Gelak tawa yang riang begitu terdengar jelas di telinga Violet. Mungkin biasanya dia akan langsung tertawa hanya karena mendengar temannya tertawa, tapi hari ini perasaan was-was, takut, dan marah mendominasi hati dan pikirannya.
Violet tidak ingin mempercayai mimpi itu adalah sebuah kenyataan, karena secara logika itu saja tidak masuk akal. Namun kejadian tadi pagi sampai sesaat sebelum dia menelepon Bobi persis seperti di dalam mimpi. Seolah sedang memutar film yang sama.
Sebuah tepukan pelan di bahu membuat gadis itu benar-benar terperanjat. Bahkan nafasnya langsung putus-putus.
Bobi itu tertawa melihat reaksi berlebihan yang ditunjukkan Violet, "Lebay amat dah, lo. Jadi ga ini ke rumah si El?"
Bobi menghentikan tawanya kala mendapat tatapan sinis dari Violet. Tidak, ini bukan tatapan sinis yang biasa Violet tunjukkan padanya. Tatapan ini, seperti ada rasa sedih sekaligus amarah besar yang dapat Bobi lihat dengan jelas.
"Gue lagi nggak pengin bercanda sekarang." Bibir gadis itu bergetar kala mengeluarkan kata-kata, "Udah, ayo kita pergi sekarang."
Bobi hanya diam dan mengangguk. Selama diperjalanan mereka hanya diam tak bersuara. Kekosongan hanya diisi suara deru kendaraan dan bunyi klakson yang sesekali terdengar. Rasanya canggung, padahal mereka selalu bercanda bila bertemu.
Violet langsung turun dari motor Vespa Bobi dan menyerahkan helm kepada pria itu. "Lo tunggu di rumah gue aja. Tolong jagain nyokap-bokap gue."
Bobi menggelengkan kepalanya keras, "Enggak! Kita pergi berdua, pulangnya juga harus berdua. Om Panji udah pesen gitu ke gue. Lagian firasat gue nggak enak ninggalin lo berdua aja. Sebenarnya kalian ada masalah apa?" Tanya Bobi begitu perhatian. Tidak, Bobi tidak menyukai Violet namun gadis itu adalah sepupunya yang paling dia sayangi seperti adik-adiknya di rumah. Dan Bobi memang agak overprotektif kepada Violet.
Gadis itu mendengus, "Nggak apa-apa. Gue mantan atlit taekwondo. Udah sana tolong jagain mama papa."
Bobi ingin menolak, namun tatapan memohon Violet membuatnya tak tega. Dan akhirnya pria itu hanya mengangguk pasrah. "Kalau ada apa-apa telepon gue." Yang diangguki Violet. Akhirnya Bobi pergi meninggalkannya sendiri setelah yakin dirinya tidak apa-apa. Walau sebenarnya dia ingin ditemani.
Violet membalikkan badannya, menatap gedung apartemen mewah dihadapannya. Perasannya campur aduk saat ini.
Takut.
Ragu.
Dilema.
Ketiga kata itu menggambarkan Violet yang sedang berdiri seperti orang bodoh. Ingin melangkah ke dalam, tapi dirinya ragu dan takut. Takut kalau itu semua adalah kenyataan.
Gadis itu memukuli kepalanya. Bingung.
Sebuah tangan besar yang dingin menghentikan aksi Violet memukul kepalanya. Tertegun sekaligus ketakutan luar biasa menghampirinya saat tahu bahwa tangan itu milik El. Buru-buru dia menepis tangan itu.
Menatap datar gadis itu dihadapannya, El berkata, "Ayo ke apartemen saya. Pembicaraan ini akan sangat panjang."
***
Dingin, menyeramkan, dan kosong. Tiga kata itu seolah menari-nari di apartemen milik El kala Violet menginjakkan kaki di sana. Dan ia tidak menyukainya.
"Langsung saja ke intinya." Ucap El tanpa basa-basi, "Kalau kamu mau bertanya itu adalah mimpi atau bukan, jawabannya adalah bukan."
