Share

7. Cewek one plus one

2 years later.

--

Menjadi dewasa amat indah.

Tak seperti orang lain yang mengerutu karena merasa dewasa datang terlalu cepat dan bahkan banyak yang berangan-angan agar bisa kembali pada masa kecil, Maria justru amat menikmati waktu yang ia lewati sampai usianya menginjak angka dua puluh delapan tahun ini.

Menjadi dewasa. Memiliki tanggung jawab baru. Melewati semua tetek bengek drama remaja dan berubah menjadi seorang wanita yang tak terlalu memikirkan setiap hal yang ada.

Dan yang paling penting.

Menjadi seorang ibu.

Benar. Putri tunggal dari keluarga Foster itu telah melahirkan seorang anak laki-laki sekitar satu tahun lalu.

Tidak mudah. Tentu, tidak mudah sama sekali.

Namun, Maria dapat melewatinya dengan baik. Menjalani kehamilan pertama yang sembunyi-sembunyi amat sulit, melahirkan, kemarahan ayah, kekecewaan ibu, semua harus Maria hadapi seorang diri. Tetapi berkat kuatnya wanita itu satu nyawa berbentuk buntalan lucu dengan pipi bulat itu berhasil hadir ke dunia.

Antares James Foster.

Satu-satunya pilar dalam hidup Maria, lentera paling terang dalam kehidupan ibu tunggal itu.

Sejak hadirnya Ares di dunia ini, prioritas Maria seketika berubah, ia bukan lagi wanita yang hobby kesana kemari untuk mencari kesenangan semata, bukan lagi wanita yang mau sibuk memikirkan lelaki apalagi cinta.

Pusat hidup seorang ibu memang ada pada anaknya. Dan begitu juga dengan Maria. Ares adalah segalanya bagi wanita bersurai pirang itu.

“Apa hari ini kamu juga main dengan teman-temanmu lagi?” suara laki-laki paruh baya yang terdengar penuh wibawa itu mengudara. Pada ruang makan yang luas bernuansa Eropa dengan langit-langit tinggi dikelilingi lukisan-lukisan abad lalu.

Maria seketika menoleh, membuat surai panjang miliknya bergerak dan berubah arah. Menengok pada ayahnya yang baru saja memasuki ruang makan dan duduk di kursi paling ujung.

Satu pelayan langsung melayani Tuan Foster, mengambilkan bacon serta marmalade menjadi pilihan untuk sapuan roti sebagai sarapan pagi pengusaha real estate itu.

Maria kembali menaruh atensi pada Ares yang terduduk di troller bayi berwarna hitam metalic miliknya. Menjawab sembari menyuapi bayi laki-laki gemas itu dengan bubur tim.

“Hm. Ares perlu jalan-jalan,” jawab Maria sembari menaikan lengan panjang Alexander wang yang ia pakai. Mengangguk-angguk pada Ares lalu tersenyum ceria. “Iya nggak baby? Hm? Iya ya? Makannya enak ya? He-em?”

Sementara sang bayi hanya menatap penuh dengan matanya yang bulat, mencoba meraih-raih wajah Maria menggunakan tangannya kecilnya, mengerjap sambil sesekali tertawa melihat hiburan yang disajikankan sang ibu.

Maria lanjut menyuapi Ares, lalu salah satu pengasuh Ares datang membawa perlengkapan bayi yang akan Maria bawa pergi keluar.

Setelah mengucapkan terima kasih Maria kembali melanjutkan kegiatannya.

“Kamu sudah harus mulai berangkat ke perusahaan pusat besok, tidak lupa kan?”

Gerakan tangan Maria terhenti. Menegakan punggung sebelum melirik pada ayahnya yang mulai memotong sandwich dipiring, menusuk potongan roti menggunakan garpu dan memakan roti isi itu dalam potongan kecil.

Yang satu itu juga merupakan salah satu bagian penting dalam menjadi dewasa.

Maria mulai mempelajari bisnis yang sudah digeluti keluarganya turun temurun. Dan katanya, Maria harus bersyukur baru diminta menyentuh pekerjaan di usianya sekarang. Karena jika Maria adalah seorang laki-laki, mungkin ayah akan membuatnya memperlajari pekerjaan dan juga saham lebih awal.

“Enggak, Pa,” balas Maria. “Maria inget kok.”

Maria memang baru menangani cabang perusahaan di kota ini sejak tiga bulan yang lalu. Dan siapa yang sangka tuan besar Foster yang selalu meragukan kinerja anak badungnya ini tiba-tiba mengutus Maria untuk datang ke pusat.

Tangan ramping Maria meraih sapu tangan Louis Vuitton berbahan kain yang amat lembut untuk mengelap sekitaran mulut Ares.

“Minggu depan ada acara di rumah om, kamu kosongin jadwal,” ujar wanita paruh baya yang sedari tadi diam tanpa suara.

