Sean Carter mengedarkan matanya menatapi langit yang rasanya sudah lama tak ia lihat.
"Get in."
Sean tak menjawab. Ia hanya masuk ke dalam mobil yang pintunya langsung tertutup begitu ia duduk lalu melaju membelah hamparan pohon-pohon tinggi menjulang sejauh matanya memandang, 'aku tidak tau di kotaku ada tempat seperti ini. Apa mainku kurang jauh? Nah, kurasa hanya orang kebanyakan waktu yang mau masuk ke dalam hutan seperti ini.'
Sean sesekali melirik pria yang menghancurkan kameranya. Lelaki yang juga diam sepanjang jalan, "hei, berapa lama kalian mengurungku?"
Tak ada yang menjawab, dan itu membuat Sean mendengus lalu kembali menatapi jalanan sepi dan berkelok-kelok sampai matanya melihat jalan utama yang lengang dan semakin lama suara kehidupan terdengar makin jelas juga nyata.
"Get out."
Tanpa diperintah dua kali Sean membuka pintu lalu turun, "hei!" Seruan itu membuat tangan Sean bergerak menangkap tas besar yang rasanya berat.
Wanita itu berdiri dengan kepongahan meski hatinya sakit tak terperi.Batinnya masih meyakinkan diri ia baik-baik saja, ia sudah tak merasakan apapun baik untuk adiknya yang sedang menatapinya dengan wajah bodoh ataupun ibu tirinya yang memasang wajah masa bodoh.Dua perempuan yang hadir dan merusak segala yang ia percayai itu sungguh tak tau malu, tak punya malu, tak memiliki rasa malu!Bagaimana mungkin dua perempuan yang tiba-tiba masuk dalam kehidupannya ini merusak segala kepercayaannya yang memang tinggal sisa!Bagaimana mungkin dua perempuan yang bahkan tak menunjukan penyesalannya ini masih bisa berdiri tanpa menunjukan urat malunya sedikitpun!Bagaimana mungkin--Bagaimana mungkin dan terus bagaimana mungkin yang ujungnya sama saja! 'both of then have no Shame!'Sampai wanita yang tak mau menunjukan ekspresi kalahnya ini mengangkat wajahnya tinggi-tinggi setelah menarik nafas yang sesungguhnya begitu sesak, begitu m
"Iori...Iori...iori--IORI...!"Gadis itu terbangun dengan peluh membasahi badan, pakaian tipis yang ia kenakan bahkan ikut basah oleh keringat bermanik-manik yang terlihat terus mengucur.Mata bermanik biru yang terbuka lebar itu langsung menatapi ruangan kecil yang bahkan tak memiliki pendingin ruangan kecuali kipas angin yang hanya membuat ruangan kecil tanpa jendela itu makin panas, pengap, menyesakkan. Sampai ia memejamkan mata menyadari ia tak lagi ada di ruangan nyaman dengan ranjang lebar nan empuk, harum dan penuh udara segar juga wangi lavender yang begitu ia rindukan.Tempat yang rasaanya bisa ia sentuh setiap kali ia memejamkan mata karena hanya itu yang bisa ia lakukan kini. Mengenang masa dimana ia memiliki kehidupan tanpa harus mengenal apa arti hidup sesungguhnya.Cklek! Suara pintu yang dibuka membuat wanita mungil dengan rambut yang selalu kusut tak lagi tersentuh tangan-tangan pekerja salon itu menoleh. Bocah lelaki yang bahk
Suara sendok dan garpu yang beradu dengan dengan piring nyaring terdengar dalam ruang makan yang obrolannya begitu hangat. Setidaknya sampai dua tubuh manusia yang duduk dilantai dingin dengan sepiring nasi yang masih belum bisa mereka sentuh terlihat.Tidak, bahkan mereka harus menunggu sampai pemilik rumah yang tertawa menceritakan seberapa beruntung sahabatnya yang memiliki menantu kaya raya selesai makan. "Kau harus pandai memilih calon, Catlyn. Agar kau tak berakhir jadi benalu juga beban."Menohok? Ya, tentu saja. Namun itu adalah kalimat yang setiap waktu hadir saat pemilik rumah, suaminya, juga dua putra putrinya dan seorang perempuan yang dibawa pulang sang putra berkumpul. Jadi itu bukanlah hal besar lagi."Tentu saja, Mom. Aku bukan gadis yang tak bisa menghidupi diriku sendiri. Lalu jadi benalu dan beban." Mata Catlyn melirik dua tubuh bisu yang hanya diam di atas lantai dingin. Setidaknya untuk yang wanita karena yang balita matanya menatap
