Kinar dengan cepat menemui Galang lagi yang masih berada di tepi jalan depan tempat resepsi. Laki-laki itu tersenyum menatap Kinar yang makin mendekat.
"Tebakanku pasti bener, kan?"
"Ternyata iya, Mas. Bapakku yang tadi meminta tolong sama suaminya Kayla."
"Ya udah. Sekarang kamu tunggu di sini, aku mau ambil motor dulu. Oke?"
"Siap."
Kinar mengangguk, kemudian tersenyum menatap punggung atletis milik Galang yang terbalut kemeja lengan panjang itu. Tempat parkir yang lumayan dekat dari tempat resepsi, membuat Galang yang telah mengendarai motor dengan cepat menghampiri Kinar lagi.
"Ayo naik!"
Kinar masih terpaku sambil salah tingkah menatap motor sport yang dikendarai Galang. Gadis itu merasa kikuk, karena kebingungan untuk naik dengan keadaan jok belakang yang menungging. Padahal Kinar mengenakan rok panjang dengan belahan samping.
"Gimana naiknya, ya, Mas?"
"Bonceng cewek aja!" seru Galang sambil tersenyum ke arah Kinar yang masih tampak bingung.
Kinar lantas berusaha untuk naik di jok belakang. Tanpa sadar ia mencengkeram erat pinggang Galang.
"Mas, aku pengen cepet sampe rumah. Tapi, kalau dibawa ngebut, aku takut juga. Trauma, soalnya," ujar Kinar.
"Tenang aja, aku gak bakalan ngebut, kok," balas Galang sembari menoleh.
Galang segera memacu kendaraannya meninggalkan tempat resepsi.
Sebelah tangan Kinar berpegangan pada behel besi di belakang jok. Semilir angin menerpa wajahnya membuat dirinya sebentar-sebentar menyelipkan anak rambut yang menutupi pandangan. Arloji di pergelangan tangannya hampir mendekati pukul dua belas malam. Itu artinya, Kinar masih mempunyai waktu yang lumayan untuk beristirahat begitu tiba di rumah, nanti.
"Kalau takut pegangan pinggangku aja!" celetuk Galang membuat Kinar mengernyitkan dahi.
"Gak, kok," balas Kinar yang memang gengsi untuk berpegangan di pinggang Galang.
Tak terasa kendaraan yang dikemudikan Galang sebentar lagi memasuki komplek perumahan tempat tinggal Kinar. Ia lantas meminta Galang untuk mengikuti arahannya agar tidak kesasar atau kebablasan.
"Stop, Mas!" teriak Kinar sambil menepuk pundak Galang begitu tiba di depan rumahnya.
"Oh, di sini rumah kamu?"
"Iya, Mas. Ya udah, terima kasih udah dianterin pulang. Maaf, aku gak bisa mempersilakan Mas mampir, soalnya udah malem," ujar Kinar.
"Tapi, laen kali boleh maen ke sini, kan?"
"Boleh, kok."
"Ya udah, aku tungguin sampe kamu masuk rumah, deh! Takut ada yang culik kamu," ujar Galang bernada bercanda.
Pipi Kinar seketika merona. Ia lantas melangkah menuju teras. Seketika tangannya terangkat menyentuh dahi, karena ia lupa meminta kunci pada ibunya, tadi.
"Kenapa?" teriak Galang yang melihat Kinar tampak kebingungan.
"Aku lupa minta kunci, tadi, Mas."
Galang kemudian turun dari kendaraan, menghampiri Kinar yang masih berdiri di teras. Laki-laki itu bermaksud untuk menemani Kinar barang sejenak, sebelum bapak dan ibunya pulang.
"Aku temani sebentar boleh, kan?" tanya Galang begitu duduk di kursi plastik.
Kinar mengangguk, kemudian duduk juga di sebelah Galang yang selalu tersenyum sejak tadi.
"Kamu udah tau namaku, belum, sih?" tanya Galang.
