"Mbok, bisa tolong belikan tempat minum untuk Rion ke pasar, gak?"
Mbok Darmi yang kebetulan sedang memotong sayur-sayuran untuk sarapan, langsung menoleh, kemudian mengangguk pelan.
"Bisa, Nyonya. Sekalian saya mau beli ikan, tadi Tuan Ramdani minta di masakin ikan goreng."
"Baik, Mbok. Terima kasih banyak."
Mbok Darmi tidak membalas ucapan Yuni, dia menatap majikannya itu dengan sendu, beberapa kali dia menelan ludah susah payah, berusaha mengusir gejolak di hatinya.
Bagaimana tidak, bagian bawah mata Yuni tampak begitu menghitam, wajahnya pun tampak pucat pasi dengan bibir yang memutih.
Belum lagi, akhir-akhir ini Yuni jarang sekali makan, membuat Mbok Darmi begitu khawatir. Padahal dia sering sekali mengingatkan Yuni.
Akan tetapi, jarang sekali Yuni gubris, dia hanya mengangguk saja, kemudian kembali bermain dengan Rion dan yang lebih parahnya lagi, hanya melamun saja.
"Nyonya, apa sedang dipikirkan?"
Yuni mendongak, menatap asisten rumah tangga yang sudah dia anggap sebagai Ibu kandungnya sendiri.
"Tidak ada, Mbok. Aku baik-baik saja."
"Nyonya, jangan bersikap baik-baik saja, kalau Nyonya lelah, tolong katakan yang sebenarnya, jangan bersikap seolah-olah semuanya baik."
Dada Yuni tiba-tiba sesak, seperti ada sebongkah batu yang menghantamnya dengan begitu keras, matanya kian memanas, cairan bening yang berusaha dia tahan sekuat tenaga, akhirnya luruh juga.
Dirangkulnya tubuh renta Mbok Darmi, ditumpahkannya segala rasa sakit yang terasa menyayat hati.
Yuni tidak butuh banyak teman, dia hanya membutuhkan satu orang saja yang bisa mengerti dirinya, seperti Mbok Darmi.
Tidak bisa Yuni bayangkan, bagaimana nasibnya kalau Mbok Darmi tidak ada di sini, mungkin dia benar-benar akan mati secara perlahan.
"Mbok, apa bisa saya pergi dari sini?" lirih Yuni di sela-sela isak tangis, membuat Mbok Darmi ikut tidak bisa menahan sakit di dada.
Mbok Darmi bagaikan saksi bisu, di mana Yuni diperlakukan tidak adil oleh Dona, bahkan entah sadar atau pun tidak, Ramdani yang tidak lain adalah suaminya pun melakukan hal yang sama.
Tidak ada yang bisa Mbok Darmi lakukan, selain menyaksikannya dengan penuh kesakitan. Ingin rasanya Mbok Darmi menolong Yuni, hanya saja Dona pernah mengancamnya.
Sekali saja dia membela Yuni di hadapannya, maka dengan terpaksa Mbok Darmi akan di pulangkan. Justru itu merupakan hal yang tidak baik, karena dengan begitu, Yuni tidak akan memiliki teman lagi.
Mbok Darmi, tidak ingin jika hal itu sampai terjadi, dia tidak cukup tega meninggalkan Yuni seorang diri.
"Nyonya bisa saja pergi dari sini, tetapi ke mana Nyonya akan pergi?"
"Mbok, apa saya bisa pergi ke kampung halaman Mbok Darmi? Saya, tidak ingin berada di sini."
Mbok Darmi menatap Yuni, berpikir sejenak tentang apa yang majikannya itu katakan. Sebenarnya dia bisa saja membawa Yuni, hanya saja dengan kondisinya saat ini, mustahil untuk membawa Yuni dalam perjalanan jauh.
"Bisa, Nyonya. Hanya saja saya tidak yakin untuk saat ini," balas Mbok Darmi dengan ragu-ragu. Dia takut Yuni berpikiran yang tidak-tidak.
