itu, Jean hanya bisa terdiam memandangi wajah lelap itu dalam ketenangan. Ia berhasil menjamah wanita itu berkali-kali hingga ia sendiri pun tak ingat sudah yang berapa kali pelepasan itu ia dapatkan.Odelia selalu mengimbanginya. Dulu maupun sekarang rasa wanita itu tetaplah sama. Odelia tak pernah menolak sentuhannya, meski dalam keadaan marah sekalipun. Seperti halnya yang baru saja mereka lakukan. Wanita itu berulang kali mengumpat, melempar
"Aku ingin membawamu ke tempat dimana aku bisa mengatakan pada seisi dunia bahwa kau adalah milikku. Jadi, bisa kupastikan takkan ada satu pun yang akan merenggutmu dari sisiku."Odelia memperhatikan benda perak yang melingkar indah pada jari mungilnya. Sebuah cincin emas putih dengan batu kecil berwarna biru menjadi begitu menakjubkan berada ditangannya. Jari-jarinya terasa asing dengan benda yang mengganjal itu. Sebelumnya ia sama sekali tak pernah memakai perhiasan apapun pada tubuhnya. Jangankan perhiasan, untuk makan saja Odelia harus bekerja di tiga tempat sekaligus."Kau suka?"Jean dibelakang sana tak bisa menyembunyikan senyumannya kala melihat wajah Odelia yang terperangah saat ia membelikan sebuah cincin pasangan itu. Mata wanita itu berbinar cerah
"Aku tak tahu jika masa itu adalah masa terpahit dalam hidupku. Jikalau aku mengetahuinya sejak awal, aku takkan mencari tahu apa itu dan berusaha menulikan telingaku sendiri dari kenyataan yang ada.""Kau sedang apa, sayang?"Suara berat itu langsung menyentak wanita itu hingga ia terpekik pelan. ketika memablikkan tubuhnya, dilihatnya Jean tengah menatapnya penuh tangan dengan tangan yang penuh dengan kantung belanjaan mereka. Ia sungguh tak sadar apa yang dilakukannya saat ini. Kalau mungkin bukan karena panggilan pria itu, ia masih terus berjalan menyusuri lorong itu. Tapi, yang masih ada dalam benaknya, sebenarnya tempat apa itu?"Aku sedang melihat-lihat." Jawabnya. "Tempat apa itu, Jean?" Tanyanya menunjuk sebuah pintu kayu kecil yang berada di ujung lo