"Mas Galang, kan? Salam balikku saat datang di acara tunangan Marisa udah disampaikan, kan?" sindir Kinar seolah-olah mengingatkan pertemuan pertamanya dengan Galang waktu itu.
"Oh iya? Maaf, aku lupa. Berarti ini pertemuan aku dan kamu untuk kedua kalinya, ya?"
"Iyap!"
Keduanya lantas mengobrol tak jelas seakan-akan telah akrab satu sama lain. Tumben, Kinar yang biasanya cenderung judes dengan laki-laki yang baru saja dikenalnya, kini berubah ramah. Mungkinkah gadis itu ada ketertarikan dengan Galang?
Malam semakin merangkak naik, membuat Kinar merasa tak enak hati pada Galang. Gadis itu lantas meminta Galang untuk pulang. Kinar merasa cukup ditemani, apalagi akhir-akhir ini di komplek perumahannya sering terjadi sistem tangkap untuk muda-mudi yang ketahuan bermesraan melampaui jam malam yang telah diterapkan di lingkungan tempat tinggalnya. Kinar tidak ingin hal itu terjadi padanya dan juga Galang.
"Ya udah, aku pulang, ya," pamit Galang terkesan begitu sopan. "Hati-hati. Pokoknya jangan sampe ada yang culik kamu. Daripada kamu diculik cowok lain, mendingan aku aja yang bawa kabur, kamu," imbuh Galang dengan nada bercanda.
"Idih!" tanggap Kinar.
Kinar beranjak dari duduknya, mengantar Galang hingga ke jalan depan rumah. Ia juga menyaksikan punggung Galang berlalu menembus pekatnya malam.
Wajah Kinar berseri-seri hingga ia lupa jika harus mempersiapkan segala sesuatu untuk sang atasan di kantor besok. Sepertinya pesona Galang berhasil mengalihkan dunia Kinar. Apalagi dirinya yang selalu didesak orangtuanya untuk segera mencari pasangan. Galang mungkin jawaban yang tepat untuk Kinar saat ini.
Kinar duduk sendirian di teras meskipun malam telah mendekati dini hari. Tak ada rasa takut, hanya bergidik karena hawa dingin yang menembus pori-pori kulitnya saja yang ia rasakan. Sehingga Kinar sibuk melipat lengan di depan dada sambil duduk menyandar.
Lagi-lagi Kinar tersenyum. Wajah dan pesona Galang yang baru saja ditemuinya tadi masih menyisakan getar-getar dalam dadanya. Entah getar cinta pada pandangan kedua atau memang hanya kekaguman semata. Kinar masih bingung membedakan antar keduanya.
Suara mesin dan sorot lampu mobil membuat Kinar menegakkan badan. Ia segera berdiri begitu mengetahui bapak, ibu dan juga adiknya telah pulang.
"Pulang, kok, asal pulang, sih, Nar?" protes sang ibu yang tahu kalau Kinar lupa meminta kunci.
"Lupa, Bu."
"Asal jangan lupa aja pesan Ibu. Cepetan cari jodoh. Tadi di kawinan Kayla banyak juga yang nanyain Ibu lagi. Ibu jadi malu, Nar," ujar ibunya terdengar sewot membuat Kinar berubah jengah.
Kinar langsung masuk rumah tanpa peduli suara ibunya yang terus saja sewot. Ia yang baru saja merasakan getaran aneh karena diantar pulang Galang, kini merasa sebal sendiri. Batinnya ingin sekali menyela ucapan ibunya, tetapi malas. Kinar paham sekali jika meladeni sang ibu malah akan berbuntut panjang.
"Udah, Mbak, gak usah dipikirin omongan Ibu. Tau sendiri, kan, kalo ibunya Kayla selalu jadi rival Ibu? Dayu tau kok, Ibu ngomong gitu karena omongan Bulik," ucap sang adik yang sengaja menyusul Kinar ke kamar.
"He'em. Makanya, Mbak itu males nyahutin Ibu. Ujung-ujungnya nanti malah ngedumel ke mana-mana," jelas Kinar sambil berdiri di meja rias melepas anting yang dipakainya tadi.