Yuni meraih tangan Mbok Darmi dengan erat, dia sempat mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Mbok, tolong bertahan untuk saat ini selama kurang lebih tiga bulan lagi, setelah itu kita bisa pergi dari sini."
Dengan cepat Mbok Darmi mengangguk, senyuman kebahagiaan terlukis diwajahnya yang mulai dipenuhi garis-garis penuaan.
"Baik, Nyonya. Saya, akan bertahan di sini, begitupun dengan Nyonya."
"Terima kasih, Mbok."
Mbok Darmi mengangguk, dia menoleh ke arah sayuran yang belum sempat dia apa-apakan.
"Astaga, Nyonya. Saya harus kembali memasak."
Yuni segera melepaskan tangan Mbok Darmi, sementara itu dia langsung menghampiri Rion yang tengah bermain di lantai.
"Sayang, sabar, ya, Nak. Beberapa bulan lagi, kita bakal pergi dari sini, kamu tenang saja, Ibu yakin bisa menghidupi kalian," ucap Yuni sambil mengusap rambut hitam legam milik Rion yang begitu mirip dengan rambut Ayahnya.
"Ibu, Adek bayi di bawa?"
"Iya, Sayang. Nanti kita pergi sama Adek bayi, Ibu, Rion terus Mbok Darmi juga. Kita bakal hidup bahagia, Nak."
"Papah, ikut, Ion?"
"Papah ...." Yuni termenung sejenak Ketika hendak menjawab pertanyaan Rion.
"Ion, gak mau sama, Papah!"
Yuni begitu tersentak ketika mendengar ucapan Rion.
"Ya Tuhan, apa anak laki-lakiku membenci, Papahnya? Tapi, aku sama sekali tidak mengajarkannya untuk melakukan hal tersebut," batin Yuni.
"Rion," lirih Yuni.
"Ion, gak suka sama, Papah! Papah, suka nyakitin Ibu, gak mau main sama Ion juga."
Yuni tidak menyangka, ternyata sikap suaminya selama ini, ikut berdampak buruk pada anak laki-laki.
Rion pasti sering mengamati, bagaimana perlakuan Ramdani selama ini kepada dirinya dan Rion sendiri.
"Mbok, bagaimana ini?"
Mbok Darmi yang sebenarnya diam-diam mendengarkan hal tersebut, langsung menoleh, menatap Yuni yang memancarkan raut kekhawatiran di wajahnya.
"Mbok, juga tidak mengerti, Nyonya."
"Aku takut, Mbok, kalau Rion akan semakin membenci Papahnya, padahal aku tidak pernah mengajarkan hal itu padanya."
"Mbok, paham, Nyonya. Mungkin itu karena Den Rion memperhatikan semua yang terjadi di sekitarnya akhir-akhir ini."
Yuni menghela napas panjang, dia begitu takut, kalau Rion akan semakin membenci Papahnya dan apalagi kalau hal itu berlangsung hingga dia dewasa kelak.
"Nyonya, tidak usah khawatir. Secara pelan-pelan, Nyonya bisa memberikan pengertian pada Den Rion."
"Baik, Mbok. Aku begitu khawatir."
Tanpa mereka berdua ketahui, bahwa sedari tadi ada seseorang yang mendengarkan percakapan keduanya dari balik tembok sambil menyilangkan tangan di dada.
Sementara itu, satu sudut bibirnya tertarik ke atas, membentuk sebuah senyum sinis. Gegas, dia mematikan rekaman suara yang ada di ponselnya, kemudian segera mengirimkan ke nomor Ibunya.
Sepertinya Yuni dan Mbok Darmi tidak menyadari kedatangan wanita tersebut yang tidak lain adalah Monika.
"Mau pergi katanya? Baguslah, setidaknya hasil kerja Bang Ramdani, tidak akan terbagi dua. Jadi, aku dan Ibu bisa menikmatinya, tanpa harus berbagi pada Yuni," batin Monika.
