Share

3. Daya Upaya

            Persiapan kedua setelah adanya suatu niat yang kuat adalah dana. Karena semua hal di dunia ini membutuhkan uang, dan uang tidak akan datang dengan sendirinya. Aku kemudian membuat rancangan perkiraan kebutuhan yang diperlukan untuk satu orang pergi, tinggal hingga pulang kembali ke Indonesia.

            Diawali dari visa. Ada berbagai macam jenisnya. Kita runut satu-satu. Visa pelajar D-2. Diperuntukkan bagi orang yang ingin melanjutkan sekolah di jenjang Diploma, S-1, S-2, S-3 ataupun penelitian ilmiah. Okei, visa jenis ini bukanlah untukku. Kemudian ada visa menetap suami-istri. Tidak perlu dibahas. Aku belum ingin membangun rumah tangga di saat masih bisa menikmati hidup bebas tanpa hambatan seperti sekarang.

            Selanjutnya ada visa pelatihan bahasa Korea. Sepertinya ada harapan aku belajar di sana, tetapi aku tidak memiliki certificat of administration atau surat tanda diterima oleh suatu universitas untuk belajar bahasa di sana. Ini berarti juga bukan visa yang dapat aku pakai. Lalu ada visa tenaga kerja asing melalui program G to G atau government to government. Pembuatan visa ini dikoordinir oleh pemerintah yang mengurusi tentang perlindungan dan penempatan tenaga kerja Indonesia. Perlu mengikuti banyak tes dahulu dengan beribu-ribu saingan apabila ingin memilikinya.

            Karena ada unni, sepertinya aku bisa melewati proses-proses tidak mengenakkan itu. Suatu hal yang aku miliki karena mengenal seseorang yang pernah terjun langsung di tempat tujuanku adalah nilai plus yang kumiliki sekarang. Menggunakan satu-satunya visa yang bisa aku pakai sekarang, yaitu visa turis, aku masih bisa mengejar mimpiku.

            Visa turis sendiri dibagi menjadi empat jenis. Pembagian tersebut dibuat berdasarkan kebutuhan setiap orang yang hendak pergi kesana secara umum. Tentunya dengan berbagai keuntungan serta harga yang berbeda-beda pula, yang disesuaikan dengan lama waktu berkunjung.

            Dimulai dari yang paling murah adalah single visa. Dengan biaya sekitar 560 ribu rupiah, seorang turis bisa tinggal di Korea selama kurang dari sembilan puluh hari. Ini bisa dipertimbangkan olehku, tetapi unni bilang kalau itu waktu yang singkat untuk produksi sebuah drama masterpiece, jadi masih kurang lama baginya. Selanjutnya ada single visa khusus. Izin tinggal ini bisa dipakai lebih dari Sembilan puluh hari dengan biaya lebih kurang 840 ribu rupiah. Visa ini adalah opsi terbaik untukku.

            Lalu ada double visa, itu adalah izin tinggal yang berlaku hingga enam bulan. Visa ini bisa dipakai untuk kunjungan sebanyak dua kali. Harga visanya sekitar 980 ribu rupiah. Yang terakhir, yang paling mahal, multiple visa. Yaitu visa yang bisa dipakai untuk berkali-kali kunjungan dan berlaku selama lima tahun, dengan biaya 1.260 ribu rupiah. Tetapi pengguna visa ini sebelumnya harus sudah pernah kesana minimal sebanyak dua kali. Mempertimbangkan semua hal yang ada dan dengan persetujuan dari unni, seseorang yang akan menampungku selama di sana, aku memilih single visa khusus.

            Setelah visa, aku coba mencari perkiraan kebutuhan selama lebih kurang 120 hari di Korea. Mulai dari kebutuhan makan hingga transportasi. Oh ya, juga uang buat main atau jalan-jalan. Tiket pesawat sekali jalan sekitar tujuh juta rupiah. Untuk uang sekali makan, Hee Young unni bilang butuh sekitar sepuluh ribu won. Apabila dikalikan tiga untuk tiga kali makan dalam sehari menjadi tiga-puluh ribu won. Jika selama 120 hari berarti aku memerlukan uang sebanyak 3,6 juta won. Bila uang tersebut dirupiahkan menjadi sekitar 46 juta rupiah.

            Dari dua kebutuhan itu saja, aku butuh sekitar 53 juta rupiah. Angka yang sangat menakjubkan bagiku, tidak pernah sebelumnya terlintas di pikiran bahwa aku harus mendapatkan uang sebanyak itu selama satu tahun selanjutnya. Uang yang sangat besar bagiku itu harus aku dapatkan agar bisa sampai di Korea, dengan aman dan terjaminnya hidupku saat di sana. Aku akan berusaha; aku pasti bisa mendapatkannya; aku berpikir positif. Dimulai dari menghemat pengeluaran uang saku harianku, kemudian ditambah bekerja paruh waktu.

            Selama sekolah, sebenarnya aku hanya memiliki waktu luang di hari sabtu dan minggu. Karena cuma hari itu yang libur, selainnya aku harus sekolah dan mengikuti lembaga bimbingan. Tidak apa, dua hari itu cukup. Pikir aku positif. Aku kemudian mulai mencari pekerjaan yang mau menerima anak SMA. Tetapi saat kucari ternyata tidak ada satupun, satupun. Mereka tidak ingin mengganggu kegiatan belajar mengajar, apalagi untuk siswa kelas XI akhir sepertiku. Sedih aku karenanya.

