“Akh! Aduh! Sial banget gue hari ini!”
Samuel tidak tahu benda keras apa yang menghantam lengannya hingga membuat keseimbangan tubuhnya goyah. Kini ia berakhir tersungkur di aspal setelah menjerit kesakitan. Seingatnya, lima menit yang lalu otaknya mengepul seperti sedang mengeluarkan asap tebal. Jadi karena tak tahan, ia berlari keluar restoran tanpa menghiraukan keadaan sekitar yang tengah ramai dan padat oleh kendaraan. Lalu beginilah akhirnya.
“Hei, lo nggak apa-apa? Waduh, gawat!”
Samuel mengangkat kepalanya. Mengabaikan rasa nyeri di pergelangan kakinya saat suara asing dari pria berjaket gombrong itu menyapa. Bobby berjalan ketar-ketir mengelilingi Samuel yang terduduk lemas di tengah jalan. Darah menetes dari dahi Samuel yang terbentur permukaan kasar aspal. Bobby semakin panik bukan kepalang gara-gara luka Samuel yang jelas-jelas adalah masalah besar.
“Gue? Ah, nggak apa-apa.” Samuel berbohong, nyatanya lengan dan kakinya sangat nyeri sekarang.
Kening pria yang berlutut di sampingnya berkerut. Secara tidak langsung menyatakan ketidaksetujuan atas kondisi kakinya yang terlihat tak bisa digerakkan. Bobby menggeleng panik, wajahnya memerah karena malu menjadi tontonan sinis para pengendara.
“Gimana nggak apa-apa!” Bobby membentak karena panik. “Lo berdarah!”
“Cuma terkilir. Gue baik-baik aja.” Samuel mencoba berkelit. Ia mendadak teringat larangan Luke saat berusaha kabur dari acara keluarga Ariston.
“Sam, lo mau kabur dari acara penting ini buat ketemu Sella? Lo gila! Lo ‘kan tau seberapa gila hartanya bokap dan nyokap lo. Acara pertemuan ini penting banget buat orang tua lo karena mereka bakal dapat menantu dari keluarga pebisnis hebat.”
Samuel menelan ludah susah payah. Pikirannya yang sudah tak jernih kini kian semerawut. Benar kata Luke, sahabatnya itu memang tak ceroboh seperti dirinya. Apa kata papi dan maminya kalau tahu Samuel jadi korban tabrak lari? Yang lebih menakutkan, bagaimana reaksi mereka kalau tahu alasan Samuel menyelinap kabur dari acara keluarga dan pergi ke bandara? Karena perempuan, teman masa SMA Samuel yang dicelakai ayahnya sendiri sampai membuat perempuan itu trauma tinggal di Jakarta.
Tidak. Ini gawat. Riwayat Samuel sebagai anak keluarga Ariston dipastikan tamat.
“Ini cuma luka kecil, kok. Gue harus pulang sekarang,” bantah Samuel. Ia mencoba bangkit sambil melempar senyum pada wajah ramah yang mengulurkan tangan kepadanya.
Samuel menolak uluran tangan tersebut dan memilih bangkit dengan kekuatannya sendiri. Tapi mustahil! Ia bahkan tak bisa berdiri selama dua detik. Tubuhnya segera terhempas kembali ke aspal dan itu membuat kecemasan pria berkulit coklat di depannya semakin menjadi-jadi. Cengkeraman tangan Samuel di pahanya tiba-tiba mengencang, ia meringis khawatir jangan-jangan kakinya bukan terkilir, tapi retak.
“Gue rasa lo harus ke rumah sakit sekarang! Biar gue sama temen gue antar, ya!”
Samuel menggeleng tegas. “Jangan. Nggak apa-apa, kok. Kaki gue cuma terluka ringan. Jangan bawa gue ke rumah sakit. Nyokap gue bisa marah kalau tau.”
“Nggak! Lo jelas nggak bisa berdiri! Gue sama temen gue harus tanggung jawab.” Bobby semakin bersikeras. Ia menoleh ke belakang dan berteriak geram.
“Woi! Dipta! Keluar lo! Tanggung jawab!”
