Share

2. Mimpi dan Pertemuan Pertama Kami

            Aku merupakan salah satu pecandu drama Korea. Dimulai ketika aku memiliki smartphone sendiri, saat awal SMP. Ketika itu teman yang duduk disebelahku menonton serial televisi Korea Selatan yang berjudul “Reply 1988”. Awalnya aku tidak tertarik, tetapi temanku itu bertingkah aneh ketika menontonnya. Kadang-kadang ia tertawa sendiri, marah-marah sendiri atau bahkan juga pernah menangis tersedu-sedu saat melihatnya. Dari sanalah aku tertarik, bagaimana bisa hanya dengan menonton sebuah drama, seseorang bisa sangat terhanyut bersamanya.

            Temanku menjelaskan alur dari drama yang ia tonton itu. Lalu aku mulai ikut melihatnya, dan “Reply 1988” adalah drama yang kutonton untuk pertama kali. Serial itu menceritakan tentang lima orang sahabat yang tinggal di sebuah kompleks perumahan kota jaman dulu, tahun delapan puluhan, dan telah berada di sana selama lebih kurang delapan belas tahun. Mereka menggambarkan dengan baik keadaan ekonomi Korea ketika itu. Mulai dari sekolah mereka yang terbagi menjadi khusus perempuan dan khusus laki-laki, hingga seragam sekolah yang belum diwajibkan ketika itu. Lalu bagaimana kehidupan bertetangga yang sangat akur dan saling menyayangi satu sama lain, serta selalu berbagi lauk pauk makanan mereka ketika waktu makan telah tiba.

            Hingga saat dua anak dari mereka saling mencintai dan memutuskan untuk menikah. Pada zaman itu, di Korea, dilarang menikahkan dua anak dengan marga atau nama keluarga yang sama meskipun sudah jelas mereka tidak memiliki hubungan darah dan hubungan keluarga yang jauh. Hubungan antara kedua keluarga yang awalnya sangat harmonis menjadi terpecah dan penuh kebimbangan. Mereka dihadapkan oleh pilihan menyakiti hati anak mereka atau tidak mengikuti larangan dari leluhur yang sudah terjadi turun temurun itu. Akhir cerita, mereka memilih untuk mengabaikan larangan dari leluhur itu dan mendapati diri mereka lebih bahagia karena kedua anak mereka juga merasa bahagia karena bisa membangun rumah tangganya sendiri.

            Cerita dari drama itu membuat aku, seseorang yang sebelumnya belum pernah menonton serial televisi Korea terpukau. Aku takjub dengan setiap detail yang digunakan dalam drama tersebut. Sangat terasa suasana Korea ketika itu, aku merasa bisa berada di situasi ketika itu. Ketika banyak hal yang dilakukan masih manual-analog. Surat menyurat masih dilakukan secara manual dengan perantara tukang pos. Alat komunikasi umum seperti telepon umum berada di setiap sudut kota. Pager yang baru populer pada tahun tersebut sudah seperti handphone saat ini. Rumah penduduk Seoul yang kebanyakan masih berada di atas tanah, berbeda dengan sekarang yang berada di apartemen. Serta pakaian dan fesyen yang mereka pakai sangat menggambarkan pakaian trendi ketika itu.

            Setamatnya menikmati serial tersebut, aku mulai menjelajah drama-drama lain seperti “Kill Me, Heal Me”, “Healer”, “Blood”, “Cheer Up!”, dan banyak lainnya. Semakin banyak menonton drama, aku semakin tenggelam bersamanya. Tidak hanya cerita atau sinematografi yang membuatku betah melihatnya. Melainkan detail-detail lain, contohnya dialog antar tokoh, latar belakang suara, dan pemilihan aktor yang bertugas menyampaikan karakter tokoh yang diperankannya.

            Dialog antar tokoh atau setiap kalimat yang terucap oleh para aktornya, sarat akan makna. Setiap detail gerakan tubuh mereka juga menunjang penggambaran sebuah karakter yang halus. Meski tidak semua aktor bisa dengan apik membawakan karakter, tapi sangat jarang aku melihat aktor Korea tidak bisa menjiwai karakter yang diperankannya. Karena bagiku, dari sudut pandang seorang penonton, penggambaran karakter seorang tokoh dapat tercermin dan bisa dirasakan oleh yang menonton apabila seorang aktor mendalami peran yang dimainkannya.

            Sinematografi atau dalam segi pengambilan gambar yang diambil, kebanyakan tidak hanya dari satu sudut pandang. Minimal dari jarak dekat dan jauh, tidak jarang juga diambil dari sudut pandang karakter lain yang sedang melihat mereka. Selain itu juga transisi dari satu adegan menuju adegan selanjutnya, disunting agar bisa terlihat halus dan tidak dipaksakan. Beberapa drama bahkan memberikan kesan estetis dalam hal tersebut.

