Share

4. Persetujuan Keberangkatan

            Hari kelulusan Rona dari SMA merupakan tahap akhir dari masa studinya di sana. Hari itu juga berarti menjadi pertanda dapat dimulainya hal baru esok paginya. Suatu hal yang dapat menentukan masa depan Rona kelak. Kebanyakan murid lulusan SMA akan mendaftarkan diri mereka ke salah satu universitas negeri, atau bahkan universitas swasta yang dapat mereka jangkau. Tujuannya adalah untuk mengisi gelar nama mereka menjadi seorang mahasiswa, bukan malah turun pangkat menjadi pengangguran untuk satu tahun kedepan. Karenanya tidak sedikit mahasiswa yang masuk suatu jurusan bukan karena mereka menginginkannya, tetapi karena hanya jurusan itu yang mau menerima mereka. Itu juga merupakan sebab banyak mahasiswa yang pindah ke jurusan lain di tahun kedua ataupun tahun ketiga mereka menempuh pendidikan di sebuah universitas.

            Rona mengetahui hal tersebut, ia sendiri pun belum menentukan ingin mendaftarkan diri di jurusan apa ketika kuliah. Dirinya belum mengetahui jurusan apa yang kelak bisa ia lakukan terus-menerus hingga dapat selalu menunjang kebutuhan hidupnya ketika dewasa. Dengan kondisi ekonomi keluarganya yang sangat ia pahami, Rona memutuskan untuk menunda kuliahnya di tahun pertamanya lulus dari SMA. Selain itu juga karena ia masih memiliki impian yang sedang diperjuangkan. Mimpi yang telah Rona persiapkan setahun sebelumnya dan sudah ia bicarakan dengan Hee Young unni, sebagai tuan rumah yang akan menyambut Rona ketika sampai di Korea.

            Pada suatu malam setelah pengumuman kelulusan, keluarga Rona sedang menikmati makan malam. Terdapat Rona, ayah, ibu, dan mas Adit yang sedang duduk di meja makan. Usai menghabiskan makannya, mereka menikmati makanan penutup yang dibuat oleh Bu Fadiana sore sebelumnya, roti puding stroberi. Tiba-tiba Pak Farzan membuka pembicaraan. Beliau menanyakan tentang rencana yang akan diambil oleh anak bungsu mereka, yang baru saja lulus Sekolah Menengah Atas.

            “Setelah ini, apa rencana kamu Rona?” tanya Ayah.

            “Aku akan masuk ke kamar, rebahan, chatting-an, youtube-an lalu tidur.”

            Jawab Rona melantur karena grogi. Mas Adit terkekeh sambil melahap puding miliknya. Ibu menghela nafas lalu menyuruh Rona agar lebih serius.

            “Rona, yang bener jawabnya!” tegas Ibu.

            “Ehm, okey, baik. Aku ingin berkata jujur, tapi jangan marahi aku,” ungkap Rona.

            Rona berhati-hati sebagai langkah preventif terjadi hal yang tidak diinginkan. Diikuti oleh anggukan Ayah dan Ibunya, serta Mas Adit yang tersenyum senang karena puding yang dimakannya terasa sangat manis.

            “Tahun ini, aku belum ingin mendaftar kuliah dimanapun,” ucap Rona.

            Ayah terkejut; Ibu terbelalak; Mas Adit memakan puding terakhir di piringnya.

            “Sebentar, akan aku jelaskan alasannya. Untuk saat ini aku belum tahu ingin menggeluti bidang apa ataupun ingin kuliah di universitas mana. Aku juga tidak ingin salah memilih jurusan serta tidak menginginkan uang ayah dan ibu terbuang percuma hanya karena aku tidak memilih jurusan yang kelak akan menunjang untuk bertahan hidup. Karena aku tahu kalau kalian berdua tidak ada dana untuk dibuang-buang,” papar Rona.

            Ayah menanggapi penjelasan anaknya karena masih ragu.

