Share

Masalah Besar

          “Bob, gue nabrak anak konglomerat! Gue nabrak anak konglomerat, Bob! Yang gue tabrak anak pemilik firma hukum terkenal! Bob, gue nabrak anak konglomerat!”

           Celotehan panik Dipta memenuhi telinga Bobby sepanjang perjalanan ke rumah sakit. Bobby merasa ingin muntah saat Dipta berteriak untuk yang kesekian kali bahwa ia baru saja menabrak anak konglomerat. Nahasnya nyanyian putus asa Dipta adalah fakta. Fakta yang menjerumuskan mereka ke dalam masalah besar. Catat! Masalah besar, bukan masalah biasa.

           “Gi-gimana nih, Bob?” tanya Dipta gemetar. Mobilnya sedang mengantre di depan pintu masuk rumah sakit.

            Bobby melirik Samuel yang setengah terlelap di jok tengah. Penampilan laki-laki itu sangat mewah, bertolak belakang dengan gaya urakan Bobby. Ia merengkuh bahu Dipta dengan gerakan dramatis. Sorot matanya tak kalah dramatis. Bobby menarik napas dengan penuh penghayatan. Dipta merasa sebentar lagi akan pipis di celana.

            “Ini memang gawat, Ta.” Bobby bergumam. “Tapi kita tetap harus tanggung jawab! Terutama lo! Kecelakaan tadi nggak bakal terjadi kalau lo nggak kelamaan galauin Sella.”

            Dipta menepis rengkuhan tangan Bobby. Matanya membeliak marah.

            “Ini murni kecelakaan! Siapa suruh si pirang itu tiba-tiba lari keluar dari kafe!”

            Bobby memukul keningnya yang panas karena amarah. “Oke, maaf. Tapi coba lo lihat ini terus buka mata batin lo. Lihat seberapa gawat riwayat kita di tangan keluarga Ariston.”

            Dipta mengambil ponsel layar sentuh Bobby yang disodorkan padanya. Terpampang belasan berita dengan headline bombastis yang mengejutkan. Seketika Dipta mati rasa. Serangan mental yang melucuti dirinya membuat Bobby menatapnya iba. Belasan berita yang ditemukan Bobby di internet itu memperlihatkan kekejaman keluarga Ariston.

            Keluarga Ariston tak tanggung-tanggung dalam menghukum orang-orang yang mengusik anak-anak mereka. Dakwaan serius, denda ratusan juta, dan hukuman penjara. Keluarga Ariston melakukannya semudah membalik telapak tangan. Fakta lucunya, Dipta tidak hanya mengusik anak keluarga Ariston. Dipta menabraknya.

           Dipta tersenyum pada Bobby. Senyum yang getir. Bobby mengambil kembali ponselnya yang licin karena keringat dingin dari tangan Dipta. Ia ikut tersenyum iba.

          “Bob, gue nabrak anak keluarga Ariston. Bukan cuma mengusik kayak di berita itu,  tapi nabrak. Nabrak!”

***

         Kendati bayang-bayang mengerikan dari berita tadi menghantui mereka, Dipta tetap memilih bertanggung jawab. Ia menatap nanar Samuel yang dibawa dengan ranjang oleh para perawat. Pintu ruang UGD yang tertutup meninggalkan kehampaan di benak Dipta. Ia jatuh terduduk di kursi ruang tunggu koridor bersama Bobby yang termenung pucat.

        “Gue kabarin Juna sama Roni dulu,” kata Bobby seraya menekan nomor di ponselnya.

         Dipta mengangguk lesu. Ia merogoh earphone dari ransel lalu menyumbatkannya di kedua     telinga. Setiap ada masalah yang menerpanya, Dipta selalu memutar lagu ciptaannya yang ia beri judul “Free”. Lagu bertema kebebasan anak muda yang dipenuhi melodi gitar listrik dan drum itu merupakan single pertama dari bandnya, Young Bee.

         “Jun, Ron.” Bobby menahan ucapannya, mendadak ragu. “Maaf banget, nih. Kita batal latihan. Iya, maaf. Gue tahu lu berdua udah lama nunggu.”

