Aku berusaha mengangkat kepalaku dan melihat ke atas. Aku tidak mungkin menangis di tempat ini. Oke, aku harus menguatkan diri. Aku tidak boleh terlihat lemah di depan mama. Aku berjalan menemui meja makan mama. Berusaha membuat ekspresi wajahku santai. “Di toilet rame atau nggak?” tanya mama dengan wajah takut. “Lumayan sih, ma. Mama mau ke sana?” tanyaku dengan lembut sambil duduk di samping mama. “Tapi kamu tungguin mama sampai selesai ya di toilet,” pinta mama seperti anak kecil lagi. Aku mengangguk sabar. “Iya, ma. Bella temenin mama sampai selesai,” ucapku dengan lembut. “Mbak, Bella. Mirna makan dulu ya, nggak papa 'kan?” tanya Mirna dengan sopan. “Iya, nggak papa kok, Mir. Makan dulu aja. Kamu pasti laper,” ucapku pada Mirna. Kini aku menggandeng mama untuk menuju ke toilet. Aku berharap tidak berpapasan dengan Mas Bara. Semoga saja mama juga tidak melihat Mas Bara dengan Arum. Aku tidak tahu sih, mereka berdua ada di mana sekarang, yang jelas ter
Kini kami semua sudah berada di dalam mobil. Aku terdiam tidak berbicara sama sekali dengan Mas Bara. Aku tahu pasti Mas Bara sangat kesal denganku. Mungkin Arum bercerita kepada Mas Bara kalau aku sengaja menabraknya di toilet. Aku merasa senang sekali melihat wajah Mas Bara yang kesal seperti ini. Biarkan saja, ini lebih menyakitkan di banding semua rasa sakit hati aku ketika dia selingkuh. Mobil melaju di jalan tol kembali. Hari mulai gelap dan mama serta Mirna sudah tertidur sangat lelap. Mas Bara masih fokus untuk menyetir. Kulihat di dari samping. Wajahnya begitu manis tapi sayangnya dia tidak punya hati. Dia selingkuh dari aku. Jahat, jahat sekali kau Mas Bara. “Kalau kamu ngantuk mending tidur aja,” ucap Mas Bara melihatku sekilas. Aku tidak tahu itu bentuk kalimat seperti apa. Apa dia berpura-pura baik denganku atau dia merasa bersalah? “Kalau kamu ngantuk mending kita istirahat aja di rest area kalau ada,” ucapku dengan lirih. Aku masih memikirkan kesehatan M
“Heh, bangun cepetan!” seru Mas Bara sambil menggerakkan lenganku dengan keras. Aku masih sangat ngantuk. Sehabis solat subuh aku tidur lagi. Karena semalam aku tidur jam dua malam. Mataku terbuka pelan-pelan. Kulihat Mas Bara yang sudah rapi. Aku bisa mencium aroma parfumnya. Wajahnya juga segar. Dia pasti sudah mandi. “Kenapa sih, Mas?” tanyaku dengan berusaha duduk. Nyawaku masih setengah sadar. “Balik ke kamarku. Kalau kamu tidur di kamar ini. Mama akan curiga. Udah sana buruan,” pinta Mas Bara dengan menarik lenganku. Aku terpaksa harus berdiri dan mengambil kerudungku lalu balik ke kamar Mas Bara. Mama pasti akan curiga kalau aku dan Mas Bara tidur di dua kamar yang berbeda. Ini semua gara-gara semalam Mas Bara yang sengaja mengunci kamarnya sendiri. Awas saja, aku belum mengomel padanya tentang itu. Aku tidak bisa tidur lagi. Terpaksa aku bangun dan keluar kamar. Kulihat suasana rest area ini sudah mulai ramai karena jam menunjukan pukul tujuh pagi. Aku segera
Kini kamu semua sudah berada di dalam mobil dan akan bersiap melanjutkan perjalana ke Padang. Mungkin akan sampai pada malam hari. Ku lihat wajah Mas Bara yang terlihat biasa saja. Sungguh aku ingin sekali marah kepadanya. Namun aku berusaha menahan amarahku karena ada mama. “Gimana udah siap semuanya? Udah nggak ada yang ketinggalan 'kan?” tanya Bara. “Udah nggak ada kok, Mas Bara. Semuanya sudah saya rapikan,” Jawab Mirna dengan sopan. Kini mobil melaju dengan kecepatan sedang. Jalan yang aku lalui masih terlihat sama. Jalan tol yang panjang di depan sana masih bersih. Sementara di samping terlihat hijau rumput dan aku juga bisa melihat rumah-rumah warga yang terlihat kecil. “Bar, tadi mama ngompol loh, di kamar,” kata mama lalu tertawa kecil. “Lah, terus gimana, ma? Kok bisa sih, pasti pemilik sewa kamar itu marah ya?” tanya Bara dengan cepat. “Nggak kok, Mas Bara. Pemilik sewa kamar itu paham dan baik hati. Mirna langsung aja cuci sepertinya dan untung saja ti