            “Kesempatan ujian ini hanya ada tiga kali, memang kamu yakin kalau tahun depan ikut, kamu bisa langsung lulus?” sahut Ayah.

            “Kalau itu, bisalah. Universitas sekarang ini sangat banyak Ayah, dimana-mana ada. Bahkan yang swasta juga sepertinya pake nilai ujianku kemarin juga bisa masuk,” imbuh Rona yakin.

            Ayah terlihat berpikir sejenak. Ibu ikutan sok berpikir. Mas Adit masih berjibaku mengambil sisa puding yang berada di tengah meja.

            “Oke. Jika itu keputusanmu, Ayah akan mengizinkannya. Kalau begitu, untuk satu tahun kedepan, apa yang akan kamu lakukan?” tanya Ayah.

            Akhirnya, saat yang telah Rona tunggu datang, saat dimana ia sangat amat takut menceritakan mimpi yang sudah dipersiapkan olehnya sejak tahun lalu. Rona gugup, takut, gemetaran, tapi ia tetap harus memberi tahu mereka. Harus.

            “Ehm, sebenarnya, aku ingin ke Korea,” ungkap Rona berhati-hati.

            Ayah terbelalak; Ibu ternganga; Mas Adit terbahak dengan puding yang menempel di giginya.

            Reaksi mereka menjadikan Rona merasa lega, karena itu merupakan hal yang sangat wajar. Anak perempuan mereka, yang baru lulus SMA, yang tidak pernah bepergian sendirian kemana pun. Jangankan keluar negeri, keluar komplek perumahan selain ke sekolah dan ke lembaga bimbingan saja tidak pernah.

            Melihat keterkejutan mereka, Rona berusaha menenangkan dan menjelaskan kronologi keinginannya itu. Dari awal pendahuluan, latar belakang, rumusan masalah, hipotesis, studi literatur, metode-metode pengumpulan dana, hingga kesimpulan yang telah dirinya dapatkan. Rona menceritakan semuanya secara detail.

            Ayah mendengarkan secara seksama. Ibu terlihat cemas sambil mendengarkan setiap kata dan hembusan napas yang anak perempuannya itu keluarkan. Mas Adit memegangi perutnya yang masih sakit karena tertawa dengan penjelasan adiknya yang sangat rinci.

            Setelah Rona mengutarakan kesimpulan yang didapat. Ayah bilang akan berpikir sejenak. Ibu mengatakan kalau masih mengumpulkan hatinya yang berlarian karena tidak tega terhadap anak bungsunya. Mas Adit sedikit merasa senang karena menemukan sisa puding yang disimpan ibu di dalam kulkas.

            Saat itu Rona merasa senang, karena akhirnya bisa menyampaikan mimpi gilanya kepada orang-orang yang sangat ia kasihi. Mimpi yang bukan hanya sebagai bunga tidur. Tetapi mimpi yang benar-benar Rona persiapkan secara matang, jauh-jauh hari sebelumnya. Karena ia tidak sabar dengan keputusan yang akan diberikan oleh ayah, ia lanjut bertanya.

            “Bagaimana? Apakah boleh? Boleh kan?” pinta Rona.

            “Apakah kamu sudah benar-benar memikirkan dan mempersiapkannya secara matang?” tanya Ayah yang masih ragu dengan menatap tajam kepada Rona.

            “Iya, sudah. Kalau Ayah tidak percaya, tanyakan apa saja, aku pasti bisa menjawabnya,” ujar Rona meyakinkan sambil menatap mata ayahnya dengan cara yang sama.

            “Oke, kalau sudah kamu persiapkan semuanya. Ayah akan percaya kepadamu. Coba berikan contact yang bisa dihubungi dari temanmu itu, beserta alamat lengkapnya,” ujar Ayah yang percaya kepada anak bungsunya.

            “Iyey!” Ucap Rona kegirangan sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi.