"Mbak Kinar! Aku tadi tau, lho, yang nganter pulang Mbak. Ganteng, Mbak orangnya," ucap Dayu kemudian, beraroma memancing sedikit gelagat kakaknya itu.
"Udah, ah, gak usah dibahas. Jangan ikut-ikutan kayak Ibu. Bikin males, tau!" sahut Kinar sambil mencubit manja pinggang adiknya itu.
"Tapi, kalo ganteng gak papa, kan, Mbak?" canda Dayu kemudian.
"Tuh, Mas Haykal juga lebih ganteng. Tapi, nyatanya kegantengannya itu membuat Mbak diselingkuhi, kan, sama dia? Mbak capek, Yu! Sampe saat ini aja, Mbak masih trauma. Memangnya, nanti kalau berumah tangga mau makan gantengnya, apa?"
"Gak juga, Mbak."
Sejenak, pikiran Kinar mengembara mengingat masa-masa saat bersama Haykal, cinta masa lalunya. Batin wanita mana tidak akan sakit saat cintanya dikhianati saat itu?
Kinar tak menjawab sepatah kata pun, ketika sang bapak memberikan pilihan agar berpisah dari Galang. Terbesit di pikiran Kinar, ketakutan jika melahirkan tanpa suami serta menjanda di usia muda. Meskipun kedua orangtuanya itu memberikan jaminan untuk mengasuh buah hati yang dilahirkan Kinar, kelak.Hampir tiap hari buliran bening selalu menghiasi wajah Kinar. Bayang-bayang hidup tanpa suami dan cemoohan orang tentang figur seorang janda, datang silih berganti di kepalanya.Kinar menghela napas dalam, kemudian meraih air putih di gelas dan meneguknya tanpa sisa. Kemudian merebahkan tubuh lagi menghadap dinding kamar. Hampir tiap malam, ia sulit memejamkan mata. Sejak Galang selalu datang menjemput paksa dalam keadaan mabuk dan mengendarai motor yang knalpotnya bersuara cempreng memekakkan telinga, Kinar merasa trauma.Hening. Hanya suara gesekan dedaunan yang tertiup angin terdengar risau. Jam di dinding menunjukkan malam semakin merangkak naik. Kinar bangkit dari kasur dan melangkah k
Galang kemudian mendekat, lantas memeluk Kinar dengan erat sembari mengucap maaf berkali-kali.Mendengar itu, Kinar lantas merasa tersentuh dan berusaha memaafkan, meskipun itu hanya terucap dalam batinnya. Galang melepaskan pelukan, kemudian masih saja tak bergeser ke mana-mana sambil duduk meringkuk.Perlahan Kinar menarik lengan Galang dan mengajaknya tidur di kasur. Laki-laki itupun menurut saja dan segera membaringkan tubuh di samping Kinar.Keduanya lantas terlelap dengan posisi lengan Galang melingkar di pinggang Kinar hingga pagi.***Kinar berusaha membangunkan suaminya dengan secangkir kopi yang masih mengepulkan asap tebal."Mas, bangun! Aku sudah bikinkan kopi buat kamu," ujar Kinar sembari menepuk pelan lengan Galang.Galang mengucek kemudian memicingkan mata ke arah Kinar. Sejurus kemudian, ia juga mengulas senyum."Makasih, ya, Sayang ...," ucap Galang dengan lembut membuat batin Kinar meleleh seketika.Kinar membalas dengan senyuman, sembari mengalunkan doa dalam hati,
Kinar ikut-ikutan menonton dan kelakuan pemeran antagonis di tayangan yang ditontonnya mirip sekali dengan kelakuan sang suami."Andai saja, Ibu tahu Mas Galang seperti itu, bagaimana lagi sikap Ibu, ya?" Kinar bertanya-tanya dalam batin. Ia lantas mengangkat sebelah tangan, memijit bagian pelipisnya yang menegang.Pandangan Kinar kabur, hingga layar televisi terlihat tak jelas. Lamunannya mengembara, mengenang betapa bencinya ia saat itu pada Galang. Anehnya, selang beberapa kali