Share

BAB V

Gelak tawa yang riang begitu terdengar jelas di telinga Violet. Mungkin biasanya dia akan langsung tertawa hanya karena mendengar temannya tertawa, tapi hari ini perasaan was-was, takut, dan marah mendominasi hati dan pikirannya. 

Violet tidak ingin mempercayai mimpi itu adalah sebuah kenyataan, karena secara logika itu saja tidak masuk akal. Namun kejadian tadi pagi sampai sesaat sebelum dia menelepon Bobi persis seperti di dalam mimpi. Seolah sedang memutar film yang sama.

Sebuah tepukan pelan di bahu membuat gadis itu benar-benar terperanjat. Bahkan nafasnya langsung putus-putus.

Bobi itu tertawa melihat reaksi berlebihan yang ditunjukkan Violet, "Lebay amat dah, lo. Jadi ga ini ke rumah si El?" 

Bobi menghentikan tawanya kala mendapat tatapan sinis dari Violet. Tidak, ini bukan tatapan sinis yang biasa Violet tunjukkan padanya. Tatapan ini, seperti ada rasa sedih sekaligus amarah besar yang dapat Bobi lihat dengan jelas. 

"Gue lagi nggak pengin bercanda sekarang." Bibir gadis itu bergetar kala mengeluarkan kata-kata, "Udah, ayo kita pergi sekarang." 

Bobi hanya diam dan mengangguk. Selama diperjalanan mereka hanya diam tak bersuara. Kekosongan hanya diisi suara deru kendaraan dan bunyi klakson yang sesekali terdengar. Rasanya canggung, padahal mereka selalu bercanda bila bertemu. 

Violet langsung turun dari motor Vespa Bobi dan menyerahkan helm kepada pria itu. "Lo tunggu di rumah gue aja. Tolong jagain nyokap-bokap gue."

Bobi menggelengkan kepalanya keras, "Enggak! Kita pergi berdua, pulangnya juga harus berdua. Om Panji udah pesen gitu ke gue. Lagian firasat gue nggak enak ninggalin lo berdua aja. Sebenarnya kalian ada masalah apa?" Tanya Bobi begitu perhatian. Tidak, Bobi tidak menyukai Violet namun gadis itu adalah sepupunya yang paling dia sayangi seperti adik-adiknya di rumah. Dan Bobi memang agak overprotektif kepada Violet.

Gadis itu mendengus, "Nggak apa-apa. Gue mantan atlit taekwondo. Udah sana tolong jagain mama papa."

Bobi ingin menolak, namun tatapan memohon Violet membuatnya tak tega. Dan akhirnya pria itu hanya mengangguk pasrah. "Kalau ada apa-apa telepon gue." Yang diangguki Violet. Akhirnya Bobi pergi meninggalkannya sendiri setelah yakin dirinya tidak apa-apa. Walau sebenarnya dia ingin ditemani.

Violet membalikkan badannya, menatap gedung apartemen mewah dihadapannya. Perasannya campur aduk saat ini.

Takut. 

Ragu. 

Dilema.

Ketiga kata itu menggambarkan Violet yang sedang berdiri seperti orang bodoh. Ingin melangkah ke dalam, tapi dirinya ragu dan takut. Takut kalau itu semua adalah kenyataan. 

Gadis itu memukuli kepalanya. Bingung.

Sebuah tangan besar yang dingin menghentikan aksi Violet memukul kepalanya. Tertegun sekaligus ketakutan luar biasa menghampirinya saat tahu bahwa tangan itu milik El. Buru-buru dia menepis tangan itu.

Menatap datar gadis itu dihadapannya, El berkata, "Ayo ke apartemen saya. Pembicaraan ini akan sangat panjang." 

***

Dingin, menyeramkan, dan kosong. Tiga kata itu seolah menari-nari di apartemen milik El kala Violet menginjakkan kaki di sana. Dan ia tidak menyukainya.

"Langsung saja ke intinya." Ucap El tanpa basa-basi, "Kalau kamu mau bertanya itu adalah mimpi atau bukan, jawabannya adalah bukan."

Oksigen rasanya semakin menipis saat Violet berusaha mencerna kalimat itu, "Gimana caranya lo buktiin ke gue? Ini...ini semua nggak masuk akal!" Sial! Suaranya bergetar, pasti laki-laki itu mengganggapnya lemah. 

El tersenyum sinis kala lawan bicaranya kembali menggunakan kata 'lo-gue', menjijikkan. "Baru saja kemarin kamu berbicara formal dengan saya."

"CEPAT JELASIN!!!" 

Senyuman sinis itu berganti menjadi seringaian lebar. Membuat bulu kuduk Violet seketika meremang dan menyesal sudah berteriak. 

"Santai, Nona. Saya tidak akan membuat kontrak dengan mu kalau harapan menggelikan tidak masuk akal milikmu masuk ke dalam titik pusat jantungku."

Garis halus muncul di kening Violet, menandakan gadis itu tidak mengerti arah pembicaraan ini sama sekali.

"Itu berarti kamu meminta permintaan itu dari lubuk hatimu yang paling dalam. Jadi semuanya masuk akal, bukan?" Pria itu berhenti bicara setelah melihat Violet yang tampak kebingungan serta ingin menangis.

Pria itu berdehem, lalu berjalan ke arah kulkas lalu mengambil sebuah susu coklat dan meletakkannya di atas meja. "Bagaimanapun kamu adalah tamu dan saya tuan rumahnya. Silahkan diminum."

Violet hanya diam menatap susu coklat kemasan itu. Kepalanya sakit sebab bingung yang melanda ditambah isi dalam perutnya meronta-ronta meminta dikeluarkan tapi isi saja tidak ada. 

"Siapa...siapa kamu sebenarnya?" Tanyanya lirih mengabaikan ucapan basa-basi dari El sebagai tuan rumah.

Kini giliran lelaki itu yang terdiam. Mengalihkan pandangan dari Violet yang masih menatap kosong kemasan susu. 

"Saya..." Katanya menggantung. Meragu saat berpikir kata yang tepat untuk menjelaskan.

"Jadi kedatangan kamu kemari ingin menandatangani kontrak dengan saya atau memohon untuk mengembalikan keadaan seperti yang seharusnya?" 

Awalnya Violet heran mengapa El mengubah topik. Tapi mendengar kalimat terakhir yang laki-laki itu ucapkan, gadis itu kembali merasa kalut. "J-jangan!" Teriaknya begitu saja.

El mendengus lalu melipat tangannya ke depan dada, "Lalu?"

Violet kian gelisah. Apa yang dia mau? Dia tentu saja menginginkan orang tuanya tetap hidup bahagia bersamanya seperti biasa. Tapi dia merasa seperti menjual jiwanya pada iblis untuk hal mustahil itu. Dan dia tidak menginginkannya. 

"Waktu terus berjalan, Nona Violet Fabiolla." 

Hati dan pikiran Violet berperang. Mencari mana yang masuk akal untuknya. Tapi situasi ini terlalu gila untuk dia pahami dengan otaknya yang selalu dia pakai untuk berpikir logis.

"Hanya tinggal 1 menit sebelum orang tua mu mati."

Violet semakin gelisah. Apa..apa yang seharusnya harus dia lakukan?

"30 detik la--" 

Brakk!!!

"FINE!"

El tersenyum penuh kemenangan, sementara wajah Violet sudah dibanjiri air mata.

"Ayo..."

"...ayo kita bikin kontrak."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status