            Ayah terlihat tenang diluar, tetapi didalam hatinya merasa takut untuk melepaskan anak perempuannya pergi sendiri ke negara orang. Ibu terlihat khawatir, tetapi didalam hatinya sedikit senang karena telah tiba saat anak gadisnya memiliki keinginan sendiri yang telah dipersiapkannya secara matang. Mas Adit terlihat sedih, bukan karena adiknya yang akan pergi keluar negeri, melainkan karena puding buatan ibu di kulkas tertulis "Jangan dimakan, untuk makan malam besok!".

***

            Selepas mendapatkan izin dari Ayah yang berarti Ibu dan mas Adit juga mengizinkan, Rona mempersiapkan semua hal yang belum didapatkan. Awal September ia membuat paspor di kantor imigrasi kotanya. Di sana Rona baru mengetahui bahwa sangat banyak orang yang ingin membuat paspor, hingga harus mengantri dari pagi. Ia harus berangkat pagi subuh agar bisa mendapatkan antrian yang dipanggil sekitar pukul sebelas. Setelah paspornya jadi, Rona mulai mengajukan permintaan single visa khusus ke Kedubes Korea yang ada di Indonesia. Karena semua berkas serta biaya telah siap, tidak memerlukan waktu yang lama untuk menunggu jawaban dari mereka. Lebih kurang seminggu ia sudah mendapatkan dokumen izin masuk ke Korea.

            Ketika Rona memegang paspor dan visa miliknya ditangan, ia melihat setiap detail tulisan yang tertera di sana. Sungguh tidak kepalang ia dibuatnya, Rona tidak percaya saat itu telah mendapatkan paspor dan visa untuk bisa ke Korea. Akhirnya mimpinya yang telah ia miliki sejak dahulu kini menjadi semakin jelas dan nyata terlihat. Selagi tertegun dan sedang mengagumi kedua benda itu, tiba-tiba Rona teringat hal yang terlupa olehnya. Satu benda yang juga menentukan jadi atau tidaknya dirinya berangkat ke sana. Benda itu adalah tiket pesawat.

            Kelabakan Rona dibuatnya, ia lupa mencari tiket pesawat yang berdiskon. Segera ia buka smartphone dan mencari situs pembelian tiket pesawat. Semua sudah mahal, karena waktu keberangkatan yang diinginkannya tidak lama lagi. Sungguh teledor, seharusnya sekitar bulan Juli ia telah memesannya, ketika ia sudah memutuskan untuk berangkat awal Januari. Rona mengutuk dirinya sendiri.

            Karena sudah mepet, Rona mencari dengan gerilya diskonan tiket lainnya. Setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik, setiap berkedip dan setiap hembusan nafasnya. Saat ia bekerja, makan, berjalan, mencuci piring ataupun buang air besar. Hingga pada suatu ketika, terdapat keajaiban dari atas. Terdapat seseorang yang meng-cancel tiket yang ia beli. Dengan sigap Rona mengambil tempat duduknya. Click yes, deal! Ia berhasil mendapatkannya. Menangis haru Rona karena hal itu.

***

            Pada awal tahun, Rona mulai mengemasi barang-barangnya. Ia melipat seluruh baju dan barang bawaannya yang lain seefisien mungkin ke dalam satu koper. Rona merupakan seseorang yang tidak suka mententeng banyak barang bawaan, sehingga ia mengusahakan semua barang bisa muat dalam satu koper besar. Tiket pesawat, visa, serta paspor ia letakkan di ransel kecil yang akan selalu dibawanya kemanapun pergi. Serta tidak lupa, benda terpenting, uang. Rona meletakkannya di lima tempat berbeda yaitu koper, ransel, dompet, kantong celana dan casing smartphone. Tidak akan ada yang tahu apa yang dapat terjadi selama dalam perjalanan. Dahulu nenek Rona selalu berpesan kepadanya setiap akan pergi study tour, dia harus selalu menyimpan uang di banyak tempat. Semakin tersembunyi tempatnya, semakin baik, pesan beliau.