laki-laki itu datang ke rumahnya, bayangan Galang selalu hadir di pelupuk mata Kinar. Lambat laun ia merindukan laki-laki itu, seolah-olah tiap waktu Kinar ingin menatap wajah Galang."Coba kalau Galang kayak laki-laki di tipi itu, Nar, udah Ibu tampar-tampar mukanya. Masak istri sebaik itu, kok, disakiti mulu? Hei, Nar! Walah, malah ngelamun!" seru Widya sembari menyentuh lengan Kinar. Seketika Kinar tersentak dan lamunannya buyar begitu saja."Em ... iya. Apa, Bu?" jawab Kinar terbata, karena tak mendengar
"Kinar ...?" sapa Widya yang tersentak kaget melihat Kinar berdiri di depan pintu. Sesaat, keheningan tercipta, kemudian Kinar dan sang ibu sama-sama mengulas senyum."Tumben, Ibu baru buka pintu?" tanya Kinar sembari menggandeng lengan dan bergelayut manja di pundak ibunya itu, saat memasuki rumah.Meskipun Widya telah melihat guratan jejak kesedihan di mata Kinar, wanita paruh baya itu sama sekali belum bertanya."Aku mau tiduran dulu di kamar ya, Bu. Kangen, udah lama," pamit Kinar begitu tiba di ruang keluarga.Widya menatap wajah Kinar dan mengangguk, lantas mengelus lengan anaknya itu dengan lembut. Seolah-olah wanita paruh baya yang masih tampak cantik itu, merasakan ada sesuatu yang terjadi dengan Kinar.Kinar lantas melangkah menuju kamar, mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan berukuran 3×4 meter itu. Kinar tak luput membuka jendela dan kain gorden bermotif kupu-kupu warna-warni. Sejenak ia menghirup udara dari luar kamar, kemudian merebahkan badan di kasur sembari men
Malam beranjak naik, Kinar dan Galang terbaring di kasur saling berhadapan. Kinar berancang-ancang untuk mengeluarkan amunisi pertanyaan yang telah memenuhi rongga dadanya."Kenapa melototin aku kayak gini, Nar?" tanya Galang tanpa merasa bersalah sedikit pun terhadap Kinar."Banyak yang ingin kutanyakan sejak tadi. Tolong jawab yang jujur, jangan ada kebohongan lagi. Aku udah muak selama ini, Mas!" cetus Kinar tanpa basa-basi.Galang tampak mengernyitkan dahi, seolah-olah heran dengan sikap istrinya. Bagaimana tidak heran? Kinar yang selama ini dikenalnya begitu pendiam dan penurut, kini tiba-tiba mengeluarkan tanduk. Tampak marah dan berani melawan."Apa yang pengen kamu tanyakan sama aku, Nar? Apa?!" bentak Galang yang merasa terintimidasi.Plak!Satu tamparan dari Kinar melayang ke sebelah pipi Galang saat keduanya telah sama-sama duduk tegak saling berhadapan. Kinar lantas memutar badan menghadap dinding. Hati istri mana yang tidak terguncang hebat, mendengar sang suami pergi ber
Kinar lantas melirik ke arah satu buku tulis usang milik Galang. Satu-satunya harapan yang masih tertinggal untuk menemukan uang miliknya yang disimpannya beberapa hari yang lalu itu.Halaman pertama dan seterusnya, kosong tak ada tulisan, pun tak ada lembaran uang terselip di sana. Masih penasaran, tangan Kinar sigap membuka lembar selanjutnya. Ia tercengang, ada sejumlah nama wanita yang tertulis di lembaran buku tersebut. Dan nama Kinar Mayangsari ada di urutan nomor 34."Apa maksudnya?" gumam Kinar sambil menatap deretan nama tersebut. "Ada nama Mbak Astuti juga?" lanjutnya.Dari sekian nama wanita tersebut, Kinar hanya mengenal nama Astuti sebagai mantan istrinya Galang, serta Lisa dan Siti sebagai mantan pacar yang pernah diceritakan suaminya tersebut. Sedangkan selain ketiga nama tersebut, Kinar sungguh-sungguh tak mengenalnya.Kinar yang syok dan bertanya-tanya itu, lantas duduk di sisi kasur sembari memegang buku tulis usang itu."Kenapa, sebagian diberi tanda centang, begini
