Share

Pendekatan

Selama meeting berlangsung, Nara menekuk bibir dan menatap layar di depan, di mana para petinggi perusahaan sibuk membagikan materi.

 

Setelah mendapati cek bernilai seratus juta berada di dalam dompetnya, Nara menemui James di luar dan merobeknya di depan wajah laki-laki itu. Dia bukan wanita malam. Sikap James itu telah merendahkan harga dirinya sebagai seorang wanita.  

 

James sendiri terkejut atas sikap Nara dan memilih diam, lalu kembali ke ruangan karena sesi presentasinya akan segera dimulai. Berulang kali dia melirik ke arah wanita itu sembari terbayang kembali akan kebersamaan mereka. 

 

Dress selutut yang dipakai Nara hari ini membuat pikiran James berkenala dan memanas sejak tadi. Rasanya dia ingin ....

 

"Kepada Bapak Aldrian, kami persilakan."

 

James tersadar dari lamunan ketika namanya disebut. Laki-laki itu langsung berdiri dengan percaya diri dan mengambil pointer yang terletak di meja. Dia mulai mengutak-atik laptop, hingga beberapa menit kemudian sebuah slide tampak  di layar. 

 

"Baiklah, sebelum memulai sesi presentasi, saya ingin memperkenalkan diri. Mungkin, sebagian dari kalian belum tau siapa saya. Tapi saya yakin beberapa yang lain sudah mengenal saya luar ... dan dalam."

 

Saat mengucapkan kata-kata terakhir, James sengaja menekankannya sembari menatap Nara dengan tajam. Luar dalam? Ah, lagi-lagi dia bereaksi setiap kali menatap wajah wanita itu. 

 

"Nama saya James Aldrian. Saya lahir di Dortmund, Jerman dengan ibu yang berdarah Jawa. Kalian bisa memanggil saya dengan sebutan Aldri. Nama James itu pemberian papa dan saya sematkan hanya kepada orang-orang tertentu." Lagi-lagi, mata James menatap Nara dengan intens, membuat wanita itu menundukkan pandangan. 

 

Setiap kali James melakukan itu, Aida menyenggol lengan sahabatnya dan bertanya dengan berbisik mengenai sikap laki-laki itu. Nara sendiri memilih diam dan mengabaikannya karena mereka dilarak berisik saat sesi presentasi hingga selesai nanti.

 

"Kami adalah perusahaan properti yang sedang berkembang pesat dan ingin membuka cabang di beberapa kota. Untuk menyuplai beberapa bahan bangunan, kami bekerja sama dengan banyak vendor. Salah satunya perusahaan ini." 

 

James menjelaskan semua dengan tenang, sehingga semua mata terpaku kepadanya. Tubuh jangkung, rahang kokoh serta harum tubuhnya seperti magnet kuat yang menarik siapa saja, terutama lawan jenis. 

 

"Selama beberapa bulan, kami menganalisa semua proposal yang masuk. Lalu memilih perusahaan ini untuk memasok beberapa bahan. Hanya saja, ada beberapa catatan yang saya minta untuk perbaikan."

 

James mengarahkan pointer di layar dan mulai menjelaskan satu per satu. Penguasaan materi yang sempurna, membuat sesi presentasi berjalan lancar. Beberapa peserta mengajukan pertanyaan terkait dengan kerjasamana. 

 

Intinya, mereka sangat senang karena dengan goal-nya tender ini, maka omset perusahaan akan meningkat drastis. Tentu saja itu akan berdampak pada kesejahteraan karyawan. 

 

Tak terasa waktu berlalu, hingga jarum jam di dinding menunjukkan angka empat. Itu berarti, jam kerja sudah usai. 

 

"Baiklah rekan-rekan semua. Sesi meeting kita kali ini sudah selesai. Kalian bisa meninggalkan ruangan."

 

Nara bergegas memasukkan note book dan ponselnya ke dalam tas. Dia berencana akan kembali ke ruangannya sebentar untuk mengambil barang yang tertinggal.  

 

"Oh iya. Saya lupa menyampaikan. Bapak Aldrian mulai besok akan berkantor di tempat kita hingga tiga bulan ke depan, untuk melihat progres apa saja yang akan kita perbaiki sesuai dengan permintaannya."

 

Nara tersentak. Dia yang tadinya sibuk mengobrak-abrik tas menjadi terhenti seketika. Mata cantik itu menatap James dengan tajam. 

 

James menoleh ke arah Nara dan mengedipkan mata, lalu mengulum senyum. Dia segera membereskan barang-barang, lalu berjalan ke luar ruangan dengan santai.

 

"Lu kenapa, sih? Aneh banget dari tadi. Naksir Pak Aldrian?" tanya Aida sembari merangkul pundak sahabatnya. Akhirnya kata-kata itu terucap setelah dia berusaha menahan diri. Semoga kali ini Nara mau menjawab.

 

"Gak. Aku lagi males," jawab Nara asal. 

 

Kini, mereka berjalan bersisian menuju ruangan di bagian ujung gedung. Kantor ini adalah cabang dari sebuah distributor semen yang pusatnya ada di kota sebelah. Jadi, merupakan suatu kehormatan besar, jika perusahaan properti ternama seperti milik James, justeru memilih cabang mereka sebagai salah satu vendor pemasok bahan bangunan. 

