Suasana diruangan itu terasa tegang.
Tak ada yang bersuara setelah beberapa lama berkumpul, dua wanita peruh baya disana menghembuskan napas frustasi, melihat bagaimana satu buah alat tes kehamilan menunjukan sebuah kabar bahwa akan hadir seorang bayi diantara mereka.
Maria duduk di sofa dengan jemari bertaut, wajah tak menampilkan ekspresi berlebih, ia hanya menunduk tak mau mengangkat wajah.
Sialan.
Wanita bersurai pirang itu kemudian melirik tajam kepada lelaki yang tengah duduk dengan senyum idiot diwajahnya. Tak butuh waktu lama untuk Edgar sadar kalau ia tengah diperhatikan, pria tampan itu menoleh pada Maria.
“Gak usah senyum-senyum!” gertak pada Edgar tanpa suara. Hanya bibir wanita itu yang bergerak.
Maria pernah mengalami situasi seperti ini jadi ia tidak terlalu dibuat terkejut. Maria hanya melirik sekilas pada wajah Emily dan juga ibu Ardila.
Emily nampak tak menunjukan ekspresi berlebih, seperti Maria, nyonya
Rolls royce yang tadi membelah kemacetan metropolitan kini berbelok menuju sebuah kawasan elit, berhenti pada sebuah bangunan besar dengan gemerlap lampu yang nyata, banyak orang datang dengan tampilan yang apik. Berpasang-pasangan.Maria menoleh keluar jendela mobil, wanita cantik berambut pirang itu mendecak. Mengelus punggung anaknya yang ada dalam pangkuan.Tak lama pintu mobil disebelahnya terbuka. Menampilkan seorang pria tampan dengan setelan jas formal dengan dasi kupu-kupu, rambut Edgar yang berpotongan undercut ditata rapih menyamping.Laki-laki rupawan yang senyumnya mematikan itu mengulurkan tangan, mengangguk pada calon istrinya yang masih duduk didalam mobil."Ayo turun!" ajak Edgar sembari meraih jemari Maria.Maria menarik kembali tangannya dari Edgar. Wajah cantiknya masih terlihat masam. Teringat dengan orang-orang yang Edgar kirim kerumahnya, mendandani Maria sedemikian
“Gila lu!” seruan itu disemburkan oleh wanita berwajah ayu yang tengah duduk bersila diatas sofa disebelah Maria.Maria yang sedang tiduran sembari menatap tivi menyala itu langsung mendongak, menatap Jane yang tersedak setelah mendengar kabar kehamilannya.Maria baru memberitahu sahabatnya itu. Benar. Jane tau Maria akan menikah tadi pagi, dan wanita mantan pramugari itu langsung datang bersama anaknya. Setelah datang lengkap dengan satu deret panjang pertanyaan wawancara, barulah Maria jujur kalau ia sudah hamil.Mata kucing Jane mendelik. Bibir wanita itu terbuka tak percaya."Heh! Yang bener? Bunting? Beneran?" Selak Jane lagi.Maria hanya menghembuskan napas kecil. Lemas.“Kapan nganunya coba, hah? Bilangnya nggak suka, benci, sebel. Saban ketemu gelut mulu,” cecar Jane lagi. “Tau-tau udah melenting.”Maria ta
Di aula besar yang bernuansa putih suci itu satu pasangan bersandingan.Suatu momen bahagia dimana hidup tak lagi tentang diri sendiri, menyulam tali keluarga dengan keluarga yang berbeda, menjadi seorang menantu.Mengucap janji suci didepan altar.Jemari ramping Maria yang berbalut gloves itu meremat kencang, hari ini pernikahannya dan Edgar digelar, bohong sekali kalau Maria bilang dia tidak gugup. Nyatanya Maria sudah hampir pingsan karena keringat dingin tak usai keluar dari telapak tangannya.Bahkan saat Edgar mengangkat tangan untuk membuka kain tipis yang menutupi wajah Maria, dan mata mereka bertemu, Maria tetap gugup.Jemari Maria digenggam. Matanya menatap lembut.“Ed,” panggil Maria lirih.Edgar dapat mendengarnya. Lelaki yang terlihat sepuluh kali lebih tampan dari hari biasa itu mengedip, Edgar menggunakan jas putih seperti pangeran dicerita dongeng, dasi kupu-kupu, serta rambut ditata rapih.“Ken
Edgar tidak percaya ia harus mandi air dingin pada malam pertama statusnya berubah tak lagi lajang. Meredam gejolak dalam diri mengalah pada anak-anaknya.Laki-laki berkulit putih itu membuka pintu kamar mandi dikamarnya, melangkahkan kaki keluar, di ranjang sudah ada dua sosok kesayangan yang sudah terlelap dalam tentram.Tersenyum kecil Edgar pun segera menuju lemari pakaiannya, mengambil dalaman dan juga satu celana pendek yang nyaman untuk tidur, memakainya dengan cepat sebelum mematikan lampu utama, membiarkan lampu tidur menyala, menarik selimut agar menutup tubuh Maria dan Ares sebelum ikut bergabung merebahkan diri ke atas ranjang.Edgar memejamkan mata sejenak sebelum menghembuskan napas panjang, setelah hari yang cukup panjang ini akhirnya ia bisa beristirahat.Menoleh kesamping, Edgar kembali dibuat tersenyum, pemandangan ini benar-benar yang ia impikan sejak lama. Pria yang bertelanjang dada itu memiringkan badan, melihat wajah putranya yang t