            Selain baju dan pakaian hangat, Rona juga membawa makanan instan Indonesia. Roti kering, mie instan, bumbu masakan instan, sereal dan obat-obatan. Semua itu ia lakukan untuk mengirit uang dan berjaga-jaga dengan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi. Untuk melindungi barangnya, Rona juga menuliskan identitasnya menggunakan bahasa Inggris pada setiap tempat yang dapat dijangkau oleh mata. Di dalam koper, dompet, setiap pakaian, ransel dan smartphone. Cukup nama, asal negara dan alamat e***l.

            Rona mulai berpamitan kepada para kolega kerjanya. Teman sesama barista, owner kafe, sesama pelayan warung, bos warung serta tidak lupa ayah dan ibunya Rafa. Karena tidak tahu apa yang Rona ucapkan, Rafa tetap terlihat senang saat bertemu dengannya. Meskipun uang yang telah ia kumpulkan belum mencapai setengah dari dana yang dibutuhkan, Rona tetap harus berangkat. Menggunakan uang yang ada, ia akan me-manage-nya untuk kebutuhan selama di sana. Ia merasa tenang karena bisa mengandalkan Hee Young unni juga, selaku tuan rumah yang akan menampungnya selama di Korea.

***

            Makan malam itu adalah makan malam terakhir sebelum keberangkatan Rona. Semua makan dengan khidmat seperti biasa. Lalu Ibu mengambil dessert banoffee buatannya tadi pagi. Kemudian Ayah bertanya tentang persiapan Rona untuk esok hari.

            “Rona, bagaimana persiapanmu?” tanya Ayah.

            “Clear. Semua sudah siap Ayah. Baju hangat, sweater, daleman, celana, rok, sepatu, sandal, paspor, visa, tiket pesawat, uang. Semua sudah berada di posisi masing-masing dengan rapi,” beber Rona dengan bangga.

            Ayah menanggapi dengan anggukan sambil menatap banoffee di depannya. Ibu mendengarkan sambil memberikan tiga potong banoffee kepada Rona. Mas Adit menautkan kedua alisnya karena melihat dia hanya mendapat satu potong banoffee dari ibu.

            “Lalu, besok berangkat jam berapa ke Surabaya?” tanya Ayah lagi.

            “Jam delapan pagi, terus bisa sampai di sana sekitar jam satu siang. Pesawat tujuan bandara Incheon berangkat pukul sembilan malam,” papar Rona lengkap, memberikan jawaban lain untuk kemungkinan pertanyaan lanjutan yang suka diberikan oleh ayah.

            Ayah mengangguk lalu menatap Rona, tatapan bertanya apakah dirinya sudah siap mental untuk besok. Ibu menatap dalam diam, seolah bilang kalau akhirnya gadis kecilnya mulai menginjak dunia orang dewasa. Mas Adit menatap dengan tatapan sinis tapi senang karena tidak akan ada lagi saingan yang menghabiskan makanan di rumah selain dirinya.

            “Iya, aku sangat siap,” ucap Rona yakin, sambil menatap semua orang.

            “Oke. Besok pagi ayah, ibu dan mas Adit akan mengantarmu ke bandara di Surabaya. Kita berangkat pukul tujuh,” tutur Ayah yang membuat Rona terharu.

            Lalu keluarga Rona melahap banoffee yang manis dan gurih dari ibu bersama. Malam itu, ibu minta agar Rona tidur bersamanya. Beliau ingin menemani malam terakhir gadis kecilnya menjadi seorang remaja. Kemudian mereka berdua tidur bersama dikamar Rona. Malam itu terasa berbeda dari malam-malam sebelumnya.