Oksigen rasanya semakin menipis saat Violet berusaha mencerna kalimat itu, "Gimana caranya lo buktiin ke gue? Ini...ini semua nggak masuk akal!" Sial! Suaranya bergetar, pasti laki-laki itu mengganggapnya lemah.
El tersenyum sinis kala lawan bicaranya kembali menggunakan kata 'lo-gue', menjijikkan. "Baru saja kemarin kamu berbicara formal dengan saya."
"CEPAT JELASIN!!!"
Senyuman sinis itu berganti menjadi seringaian lebar. Membuat bulu kuduk Violet seketika meremang dan menyesal sudah berteriak.
"Santai, Nona. Saya tidak akan membuat kontrak dengan mu kalau harapan menggelikan tidak masuk akal milikmu masuk ke dalam titik pusat jantungku."
Garis halus muncul di kening Violet, menandakan gadis itu tidak mengerti arah pembicaraan ini sama sekali.
"Itu berarti kamu meminta permintaan itu dari lubuk hatimu yang paling dalam. Jadi semuanya masuk akal, bukan?" Pria itu berhenti bicara setelah melihat Violet yang tampak kebingungan serta ingin menangis.
Pria itu berdehem, lalu berjalan ke arah kulkas lalu mengambil sebuah susu coklat dan meletakkannya di atas meja. "Bagaimanapun kamu adalah tamu dan saya tuan rumahnya. Silahkan diminum."
Violet hanya diam menatap susu coklat kemasan itu. Kepalanya sakit sebab bingung yang melanda ditambah isi dalam perutnya meronta-ronta meminta dikeluarkan tapi isi saja tidak ada.
"Siapa...siapa kamu sebenarnya?" Tanyanya lirih mengabaikan ucapan basa-basi dari El sebagai tuan rumah.
Kini giliran lelaki itu yang terdiam. Mengalihkan pandangan dari Violet yang masih menatap kosong kemasan susu.
"Saya..." Katanya menggantung. Meragu saat berpikir kata yang tepat untuk menjelaskan.
"Jadi kedatangan kamu kemari ingin menandatangani kontrak dengan saya atau memohon untuk mengembalikan keadaan seperti yang seharusnya?"
Awalnya Violet heran mengapa El mengubah topik. Tapi mendengar kalimat terakhir yang laki-laki itu ucapkan, gadis itu kembali merasa kalut. "J-jangan!" Teriaknya begitu saja.
El mendengus lalu melipat tangannya ke depan dada, "Lalu?"
Violet kian gelisah. Apa yang dia mau? Dia tentu saja menginginkan orang tuanya tetap hidup bahagia bersamanya seperti biasa. Tapi dia merasa seperti menjual jiwanya pada iblis untuk hal mustahil itu. Dan dia tidak menginginkannya.
"Waktu terus berjalan, Nona Violet Fabiolla."
Hati dan pikiran Violet berperang. Mencari mana yang masuk akal untuknya. Tapi situasi ini terlalu gila untuk dia pahami dengan otaknya yang selalu dia pakai untuk berpikir logis.
"Hanya tinggal 1 menit sebelum orang tua mu mati."
Violet semakin gelisah. Apa..apa yang seharusnya harus dia lakukan?
"30 detik la--"
Brakk!!!
"FINE!"
El tersenyum penuh kemenangan, sementara wajah Violet sudah dibanjiri air mata.
"Ayo..."
"...ayo kita bikin kontrak."
