Share

Bab 2. Mengusir Para Benalu

"Sayang, kamu pilih ikut bapak dengan tante dan nenek, atau kamu tetap tinggal di sini dengan ibu kamu?"

Aku mendelik. Seenaknya saja mas Larsono akan merebut Danang setelah apa yang dia lakukan padaku.

"Apa-apaan kamu, Mas? Tentu saja anak yang belum dewasa ikut ibunya. Lagipula aku tidak mau anakku ikut kalian yang tak punya hati!"

Mas Larsono tertawa lebar. "Oh, ya. Tunggu sebentar."

Mas Larsono berbisik ke arah Titin. Titin mengangguk lalu membuka kopernya, mengambil beberapa berkas dalam lipatan dalam kopernya lalu menunjukkannya padaku.

Aku mendelik dan jantungku nyaris terlepas dari rongganya. Berkas yang ditunjukkan oleh Titin berisi fotokopi akta cerai, fotokopi surat nikah dan KK terbaru milik mas Larsono.

Kartu keluarga milik mas Larsono yang tertulis dengan jelas nama anggota mas Larsono dengan Titin, Danang, dan Febi. Bayi mereka.

"Kamu sudah merencanakan ini semua, Mas? Kamu sengaja usir aku ke luar negeri demi nikah dengan adikku?" tanyaku tak percaya.

"Awalnya tidak. Aku ingin menunggu mu pulang dengan mengasuh anak kita. Tapi lama-lama, aku tidak kuat menahan naf su karena kamu tinggal terlalu lama."

Aku mengepalkan tangan, meraih ponsel dan mengaktifkan siaran langsung I*******m lalu mengarahkannya pada mas Larsono dan juga Titin.

"Saksikan semua. Ini suami saya dan nikah dengan adik kandung saya sendiri saat saya sedang menjadi TKW. Miris sekali bukan?!"

Mas Larsono terkejut dan mendelik. Dia hendak merebut ponsel yang kugenggam.

"Jangan seperti anak kecil, Nai!" serunya melotot.

Aku tersenyum kecut. "Kamu apa aku yang seperti anak kecil?"

Kamera kuarahkan pada dua lembar kertas di hadapanku.

"Dan ini, saat aku sedang bekerja menghidupi mereka. Suamiku ternyata telah menceraikan aku secara sepihak tanpa pemberitahuan.

Dan dia juga langsung menikahi adik kandung ku. Dunia emang sudah tua ya. Saat suami dibantu mencari uang, dia malah main gi la di belakangku. Dan apa kalian tahu? Bahwa suami ku juga membangun toko dan kredit mobil dengan hasil keringatku!"

"Nai! Hentikan!" Mas Larsono mencengkeram tangan yang memegang hpku. Saat tangan satunya hendak merebut hp yang kugenggam, dengan cepat aku menggigit tangannya.

"Aaargh! Dasar bar-bar kamu! Nggak ada lembut-lembutnya!"

"Daripada kamu yang seperti bangsa lelembut! Sana pergi! Jangan pernah bermimpi untuk mengajak Danang."

Aku menoleh pada Danang yang berdiri mematung. Sedikit menyesal karena dia melihat orang tuanya bertengkar seperti ini.

Mas Larsono mengelus-elus tangan yang kugigit. Lalu menatap Danang. "Ayo ikut Bapak!"

"Danang, temani ibu saja ya, Nak. Ibu kangen. Katanya kamu tadi juga kangen Ibu." Aku menatap penuh harap pada anakku. Sebenarnya sedikit ragu kalau Danang akan memilih ku karena kami baru saja bertemu setelah umur dua tahun dia kutinggalkan bekerja.

Mas Larsono mendekat ke arah Danang dan memegang tangannya. "Ayo ikut Bapak."

Dan akupun langsung berjongkok mensejajarkan tinggiku dengan Danang lalu memegang pundaknya.

"Kamu ikut ibu ya, Nak. Ibu punya banyak oleh-oleh untuk kamu."

Aku menuju ke koper yang teronggok di depan pintu masuk rumah, lalu membukanya dan mengeluarkan pesawat dengan remote kontrol.

Pesawat dengan model helikopter berwarna hijau army yang segera membuat mata Danar berbinar.

Aku menyerahkannya pada anakku dengan rasa puas. "Sayang, ikut Ibu saja ya. Masih banyak oleh-oleh yang lainnya lagi."

Danang mengangguk. "Aku ikut ibu saja!"

Aku tersenyum lega.

"Heh, nggak bisa gitu dong Nai. Kamu jangan serakah. Kamu kan sudah ngusir kami. Lagipula, Danang harus ikut aku sesuai KK dong!"

