Violet menghela nafas entah untuk yang ke berapa kalinya. Ditatapnya isi kertas itu berulang kali, berharap isinya dapat berubah hanya dengan tatapan mata. Tapi tentu saja tidak mungkin.
Kertas itu berisi kontrak yang harus Violet patuhi jika ingin keinginan tidak masuk akalnya El penuhi. Isinya:
1. Pemohon tidak boleh mati dengan cara apapun, kalau peraturan itu dilanggar maka permohonan akan dibatalkan.
2. Pemohon tidak boleh memberi tahu identitas si pengabul atau akan ada denda yang harus pemohon bayar.
3. Pemohon tidak boleh menceritakan hal-hal tidak masuk akan yang dialami kepada siapapun kecuali ke pengabul.
4. Kontrak berlaku seumur hidup.
5. Bayarannya adalah kebahagiaan sang pemohon.
El menatap kesal Violet yang masih saja memegangi kertas itu dengan wajah ragu, "Isinya tidak akan berubah meskipun kamu tatap seperti itu. Lagipula kamu sudah mengiyakan tadi dan perkataan kamu tidak bisa ditarik kembali."
"Gue mau tanya," Ucap Violet yang sedari tadi hanya diam, "Maksud dari poin nomor 1 apa?"
El meneguk minuman dihadapannya, "Kalau kamu mati, otomatis permohonan kamu dibatalkan. Yang artinya orang tua kamu akan mati seperti yang seharusnya." Jelasnya.
Violet meneguk ludahnya susah payah. Mendadak kerongkongannya kering mendengar kalimat terakhir yang El ucapkan. Tidak, dia tidak ingin orang tuanya mati.
"Ini penanya." Ujar El sambil meletakkan pena di meja.
"Katanya gue nggak bakalan bisa mundur karena udah bilang 'iya' tadi. Gunanya gue tanda tangan apa?" Tanya Violet heran.
"Saya malas menjelaskan panjang lebar," katanya, "Lagipula bukannya manusia suka membuat kontrak kertas seperti ini? Tak ada salahnya mengikuti perkembangan dari zaman ke zaman, menyenangkan bermain seperti ini." Sambung El, sedikit menyeringai.
Violet sendiri selalu merinding melihat seringaian yang El berikan. Apa sebelum kejadian itu, El memang seperti ini?
"Cepatlah tanda tangan. Masih banyak tugas saya sebagai manusia yang harus saya kerjakan, ingat bukan hanya kamu yang seorang siswa disini."
Violet menghela nafas panjang. Tidak ada gunanya dia berdebat dengan seorang El. Sekali lagi gadis itu meraup oksigen disekelilingnya, seolah hal itu dapat meyakinkan dirinya.
Saat tangan lentik itu memegang pena, saat itu pula dia kembali bertanya-tanya apa keputusannya sudah benar? Perasaan negatif menggerogoti hatinya, berkata pilihannya salah. Namun disisi lain dia tidak ingin orang tuanya mati.
Ah, aku sudah sejauh ini! Katanya dalam hati. Memaksa pilihannya adalah yang seharusnya dia pilih. Lalu ditandatangani nya kertas itu, membuat El tersenyum tipis.
"Sudah." Katanya sambil menyerahkan kertas dan pena kepada lelaki dihadapannya.
El berdiri, lalu menyimpan kertas itu di kamarnya. "Ayo, saya antar kamu pulang." Ajaknya saat berada di ruang tamu.
Violet menggeleng, "Enggak. Saya pulang sendiri aja."
"Pilihlah salah satu. Lo-gue atau saya-kamu."
Violet berkedip pelan, menyadari panggilannya yang tak konsisten, gadis itu lalu berkata "Lo-gue..."
El mengangguk, "baiklah, silahkan pulang."
Violet berdiri. Lalu meraba saku celananya, hendak memesan ojek online sebelum keluar. Gadis itu panik mencari ponsel dan dompet di sekitarnya. Namun nihil. Tidak ada!
"Sebab itulah saya mau mengantar kamu. Ayo!"