         Lagu yang tengah didengar Dipta tiba-tiba berhenti. Ia membuka mata yang terpejam dan langsung terperanjat. Panggilan masuk dari mamanya memenuhi layar ponsel. Dipta membiarkan panggilan itu mati dengan sendirinya. Bobby menoleh ke arah Dipta dan semakin cemas karena wajah Dipta dilumuri keringat dingin.

         “Eh, ada apa? Kenapa lo berdua tiba-tiba batalin latihan! Ini latihan penting, Bob. Young Bee ‘kan mau manggung di Jakarta Dream Concert minggu depan. Ini kesempatan emas biar nama Young Bee makin dikenal.”

        Pidato Juna meraung-raung dari layar ponsel. Bobby hanya bisa mendesah pasrah sambil menggaruk telinganya. Sementara di belakangnya Dipta masih kalang kabut ketika mamanya kembali menelepon. Kini giliran Roni yang berpidato.

        “Bob, mana Dipta? Gue mau ngomong sama Dipta. Kalau yang ada di otak dia cuma Sella, mending nggak usah capek-capek bangun Young Bee! Nggak usah jadi musisi!”

        “Jangan, Ron. Kasihan dia lagi pucet banget kayak zombie,” sanggah Bobby. “Lo tau nggak kenapa kita batal latihan? Dipta nabrak anak konglomerat! Dipta nabrak anak keluarga Ariston, Samuel Ariston! Sekarang Samuel lagi di UGD.”

        “Apa? Gila banget si Dipta! Lo nabrak Samuel Ariston si musisi, model, dan selebgram itu! Habis riwayat lo berdua! Gimana nih, Bob? Dipta ‘kan satu-satunya penyanyi Young Bee. Gue sama Roni cuma bisa main gitar. Suara lo jelek, nggak semerdu permainan drum lo. Gimana nasib konser kita minggu depan, Bob? Kita udah mati-matian dapetin jatah manggung di sana.”

        Bobby menepuk keningnya yang mumet dengan gemas. Pidato menyebalkan Roni yang seenak jidat mengatai suaranya jelek memang benar. Peran Dipta sangat penting bagi Young Bee. Band ini bisa mencetak album karena dana dari mama Dipta. Lagu-lagu Young Bee hampir semuanya ditulis dan diaransemen oleh Dipta. Dipta sangat berbakat. Dia penyanyi utama Young Bee, komposer, produser, dan bahkan pianis Young Bee. Singkatnya, Young Bee akan sulit berjalan tanpa Dipta.

        “Gue juga nggak tahu harus gimana, Ron.” Bobby mengaku dengan nada sedih.

        “Kita bertiga harus menyelamatkan Dipta, Bob! Harus! Young Bee butuh Dipta!”

        Suara cempreng Juna tiba-tiba menyela percakapan Bobby dan Juna.

        “Memang harus, Jun. Tapi gimana caranya?” tanya Bobby frustasi. “Keluarga Ariston diisi orang-orang hukum! Orang yang ganggu anak-anak Ariston aja pernah didakwa penjara. Apalagi Dipta yang narbak salah satu anak Ariston sampai kepalanya berdarah!”

        “Ah, sial! Kalau gitu lo berdua nggak akan bisa kabur. Hmm, gimana kalau lo berdua benturin kepala Samuel ke tembok biar dia hilang ingatan.”

       “Geblek lo, Jun! Bukan kecil-kecil cabai rawit malah kecil-kecil cabai busuk!” sembur Bobby emosi.

        Di seberang telepon, Juna yang tinggi badannya hanya 159 cm itu tertawa cekikikan seakan bersih dari dosa. Bobby yang terhimpit masalah tabrak lari Dipta semakin pusing menghadapi pidato season 2 dari Roni. Roni yang berotak sedikit lebih encer dari Juna itu sibuk menyusun rencana penyelamatan Dipta.