            Suara latar yang dipakai tidak asal-asalan, atau bahkan hanya lagu itu-itu saja yang digunakan. Mereka juga memikirkan dengan matang pemberian suara di setiap adegan yang tepat. Tidak jarang mereka membuat original soundtrack, yaitu memakai lagu yang dibuat khusus untuk film atau drama tersebut. Tentunya alunan musik yang mengalir dibuat tepat untuk setiap adegan yang ditampilkan. Seringnya alunan yang mengalir itu membius penonton sehingga dapat lebih mendalami perasaan yang sedang dialami oleh para karakternya.

            Detail-detail dalam drama Korea yang aku tonton selalu dapat membuatku terkesan. Karenanya, aku sering bertanya, bagaimanakah proses dibalik terbentuknya suatu masterpiece seperti itu. Aku pun sedikit demi sedikit melihat behind the scene atau hal-hal yang terjadi dibalik pembuatan drama-drama tersebut di youtube. Tetapi hal itu ternyata tidak menutupi keinginan terdalam yang aku inginkan. Hati kecilku menginginkan lebih dari itu, ia ingin aku bisa merasakan secara langsung proses syuting tanpa harus melewati sebuah alat komunikasi. Ia ingin aku bisa melihat dan mendengarkan langsung proses pembuatannya menggunakan mata kepala serta telingaku saat kejadian terjadi, saat proses produksi sedang berlangsung, yaitu di Korea.

            Sejak saat itu aku memiliki keinginan yang unik, yaitu bermimpi untuk memenuhi keinginan dari hati kecilku. Mimpi untuk bisa menjadi salah satu bagian dalam pembuatan drama di Korea. Menjadi salah satu orang yang berada di lokasi syuting saat proses produksi sedang dilaksanakan. Meskipun terlihat mustahil dengan keadaan saat itu, tetapi aku tetap percaya, suatu ketika akan bisa mewujudkannya. Entah dalam waktu berapa lama.

            Suatu ketika, saat aku sedang sangat jenuh mempersiapkan ujian akhir semester dua di kelas X. Dengan iseng aku membuka aplikasi ome.tv. Awalnya beberapa orang menolak bersua denganku. Sampai akhirnya Park Hee Young seorang mahasiswi asli Korea, dengan bersemangat, membalas saat aku memperkenalkan diri sebagai orang Indonesia. Ia sangat ramah sehingga membuatku lupa waktu, ketika mengobrol dengan dirinya.

            Park Hee Young mengatakan bahwa ia tertarik dan ingin belajar bahasa Indonesia. Katanya hal tersebut dapat menambah nilai plus baginya setelah lulus kuliah kelak. Hal ini dikarenakan hubungan Korea-Indonesia sedang berada di puncak persahabatan saat ini. Ketika kutanya tentang jurusan kuliahnya, dia mengaku sebagai mahasiswi jurusan perfilman. Sedikit terkejut aku terhadap jawabannya. Aku yang memiliki mimpi ingin menjadi salah satu orang yang dapat melihat proses pembuatan drama Korea, bertemu dengan salah satu orang yang kelak akan langsung terjun ke dalamnya ketika lulus.

            Sejak saat itu, Park Hee Young dan aku saling bertukar informasi. Ia menceritakan kepadaku tentang hal-hal yang ia dapatkan saat berkuliah. Serta aku mengajarinya Bahasa Indonesia sedikit demi sedikit. Kami selalu bertukar kabar sejak saat itu. Bermula dari hanya membahas perfilman dan Bahasa Indonesia, kami juga bercerita tentang suka duka bersekolah di masing-masing negara. Karena itu, kami menjadi lebih akrab hingga Park Hee Young menyuruhku untuk memanggilnya dengan sebutan unni. Panggilan yang dipakai adik perempuan kepada perempuan lain yang lebih tua, tetapi jarak umurnya tidak terlalu jauh.

            Saat hubunganku dan unni menjadi lebih dekat, aku memberanikan diri untuk menceritakan mimpi yang aku miliki selama ini kepadanya. Aku bilang kalau ingin berada di salah satu lokasi syuting drama Korea ketika sedang berlangsung proses pengambilan gambar. Tidak kuduga, Hee Young unni dengan santai menyuruhku untuk langsung datang ke Korea dan ia akan mengajakku menghadiri salah satu proses produksi yang akan dia ikuti. Tanggapan positif darinya membuatku membulatkan tekad untuk pergi ke Korea secepatnya, langsung setelah lulus SMA.

            Keinginan besarku dan dukungan dari Hee Young unni tertabrak oleh keadaan. Aku yang tidak bisa meminta uang secara cuma-cuma kepada ayah dan ibu harus berputar otak untuk mendapatkan uangku sendiri. Oleh karena itu, sejak aku menceritakan keinginanku kepada unni, aku mulai menabungkan uang sakuku. Lalu aku mulai mencari penghasilan tambahan lain. Karena pada saat itu masih duduk dibangku awal SMA, aku belum memiliki ijazah tentunya. Alhasil, hanya ayah-ibu Rafa yang mau menerimaku bekerja di sana sebagai pekerja paruh waktu menjaga anaknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status