Akhirnya Dipta dapat berdiri di atas panggung lagi bersama Young Bee, band yang ia perjuangkan mati-matian sejak masih belajar di sekolah menengah. Kini di tengah masa-masa kuliah yang padat, Dipta berhasil membawa Young Bee menuju puncak popularitas. Bobby yang berdiri di belakangnya, memegang dua stik drum, tampak terharu. Bahkan Roni sudah menangis sembari memeriksa suara gitarnya. Di sisi kirinya, Juna yang memegang gitar bass sukses besar mengacaukan riasan yang dibuat penata rias sewaan ibunya gara-gara menangis. Mereka belum tampil, tirai hitam yang disiapkan panitia belum disingkap. Keempat sahabat itu sudah bersiap di balik tirai, lengkap dengan berurai air mata. Salah satu penyebab tangisan haru itu ada kehadiran Sella di tengah-tengah penonton. Di kesempatan tampil kali ini, sangat berbeda dengan panggung Jakarta Dream Concert, Sella dapat hadir menonton Dipta dan Young Bee sebagai seorang sahabat. “Ta, gue rasa inilah titik balik Young Bee
Salah satu kamar VIP di Resort Marina kedatangan banyak tamu hari ini. Awalnya Serina menyewa kamar itu untuk bulan madunya bersama Samuel. Namun, tragedi tabrak lari dan sekelumit kisah menyedihkan yang melibatkan Samuel dengan Sella membuat impian bulan madunya yang indah berakhir gagal. Dan kini Serina harus bersusah payah menghadapi sikap pemberontakan Yose, tawanannya. “Lepasin gue! Dasar anak orang kaya yang kotor!” teriak Yose berang. Serina semakin geram karena Yose yang tengah diikat dengan tali tambang di kursi besi itu tak berhenti bergerak beringas. “Cih! Berani banget bilang gue orang kotor!” bentak Serina. Yose melirik perempuan bertampang arogan yang tengah berkacak pinggang di depan wajahnya. Ia mendongak dan menyaksikan Serina Redington tengah melayangkan tatapan penuh kebencian. Para pengawal Keluarga Redington berdiri di belakang perempuan kaya itu, berpakaian setelan jas hitam. Di sisi kiri dan kanannya pu
“Saya pelakunya. Saya tidak sengaja menabrak Samuel yang keluar dari dalam kafe bandara,” aku Dipta, tubuhnya gemetar dan suaranya parau. “Saat itu, Samuel lari dan tidak melihat ke sekitarnya. Saya juga sedang tidak fokus. Lalu kecelakaan itu terjadi.” Dipta mempertaruhkan karier bandnya dan mengakui semuanya. Di belakangnya, ada Samuel yang berdiri kaku, menatap tak percaya pada Dipta yang memilih berkorban. Samuel yakin Dipta tahu bahwa sampai saat ini hanya ia yang Sella cintai. Sementara Dipta selalu berakhir menjadai sahabat Sella, tak lebih dari itu. Axel Redington sangat berang. Ia menatap Dipta lekat-lekat, begitu pula dengan Hans Ariston. Di sisi lain, Serina mendadak merasa kacau karena telah menangkap Yose. Seketika Serina merasa kalut, ia merutuki Samuel yang semestinya mengaku dan meluruskan masalah ini agar ia bisa bertunangan. Tapi calon tunangannya yang bodoh dan kikuk malah gagal mengendalikan pria aneh itu, Dipta. “Jad
Samuel berdiri lesu di ruang ganti pakaian. Di luar terdengar gegap gempita suara dari tamu undangan dan keluarganya. Hari pertunangan akhirnya tiba dan Samuel terpaksa patuh pada kehendak keluarganya. Keluarga Ariston dan Keluarga Redington melepaskan Dipta, tidak membawa kasus tabrak lari ini ke jalur hukum. Namun, sebagai hukuman, Dipta harus angkat kaki dari panggung dunia hiburan. “Band Young Bee sudah tidak tampil selama lima bulan ini,” kata pengawalnya saat Samuel meminta pria itu masuk untuk menemaninya yang hampa. “Mereka juga tidak aktif mengeluarkan lagu lagi. Tentu saja ini karena mereka kehilangan vokalis.” “Sella bagaimana?” tanya Samuel gamang, dia tidak pernah berani menelepon Sella lagi, bahkan mengangkat telepon Sella atau membalas pesannya. “Masih kuliah di Bali dan bekerja di kafe Luke, tapi tidak mau bicara dengan saya.” Percakapan mereka terpotong karena ketukan pintu. Pengawal membuka pintu dengan cepat