Ibunya memang sudah tidak bisa diajak kompromi kalau sudah bermain ponsel. Dan dari tadi, ibu Maria itu tak henti-hentinya menscroll layar ponselnya.

Maria menoleh dengan kening mengerut. “Mau ada apaan?”

“Kamal lamaran,” balas Emily, ibu Maria.

Tarikan napas kencang terdengar. Maria menutup bibir berbalur lipstick merah muda miliknya. Tak percaya. “Wih. Seriusan? Si cicak mau kawin? Sama siapa?”

Orang tua Maria sendiri sudah tak tau harus bagaimana mengubah tingkah dan tata Bahasa anak mereka yang berantakan.

Sudah dua puluh delapan tahun, tidak bisa diubah, sudah mendarah daging bobroknya.

Maria memicing julid. Tidak percaya kalau sepupunya akan segera sold out. “Seekor Kamal? OMG! Kok ada yang mau, sih.”

“Kamal kan ganteng, tinggi, pinter, telent, tajir lagi.” Emily merespon kalimat jahat Maria dengan fakta. “Cewek-cewek banyak yang ngantri.”

“Tinggi, pinter, tajir kalo hobinya sepik cewek sana-sini mah buat apa,” sahut Maria lagi, tak berhenti nyinyir. “Muka pas-pasan aja belagu, sok-sokan jadi playboy!”

Tuan Foster hanya menghembuskan napas sembari lanjut memakan sarapannya, sementara ibu Maria tak menunda untuk mendelik kesal.

Dua kakak sepupu itu memang terkenal tak pernah akur.

Dan memangnya siapa yang mau meributkan tentang Kamal yang katanya seekor cicak tetapi ada yang mau. Lihat siapa yang bicara. Maria saja belum pernah menggandeng satu laki-laki pun ke rumah. Kecuali Ares tentu saja.

Seorang single seperti Maria tidak berhak menghakimi pasal tentang laku atau tidak lakunya orang lain.

“Kamu tau tante Indira?” tanya Emily setelah beberapa saat. Maria tak melirik sama sekali. “Yang punya penyiaran. Yang anaknya cumlaud Harvard, tau kan?”

Ibu Maria memperlihatkan potret laki-laki, Maria melihatnya, laki-laki itu berbadan besar dan berdiri diatas yatch dengan kemeja putih terbuka.

Maria membuka mulut, ia mengangguk dengan mata memicing. “Oo, hot juga tuh.”

Yang jadi Siti Nurbaya di dunia ini bukan Jane saja. Maria juga sama. Mungkin semua anak perempuan lajang seusia mereka mengalami hal serupa. Namun berbeda dengan Jane yang selalu bercerita dengan kesebalan nyata, Maria lebih memilih mengabaikan seakan tawaran perkenalan yang datang padanya tidak pernah ada.

“Jangan mulai,” wanti-wanti Maria dengan nada santai, senyum silly diwajahnya tak luntur.

Dengan begitu, decak keras pun muncul dari belah bibir Emily. Memekik frustasi. “Kenapa sih, dia punya anak cowok mapan dan mateng. Indira mau anaknya dikenalin sama kamu. Jangan jual mahal.”

Maria menaikan satu alisnya. “Emang si Cumlaud Harvard itu mau sama cewek one plus one?”

Maria bukannya bermain hard to get. Tetapi ia memang tidak tertarik dengan pernikahan sama sekali. Maira ulangi satu kali lagi, Ares sudah cukup.

Dan faktanya, status Maria sebagai seorang ibu tunggal tanpa pernikahan menjadi trigger para pria yang berniat mempersunting wanita itu.

Kalau soal penampilan Maria memang tidak kalah dari pada gadis-gadis metropolitan, wajahnya ayu, kulitnya putih bersih dan selalu wangi, tinggi ramping dan yang terpenting fashion wanita itu tak pernah mengecewakan, menampilkan keanggunan dan juga kesan mahal.

Emily mendecak. Ia meletakan ponselnya diatas meja. “Orang cantiknya kayak kamu siapa yang nggak mau. Nggak tau ya? Kata Jeje tuh; Janda… semakin di depan!”

Membujuk. Kalau di jaman ini, seorang janda juga amat diminati dan berharap Maria untuk tidak insecure pada dirinya sendiri.

Nyatanya. Maria tidak insecure sama sekali. Dia hanya tidak ingin. Tak berhasrat. Itu saja.

“Nggak ah, thanks,” tolak Maria dengan senyum tanpa dosa.

Mendengar itu dengan frustasi Emily mengambil dua lembar roti, kemudian ibu Maria itu langsung menggigitnya kosong.

Punya anak perempuan satu tapi tingkah dan keras kepalanya luar biasa.

Entah sudah yang keberapa kali Maria menolak para laki-laki yang menaruh minat padanya, banyak dari mereka yang bahkan terang-terangan bilang kalau tidak keberatan dengan status Maria yang single parent. Semuanya dari keluarga terpandang, mapan dan tentu saja tidak memalukan kalau mau dibawa kondangan.