Violet menggigit bibirnya, malu. Ternyata dia terlalu panik sampai-sampai lupa membawa dompet dan ponsel yang seharusnya dia bawa kalau pergi keluar. Gadis itu hanya pasrah mengikuti El ke tempat parkir di gedung apartemen tersebut.
"Masuk!" Suruh El dingin, ketika mereka sudah sampai di parkiran mobil.
Awalnya Violet tertegun melihat mobil mewah milik El. Darimana anak sekolahan seperti dia dapat tinggal di apartemen mewah dan punya mobil yang tak kalah mewah juga? Tapi lamunannya buyar saat El membunyikan klakson untuk menyuruhnya masuk. Menyebalkan!
***
Di perjalanan, mereka tak banyak bicara. Tapi canggung tidak menyelimuti perjalanan mereka, melainkan rasa nyaman. Ntahlah, bagaimana Violet harus menjelaskan hal ini?
Kerumunan yang terbentuk di depan pekarangan rumah membuat Violet merasa panik. Apa saja yang terjadi selama dirinya pergi?
Gadis itu langsung turun sesaat mobil yang ia tumpangi berhenti, tanpa mengucapkan terima kasih kepada sang pengemudi. Dengan panik menghampiri kerumunan itu lalu bertanya, "Ada apa?" Berulang kali dengan wajah pucat dan tubuh gemetar.
Perasaan lega menyelimuti dirinya saat melihat kedua orang tuanya yang terduduk lemas di teras.
"Mama! Papa!" Teriaknya sambil berlari ke arah sepasang suami istri itu, lalu memeluk mereka erat.
"Kalian nggak apa-apa? Enggak ada yang luka kan?" Tanyanya khawatir yang dibalas gelengan pelan oleh orang tuanya.
"Kami nggak apa-apa kok, sayang. Jangan panik, ah." Ujar sang ibu, berusaha menenangkan. "Benar, Vio. Kami nggak apa-apa." Sambung sang ayah.
Air mata mulai memaksa untuk turun kala mengingat kejadian semalam. Violet tidak tahu apa pilihannya membuat kontrak dengan El adalah hal yang tepat atau tidak. Tapi hati yang lega luar biasa melihat orang tuanya selamat, membuatnya terus berkata pilihannya sangat tepat.
"Sebenarnya mereka kenapa?" Tanya Violet, lagi. Melihat beberapa pria yang terlihat babak belur dan diikat oleh teman-teman sekelasnya, sepertinya benar-benar ada sesuatu yang tidak beres.
"Mereka perampok." Jawab Erik, ayah Violet.
"Sudah, Vio. Kami nggak apa-apa. Jangan menangis, dong. Kami nggak suka lihat kamu menangis."
Violet menyeka air matanya kasar. "Untung kalian nggak apa-apa." Gumamnya terus, membuat hati ibu dan ayahnya sedih.
"Sudah-sudah. Sekarang kami tidak apa-apa." Lalu ayahnya memeluk dirinya dan sang ibu.
Ya, ini adalah pilihan yang tepat. Lihatlah, pengorbanan kecilnya berdampak sangat besar untuk dirinya dan keluarganya. Tidak apa-apa dia mengorbankan kebahagiaannya. Tidak apa-apa.
"Ingatlah. Bayarannya akan dimulai besok."
Violet melepaskan pelukan kedua orangtuanya. Melihat ke kanan dan ke kiri. Suara apa itu barusan? Suara itu seperti bisikan. Menyeramkan, sampai membuat bulu kuduknya berdiri.
Di sisi lain, El sedang menatap Violet dengan seringaian lebar. "Ini bakalan menyenangkan, Violet." Gumamnya.