Intensitas hujan di Bandar Udara Soekarno-Hatta pagi ini semakin memperlihatkan puncaknya. Di ruang tunggu yang cukup lenggang, pria bertudung topi hitam dengan jaket kulit warna senada yang membebat tubuh terlihat muram. Gelas kopi dari kedai ternama dianggurkannya di kursi tak bertuan, suhu cairan kental kehitaman itu turun drastis saat derak air hujan terdengar menampar-nampar tanah. Mulutnya mendesah, hujan di Jakarta tak jauh berbeda dengan hujan di Denpasar. Hujan baginya adalah penantian tak berujung. Seperti serbuk-serbuk magis yang saat ini tengah mendekap bumi dengan suara bergemuruh. Petrikor dan kopi hitam hambar di kursi ruang tunggu menyempurnakan diamnya, melanjutkan penantiannya, menyudahi aksi menunggunya yang hampir melewati ambang batas. Sebuah suara melengking menyeruak
Berhentilah sejenak. Putar tubuhmu dan pandangi aku seperti yang pernah kau lakukan dulu. Kau tahu, aku merasa takut sekarang. Melihat tanganmu yang masih ragu membalas uluran tanganku membuatku tenggelam lebih dalam dari apa yang pernah aku bayangkan. Sangat sulit. Bahkan hanya dengan memperkirakan semua ini akan segera terjadi. Berhentilah berjalan. Untuk beberapa saat berikan aku senyum menawan itu. Senyum yang tersungging rapi di garis bibirmu. Bibir ranum yang selalu teroles lipstik berwarna cerah itu. Ya, lampirkan senyum memabukkan itu. Sekali lagi. Maka aku akan benar-benar kehilangan kendali untuk mencintai. Karena kau begitu sempurna. Jadi, apakah kau masih berpikir bahwa aku adalah kesalahan terbaik? Yang datang ke hidupmu tanpa diminta dan menghancurkannya tanpa p
Samuel menyesap kopi panasnya. Membiarkan kehangatan yang ditimbulkan oleh secangkir minuman itu meresap dan membakar hatinya. Sepasang mata menawannya yang mendadak gelap itu memandang pantulan dirinya di kaca kedai. Seorang pria menyedihkan berambut pirang yang termangu tanpa alasan. Ya, tanpa alasan. Karena setinggi apa pun rindu menerbangkan hasrat cintanya yang kian meninggi. Sekejam apa pun takdir merampasnya tanpa pamit. Sella akan tetap berjalan pergi, meninggalkan remah kenangan dan luka. Sama seperti sebelumnya. Padahal Samuel jelas tahu, tak ada alasan baginya untuk datang dengan segaris senyum di wajah. Atau dengan puluhan sajak yang terlepas dari bibirnya. Karena Sella akan tetap pergi. Dengan takdir yang tak akan mempersatukan kembali. “Ingin memesan varian kopi t
“Akh! Aduh! Sial banget gue hari ini!” Samuel tidak tahu benda keras apa yang menghantam lengannya hingga membuat keseimbangan tubuhnya goyah. Kini ia berakhir tersungkur di aspal setelah menjerit kesakitan. Seingatnya, lima menit yang lalu otaknya mengepul seperti sedang mengeluarkan asap tebal. Jadi karena tak tahan, ia berlari keluar restoran tanpa menghiraukan keadaan sekitar yang tengah ramai dan padat oleh kendaraan. Lalu beginilah akhirnya. “Hei, lo nggak apa-apa? Waduh, gawat!” Samuel mengangkat kepalanya. Mengabaikan rasa nyeri di pergelangan kakinya saat suara asing dari pria berjaket gombrong itu menyapa. Bobby berjalan ketar-ketir mengelilingi Samuel yang terduduk lemas di te