Ramdani pulang dari kantong dengan keadaan lesu. Hari ini, pekerjaan jauh lebih banyak dari yang dia pikirkan sebelumnya. Bahkan, gara-gara hal itu dia sampai tidak sempat mengisi perut.Ketika masuk ke rumah, Ramdani langsung melesat pergi ke dapur, duduk di meja makan, kemudian membuka tudung makanan.Namun, seketika dia terbelalak ketika netranya hanya menangkap goreng telur dan sayur asam saja yang tersaji."Mbok Darmi! Mbok," teriak Ramdani dengan nyaring. Dia begitu lapar, tapi kenapa hanya makanan itu saja yang tersaji.Tidak lama kemudian, Mbok Darmi tergopoh-gopoh dari pintu belakang."Iya, Tuan, ada apa?""Kenapa tidak ada makanan yang lainnya? Masa saya harus makan sama telur goreng sama sayur asem saja, mana ikan goreng yang sama minta?"Mbok Darmi menunduk dalam, dia meremas tangannya sendiri dengan begitu gugup.
Dalam kondisi hamil besar seperti ini, Yuni terpaksa berjalan sambil mendorong kereta bayi yang biasa dinaiki Rion menuju jalan raya yang ada di depan rumahnya.Bukan tanpa alasan, tetapi anaknya itu terus merengek minta keluar rumah, padahal dia sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja.Baru saja Yuni berjalan beberapa langkah, tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan rumahnya.Tidak lama kemudian, Dona dan Monika keluar dari mobil. Awalnya mereka tidak menyadari keberadaan Yuni, tetapi tanpa sengaja, sudut mata Monika menangkap kehadiran Yuni."Bu, lihat deh, ada si Yuni."Dona terkesiap, ekor matanya sedikit menyipit. Hanya dalam hitungan detik, dia langsung tersenyum sinis."Yuni, sini kamu!"Yuni menghela napas kasar, dia terus melajukan kereta bayi yang di tumpangi Rion. Dia tidak peduli dengan Dona dan Monika.&n
"Mbak, baik-baik saja?"Anton beralih menatap Yuni yang membisu. Tangannya mencengkram kereta bayi kuat-kuat. Sementara itu, tatapan wanita itu tampak kosong, seperti tidak ada kehidupan di dalamnya."Saya baik-baik saja. Terima kasih telah membelaku, walaupun pada akhirnya mereka akan lebih kejam padaku."Anton menghela napas panjang, dia menoleh, menatap Monika yang masih histeris.Entah kenapa, tidak ada sedikitpun simpati di hatinya, ketika melihat wanita itu menangis seperti orang yang kesetanan.Meraung-raung tidak jelas, bahkan sampai ikut menghentakkan kaki, seperti anak kecil saja.Anton bergidik ngeri, malah dia yang merasa malu atas tingkah laku Monika. Beruntung sekali Anton, karena sekarang hubungannya dengan Monika sudah berakhir."Saya, permisi dulu, ya!" sambung Yuni, membuat Anton langsung tersadar dari lamunannya."Mau ke mana?" tanya Anton secara refleks.