Ruangan ini gelap dan violet seperti sedang duduk di sebuah kotak transparan. Rasanya tidak ada oksigen di dalam kotak ini membuat Violet sulit bernafas.Tok! Tok!"Siapapun keluarin gue dari sini!" Teriaknya tak lupa sambil terus memukul kotak yang mengurungnya. Sayangnya di dalam keadaan gelap ini tidak ada yang dapat terlihat oleh Violet. Apa benar hanya dia sendiri di sini?Tiba-tiba muncul sebuah lampu gantung, membuat atensi Violet mengarah ke sana. Tapi bukannya mendapati hati lega, malah jantungnya nyaris berhenti berdetak ketika melihat jasad kedua orang tua yang tergeletak tak berdaya di bawah cahaya lampu itu.Tangan gadis itu bergetar menyentuh dinding transparan kotak, "M-mama...? Papa...?" Berusaha memanggil, namun suaranya sulit untuk keluar.Violet semakin panik. Terkurung di dalam kotak sempit ini membuatnya tidak dapat berpikir jernih. "MAMA!! PAPA!!
"APA YANG UDAH LO LAKUIN KE ANDRE?!"Gendang telinga El rasanya ingin pecah mendengar teriakan seorang gadis yang terduduk lemas di depan pintu gudang itu. El tidak berbicara, tapi dia hanya memperhatikan Violet yang kini menangis meraung-raung.El berdecak, "Apa kamu tidak lelah dari tadi menangis terus?"Violet bangkit, walau kakinya masih sangat lemas, namun dia paksa untuk dapat berdiri di depan El. Gadis itu menunjuk dada pria itu dengan keras, "Jawab gue, apa yang udah lo lakuin ke Andre?" Tanyanya dengan penekanan disetiap katanya.El tertawa pelan, "Dia hanya membayar apa yang semestinya dia bayar.""Lo brengsek!""Brengsek?" El berdecih, "Kalian yang serakah, tapi kamu mengatai saya brengsek?" Pria itu marah. Dengan kasar dia mengambil lengan Violet membuat gadis itu berdesis kesakitan. Tidak peduli, El menjentikkan jarinya.&n
Suara jangkrik menemani malam Violet yang sunyi. Tidak ada yang menemaninya disaat dia merasa begitu butuh teman. Kedua orangtuanya pergi melayat saudara jauh yang baru saja berpulang, sementara dirinya ditinggal seorang diri di sini.Mata gadis itu sudah terlalu kering untuk diajak menangis, jadi yang bisa dia lakukan hanya duduk termenung di balkon kamarnya. Sesekali matanya menatap jalanan kompleks yang sepi."Percuma lo minta orang tua lo buat hidup lagi, tapi mereka enggak peduli sama lo."Suara itu lagi.Violet muak mendengar suara itu, namun kepalanya tetap ia tolehkan ke kanan dan ke kiri untuk mencari sumber suara. Tapi tetap saja, nihil. Tidak ada siapa-siapa."Keluar lo!" Teriak Violet marah pada suara itu.Bukannya memunculkan diri, tapi suara itu malah tertawa mengejek membuat Violet semakin meradang."Lo hidup de
Bulan berganti matahari, tanda hari buruk kemarin sudah berlalu. Tapi bukan berarti kejadian kemarin terlupakan begitu saja oleh Violet. Gadis itu masih sangat ketakutan setiap melihat cermin, seolah kejadian semalam menimbulkan trauma baru untuknya.Hari baru pukul 6 pagi, saat matahari baru muncul dengan malu-malu. Namun, mata indah milik Violet seakan enggan menutup lebih lama.Dihelanya nafas pelan, kesal karena tidak dapat tidur kembali di hari libur nasional yang seharusnya dia nikmati dengan bersantai seperti biasanya. Merasa haus, gadis itu pun terpaksa beranjak dari tempat tidur menuju dapur.Melongok kan kepalanya ke seluruh penjuru rumah berharap mendapati sang ibu yang biasanya sudah sibuk membersihkan rumah atau merawat taman belakang, tapi tidak ada. Mungkin tidur, pikirnya.Mengedikkan bahu, dia berjalan ke arah dispenser. Menekan tombol dispenser dan menampung air dengan g