***

            Pagi itu Rona bangun lebih pagi. Lebih tepatnya ia tidak bisa tidur. Jantungnya terasa berdetak lebih kencang daripada biasanya. Bayangan-bayangan yang mungkin bakal terjadi besok berjalan diatas kepalanya. Sulit menidurkan pikiranya malam itu. Tepat pukul tujuh, Rona dan seluruh keluarganya, mereka berempat berangkat bersama. Mereka berangkat lewat jalan biasa, tidak lewat jalan tol. Ayah dan ibu Rona ingin menghabiskan waktu bersama lebih lama. Meskipun tetap terasa sedih karena akan berpisah untuk sementara waktu.

            Waktu berjalan begitu cepat hingga mereka telah sampai di bandara. Mereka turun dari mobil dan menurunkan barang bawaan Rona. Semua barang yang sudah didaftar sebelumnya telah lengkap. Waktunya ia berpamitan kepada mereka bertiga.

            “Ayah, aku berangkat dulu ya,” ucap Rona sambil mencium tangan beliau.

            “Ya, hati-hati,” jawab Ayah sambil tiba-tiba memeluk Rona.

            Beliau bukan tipe orang yang dapat dengan mudah menunjukkan perasaannya. Ayah jarang, bahkan sepertinya terakhir kali beliau memeluk Rona adalah ketika ia masih bayi, saat Rona kecil merengek minta digendong beliau. Setelah itu mereka berdua tidak pernah berpelukan lagi. Karena pelukan tiba-tiba itu, air di pelupuk mata Rona mengalir. Lalu dengan kuat ia membalas pelukan ayah. Lama mereka berpelukan hingga ibu meminta gilirannya. Rona dan ayah tersenyum lalu melepaskan pelukan mereka. 

            “Ibu, aku berangkat dulu ya,” kata Rona sambil mencium ibunya.

            “Huum, jaga diri ya gadis kecilku yang sudah besar,” tutur Ibu sambil memeluk Rona lalu menangis.

            Ibu juga merupakan seseorang yang jarang menunjukkan perasaannya, tetapi termasuk lebih sering ketimbang ayah. Rona membalas pelukannya dengan erat sambil mengangguk. Ingus serta air matanya keluar tanpa penghalang. Tiba-tiba mas Adit menepuk bahu Rona. Sambil melepaskan pelukan ibu, Rona melihat mas Adit. Kakak semata wayangnya itu tersenyum sumringah.

            “Jangan lupa oleh-oleh ya bro,” tukas Mas Adit.

            “Ih, mana uangmu dulu, ntar aku beliin,” ujar Rona.

            “Nyoh,” cetus Mas Adit sambil memberi Rona uang 300 ribu rupiah.

            Rona tersenyum sambil mengambil uang darinya.

            “Nah, oke kalo gini. Aku akan carikan oleh-oleh yang harganya 50 ribuan, haha,” goda Rona sambil memasukkan uang ke saku jaketnya.

            Lalu Rona menggandeng koper dan bersiap masuk ke bandara. Ibu mendekati Rona dan meletakkan amplop tebal ketangannya. Beliau bilang itu dari ayah dan ibu, untuk jaga-jaga saja. Ibu melarang Rona untuk membukanya, dan hanya boleh dibuka ketika uang miliknya sudah habis. Kalau bisa tidak usah dibuka ketika disana, bahkan boleh dibuka saat Rona telah di Indonesia lagi. Rona menerimanya dengan senang lalu berjalan meninggalkan mereka. Mereka berempat saling melambaikan tangan hingga Rona tidak bisa melihat mereka lagi.

            Di dalam bandara, semuanya terasa baru bagi Rona. Ini pertama kalinya bagi dia berada di sana. Lalu sekarang, dia sendirian di bandara itu. Terasa mimpi yang menjadi nyata untuknya saat itu, ia merasa sangat senang. Kemudian Rona mengurus semua hal, lalu menuju gate keberangkatannya. Meskipun waktu keberangkatan masih lama, ia tidak pernah pergi jauh dari sekitarnya. Ia tidak ingin mendapatkan masalah dikarenakan hal sepele. Hingga akhirnya waktu untuk untuknya memasuki pesawat. Perjalanan selama sebelas jamnya menuju Korea dimulai.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status