Samuel yang semula tengah memikirkan seribu alasan untuk menolak tawaran Bobby mendadak tercenung saat mendengar sebuah nama yang keluar dari mulut pria nyentrik itu. Tak asing. Ya, Samuel merasa telah mengetahui nama itu sejak lama. Seberkas kenangan pahit muncul di otaknya. Kenangan saat ia terakhir bicara dengan Sella di pesta kelulusan. Waktu itu Sella berusaha menghindar darinya dengan pulang lebih dulu saat pesta.
“Jangan temui aku lagi, Sam. Ayah kamu pasti nggak suka. Aku nggak akan kesepian, kok. Aku masih punya Dipta.”
Memori tak terlupakan yang membuatnya terdampar dalam rencana keluarga Ariston dan kehilangan Sella Lorinia. Tapi Samuel tak pernah ingat, meski pemilik nama itu tengah berdiri di hadapannya.
“Ya, gue datang! Tunggu, Bob!”
Seusai menepikan mobil, Dipta berlari gugup ke arah Bobby yang tengah berkacak pinggang sembari melotot. Ia lantas ikut bersimpuh di samping Samuel, menatap manik mata hitam Samuel dalam-dalam dengan sekeping harapan bahwa kondisi Samuel tak akan membuat jatah makannya selama setahun itu lenyap.
“Ah, maaf! Maafkan gue. Gue nggak lihat lo lari dari kedai kopi. Lo tiba-tiba lari begitu aja. Lo baik-baik aja, kan?”
Demi mendengar perkataan Dipta, Bobby tanpa basa-basi melayangkan satu jitakan dengan kekuatan penuh ke kepala pria dua puluh tahun itu.
“Baik-baik aja gimana, Ta! Bisa-bisanya lo nanya kayak gitu! Cepet bawa dia masuk ke dalam mobil. Kita antar ke rumah sakit!”
Dipta cemberut karena tersembur omelan Bobby. Kalau sudah cerewet begini Bobby benar-benar mirip mamanya. Terpaksa Dipta mengulurkan tangannya dan melingkarkannya di bahu Samuel.
Dengan sedikit kesal dan berwajah muram karena jitakan keras yang mendarat di kepalanya tadi, Dipta membantu Samuel berdiri dan menuntunnya berjalan. Kali ini Samuel tak tega hati untuk menolak. Tepatnya setelah ia melihat bagaimana Bobby menjitak kepala Dipta dengan sangat keras.
Di dalam mobil, Samuel yang masih bergumul dengan rasa nyeri di pergelangan kakinya harus memberangut melihat kedua laki-laki itu bertengkar. Adu mulut mereka yang bisa dilihat dari luar mobil masih menjadi tontonan menarik para pengendara dan pejalan kaki. Arus lalu lintas sempat macet gara-gara insiden tabrak lari tadi. Dipta harus menahan malu karena diumpati beberapa pengendara berwajah sinis.
“Gimana nih, Ta?’ tanya Bobby ketus setelah mobil keluar dari area bandara. “Udah pasti batal latihan, kena omel anak-anak, nabrak orang pula!”
Dipta memijit keningnya yang mendadak berdenyut karena celotehan cerewet Bobby yang seratus persen benar untuk menggambarkan kesialan mereka pagi ini. Ia melihat kondisi korban tabrak larinya dari kaca tengah mobil. Rambut blonde Samuel yang menjuntai indah jatuh menutupi hampir seluruh keningnya. Dipta tertegun melihat penampilan mewah Samuel. Laki-laki itu memakai setelan jas hitam dengan baju turtle neck putih yang dihiasi kalung emas. Seketika Dipta terbelalak. Ia menginjak rem kuat-kuat tepat di depan zebra cross saat lampu lalu linta berganti warna menjadi merah.
“Aduh, lo hari ini kenapa sih, Ta? Bawa mobil udah kayak orang mabok!” umpat Bobby. Tapi Dipta tak menjawab, ia sibuk memutar tubuh ke belakang dan menatap Samuel.
Samuel menatap balik Dipta dengan kikuk. “Kenapa lo liatin gue?”
“Lo anak keluarga Ariston?” tanya Dipta gugup, ia tanpa sadar menunjuk kalung emas berukiran Ars yang dipakai Samuel.
Samuel menyadari Dipta mengenali kalung emas wasiat keluarganya. “Iya. Kenapa?”