Violet menatap pintu hitam di hadapannya. Rasa takut menghampiri hati, membuatnya ragu untuk memencet bel. Gadis itu menggigit bibirnya, haruskah dia pulang saja? Tapi sisi lain hatinya berkata, dia sudah datang jauh-jauh kemari, setidaknya dia harus membunyikan bel, bukan?Tangan gadis itu meraih bel, namun dia turunkan lagi. Naikkan, lalu turunkan, naik, turun, begitu terus. Akhirnya gadis itu frustasi sendiri bahkan sampai menjambak rambutnya."Gue gini amat, sih." Keluhnya pada diri sendiri."Gini amat?"Violet mendongak. Menatap sepasang iris gelap dari seseorang yang sedari tadi ingin dia temui. Mata pria itu begitu gelap, berbeda dari 'hari itu'.Sesaat, Violet tenggelam oleh iris gelap itu."Kamu bukannya ingin menemui saya?"Violet mengerjap kaget. Refleks gadis itu menyisir rambutnya ke belakang. Me
Setelah memastikan Violet sudah benar-benar hilang dari pandangan, El pulang ke apartemennya. Dan sesaat setelah sampai di dalam apartemennya, pria itu langsung masuk ke dalam kamar miliknya yang bernuansa gelap dan membanting tubuh atletisnya di atas kasur.Dimana letak kesalahan yang dia lakukan? Dia tidak pernah melakukan kesalahan sebelumnya. Pikirnya terus saja melayang pada kejadian Violet tadi, walau kelihatannya dia menatap langit-langit kamar.El terduduk kala mengingat sesuatu."Apa karena hari itu?" Bisiknya pada angin.Pria itu berjalan ke arah laci dan mengambil sesuatu dari dalam sana. Raut wajah yang biasanya dingin dan datar berubah menjadi sendu saat melihat foto berwarna hitam putih yang sedang dia pegang. Tanda tanya yang sejak tadi muncul, mengapa dia menolong Violet pun belum hilang, apa benar karena gadis itu terlihat mirip dengan seseorang yang ada di fo
Violet berjalan pulang. Sengaja dia melangkahkan kakinya dengan lambat, dia ingin menikmati udara sore.Suara tawa anak-anak terdengar kala Violet melewati taman bermain. Gadis itu berhenti, lalu melangkahkan kakinya ke ayunan dan duduk di sana. Matanya mengamati anak-anak yang bermain dengan bahagia. Berlari ke sana kemari dengan tawa yang terdengar lucu di telinga Violet.Ingin rasanya kembali menjadi anak kecil seperti mereka. Bermain tanpa mengenal sulitnya hidup di dunia, pasti menyenangkan. Seperti itulah pikiran Violet kini saat menatap anak-anak itu.Sebuah tepukan kecil menyadarkan Violet dari lamunannya, membuatnya menunduk melihat seorang gadis kecil berambut panjang yang rambutnya diikat dua sedang menatapnya dengan mata bulat yang polos."Nama kakak siapa? Kok sendirian?" Tanyanya dengan nada yang menggemaskan.Aduh, Violet ingin menggig
Violet menatap ke sekelilingnya. Perasaan takut memeluk erat dirinya tiap kakinya melangkah.Dia tidak tahu dimana dirinya berada. Saat Violet membuka mata, tahu-tahu dirinya sudah berada di sebuah tempat yang terlihat aneh sekaligus menyeramkan.Entah apa sebutan yang tepat untuk tempat ini. Sejauh mata memandang, hanya ada tanaman hitam setinggi pinggangnya, seolah-olah tumbuhan itu dapat mengikat tubuhnya kalau Violet tidak menginjakkan kaki dengan hati-hati. Belum lagi dengan warna aneh langit tempat ini, oranye kemerahan seperti sedang dibakar oleh bara api."Sebenarnya gue dimana, sih?" Gumam gadis itu, entah untuk ke berapa kalinya. Kedua tangan yang memeluk diri serta jantung yang terus berdegup, menandakan betapa ketakutannya gadis itu.Matanya berkaca-kaca, "Mau pulang..." cicitnya."Pulang?"Mata Violet membulat kaget,