Violet menghela nafas entah untuk yang ke berapa kalinya. Ditatapnya isi kertas itu berulang kali, berharap isinya dapat berubah hanya dengan tatapan mata. Tapi tentu saja tidak mungkin.Kertas itu berisi kontrak yang harus Violet patuhi jika ingin keinginan tidak masuk akalnya El penuhi. Isinya:1. Pemohon tidak boleh mati dengan cara apapun, kalau peraturan itu dilanggar maka permohonan akan dibatalkan.2. Pemohon tidak boleh memberi tahu identitas si pengabul atau akan ada denda yang harus pemohon bayar.3. Pemohon tidak boleh menceritakan hal-hal tidak masuk akan yang dialami kepada siapapun kecuali ke pengabul.4. Kontrak berlaku seumur hidup.5. Bayarannya adalah kebahagiaan sang pemohon.El menatap kesal Violet yang masih saja memegangi kertas itu dengan wajah ragu, "Isinya tidak akan berubah meskipun kamu tatap seperti
Ruangan ini gelap dan violet seperti sedang duduk di sebuah kotak transparan. Rasanya tidak ada oksigen di dalam kotak ini membuat Violet sulit bernafas.Tok! Tok!"Siapapun keluarin gue dari sini!" Teriaknya tak lupa sambil terus memukul kotak yang mengurungnya. Sayangnya di dalam keadaan gelap ini tidak ada yang dapat terlihat oleh Violet. Apa benar hanya dia sendiri di sini?Tiba-tiba muncul sebuah lampu gantung, membuat atensi Violet mengarah ke sana. Tapi bukannya mendapati hati lega, malah jantungnya nyaris berhenti berdetak ketika melihat jasad kedua orang tua yang tergeletak tak berdaya di bawah cahaya lampu itu.Tangan gadis itu bergetar menyentuh dinding transparan kotak, "M-mama...? Papa...?" Berusaha memanggil, namun suaranya sulit untuk keluar.Violet semakin panik. Terkurung di dalam kotak sempit ini membuatnya tidak dapat berpikir jernih. "MAMA!! PAPA!!
"APA YANG UDAH LO LAKUIN KE ANDRE?!"Gendang telinga El rasanya ingin pecah mendengar teriakan seorang gadis yang terduduk lemas di depan pintu gudang itu. El tidak berbicara, tapi dia hanya memperhatikan Violet yang kini menangis meraung-raung.El berdecak, "Apa kamu tidak lelah dari tadi menangis terus?"Violet bangkit, walau kakinya masih sangat lemas, namun dia paksa untuk dapat berdiri di depan El. Gadis itu menunjuk dada pria itu dengan keras, "Jawab gue, apa yang udah lo lakuin ke Andre?" Tanyanya dengan penekanan disetiap katanya.El tertawa pelan, "Dia hanya membayar apa yang semestinya dia bayar.""Lo brengsek!""Brengsek?" El berdecih, "Kalian yang serakah, tapi kamu mengatai saya brengsek?" Pria itu marah. Dengan kasar dia mengambil lengan Violet membuat gadis itu berdesis kesakitan. Tidak peduli, El menjentikkan jarinya.&n
Suara jangkrik menemani malam Violet yang sunyi. Tidak ada yang menemaninya disaat dia merasa begitu butuh teman. Kedua orangtuanya pergi melayat saudara jauh yang baru saja berpulang, sementara dirinya ditinggal seorang diri di sini.Mata gadis itu sudah terlalu kering untuk diajak menangis, jadi yang bisa dia lakukan hanya duduk termenung di balkon kamarnya. Sesekali matanya menatap jalanan kompleks yang sepi."Percuma lo minta orang tua lo buat hidup lagi, tapi mereka enggak peduli sama lo."Suara itu lagi.Violet muak mendengar suara itu, namun kepalanya tetap ia tolehkan ke kanan dan ke kiri untuk mencari sumber suara. Tapi tetap saja, nihil. Tidak ada siapa-siapa."Keluar lo!" Teriak Violet marah pada suara itu.Bukannya memunculkan diri, tapi suara itu malah tertawa mengejek membuat Violet semakin meradang."Lo hidup de