Mulut Dipta terbuka lebar. Bobby ikut-ikutan syok melihat reaksi Dipta yang tercengang. Dipta kembali ke kursinya dengan pandangan bak ikan mati. Ia menoleh ke Bobby dan memukul lengan cowok itu berkali-kali.
“Bob, kita nabrak anak keluarga Ariston! Anak tunggal keluarga Ariston! Lo tau Ariston? Itu firma hukum terbesar di Jakarta dan mereka termasuk keluarga terkaya di Indonesia! Bob, gue nabrak anak konglomerat!”
Demi mendengar teriakan histeris seorang Dipta Mahendra yang berkepribadian introvert dan pendiam itu, Bobby menyadari riwayat mereka telah berganti status dari siaga menjadi waspada. Bobby dan Dipta menengok ke belakang, menatap dalam-dalam Samuel Ariston yang termenung tak paham. Wajah mereka berdua memucat.
“Sial banget kita hari ini, Ta.”
***
“Bob, gue nabrak anak konglomerat! Gue nabrak anak konglomerat, Bob! Yang gue tabrak anak pemilik firma hukum terkenal! Bob, gue nabrak anak konglomerat!” Celotehan panik Dipta memenuhi telinga Bobby sepanjang perjalanan ke rumah sakit. Bobby merasa ingin muntah saat Dipta berteriak untuk yang kesekian kali bahwa ia baru saja menabrak anak konglomerat. Nahasnya nyanyian putus asa Dipta adalah fakta. Fakta yang menjerumuskan mereka ke dalam masalah besar. Catat! Masalah besar, bukan masalah biasa. “Gi-gimana nih, Bob?” tanya Dipta gemetar. Mobilnya sedang mengantre di depan pintu masuk rumah sakit. Bobby melirik Samuel yang setengah terlelap di jok tengah. Penampilan laki-laki itu sangat mewah, bertolak belakang
Misi bunuh diri berkedok perlarian sementara itu tak berjalan mulus. Koridor RSU Jakarta yang cukup tenang pagi ini mendadak gaduh. Bobby lari pontang-panting mencari tempat persembunyian. Di belakangnya, Dipta—yang cukup payah dalam berlari—mulai sesak napas karena mengimbangi langkah Bobby. Tubuh Bobby yang ringan dan gerakan gesitnya sulit diikuti oleh Dipta yang sejak kecil sering mimisan. “Ta, cepetan dikit! Ayo!” Bobby berseru gemas sembari menarik-narik tangan Dipta yang tiba-tiba tergolek lemah di lantai. “Istirahat sebentar, Bob. Gue bisa mati kehabisan napas sebelum ketemu tuan dan nyonya Ariston,” jawab Dipta terengah-engah. Dipta berjalan setengah bungkuk didampingi Bobby. Bobby yang sudah bercuc
Apa yang harus ia pilih di saat-saat genting ini? Dipta merenung dikelilingi tatapan penasaran teman-temannya. Kepalanya menunduk seakan tak sanggup melihat wajah mereka. Mengakui Sella sebagai tunangannya secara sepihak saja sudah terdengar seperti mimpi buruk. Ditambah Dipta harus berbohong di depan tuan dan nyonya Ariston, bahkan di hadapan Samuel sendiri. Tanpa sadar hembusan napas berat lolos dari mulutnya. Mendadak Dipta jadi teringat Sella. Perempuan itu hanya terlihat lemah karena penyakit mentalnya. Sebenarnya Sella jauh lebih tenang dan bijak dari dirinya saat menghadapi masalah. Dipta berpikir apa yang akan dilakukan Sella jika diperhadapkan dalam situasi seperti ini. “Ta, lo harus coba rencana ini.” Seruan Juna membuyarkan lamun
Dipta ditimpuki rasa penyesalan saat ia menjabat tangan Samuel dan mengesahkan kesepakatan maut berkedok misi penyelamatan itu. Bobby, Juna, dan Roni yang berdiri di belakangnya kehabisan kata-kata. Saat ini Dipta juga nyaris tak bisa membuka mulut tanpa menelan sesal. Mamanya selalu memberinya banyak nasihat, satu yang paling diingat Dipta adalah nasihat untuk selalu berpikir panjang saat ingin mengambil sebuah pilihan. Akan tetapi, pagi ini Dipta melanggar nasihat kesukaannya itu. Dipta baru saja mengambil pilihan yang bagai dua sisi koin, bisa berujung baik atau justru berakhir buruk. “Ta, lo serius mau bawa Samuel kabur dari sini?” tanya Roni sembari cengar-cengir tak percaya. Dipta yang Roni kenal tak pernah gegabah sepert ini.  