            Aku bingung memikirkan cara mendapatkan uang saat tidak ada pekerjaan yang mau menerimaku. Lalu aku berjalan-jalan di sekitar perumahanku tanpa tujuan yang jelas. Tidak disangka aku melihat anak kecil yang sangat semangat bermain dengan orang tuanya yang super sibuk. Kedua orang tuanya sedang bersih-bersih rumah. Terlintas ide kreatif dari pikiranku. Bagaimana kalau aku membantu menjaga anak tersebut selama beberapa jam, tentu dengan ganti bayaran yang sepadan untuk hal tersebut. Ketika aku menawarkan kesepakatan itu, ternyata mereka menyepakatinya dengan senang. Bahkan mereka juga mau memberiku lebih kalau aku mau lebih lama menjaga bayinya. Begitulah awal cerita aku dapat selalu pergi menjaga Rafa, nama bayi mereka, setiap akhir pekan. Aku menjaganya saat mereka sedang bersih-bersih rumah ataupun saat sedang melakukan perjalanan bisnis.

            Lebih kurang satu tahun aku menabung dan menjadi baby sitter-nya Rafa. Waktu yang lumayan panjang bagiku sambil sibuk menyiapkan ujian nasional. Tetapi seluruh uang yang terkumpul masih sekitar sepuluh juta rupiah, itu saja belum menutup seperempat dari kebutuhan yang aku perlukan. Aku menceritakan keadaan yang kualami kepada Hee Young unni. Ia kemudian menyarankanku untuk bekerja dahulu agar bisa minimal mempunyai setengah dari dana kebutuhan awal. Tetapi ia juga bilang agar jangan terlalu lama, maksimal awal tahun depan aku sudah harus bisa berangkat, karena ia harus mengikuti internship di Amerika.

            Hee Young unni sudah memperingatkanku agar segera berangkat tetapi dengan minimal membawa setengah dari kebutuhanku ketika di sana. Hal itu tentunya demi kebaikanku sendiri, agar bisa bertahan hidup di sana tanpa memikirkan masalah kehabisan uang. Oleh karena itu, setelah ujian akhir sekolah berakhir, aku bekerja lebih keras agar bisa mendapatkan target uang yang aku perlukan. Selanjutnya apapun yang terjadi, aku tetap harus berangkat maksimal bulan Januari, yaitu awal tahun depan.

            Sekarang, akan aku ceritakan apa saja usahaku untuk mendapatkan kekurangan uangnya. Dari bulan Juli hingga Desember. Sejak pagi di hari senin hingga minggu malam. Memang aku sudah lulus dari SMA, tetapi ijazahnya belum jadi. Oleh sebab itu, di awal, aku memutuskan mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan surat keterangan kelulusanku itu. Beruntungnya terdapat pekerjaan seperti itu. Tepatnya di depan perumahanku terdapat warung olahan nasi dan mie goreng yang selalu ramai diserbu pembeli, meskipun mereka hanya buka dari pukul enam hingga pukul dua belas malam. Aku tidak tahu alasan para pembeli suka menyerbu warung itu, karena bagiku, makanan di sana memiliki rasa yang sama saja dengan warung lainnya. Mungkin ada suatu hal yang mereka miliki dan orang-orang tahu, kecuali aku. Bisa jadi masakannya membuat ketagihan, atau yang lainnya, aku tidak tahu. Aku melamar menjadi pramusaji dan tukang cuci piring di sana. Dengan gampang mereka menerimaku. Memang tidak terlalu banyak gajinya, tetapi lumayan bisa mendapatkan uang dari bekerja di jam yang orang pada umumnya tidak sedang bekerja.

            Pekerjaan lainnya yang aku lakukan adalah menjadi barista, atau pembuat serta penyaji kopi kepada pelanggan. Pada era sekarang, coffee house sangatlah booming. Jadi, aku mencoba mengambil sertifikat sebagai barista. Dengan merayu ibu untuk memberikan uang pelatihan, beliau memberi aku dengan syarat harus mengajarinya setelah lulus. Tidak memerlukan waktu yang lama, hanya dengan pelatihan selama satu minggu, aku bisa lulus dari sana. Melalui sertifikat itu, aku sangat percaya diri melamar ke kafe-kafe yang sedang membuka lowongan pekerjaan. Kebanyakan dari mereka membuat sistem shift. Karena itu, aku bisa bekerja di dua tempat sekaligus. Yaitu dari jam sembilan hingga tiga sore. Lalu pukul empat hingga sepuluh malam. Disebabkan jadwal yang bertabrakan, aku mulai bekerja di warung makan setelah jam 10 malam. Mereka bilang tidak apa, tetapi gajiku juga hanya selama aku bekerja. Aku menyepakatinya dan begitulah keseharianku selama setengah tahun terakhir.

            Hari-hariku yang penuh dengan bekerja tidak membuatku lupa akan Hee Young unni. Kami masih terus saling menyapa. Unni juga bercerita kalau dirinya mengikuti magang di salah satu production house Korea, lalu ikut andil dalam salah satu pembuatan dramanya. Tidak terduga, drama itu sukses meraih rating dua digit, rating tersebut sangat sulit didapatkan di sana. Suatu hadiah terindah dari hasil kerja keras setiap orang yang terlibat didalamnya. Susah payah yang mereka lakukan dari siang hingga malam selama berbulan-bulan dalam proses pembuatannya terbayar dengan cantik. Temanku, Park Hee Young unni, menjadi salah satu dari bagian tersebut. Sangat bangga aku dibuatnya, meskipun kami belum pernah bertemu secara langsung. Sebagai ganti semua cerita yang diberikannya kepadaku, aku juga tidak lupa selalu mendukungnya untuk belajar bahasa Indonesia. Tentunya pelan-pelan, sedikit demi sedikit, mengingat kesibukannya sebagai seorang mahasiswa aktif.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status