"Bu, uang yang kita dapat hari ini, mau di apakan?" tanya Monika sambil memandangi uang yang ada di tangannya. Hatinya benar-benar berbunga-bunga.Bayangan demi bayangan barang yang akan dia beli, benar-benar memenuhi pikirannya. Rasanya Monika tidak sabar untuk pergi ke mall dan berbelanja serta makan enak."Belanjakan saja, Sayang," jawab Dona tanpa ragu, karena memang dia pun menginginkan hal yang sama. "Ah, ini taksinya mana, sih, kok gak ada. Mana panas lagi," keluh Dona sambil mengibaskan tangannya."Aku udah gak kuat, panas banget. Nyesel gak bawa mobil," sesal Monika.Tidak lama kemudian, sebuah angkot berhenti di depan keduanya. Monika sempat melirik Dona sekilas, meminta persetujuan Ibunya."Bu, gimana?" sambung Monika, kembali mempertegas.Karena memang, dia sudah sangat merasa kepanasan, wajahnya t
Ketika memasuki pekarangan rumah, Ramdani melihat mobil adiknya terparkir. Dia belum menyadari, jika motor istrinya raib.Tanpa banyak berpikir, Ramdani langsung masuk ke rumahnya, tetapi dia tidak melihat keberadaan anak dan istrinya, maupun adik dan Ibunya tersebut."Mbok!" panggil Ramdani dengan lantang. Tetapi, dia tidak ada sahutan dari siapapun.Ramdani lantas menyimpan tasnya di sofa, kemudian melenggang ke dapur sambil sesekali memanggil nama Mbok Darmi."Ke mana, sih, orang-orang," gumam Ramdani, kemudian kembali ke ruang tamu, meraih tasnya, lalu menaiki satu demi satu anak tangga yang membawanya menuju kamar utama.Sesampainya di kamar, Ramdani langsung melempar tasnya ke atas ranjang, lalu ikut merebahkan tubuhnya yang terasa begitu lelah.Tidak lama kemudian, Ramdani menoleh ke arah rak buku. Tanpa basa-basi, dia langsung bangkit, kemudian
Ramdani segera bergegas menuju garasi, dicarinya motor istrinya tersebut. Netranya berputar, mengamati seisi garasi, tetapi nihil dia tidak menemukan apapun.Hingga, ketika Ramdani menunduk, dia mendapati sebuah bekas motor melintas di lantai, tetapi nodanya itu samar-samar, seperti baru beberapa jam yang lalu.Kemudian, Ramdani menoleh ke arah lain, di mana motor miliknya terparkir. Ramdani menyipit, lalu menghampiri dua kendaraan yang menjadi saksi dalam sejarah hidupnya.Di mana dia yang awalnya hanya bekerja sebagai tukang ojeg, tiba-tiba ketiban rezeki nomplok dengan bekerja di sebuah perusahaan yang cukup besar, hingga mampu mengangkat perekonomian keluarganya."Ya Tuhan, ke mana motor Yuni, kenapa bisa hilang seperti ini," gerutu Ramdani.Sekarang dia kesal, karena tidak menuruti perintah Yuni untuk memperbaiki cctv, karena memang Ibunya melarang Ramdani untuk melaku
Melalui balkon rumahnya, Yuni terus menatap Ramdani yang tengah duduk di depan kolam ikan sambil menyesap sebatang rokok.Ketika mereka berpapasan tadi, Yuni dapat menangkap raut kebingungan yang terpancar dari wajah suaminya.Akan tetapi, Yuni tidak bertanya maupun menyapa Ramdani, begitupun sebaliknya.Yuni yakin, jika suaminya itu pasti tengah pusing tujuh keliling mengenai permintaannya beberapa waktu yang lalu dan Yuni pun tidak peduli, sebab itu resiko yang harus suaminya pertanggungjawabankan."Nyonya, minum tehnya dulu.""Terima kasih, Mbok."Yuni meraih gelas yang ada di sampingnya, kemudian meneguk teh hangat yang baru saja Mbok Darmi bawa sampai habis.Sensi hangat yang ditimbulkan oleh teh tersebut mampu memberikan sebuah ketenangan pada Yuni."Mbok, Rion sudah tidur?""Sudah, Ny
Beberapa jam yang lalu .... Ketika Yuni hendak pulang ke rumahnya setelah beberapa hari ini mencoba berbisnis makanan, tiba-tiba gawainya yang sedang di pegang Rion berdering. Awalnya Yuni berpikir, kalau Rion sengaja memainkan benda persegi tersebut, sehingga Yuni tidak menghiraukannya. Akan tetapi, untuk yang ketiga kalinya gawai milik Yuni kembali berdering. Merasa terganggu oleh suaranya, Yuni lantas meraih benda tersebut. Seketika saja, keningnya mengkerut ketika melihat ada sebuah panggilan masuk ke ponselnya dari nomor yang tidak di kenal. Yuni tidak berniat mengangkat telepon tersebut, dia malah bergidik ngeri ketika menatap ponsel, dia sela