Beberapa hari bekerja sebagai sekretaris palsu CEO, Stela mulai merasa bosan, meski Vincent memberikan akses bebas untuknya bermain game, menonton film atau melakukan hal lainnya, selama tidak mengganggu konsentrasinya ketika bekerja. Dia rindu bekerja di rumah sakit melayani pasien-pasien dengan segala keluhan tentang kejiwaan yang mereka rasakan.
Sabtu pagi setelah membersihkan diri, Vincent mengajaknya duduk di taman belakang sambil bermain COD.
“Mau main mode apa? Battle Royale?”
“Boleh. Berdua aja?”
“Lihat dulu ada berapa orang teman clan yang online. Kalau nggak ya random by system. Mati konyol kita nanti kalau ketembak dua-duanya.” Vincent tertawa singkat dengan pandangan mulai fokus ke layar ipad.
Bagai dapat durian runtuh, pria itu membelikan Stela sebuah ipad khusus untuk bermain game agar tidak bosan selama berada di kantor. Harganya? Jangan ditanya lagi.
“Kamu n
Stela berdiri di depan cermin. Beberapa kali dia mengganti pakaian yang dikenakan. Pergi bersama dengan seorang pengusaha tampan seperti Vincent membuat rasa percaya diri menciut seketika. Mau tidak mau, dia harus juga memperhatikan penampilan, agar tidak membuat malu nantinya.“Bodo amat. Kita ‘kan cuma temenan,” gumam Stela setelah melihat baju kaus, kemeja dan celana jeans yang berjejer di atas kasur.Tangannya bergerak mengambil baju kaus lengan panjang berwarna pink lembut dan celana jeans berwarna navy blue. Rambut dibiarkan terurai begitu saja menutupi tengkuk, karena malam segera menjelang. Lagi pula mereka akan menonton film malam ini dan tentu bioskop akan terasa dingin.Setelah mengoles lipstik berwarna pink juga, Stela segera meraih tas kecil yang selama ini menemaninya saat pergi selain ke rumah sakit. Dia bersiap untuk ke luar kamar, sebelum lagu Rolling in The Deep kembali mengalun di ponsel.“A
Raut puas tergambar di wajah Stela saat keluar dari studio bioskop. Dia benar-benar menikmati film A Long With The Gods meski sempat terganggu, karena merasakan debaran saat pandangannya bertemu dengan Vincent tadi.“Mau ke mana lagi?” tanya Stela.“Makan yuk! Lapar,” ajak Vincent.“Oke.”“Kamu mau makan apa?”“Apa aja. Lo lupa kalau gue ini makan apa aja asal halal?!”Bibir Vincent mengerucut. “Kamu tahu, ‘kan? Nggak semua video dan voice recording yang saya lihat ulang.”“Sorry, gue lupa.” Stela memukul pelan kepalanya merasa bersalah.“Lo suka makan Udon, nggak?”Vincent mengangguk pelan. “Kamu mau makan itu?”“Gue sama Uda Garry sering makan di Marugame Udon habis nonton.”Stela melangkah cepat ke arah eskalator.“Wait!” ujar Vincent menghampi
Seperti yang telah diusulkan oleh tim kreatif acara Bincang Senayan, TV-O akan menghadirkan politikus muda Bastian Ervin yang sedang digandrungi oleh para kaum milenial terutama yang berjenis kelamin perempuan. Tak hanya wanita muda, kaum Emak-emak juga mengidolakannya. Tampan, muda, karir cemerlang, dermawan dan terlihat rendah hati membuat sosoknya menjadi pusat perhatian.Vincent meluangkan waktu untuk datang melihat langsung interview yang akan diadakan di kantor DPR Senayan. Dia ingin memastikan acara ini berjalan dengan semestinya, agar bisa menaikkan rating acara untuk slot malam.“Ready?” tanya Vincent pada Stela.“Ya. Sekarang udah bisa jalan cepat, karena pake flat shoes.” Stela mengulurkan kaki memperlihatkan flat shoes berwarna cokelat muda yang dikenakan.“Good,” sahut Vincent singkat sembari membuka pintu, kemudian berdiri di sana menunggu Stela keluar.Pagi-pagi
Tubuh Stela menegang di dalam pelukan Vincent, di sela jantung yang terpacu bergemuruh. Pertama kali dalam hidupnya ia dipeluk oleh pria, selain ayah dan kakaknya. Selama tujuh tahun pacaran dengan mantan pacar satu-satunya, gadis itu tidak pernah dipeluk.Walau ingin marah, tapi Stela membiarkan Vincent memeluknya dalam waktu yang cukup lama. Dia tahu saat ini pasiennya tidak sedang baik-baik saja. Ada hal yang disimpan olehnya.“I am sorry, Stela. But let me hold you for seconds,” bisiknya di telinga Stela menambah sebuah rasa yang kini menyelinap di hati gadis itu.Stela mengangguk pelan. Tangannya menepuk lembut bahu Vincent, mencoba menenangkan.“Lo tadi tanya pendapat gue tentang Bastian, ‘kan?” tanya Stela masih dalam pelukan Vincent.Dia merasakan kepala Vincent bergerak di bahunya.“Ya.” Vincent melonggarkan pelukan dan melihat bola mata cokelat terang itu bergantian.