Bulan berganti matahari, tanda hari buruk kemarin sudah berlalu. Tapi bukan berarti kejadian kemarin terlupakan begitu saja oleh Violet. Gadis itu masih sangat ketakutan setiap melihat cermin, seolah kejadian semalam menimbulkan trauma baru untuknya.Hari baru pukul 6 pagi, saat matahari baru muncul dengan malu-malu. Namun, mata indah milik Violet seakan enggan menutup lebih lama.Dihelanya nafas pelan, kesal karena tidak dapat tidur kembali di hari libur nasional yang seharusnya dia nikmati dengan bersantai seperti biasanya. Merasa haus, gadis itu pun terpaksa beranjak dari tempat tidur menuju dapur.Melongok kan kepalanya ke seluruh penjuru rumah berharap mendapati sang ibu yang biasanya sudah sibuk membersihkan rumah atau merawat taman belakang, tapi tidak ada. Mungkin tidur, pikirnya.Mengedikkan bahu, dia berjalan ke arah dispenser. Menekan tombol dispenser dan menampung air dengan g
Violet menatap pintu hitam di hadapannya. Rasa takut menghampiri hati, membuatnya ragu untuk memencet bel. Gadis itu menggigit bibirnya, haruskah dia pulang saja? Tapi sisi lain hatinya berkata, dia sudah datang jauh-jauh kemari, setidaknya dia harus membunyikan bel, bukan?Tangan gadis itu meraih bel, namun dia turunkan lagi. Naikkan, lalu turunkan, naik, turun, begitu terus. Akhirnya gadis itu frustasi sendiri bahkan sampai menjambak rambutnya."Gue gini amat, sih." Keluhnya pada diri sendiri."Gini amat?"Violet mendongak. Menatap sepasang iris gelap dari seseorang yang sedari tadi ingin dia temui. Mata pria itu begitu gelap, berbeda dari 'hari itu'.Sesaat, Violet tenggelam oleh iris gelap itu."Kamu bukannya ingin menemui saya?"Violet mengerjap kaget. Refleks gadis itu menyisir rambutnya ke belakang. Me
Setelah memastikan Violet sudah benar-benar hilang dari pandangan, El pulang ke apartemennya. Dan sesaat setelah sampai di dalam apartemennya, pria itu langsung masuk ke dalam kamar miliknya yang bernuansa gelap dan membanting tubuh atletisnya di atas kasur.Dimana letak kesalahan yang dia lakukan? Dia tidak pernah melakukan kesalahan sebelumnya. Pikirnya terus saja melayang pada kejadian Violet tadi, walau kelihatannya dia menatap langit-langit kamar.El terduduk kala mengingat sesuatu."Apa karena hari itu?" Bisiknya pada angin.Pria itu berjalan ke arah laci dan mengambil sesuatu dari dalam sana. Raut wajah yang biasanya dingin dan datar berubah menjadi sendu saat melihat foto berwarna hitam putih yang sedang dia pegang. Tanda tanya yang sejak tadi muncul, mengapa dia menolong Violet pun belum hilang, apa benar karena gadis itu terlihat mirip dengan seseorang yang ada di fo
Violet berjalan pulang. Sengaja dia melangkahkan kakinya dengan lambat, dia ingin menikmati udara sore.Suara tawa anak-anak terdengar kala Violet melewati taman bermain. Gadis itu berhenti, lalu melangkahkan kakinya ke ayunan dan duduk di sana. Matanya mengamati anak-anak yang bermain dengan bahagia. Berlari ke sana kemari dengan tawa yang terdengar lucu di telinga Violet.Ingin rasanya kembali menjadi anak kecil seperti mereka. Bermain tanpa mengenal sulitnya hidup di dunia, pasti menyenangkan. Seperti itulah pikiran Violet kini saat menatap anak-anak itu.Sebuah tepukan kecil menyadarkan Violet dari lamunannya, membuatnya menunduk melihat seorang gadis kecil berambut panjang yang rambutnya diikat dua sedang menatapnya dengan mata bulat yang polos."Nama kakak siapa? Kok sendirian?" Tanyanya dengan nada yang menggemaskan.Aduh, Violet ingin menggig