 

"Lu kenapa? Jangan cuekin gue, dong," tanya Aida sembari mensejajari langkah Nara. Sahabatnya itu terlihat buru-buru ingin segera meninggalkan kantor. 

 

"Kamu jangan banyak tanya dulu. Oke?" Nara berhenti dan menatap wajah Aida dengan kesal. Seharian ini, semua orang menjadi menyebalkan di matanya.

 

Aida menatap Nara dengan gamang, lalu membuang pandangan dan bergegas meninggalkan sahabatnya itu. 

 

"Da!"

 

"Apa?" tanya Aida berbalik saat mendengar teriakan Nara.

 

"Aku ... lagi pusing banget. Nanti kalau udah tenang, aku bakalan cerita sama kamu," ucapnya tak enak hati.

 

Mereka bersahabat sejak training karyawan baru di kantor ini. Nara adalah perantauan, sehingga dia menjadikan Aida sebagai keluarga kedua tempat berbagi suka dan duka.

 

"Oke. Gue pulang duluan. Kalau lu udah tenang, kabari. Gue gak mau ada rahasia di antara kita," lirih Aida kecewa.

 

Nara mengusap wajah, lalu memasuki ruangan dan mengambil benda yang sejak tadi dicarinya. Setelah itu, dia berjalan ke lobby dan duduk di sofa untuk memesan ojek online. Rasanya dia tak kuat jika harus berdesakan denagn penumpang lain di dalam angkot. Setelah selesai meeting tadi, rasa mualnya semakin menjadi. 

 

"Sebutin alamat rumah kamu. Aku anter pulang."

 

Nara tersentak saat seorang menarik lengannya. Dia berusaha memberontak, tetapi tangan yang mencekalnya begitu kuat.

 

"Ikut aja, Nara. Gak enak diliatin yang lain."

 

Nara menatap James dengan geram dan akhirnya mengalah. Ada banyak pasang mata yang menatap mereka sekararang, sembari berbisik-bisik entah apa. Akhirnya wanita itu menegakkan tubuh dan berjalan bersisian menuju parkiran. 

 

James membuka pintu mobil dan mendorong Nara masuk, lalu melajukannya menuju ke sebuah tempat. Kali ini, dia membawa Toyota Fortuner agar tak terlihat berlebihan saat mengunjungi kantor itu. 

 

"Aku mau dibawa ke mana?" tanya Nara bingung ketika jalan yang dipilih James bukan arah menuju kosannya.

 

"Apartemenku," jawab laki-laki itu singkat sembari memutar arah.

 

"Kamu mau culik aku?" tuduh Nara sembari memukul lengan James yang masih fokus menyetir.

 

"Kamu ditanyain alamat rumah dari tadi gak jawab. Jadi, ikut aku ke apartemen. Kita--" James menggantung ucapan sembari mengedipkan mata.

 

Nara semakin kesal dan memukul bahu laki-laki itu sehingga James menepikan mobil dan memarkirnya di depan sebuah toko.

 

"Stop! Jangan kekanakan. Kita bisa nabrak orang," tegur James sembari meraih kedua lengan Nara agar berhenti memukul.  

 

"Buka pintunya. Aku mau pulang!" jerit Nara.

 

James merengkuh tubuh mungil itu hingga menghilang dalam dekapannya, agar tak menarik banyak perhatian orang. 

 

"Diam!" bentaknya.

 

Nara tergugu ketika diperlakukan seperti itu, lalu isak tangisnya mulai terdengar. Tubuh yang terasa lelah seharian, ditambah dengan perlakuan James yang menyakiti hati, melengkapi semua kekesalannya hari ini.

 

"Sorry," ucap James lembut.

 

Nara melepaskan rengkuhan laki-laki itu, lalu mengusap air matanya dengan cepat.

 

"Jalan Cendana nomor 108," lirihnya. 

 

James mengerti, lalu berbalik arah dan memutar mobil menuju jalan yang disebutkan tadi. Suasana hening karena mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. 

 

Begitu tiba di depan bangunan kokoh itu berlantai dua itu, Nara langsung keluar tanpa berpamitan dengan James dan masuk ke kosan dengang terburu-buru.

 

"Ups! Dikejar setan, Neng?" tanya Cindy saat Nara tak sengaja menyenggol bahunya. 

 

"Lagi kurang sehat," jawabnya singkat. 

 

Cindy menatap Nara dengan bingung, lalu dia teringat akan sesuatu dan bertanya, "Itu siapa yang nganterin kamu? Om-om? Mobilnya mahal euy."

 

Nara mendelik lalu membuka pintu kamar dan kembali menutupnya dengan kasar.

 

Cindy mengusap dada sembari menggeleng. Entah kesambet apa teman satu kosannya itu sampai bertingkah aneh. Gadis itu  bersenandung menuju kamar mandi karena merasa gerah setelah pulang kerja.

 

Nara sendiri terduduk lemas di tempat tidur sembari mengusap dada yang terasa sesak. Kenapa mereka harus dipertemukan kembali di saat seperti ini? Dia tak mungkin bertatap muka setiap hari dengan James di kantor. Jika memilih resign, bagaimana kehidupannya bisa berlanjut tanpa pekerjaan?

 

Dengan lesu, Nara berdiri dan mengganti pakaian. Biasanya dia akan mandi, tetapi kali ini sepertinya tidur di sore hari terasa lebih menyenangkan. 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status