"Heh, serakah?! Ngaca Mas! Siapa yang makan hasil keringat istri tanpa tahu malu dan malah kawin lagi? Kalau masalah KK itu, aku juga bisa menggugatnya. Ini tidak adil. Kamu telah menceraikan aku dan mengurus hak asuh secara sepihak. Aku tidak terima dan akan memperjuangkan hak asuh Danang bagaimanapun caranya!"

Tetangga mulai berkerumun di depan pintu rumah nya masing-masing. Aku maju dan berkata lantang.

"Bapak dan Ibu! Lihatlah para penghianat ini. Si Laki-laki hanya mokondo saja. Si perempuan, tega sekali pada saya, saudara kandungnya dan merebut suami saya. Emang ya, pelakor cocok dengan tempat sampah!"

Aku nyaris menangis mengatakan hal itu. Tapi kutahan sekuat tenaga. Aku pun heran, kenapa para tetangga tidak ada yang melarang pernikahan mereka.

Wajah mas Larsono dan Titin memerah. Lalu tanpa berkata apapun, mereka masuk ke dalam mobil yang kuyakini telah mereka beli dengan hasil keringatku.

Tunggu saja, aku juga akan mendapatkan hasil keringatku lagi.

Setelah mantan suamiku sudah tidak tampak lagi, sebuah sentuhan menyentuh pundakku.

"Nai, ayo kita masuk ke dalam rumah. Ada yang ingin kami bicarakan."

Aku menoleh ke samping. Tampak Bu Joko, pemilik warung sebelah rumahku menatapku iba. Di samping Bu Joko, ada beberapa ibu-ibu lain yang menatap ku dengan pandangan serupa.

Aku mengangguk. Memandang sekilas ke arah dimana mobil mas Larsono menghilang lalu mengajak mereka masuk ke dalam. Sedangkan para tetangga lainnya masuk ke dalam rumahnya masing-masing.

"Mari silakan duduk, Bu."

Sekitar lima orang ibu-ibu yang duduk di sofa ruang tamu.

"Apa kabar, Nai? Apa kamu sehat?" tanya Bu Joko.

Aku mengangguk. "Alhamdulillah."

Mereka berpandangan sejenak. Membuatku bertanya-tanya sebenarnya apa yang akan dikatakan oleh mereka.

"Nai, sebenarnya saya curiga mereka ada sesuatu sejak dua tahun yang lalu."

Hatiku berdebar. Dua tahun yang lalu dan mas Larsono berhasil menyembunyikan nya dengan baik. Astaga!

"Tapi setahu saya, Titin itu punya pacar anak kepala desa. Setelah SMA, mereka pernah terlihat sering berboncengan berdua. Tapi entah kenapa jadi nikah sama Larsono." Ibu-ibu lain menimpali.

Aku hanya terdiam. Ingin menyimak cerita selanjutnya seraya melirik Danang yang asyik dengan pesawat mainannya.

"Kabarnya dulu, Titin sempat dikenalkan sebagai calon istri anak pak kades. Tapi mungkin pak Kades tidak menyetujuinya. Lalu dia mendekati Larsono."

"Awalnya kami tidak setuju saat melihat Larsono dan Titin kemana-mana berdua. Tapi kami tidak bisa menegur sembarangan karena tidak ada hal yang mencurigakan dan mertuamu selalu mengatakan hubungan Larsono dan Titin sudah seperti kakak adik."

"Ya betul. Dan setahun lalu, kami terkejut saat Larsono mengumumkan pernikahannya dengan Titin. Saat kami menanyakannya, kata Larsono, kamu sudah tidak ada kabar sejak lama karena menikah dengan majikan kamu di luar negeri."

Aku terpaku lalu merenung beberapa saat.

"Apa itu benar, Nai?" tanya Bu Joko.

Aku tersenyum kecut. " Tentu saja tidak, Bu. Itu hanya akal-akalan mas Larsono agar bisa kawin dengan Titin. Lalu saya juga masih mengirimkan uang hasil kerja kerasku padanya tiap bulan."

Bu Joko menepuk pundakku. "Kamu yang sabar, ya. Lalu apa rencana kamu sekarang?" tanyanya.

Aku menghela nafas panjang. "Sejujurnya saya masih kaget dan syok dengan apa yang terjadi. Untung saja saya pulang lebih cepat, dan rumah ini masih punya saya. Mungkin kalau saya pulang sesuai yang telah saya katakan pada mas Larsono, rumah ini sudah diambil alih olehnya."

Para tetangga hanya bisa manggut-manggut. Aku tahu aku tidak sepintar para perempuan bertitel diluar sana yang bisa sat set merebut kembali harta mereka dari mantan suami. Tapi aku juga akan menyiapkan rencana untuk membalas mas Larsono.

Dan kupastikan hanya aku yang mengetahui rencana itu karena aku tidak tahu siapa diantara para tetangga ini yang merupakan kawan dan lawan. Jadi akan kupastikan siapa yang berpihak padaku terlebih dulu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status