Malangnya perempuan pada kehamilan awal selalu begini, wanita yang baru bangun dari tidurnya itu langsung menuju kamar mandi karena lagi-lagi merasa mual. Memuntahkan mineral dari lambung yang kosong.Maria menghembuskan napas, membasuh wajah serta mulutnya. Wanita bersurai pirang itu memandang sekilas wajahnya dicermin, sebelum beralih meraih sikat gigi dan mencuci muka memakai sabun cuci wajah.Setelah selesai, Maria keluar. Dan begitu keluar, dua manusia beda ukuran di ranjang membuatnya menghembuskan napas lagi.Edgar dan Ares masih tertidur lelap, satu kaki anak empat tahun itu bahkan menindihi pinggang sang ayah. Sedangkan Edgar tidur tengkurap tanpa terganggu sama sekali.Ibu Ares menggeleng sekilas, tak menyangka putranya bisa tidur senyenyak ini padahal mereka ada di tempat baru.Maria melangkahkan kaki telanjangnya menuju jendela, membuka tirai membiarkan cahaya pagi masuk ke kamar tidur ini.Setelah itu tanpa berniat mengganggu ke
Edgar memarkir motornya di parkiran motor. Melepas helm full face yang sudah melindunginya selama perjalanan. Menyugar rambut sekilas sebelum turun dari badan motornya.Senyum manis tak luntur dari wajah pengantin baru itu. Langkah kaki berbalut sepatu formalnya menimbulkan ritme yang bagus didengar, setidaknya di telinga Edgar yang sedang dalam mood bagus.Pria dewasa berwajah rupawan itu kemudian menurunkan resleting jaket kulit yang ia pakai, melepasnya sembari mengangguk ramah pada karyawan-karyawan yang dilewati. Membalas sapaan.Meski dengan jelas mereka menggoda laki-laki yang diketahui baru melepas status lajang itu.Beberapa mengatakan selamat, ada yang menggoda terang-terangan sembari menunjuk Edgar.Edgar sendiri hanya tersenyum meladeni itu. Ia tidak pernah menciptakan batasan berlebih antar atasan dan bawahan. Edgar lebih-lebih memilih untuk membuat rekan kerja menjadi nyaman tanpa sebuah beban karena loyalitas berdasarkan keterpaksaan
Dunia sedang berkabung. Satu badan kecil berbalut kain putih itu sudah dimandikan selayaknya, dibuatkan kubur seikhlasnya, dan tangis raungan seseorang tak juga usai terlerai. Menandakan seberapa besar rasa kehilangan timbul disudut hatinya. Menangis terisak hingga netra jernihnya memerah. Wanita bersurai pirang berbalut crop tee dan juga jeans panjang itu menghembuskan napas jengah. Ini sudah lebih dari setengah jam sejak mayat kaku itu dimakamkan, namun Ares tak usai melerai isakan. Maria melirik gundukan tanah kecil yang diusap-usap lembut oleh jemari kecil anaknya. Ia sedang berada di samping rumah, membuat kuburan kecil karena kematian yang mendadak. Benar. Dash. Si itik warna-warni. Mati. Maria tau, betapa teman bermain atau mungkin lebih tepatnya peliharaan imut yang selalu Ares kudang-kudang itu harusnya dibawa pergi bersama mereka. Ares patut menangis, Maria hanya tak yakin apa durasi menangisnya harus sepanjang ini.
"Masak apa?"Bersama dengan pertanyaan singkat itu Maria merasakan sepasang tangan perlahan melingkari pinggangnya dari belakang.Wanita besurai pirang yang rambutnya dicepol tinggi itu memejam mata sejenak, menetralkan keterkejutan, kepalanya perlahan miring ketika Edgar menumpu dagu atas pundaknya. Maria memukul pelan tangan Edgar yang ada di depan perutnya.“Nggak usah kayak kuyang bisa? Tiba-tiba dateng nemplok nggak pake permisi,” omel Maria sembari mencoba melepas pelukan Edgar dari tubuhnya.Bukannya melepas Edgar malah terkekeh dan mengencangkan pelukan yang ia buat, tak membiarkan Maria lepas, mengusap permukaan perut wanita cantik ini dan mengecup lembut ceruk lehernya.“Masak apa, mom?” ulang Edgar kemudian, suara laki-laki itu amat lembut membuat Maria meremang sekilas.Maria tak mencoba berontak, sudah menyerah, wanita yang menggunakan dress sederhana itu pun menghela napas pelan, membiarkan Edgar m