Share

Tangis yang malu diperlihatkan

"Daddy, apa Onty Nara marah padaku?" Tanya Joe pada sang ayah yang keluar dari kamar mandi. 

Pria yang tubuhnya menyeruakan wangi sampo dan sabun itu menatapi putra kecilnya yang sudah memakai baju tidur juga kaos kaki supaya kakinya hangat dalam kamar berpenghangat. Alan menarik nafasnya mengingat wanita dingin yang terus saja membisu meski ia menunjukan reaksi setiap Joe memandangi. "She just tired, Joe."

Joe membalik badan kecilnya sampai baju tidurnya terangkat menunjukan puser kecil diantara perut buncit yang membuat Alan tersenyum. Jemarinya yang panjang dan terasa dingin menyentuh perut kecil Joe yang jadi cekikikan diatas ranjang mereka yang hangat. Ranjang mereka-karena Joe minta tidur bersamanya malam ini.

"Tidurlah, besok kita main lagi dengan Onty Nara." Ucap Alan pada mata bulat nan jernih yang menatapinya penuh harap, "itupun kalau Unty Nara sudah tak lelah lagi, Darling." 

"Jadi kalau Onty lelah, aku tak akan bisa main dengannya besok?" 

Alan tersenyum lalu berbaring di samping Joe yang bibir kecilnya cemberut, "apa kau suka sekali dengan wanita ding-" Alan menoleh pada Joe, "dengan Onty Nara?"

Joe hanya melirik ayahnya lalu menyedakepkan tangan dengan pipi menggembung, "aku tidak suka dengan perempuan-perempuan yang tidur di kamar Daddy, mereka berisik dan selalu ingin aku memanggil mereka Mommy!" 

"Kau suka pada Onty Nara karena ia tak memintamu memanggilnya mommy?" Joe melirik ayahnya lalu mendengus kesal tak setuju. "Ok, lalu apa kalau bukan itu?" 

Jemari Alan menoweli pipi bulat Joe yang belum ingin menjawab, bahkan bocah kecilnya ini makin merapatkan bibir merah nan basahnya. Membuat Alan menarik nafasnya dalam. "You know what, Joe, jika suatu hari panggilanmu berubah dari Onty Nara jadi mommy-" meski tak ingin melihat, Joe tetap melirik sang ayah yang terus menoweli pipinya yang jadi geli.

"-itu artinya Onty Nara akan tidur di kamarku," Joe langsung duduk menatapi sang ayah yang jadi tertawa melihat wajah penolakan sang anak manja dan cerewet ini.

"Aku tidak mau mommy, Daddy." 

"Why?" 

"Mommy ia bad." Alan jadi diam begitupun senyum di bibirnya yang menghilang mendengar keseriusan dalam ucapan bocah yang bahkan belum genap empat tahun dihadapannya ini. "I don't like Mommy, Mommy is bad."

Alan menarik dalam nafasnya, tangannya terjulur mengusap kepala kecil yang jadi keras kepala. "Than, what about mama? Or mother? Apa itu juga buruk?" 

Joe tampak berpikir. Sangat serius seolah dua pilihan itu adalah cheesecake dan susu almond dan Alan sabar menunggu, "ng-- I like mama." Jawab Joe setelah menetapkan pilihan.

Mommy dan Mama, dua kalimat yang artinya sama, tapi putra kecilnya ini sungguh-sungguh tak senang dengan yang pertama dan semua itu ada hubungannya dengan sang mantan istri. 

Begitu dalam, Alan menarik nafas setiap kali mengingat wanita yang sudah melahirkan Joe kedunia ini. 'bagaimana wanita sepertinya melahirkan malaikat nakal sepertimu?' Alan menyentuh pipi Joe yang lembut dan kenyal. "Well, Daddy tak akan membiarkan teman-teman Daddy memintamu memanggil mereka mommy lagi, is that sound good?"

"Bisakah mereka tak tidur di kamarmu juga, Daddy?" Mata Alan membesar lalu tertawa mendengar pinta lucu sang putra, 'apa tidur dikamar lain tak masuk hitungan?'

Joe masih menggembungkan pipinya sampai ia menguap lebar dengan mata berair dan tak sampai dua menit bocah nakal yang posisi kakinya membuat Alan tersenyum itu sudah pulas. 

Tenggorokan kering membuat Alan bangun. Airputih yang ia tenggak sama sekali tak menghilangkan dahaga. Ia terpaksa keluar meninggalkan Joe, menghampiri bar mini dan mengambil botol wine. 