Stela memutar tubuh ke kanan, lalu ke kiri dalam rentang waktu beberapa menit. Hampir satu jam mencoba tidur, mata tak kunjung bisa dipejamkan. Adegan saat Vincent mencium bibirnya dua jam lalu masih terputar jelas di pikiran. Bahkan rasa manis pun masih terasa di indra pengecapnya.Dua jam sebelumnya, tepat setelah Vincent kembali ke kamar. Stela tak henti memaki dirinya sendiri.“Kenapa biarin dia cium lo, Stela? Lo udah nggak waras? Itu yang lo sebut profesional? Lo udah melanggar kode etik sebagai dokter. Sinting!” Itu kata-kata yang keluar dari bibirnya selama satu jam.Stela juga memukul kepala, karena telah kehilangan logika.“Gimana bisa ketemu dia besok? Apa lo masih punya nyali?” Kalimat demi kalimat terus meluncur dari bibir tipisnya.Kini dia mencoba kembali memejamkan mata, tetap tidak bisa. Stela malah membelai bibirnya yang membengkak akibat ciuman tadi. Belaian lembut bibir Vincent masih terasa di bibirnya.
Vincent menarik tangan Stela memasuki kawasan Kota Tua. Sebuah bangunan tua berwarna putih dengan atap khas bangunan Belanda, berdiri megah di kota Jakarta. Di depan bangunan besar berwarna putih itu terdapat area untuk pengunjung bermain sepeda atau hanya sekedar berjalan kaki.Pria itu menggenggam jemari Stela dengan terus melangkah ke tempat penyewaan sepeda. Meski ramai pengunjung, tidak menyurutkan niat Vincent untuk mengajak Stela bermain kendaraan roda dua tersebut.“Kamu suka warna yang mana?”“Apa aja sih,” sahut Stela sambil menggaruk kepala tak gatal.Dia benar-benar bingung dengan perlakuan Vincent hari ini, berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Apalagi pertanyaan yang diajukan Stela tidak dijawab hingga saat ini. Hanya sebuah cengiran yang diperlihatkan pria itu.Vincent memasangkan topi lebar berwarna biru, khas Noni Belanda di kepala Stela. Dia juga memasang topi di kepalanya sendiri.Pria itu naik ke atas
Perlahan Stela meletakkan kepala Vincent di atas bantal. Setelah memastikan pria itu telah tidur, ia kembali ke kamar. Suasana hatinya sangat kacau, benar-benar kalut jika tidak segera diselamatkan.“Gue nggak boleh jatuh cinta sama Vincent. Usaha penyembuhannya nggak akan maksimal jika ada perasaan di hati gue,” gumam Stela sambil mondar mandir di dalam kamar.Berkali-kali ia mengusap wajah, menyeka rambut dan melakukan tindakan lain khas orang-orang yang sedang gusar.“Gue harus cari cara agar perasaan Vincent nggak semakin menjadi-jadi. Gue ini profesional, psikiater profesional. Oke?” Stela kembali bicara pada dirinya sendiri.Stela benar, jika saja memiliki sedikit perasaan pasti akan menghambat pekerjaannya. Apalagi trauma yang dialami Vincent berkaitan dengan calon istrinya. Bagaimana jika ia cemburu saat pria itu mulai ingat, bahkan meraung menangis ketika mengetahui wanita yang dicintai, meninggal di saat yang bersamaan de
Vincent tersenyum menanti jawaban Stela. Gadis itu masih diam tak berkedip selama dua menit.“Gemesin banget sih kamu,” ucap Vincent sambil mengelus pipi chubby Stela.“Nggak ada syarat lain, Vin? Masa mau pinjam laptop dan kamera doang harus terima cinta lo sih? ‘Kan nggak keren,” tawar Stela dengan suara pelan sekali.“Syaratnya gampang kok. Tinggal jawab yes or no.” Vincent mengedipkan mata.“Harus banget nih?”Vincent mengangguk yakin dengan senyum masih mengembang. Belakangan ini dia menjadi banyak tersenyum, seakan ada yang merasukinya.Mampus. Gue harus gimana nih? Nggak dijawab, dia nggak mau kasih dan kalau nggak dikasih gue— batin Stela meronta-ronta.“Jadi?” Vincent memiringkan kepala dengan mata berkedip pelan.“Ya Allah. Lo kok jadi begini sih? Kayak orang kerasukan tahu. Serem gue lihatnya.” Stela pura-pu