"Selamat malam, Rob.""Selamat malam untukmu juga, Pak Iori."Manajer toko mainan itu menyalami jabatan erat tangan Pria tua dibawah tatapan penasaran bocah kecil bermata biru yang mendongak. Rei hanya diam mendengar percakapan dua orang dewasa yang membuatnya lupa pada kereta yang sudah dimasukan ke dalam boks.Sampai suara bel pintu menyadarkan bocah kecil yang memakai jaket tebal kebesaran dan menatapi boks besar yang dibawa pegawai toko dan terus ia tatapi bahkan saat boks itu menghilang kedalam bagasi mobil besar yang terparkir didepan toko."Kau suka kereta, young man?" Tanya pria tua yang ternyata sudah ditinggalkan manajer masuk kedalam toko.Rei menggigit bibir merahnya yang jadi kering karena udara dingin, diam beberapa lama lalu mengangguk. Matanya membesar saat Iori menjajarkan kepalanya, "dan kemana syalmu? Diluar terlalu dingin meski jaketmu besar." Ucap Iori melepas syal hangat yang ia pakai lalu melingkarkan pada leher kec
"Tidak bisa dipercaya." Itu adalah kalimat yang keluar dari bibir Nara setelah pintu kamar tempatnya tidur tertutup rapat. Tentu tak tertutup sendiri karena ada pelayan tua yang begitu setia menemani.Iori hanya bisa menyembunyikan tawa melihat sesusah apa wajah yang diperlihatkan majikannya berkat bocah kecil anak tuan rumah yang nakalnya memang diatas rata-rata.Berkas-berkas penting yang sudah disusun sedemikian rupa berubah jadi pesawat mainan berkat tangan kecil Joe juga ayahnya yang membiarkan putra satu-satunya itu berbuat semaunya. "Pria itu bahkan ikut andil membuat pesawat-pesawat sialan itu. Apa kau percaya itu, Iori!" Sungut kesal Nara merebahkan tubuhnya pada kasur empuk yang aromanya berbeda dengan kasurnya.Meski ia tak perduli pada aroma apapun asal bau sabun dan bersih."Jika pria sialan itu ingin mengerjaiku karena aku menang tender tahun lalu seharusnya bukan dengan cara kekanakan begini!" Nara membalikan tubuhnya lalu duduk dan
Nara membasuhkan air dingin kewajahnya beberapa kali. Rasanya jadi buruk berkat pertanyaan Alan bahkan air dingin yang menusuki kulit tangan dan wajahnya jadi tak terasa.Apa yang terlintas dalam benaknya adalah kalimat yang membuat Nara menarik nafasnya begitu dalam. "Family?what a joke."Wanita dingin yang tinggal di mansion besar ditemani pelayan itu mematikan kran dan diam menatap pantulan diri. Manik mata hitam pekat Nara begitu menghanyutkan dan sepi. "Tch! Aku akan benar-benar jadi gila jika berada disini lebih lama lagi."Nara mengusap wajahnya dengan tisu, langkahnya jadi terasa berat saat matanya menatapi bocah kecil cerewet yang terus berceloteh dihadapan ayahnya yang menyebalkan. "Well, setidaknya pipi Joe enak dipegang." Pelan ucap Nara yang kembali melangkah."What?" Tanya Nara saat Joe terus menatapinya tapi tanpa kata. Pengalaman yang langka sekali bocah cerewet ini menahan ucapan.
"Daddy, apa Onty Nara marah padaku?" Tanya Joe pada sang ayah yang keluar dari kamar mandi.Pria yang tubuhnya menyeruakan wangi sampo dan sabun itu menatapi putra kecilnya yang sudah memakai baju tidur juga kaos kaki supaya kakinya hangat dalam kamar berpenghangat. Alan menarik nafasnya mengingat wanita dingin yang terus saja membisu meski ia menunjukan reaksi setiap Joe memandangi. "She just tired, Joe."Joe membalik badan kecilnya sampai baju tidurnya terangkat menunjukan puser kecil diantara perut buncit yang membuat Alan tersenyum. Jemarinya yang panjang dan terasa dingin menyentuh perut kecil Joe yang jadi cekikikan diatas ranjang mereka yang hangat. Ranjang mereka-karena Joe minta tidur bersamanya malam ini."Tidurlah, besok kita main lagi dengan Onty Nara." Ucap Alan pada mata bulat nan jernih yang menatapinya penuh harap, "itupun kalau Unty Nara sudah tak lelah lagi, Darling.""Jadi kalau Onty lelah, aku tak akan bisa main dengannya b
Nara turun dari dalam mobil setelah menarik dalam nafasnya. Pijakan kakinya terasa berat meski ia melangkah ringan teratur bahkan suara derap sepatunya menyatu dengan keramaian gedung rumah sakit yang tetap penuh meski waktu sudah dini hari.Wanita dingin yang ahirnya melihat pelayan setianya berdiri dengan petugas rumah sakit, menghampiri keduanya. "Mari." Ajak petugas berseragam hijau itu lalu berjalan lebih dahulu menjauhi keramaian dan naik kedalam lift.Sesekali mata petugas menatapi pantulan wanita yang bahkan belum sekalipun mengeluarkan kata, sementara ia yang sesungguhnya bisa menebak apa hubungan dua orang asing dibelakangnya tak bisa memandang rendah pria tua yang badannya masih terlihat gagah. Ia yang masih muda saja merasa kalah."Kami memang menunggu Anggota keluarganya datang. Tapi, sampai hari ini tak ada yang menjemputnya."Mendengar itu Iori mengangguk sementara sang majikan tetap rapat