Alan yang menyesap wine merasakan rasa hangat mulai menjalar pada tubuhnya pada tiap tegukan. Tapi, ia tau kapan harus berhenti. Matanya yang menatap halaman baru menyadari mobil yang ia kendarai-bukan mobilnya- sudah tak ada ditempat parkir. Meski ia ingat betul kunci mobil yang menghilang itu masih ada dalam saku jas hangatnya.

Entah kenapa langkah kakinya berjalan cepat menghampiri pintu kamar yang dibukanya lebar-lebar sampai menimbulkan bunyi.

BRAKK!! Wanita dingin yang terkejut itu hanya berdiri menatapi pria yang juga berdiri diam ditengah-tengah pintu yang lebar terbuka, menatapi Nara seolah tak menyangka ia masih ada dalam kamar tempat Nara tidur selama tinggal dirumah guanya. Alan berjalan cepat.

"What's wro-?" Nara tak bisa meneruskan ucapannya berkat bibir Alan yang memagutnya begitu cepat tanpa permisi. Nara bahkan tak bisa bereaksi sampai Alan menjauhkan bibirnya dengan meninggalkan rasa menggelitik. "Ka-kau mabuk?" 

Alan hanya mengernyitkan dahi tak menyangka wanita dingin didalam pelukannya ini hanya akan mengeluarkan kalimat pelan-bukan tamparan ataupun dorongan marah seperti saat ia mendapat lemparan bantal tadi sore.

"Dan kau tak marah?" Ucap Alan memperhatikan gaun tidur berlapis satin yang jatuh dan licin. Tapi ia bisa melihat jelas lekukan tubuh wanita dingin yang pinggangnya ia peluk ini. Sampai tangan Nara menahan bibir Alan yang kembali ingin mengecup. "Untuk apa kau datang dengan mabuk ke kamarku, Tuan Sulivan?"

"Ah!" Seperti diingatkan pada sesuatu Alan menjauhkan kepalanya dari jemari tangan Nara yang lembut, "mobilmu hilang, maaf. Aku akan menggantinya besok." 

Nara hanya diam Manatapi pria yang masih saja tak melepaskan pinggangnya, "mobilku hanya sedang dibawa Iori, Tuan Sulivan."

"Tanpa kunci?"

"Kau akan terkejut dengan hal-hal yang bisa ia lakukan," ucap Nara menatap lengan kekar yang memeluknya, sementara Alan hanya diam. Berpikir. Lalu mengangguk, "kemana?"

Nara menarik nafasnya lalu manatap manik ash yang rasanya menyebalkan karena pemiliknya dengan sangat sopan mengecup bibirnya, "dirumahmu tak ada jaringan internet ataupun telepon, Tuan Sulivan, aku sedang membutuhkan dua hal itu."

Alan hanya mengangguk, "jika kau paham bisa lepaskan pinggangku."

"Kenapa?" Alan tersenyum melihat kilat kesal wanita dingin yang suaranya begitu tenang. "Aku tidak nyaman dengan ini." Jawaban Nara membuat Alan melepas rangkulannya dipinggang Nara. Entah kenapa rasanya ada sesuatu yang kurang saat ia melakukan itu. 

Tangan Alan yang menjulur menyentuh wajah wanita dingin yang matanya terlihat bermasalah, "something happen?"

"Nothing," singkat jawaban Nara menepis tangan Alan. Matanya yang dingin menatap lelaki yang tak percaya, "well, mobilku tak hilang, so bisakah kau keluar dari kamar ini? Atau-"

Nara menoleh keluar, melihat cahaya yang makin terang bersama suara mesin yang makin dekat, "Iori tetap akan masuk meski kau tak keluar, jadi tunggulah dikamarmu diluar dingin." 

Nara menatap tangan yang memegangi lengannya, lelaki disampingnya ini nampak sekali menyukai kontak fisik bahkan tanpa meminta izin. "Aku akan keluar." 

Nara hanya diam bahkan saat pintu kamarnya yang lebar terbuka tertutup kembali. Dan tak lama pria tua yang kedatangannya ia tunggu mengetuk pintu dan langsung masuk.

Wanita dingin yang masih berdiri ditempat sama itu menatapi berkas yang dibawa kepala pelayan mansion-nya. Tatapan Iori membuat kaki Nara lemas dan tangannya berusaha menggapai kasur, "Nona besar!" Seru pria tua yang menggapai tubuh gemetaran wanita dingin yang wajahnya jadi begitu pucat.