“Kamu di mana sekarang?” tanya Bara dengan suara berbisik pada telfon genggamnya. Ia berada di halaman belakang rumah. “Aku udah sampai di hotel, Mas. Kamu gimana? Udah sampai di rumah adik kamu, Siska?” tanya Arum dengan suara manja. “Syukurlah sayang, nanti tenang aja. Aku akan transfer biaya hotel. Parjo supir yang aku kasih nggak ngapa-ngapain kamu kan?” tanya Bara dengan wajah cemburu. “Ya nggak lah, Sayang. Lagian modelan kaya gitu. Kampungan kaya gitu. Mana mungkin aku suka sama Parjo,” jawab Arum dengan wajah jijik. “Ya siapa tau dia nakal. Kamu kan cuma berdua aja di mobil saat perjalanan sama Parjo,” “Aduh, Mas. Sudah deh, jangan bahas itu. Aku kan cuma sayangnya sama kamu. Bara Mahesa seorang yang sekarang udah jadi produser di program tv terkenal itu,” kata Arum dengan bahagia. “Aku belum bilang sih, sama mama dan Bella. Kalau sekarang aku jadi seorang produser. Nanti kalau aku bilang. Bella bakal minta uang yang lebih banyak dari biasanya, hm,” kata
Bagas dan Broto memasuki rumah. Aku dan mama yang sedang menonton tv berdiri menyambut Bagas. “Alhamdulillah, sekarang cucu mama udah di sunat,” seru mama dengan tersenyum ke arah Bagas. Bagas anak kecil itu tersenyum lebar sambil duduk di bantu oleh papinya. “Gimana rasanya Bagas? Nggak sakit kan?” tanyaku dengan antusias melihat Bagas. “Hehehe, nggak sakit kok, bude. Cuma sedikit aja sih, abis itu udah deh. Semoga aja sembuhnya cepet ya? Supaya Bagas bisa lari-lari main bola,” kata Bagas dengan wajah berseri. Tiba-tiba Mas Bara muncul dari kamar. “Eh udah di sunat ya, ponakanku. Wah! Keren kamu Bagas. Tos dulu!” kata Mas Bara dengan suara keras. Lalu Bagas tos dengannya. Melihat keceriaan Mas Bara rasanya sangat menyenangkan. Tapi kenapa dia harus selingkuh? “Ma, Bara keluar sebentar dulu ya? Mau beli pulsa nih di supermarket,” kata Mas Bara dengan santai. “Mas, aku ikut ya? Sekalian mau beli jajan di sana,” seruku dengan cepat. Aku tahu pasti sebenern
Sudah sepuluh menit lamanya Mas Bara belum juga datang. Sebenarnya Mas Bara ke toilet apa ke mana sih? Kesel banget aku sama dia. Aku masih sabar menunggu sampai dua puluh menit lamanya dan aku telfon ke nomor Mas Bara. Sama sekali tidak ada jawaban. Aku berdiri lalu berjalan ke toilet pria. Kutunggu sejenak dan Mas Bara tidak keluar juga. Aku sempat menanyakan ciri-ciri Mas Bara ke beberapa orang. Namun hasilnya nihil. Terpaksa aku harus keluar dari restoran itu dan sialnya aku yang harus bayar makanannya. Makanan Mas Bara juga masih utuh. Aku bungkus saja untuk di rumah. Tak terasa hari sudah mulai sore. Aku terpaksa menggunakan angkutan umum untuk sampai menuju ke rumah Siska. Kulihat pemandangan di kota Padang ini cukup ramai. Aku cukup panik karena angkut ini berhenti dan ternyata kata sang sopir ada kecelakaan di depan sana. Hatiku sangat berdebar. Semoga saja itu bukan Mas Bara. “Kasihan banget itu pasti suami istri ya yang ketabrak,” kata seseorang yang lewat di l
Mas Bara memasuki kamar dengan pelan. Ia terlihat kesusahan saat membuka pintu. Tangan kirinya di tekuk di depan dada lalu duduk di kasur dengan wajah meringis. “Gimana rasanya enak 'kan?” wajahku kesal melirik Mas Bara. Hatiku benar-benar hancur dengan tingkah Mas Bara hari ini. “Kamu jangan ngomong kaya begitu dong, Bel. Aku lagi sakit gini kamu malah kaya gitu,” gerutu Mas Bara. “Kamu nggak tau perasaan aku gimana, Heh?” tanyaku dengan mata berkaca-kaca. “Oke, aku minta maaf udah ninggalin kamu di restoran,” kata Mas Bara dengan santainya. “Gampang banget kamu bilang maaf ya, Mas?” aku berdiri membelakangi Mas Bara. “Kamu udah ninggalin aku gitu aja di restoran dan kamu malah pergi sama Arum. Sementara aku tungguin kamu lama banget. Akhirnya kamu dapet karma 'kan Mas? Kamu kecelakaan sama Arum. Kenapa engga sekalian aja kamu meninggal saat kecelakaan itu,” ucapku dengan keras menatap Mas Bara. “Kamu gila ya? Omongan kamu tuh udah kaya orang gila tau nggak?”