        “Dipta bakal sulit menang melawan hukum yang dikuasai keluarga Ariston. Solusi terbaik cuma jalan damai. Samuel harus mau berdamai sama Dipta. Gue dan Roni berangkat ke rumah sakit sekarang juga. Nanti gue bantuin bujuk Samuel. Share lokasi, Bob.”

       Panggilan telepon berakhir. Bobby buru-buru memberi alamat lengkap lokasi RSU Jakarta tempat mereka berada sekarang. Dipta baru saja dapat bernapas lega karena mamanya berhenti menelepon—setelah panggilan kesepuluh—. Bobby menemani sahabatnya itu duduk di kursi koridor.

       “Bob, gue merasa bersalah banget sama anak-anak lebah.” Nada suara Dipta terdengar pilu. “Kita udah berjuang keras dapetin jatah manggung di Jakarta Dream Concert, tempat impian kita. Kalau sampai Young Bee batal manggung gara-gara masalah ini—“

       “Nggak, Ta!” sela Bobby serius. “Young Bee pasti jadi manggung di Jakarta Dream Concert! Kita bisa coba jalan damai sama Samuel. Lo tenang dulu. Jangan terlalu panik.”

       Dipta termenung lalu mengangguk dengan seulas senyum lega. Tapi rupanya takdir tidak berpihak pada Dipta hari ini. Kelegaannya hanya bertahan lima menit. Setelah itu pintu UGD terbuka dan menampilkan seorang dokter berjubah putih. Dipta dan Bobby berdiri serentak, memelintir tangan satu sama lain, kembali panik.

       “Luka di kepalanya tidak terlalu parah. Tapi kakinya terkilir dan pergelangan tangan kanannya retak karena jatuh menahan beban tubuh.” Dokter berkacamata itu menjelaskan.

        Wajah Dipta dan Bobby berubah muram. Kondisi Samuel sangat buruk untuk ukuran anak keluarga Ariston.

       “Oh, iya. Sedari tadi ponsel pasien terus berbunyi. Ada telepon dari ayah dan ibunya.”

        Deg! Jantung Dipta dan Bobby berdetak keras. Telepon dari tuan dan nyonya Ariston? Kedengarannya lebih mirip seperti mimpi buruk.

        “Orang tuanya sedang dalam perjalanan ke sini,” kata dokter lagi. “Sepertinya sekarang mereka hampir tiba. Saya pergi dulu, ya. Ada jadwal operasi. Oh iya, pasien belum bisa kalian temui dulu. Dia masih tidur.”

         Dokter itu berlalu meninggalkan Dipta dan Bobby yang berdiri kaku bagai tersambar petir. Perasaan lega setelah mendengar rencana penyelamatan dari Roni dalam sekejap sirna bagai terhapus badai.

         “Bob, tuan dan nyonya Ariston sebentar lagi sampai di sini!” Dipta menjerit frutasi.

         “Ki-kita harus gimana, Ta?” tanya Bobby linglung. “Oh iya, telepon Roni.”

          Wajah Dipta memerah karena menahan tangis. Panggilan Bobby akhirnya diangkat, Juna dan Roni sedang menuju ke rumah sakit dengan taksi.

          “Ron, orang tua Samuel hampir sampai di rumah sakit!” Bobby berseru panik. “Gue sama Dipta harus gimana, nih?”

          “Apa? Serius lo? Gila! Lo berdua harus sembunyi sekarang! Kita belum berdamai sama Samuel! Habislah lo berdua kalau sampai ketemu duluan sama orang tuanya!”

           Kali ini rencana Roni terdengar seperti persiapan bunuh diri. Tapi Dipta mengganguk setuju dengan rencana itu. Dipta sama sekali belum siap menghadapi orang tua Samuel. Ia harus memastikan Ikon Bee tidak batal manggung karena dirinya terjerat kasus dengan keluarga Ariston.

           “Bob, kita nggak kabur. Cuma sembunyi aja dulu. Nanti kita cari alibi sambil nunggu Juna dan Roni datang. Ayo, buruan!”

            Bobby menghela napas berat. Mereka tak punya pilihan lain.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status