"Bagaima--bagaimana mungkin, Iori? Itu- itu- tidak mungkin-" Iori hanya diam menadapati pertanyaan majikannya yang wajahnya jadi benar-benar pucat. Meski tak ingin pria tua yang tak lagi tersenyum ini bicara, "itu benar, Nona, Nona Ais sudah-"

Iori menutup mulutnya rapat mendapati tatapan sang majikan yang tatapannya begitu-- terluka bukanlah kata yang mampu menggambarkan manik hitam pekat yang menatapinya. Pelayan tua yang punggungnya terlihat menyesal itupun merengkuh tubuh sang majikan yang terus saja bergetar. 

Dengan menutupi matanya sendiri dengan tangan, Nara terlihat malu menunjukan airmatanya yang menetes pada satin licin yang bahkan tak berani bersuara.

Sementara Iori, si pelayan setia hanya terus memeluk tubuh sang majikan yang bahkan tak pernah menangis ketika mengetahui hubungan adiknya dengan sang tunangan juga saat mendengar Nona Ais hamil. Wanita yang kata orang dingin ini bahkan tak pernah meneteskan airmata saat media menyiarkan betapa bahagia dan megahnya pesta pernikahan sang adik. 

Namun, kali ini majikannya menangis bahkan terlihat malu menunjukan airmata pada dirinya juga benda-benda mati dalam kamar yang sudah empat hari Nara tempati untuk gadis bodoh yang hidupnya berahir karena seutas tali. 

Nara menangis tanpa suara meski airmatanya terus jatuh membasahi pangkuannya sediri. Tak menyadari ada sepasang mata yang melihat karena pintu kamar tak benar-benar tertutup. Meninggalkan celah, tapi saat mata pelayan tua menoleh, pemilik mata itu sudah tak ada. Hanya meninggalkan ruang kosong juga kesunyian.

*

Sapuan air dingin membuat wajah sembab Nara segar meskipun tatapan matanya terlihat makin gelap. Wanita dingin yang menatapi pantulan diri itu hanya diam membiarkan air mengalir. 

Jantungnya masih berdetak keras sedangkan jemari tangannya meremas pinggiran westafel keras yang membuat buku-buku jarinya memutih.

Clek! Suara pintu yang terbuka membuat Iori yang sudah menunggu majikannya keluar dari kamar mandi, menuangkan teh dalam cangkir berharap aroma harum teh bisa memberi sedikit ketenangan untuk rasa apapun yang sedang dirasakan sang majikan.

"Terimakasih, Iori." Pelayan setia itu hanya menunjukan senyum dan memperhatikan Nara menyesapi aroma dan rasa teh yang meski tak menghilangkan perasaan buruk namun bisa memberinya sedikit penghiburan. Setidaknya meski hanya sesaat karena ia pasti tak akan menyukai apapun laporan yang dibawa Iori. 

Berkas yang masih tertutup rapat, diatas meja. 

Iori hanya berdiri diam memperhatikan sang majikan tanpa perduli berapa lama waktu berlalu. Tubuh tuanya yang masih tegap itu bahkan terus berdiri ditempat yang sama, tanpa merubah posisinya sedikitpun. Mata tuanya yang awas itu tersenyum saat sang majikan menarik nafas dalam lalu menatapnya. "Kalau begitu saya undur diri, Ma'am." 

Nara mengangguk, jemarinya meraih berkas yang ia pandangi sebelum ia baca. Ia bahkan tak mendengar suara pintu yang ditutup pelan Iori. Pelayan tua yang menoleh pada tubuh lelaki muda yang duduk di bar mini dengan dua gelas dan sebotol wine yang penutupnya masih tersegel. "Kupikir kau mau menemaniku, Iori."

"Dengan senang hati, Tuan Sulivan." Alan tersenyum dan membuka tutup botol wine berusia 10 tahun yang penutupnya melompat entah kemana. Tidak ada yang perduli kecuali senyum juga obrolan ringan dimalam dingin. Tapi, rasanya dua pria beda usia itu sedang memikirkan wanita sama yang pintu kamarnya rapat tertutup.

BRAKK!! Sampai suara pintu yang dibuka cepat membuat dua kepala yang sedang menyesapi wine menoleh pada wanita yang gaun tidurnya sudah berganti dengan pakaian lain. 

Iori langsung berdiri, sementara Alan memperhatikan wanita yang langkahnya lebar. "Kita pergi." 

"Yes, Ma'am." 

"Kupikir kau akan membutuhkan ini." Iori menangkap lemparan kunci dari Alan lalu menunduk pamit sementara wanita yang berjalan dibelakangnya tetap diam, "Nara? Kalian akan kembali, kan?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status