Seumur hidup Dipta, ia tak pernah menyetir mobil secepat ini. Dipta tumbuh dengan label anak baik dan julukan siswa teladan. Ia tak pernah menyentuh rokok atau terlibat tawuran pelajar. Bahkan jumlah presensinya yang kosong hanya bisa dihitung jari. Dipta selalu jadi bahan pujian kepala sekolah saat pidato upacara bendera karena tak pernah bolos kelas. Kesimpulannya hidup Dipta Mahendra adalah irisan kesempurnaan. Tapi hari ini Dipta sedang bersiap melepas status “anak baik” saat ia mendapati kecepatan mobilnya kian melambung tinggi. Sebenarnya Dipta menjerit-jerit sepanjang perjalanan melarikan diri ini. Ia tak mau tertangkap pengawasan mobil patroli polisi sedang menyetir ugal-ugalan. Tapi desakan dari arah belakang membuatnya terpaksa menginjak pedal gas lebih dalam. Tersangka u
Tak pernah terduga dalam benak Dipta, Jakarta yang selalu bergerak dengan layar besar tanpa henti itu akan terguyur hujan. Aktivitas di dalamnya memang tak berhenti. Deru klakson yang bersahutan dan ketukan tumit sepatu para pekerja saling mengisi ruang kosong di jalanan yang kadang tergenang air. Derit ban sepeda motor anak-anak sekolah yang bergesekan dengan aspal yang licin. Juga ketenangan di dalam mobil Dipta. Sebenarnya keadaan saat ini tak tepat jika dibilang ketenangan yang menghanyutkan jiwa. Terlihat jelas dari raut wajah Dipta yang tegang saat membaca pesan Whatsapp di ponselnya. Hanya melihat ekspresi Dipta saja Bobby dapat menebak dengan akurat seperti apa nasib Roni dan Juna. “Kita bisa kabur sampai sejauh ini pasti karena Juna dan Roni, kan?”
Desakan Samuel, kata-katanya yang sulit dipercaya, dan cengkeraman jari-jarinya di kerah kemejanya. Dipta tak pernah membayangkan situasi ini akan terjadi. Sejak masih di bangku sekolah pun ia tak suka berkelahi. Keyakinan itu bertahan sampai sekarang, ketika ia mulai beranjak dewasa dan kuliah di perguruan tinggi. Akan tetapi hari ini, satu nama yang terlontar dari mulut korban tabrak larinya telah menghancurkan keyakinan Dipta. “Lo sahabat Sella waktu SMA? Cowok yang nemenin dia waktu terapi penyembuhan trauma?” tanya Samuel bertubi-tubi. Nadanya suaranya keluar bagai tercekik. Dipta masih merasakan sekujur tubuhnya kaku saat saling beradu tatap dengan Samuel. Derak hujan menampar-nampar at
Samuel kurang suka hujan. Terlebih saat ia harus terjebak di tengah Jakarta karena hujan. Pasalnya hujan tidak hanya membuat kendaraan tertahan memenuhi jalan karena banjir dan macet, hujan juga membuatnya kedinginan. Seperti saat ini, ia merasakan pukulan Dipta yang memberi sensasi panas di pipinya. Samuel tidak hanya menggigil kedinginan, ia juga marah karena Dipta menyerangnya. Beruntung suara teriakan Bobby di luar mobil mengundang satpam apartemen dan penjaga parkir restoran seafood berlari mendekat. Dengan tambahan kekuatan gedoran dan teriakan dua pria dewasa, Dipta akhirnya menyerah. Ia melepaskan Samuel yang mulai kehabisan napas. Gerakan refleks Dipta yang melepasnya tak menyurutkan rasa kesal di benak Samuel, ia justru semakin marah karena Dipta berhenti dengan terpaksa. &nb