Akar masalahnya memang pada putri semata wayang keluarga Foster itu.

Sedangkan Maria kembali menyuapi Ares dengan bubur di mangkuk kecil berwarna biru langit ditangannya.

Ketika itu. Emily tidak tahan untuk tidak berteriak. “Lagian kamu nolak mulu! Kenapa sih! Nggak ngiri sama Jane? Liat temanmu itu udah nikah, suaminya mapan betul. Tangkepan bagus, CEO Permata. Nggak ingiri?”

Maria mengedip lambat. Mendengarkan penuturan ibunya yang menggebu. “Mama mau suruh Maria buat tikung Theo?”

Gendeng!

Bercanda, elah.

Maria hanya tidak suka ibunya yang sedang seperti ini. Namun melihat pelototan tak main-main dari dua mata milik ibunya Maria segera meringis sembari berkata.

Young, wild and free,” celetuk Maria dengan cengiran tengil.

Young-young mulu!” selak Emily. “Kamu udah perlu krim anti aging, Marry. Hampir tiga puluh! Masih bisa mikir kalo kamu masih muda?”

Mungkin ibunya tidak tau, namun Maria sudah memakai krim anti aging sejak usia dua puluh lima, karena apa yang dipelajarinya adalah, mencegah penuaan sejak dini lebih baik dari pada menanam botox dikemudian hari.

“Gimana nama keluarga bisa bertahan kalo gini,” gerutu Emily lagi yang entah kapan akan berhenti.

Maria sendiri tak terlalu mendengarkan, wanita itu sibuk menyuapi dan juga mengajak bicara putranya menggunakan Bahasa bayi.

“Pah, ngomong dong,” akhirnya Emily mengusik ketenangan kepala keluarga yang tengah menyesap kopi dengan koran di tangan. “Bilangin tuh anaknya, kamu mau selamanya nggak punya mantu, besan?”

Ayah Maria hanya melirik sekilas, akhir pekan di pagi hari selalu saja dimulai dengan gerutuan istrinya karena khawatir anak mereka tidak akan punya kesempatan berdiri di depan altar.

Tuan besar Foster sendiri tidak terlalu mempermasalahkan, bahkan sejak jaman ia hidup di Inggris hal-hal seperti ini sudah lumrah.

“Dia udah dewasa, terserah aja mau bagaimana,” sahut tuan Foster sembari membaca berita pada lembaran kertas ditangannya. “Maria nggak bikin masalah aja sudah seharusnya Mamah bersyukur.”

Maria hanya mengangkat bahu tak terlalu perduli.

Ayahnya berbicara seolah Maria ini biang kerok yang diamnya harus diberi sujud syukur.

“Nggak liat Antares yang tampan ini?” Maria meletakan mangkuk makan Ares yang masih sisa beberapa sendok, namun Maria tidak menyuapkannya lagi karena takut Ares kekenyangan dan berakhir gumoh. Maria menoleh pada dua orang tuanya. Berkata dengan suara amat meyakinkan. “Maria sama Ares aja udah cukup.”

Dan ketika itu hela napas terdengar amat pelan berhembus, menandakan sesuatu yang tertahan, lebih dari sekedar risau.

Ini tentang perasaan mengena dari orang tua kepada anaknya.

Dulu Maria baru mau terbuka mengatakan perihal kehamilannya saat usia kandungan wanita itu sudah memasuki bulan ke lima. Pulang ke rumah dengan perut yang membesar. Disambut dengan berbagai ekspresi berbeda dari anggota keluarga.

Namun diantara semua keterkejutan itu adalah, dengan siapa Maria berhubungan. Lelaki macam apa yang berani menghamili putri keluarga mereka tanpa mau bertanggung jawab. Hingga sekarang, pertanyaan itu masih bertengger dalam relung hati orang tua Maria.

“Kamu belum mau kasih tau identitas ayah Ares?” tanya Emily tiba-tiba.

Dan seketika, suasana disana berubah. Lebih hening dari sebelumnya, senyap tak ada siapapun yang berani bersuara kecuali kikikan bayi yang dikeluarkan Ares.

Selain perjodohan. Maria juga bosan ditanyai hal ini.

Ia tidak ingin mengatakannya, Maria keberatan memberitahu, apa itu sulit dimengerti?

Maria mengulas senyum kecil, beranjak dari duduk tanpa memakan sarapan untuk dirinya sendiri. Mengambil tas berisi peralatan bayi milik Ares sebelum kemudian menyaut tas tangannya sendiri.

“Udah selesai makan.”

“Mar—.”

Maria beralih mendorong troli bayi Ares agar bisa segera pergi dari ruang makan, tanpa menjawab pertanyaan ibunya barusan Maria berpamitan. “Bye-bye kakek, nenek, Ares hangout dulu.”

Melakukan hal seperti yang biasa ia lakukan.

Menghindar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status