"Dari mana, Nar?" tanya Galang sambil mengunyah makanan, hingga seperti terdengar orang bergumam."Dipanggil Bude depan rumah, tuh!" sahut Kinar kemudian."Pasti, dia cerita tentang aku, ya, Nar?" selidik Galang."Ngapain cerita tentang kamu, Mas? Toh, aku sendiri udah mulai tau siapa, Mas, kok!" sergah Kinar."Gak percaya! Gak mungkin dia gak cerita, mulutnya itu suka nyinyir," sanggah Galang sembari beranjak dari duduk, kemudian melangkah menuju dapur.Kinar melangkah ke kamar, membaringkan tubuhnya sejenak. Seketika terlintas di pikirannya wajah sang ibu, membuat getaran rindu datang menyergap batinnya.Hampir dua bulan Kinar tidak bertemu dengan orangtuanya sendiri, membuat batinnya makin tersiksa. Wajah-wajah keluarganya seolah-olah di pelupuk matanya sedang melambaikan tangan, memanggil Kinar.Ia lantas mengelus pelan perutnya sembari mulutnya komat-kamit berdoa. Kinar menangis, tetesan air matanya tak terasa membasahi bantal. Batinnya ingin sekali mengajak Galang, mengunjungi b
Setelah bersusah payah memasak di dapur akhirnya Kinar benar-benar lega karena masakannya matang juga. Meskipun, ia merasakan matanya berair menahan asap kayu bakar yang menguar.Dia yang terbiasa dengan peralatan modern di rumahnya, dihadapkan pada situasi yang benar-benar berbeda. Kinar ingin sekali mengeluh, akan tetapi dirinya merasa malu karena telah menjadi konsekwensinya menikah dengan Galang yang keadaannya serba kekurangan."Sabar, Kinar! Sabar!" gumam Kinar dalam batin sambil tangannya mengusap dada.Kinar terpaku seakan-akan menajamkan indera pendengarannya. Dengkuran keras dari dalam kamar terdengar hingga ke dapur. Lelaki yang disebutnya suami itu rupanya telah tertidur pulas.***Wajah Kinar tampak segar usai mandi. Ia lantas termenung sendirian di ruang tamu. Maklum, jarak antara rumah tetangga atau pun saudara iparnya lumayan jauh, terpisah oleh kebun-kebun yang lumayan luas.Sang ibu mertua beraktivitas di sawah miliknya. Meskipun lanjut usia, ibu mertuanya itupun m
Kinar menahan geram selama dalam perjalanan pulang. Namun, ia telah mempersiapkan amunisi untuk menyerang suaminya. Dadanya serasa ingin meledak, menyadari sikap Galang yang nyatanya jauh di luar perkiraannya.Dia memilih terdiam di teras untuk melepas lelah, ketimbang menyusul suaminya masuk rumah begitu turun dari kendaraan. Kinar duduk menyandarkan punggung sambil melipat lengan di depan dada.Tak berselang lama, Galang muncul dari dalam rumah. Rupanya, laki-laki itu telah berganti baju dengan mengenakan kaus bergambar tengkorak dan bawahan celana pendek yang sengaja dirobek, khas anak muda. Kinar menatap heran sambil menggeleng pelan."Cepet dikembalikan motor orang, Mas!" seru Kinar dengan menatap jengah. Bola matanya naik turun memerhatikan gelagat suaminya itu."Biarin! Mau aku bawa dulu. Aku mau cari angin!" tukas Galang."Brengsek! Dia malah mau pergi? Aku, kan, mau tanya sejak tadi. Oalah, Setan!" Batin Kinar mengumpat kesal."Oh ya, Mas, mana uang yang dikasih Bapak buat be