"Bu, kenalin ini Kak Anton, dia Kakak tingkatku di kampus. Sebenarnya kami sudah dekat cukup lama, tetapi Kak Anton baru menyatakan cintanya padaku beberapa waktu lalu."
Monika menjelaskan semuanya sambil tersipu malu, beberapa kali dia melirik ke arah Anton yang juga ikut menyunggingkan senyuman.
Monika tidak menyangka, setelah melakukan pendekatan yang cukup lama dengan Anton, pada akhirnya dia bisa mendapatkan pria itu, rasanya hari-hari Monika benar-benar penuh dengan bunga.
"Benar, Bu. Saya dan Monika sudah kenal cukup lama. Malahan kami juga--"
"Yuni, maafkan, Mas. Mas, akan bersikap lebih adil padamu lagi, Sayang. Tolong, jangan pikirkan hal ini lagi, kasian anak yang ada di dalam kandunganmu."
"Untuk apa? Kamu sudah sering berkata seperti itu padaku."
Tiba-tiba ketiga orang tersebut tersentak ketika mendengar sebuah teriakan dari ruang makan.
Dona mengatupkan bibir rapat-rapat, matanya terbuka dengan cukup lebar. Kentara sekali kalau dia sedang murka.
Di saat Dona bangkit, hendak memaki-maki Yuni akibat menimbulkan keributan, tiba-tiba saja Monika meraih tangan Ibunya, dia menatap Ibunya dengan tajam, sebelum akhirnya menggeleng pelan.
"Bu, sudah biarkan saja," ucap Monika dengan nada pelan, tetapi penuh dengan tekanan.
"Sayang, itu ada apa? Kenapa dibiarkan seperti itu."
Sontak saja, Dona dan Monika yang awalnya tengah melakukan kontak mata, langsung memutuskannya dengan cepat, beralih menatap Anton yang tampak kebingungan.
"Tidak ada, Sayang. Sudah biarkan saja, lagipula Abangku dan istrinya suka bercanda," balas Monika sambil tertawa pelan.
Akan tetapi, Anton merasa ada yang aneh dengan keluarga ini, dia melihat ada sekelebat amarah yang tertanam di mata Monika dan Ibunya ketika mendengar teriakan tadi.
Anton sedikit menunduk, kemudian kedua alisnya saling bertautan, ketika secara tidak sengaja melihat tangan Ibunya Monika terkepal kuat, hingga buku tangannya memutih.
Sadar suasana sedikit berubah, Monika langsung menghampiri kekasihnya, lalu menjatuhkan bobot tubuhnya di samping Anton.
"Sayang, kamu mau minum apa?"
Anton menoleh, menatap Monika selama beberapa saat. Jelas sekali, jika wanita itu berusaha keras menutupi kilau amarahnya.
"Emm, apa saja," jawab Anton singkat
Entah kenapa, dia mulai merasa tidak nyaman.
"Aku buatin kopi mau, gak?"
"Boleh, Sayang."
Ketika Monika bangkit dari duduk, tiba-tiba Dona mendahului.
Melalui picingan mata, Dona memberikan isyarat pada Monika untuk diam saja, biarkan Dona yang melakukan itu semua.
"Monika, biar Ibu saja yang buatkan, kamu dan Nak Anton di sini saja, mengobrol berdua."
Tanpa menunggu jawaban dari keduanya, Dona langsung bergegas ke dapur, kedua tangannya masih terkepal kuat, bibirnya mengatup rapat.
Dona tidak sabar, ingin segera memarahi menantu kurang ajarnya tersebut, bagaimana bisa Yuni bersikap seperti itu ketika ada kekasih anak bungsunya.
Dona berpikir, kalau Yuni sengaja melakukan hal tersebut, dia seperti mencari simpati di depan Anton, dia ingin menarik perhatian Anton.
"Yuni!" sentak Dona dengan nada sedikit tertahan.
Akan tetapi, dia langsung mengerutkan keningnya di saat tidak menemukan keberadaan Yuni dan Ramdani.
"Ah, s*al ke mana si Yuni pergi," sambungnya sambil sesekali menelusuri seisi ruangan yang cukup luas.
Karena tidak menemukan keberadaan Yuni. Dona bergegas membuatkan kopi untuk kekasih putrinya.
Walaupun sebenarnya Dona lupa, bagaimana cara membuat kopi, karena selama ini dia sudah lama tidak membuatnya.
Tanpa pikir panjang, Dona langsung memasukan gula dan kopi ke dalam gelas, sebelum akhirnya menuangkan air panas dan membawanya ke hadapan Anton, tanpa mencicipinya terlebih dahulu.
"Nak Anton, silahkan di nikmati."
Anton mengangguk pelan, kemudian meraih gelas yang ada di hadapannya.
Seketika saja, raut wajahnya berubah dan tanpa aba-aba, dia langsung menyemburkan kopi yang berada di mulutnya.
"Apa-apaan, ini bukan kopi melainkan seduhan gula, bagaimana bisa kopinya bisa semanis ini."
Dona maupun Monika sama-sama terbelalak ketika melihat Anton menjulurkan lidahnya sambil membulatkan mata.
Tanpa basa-basi, Monika langsung berlari ke dapur, tangannya bergetar hebat, kala mengingat kondisi Anton, dia takut laki-laki itu kenapa-napa, apalagi ketika mengingat Anton tidak suka manis.
"Sa-Sayang, kamu minum dulu."
Anton langsung meraih gelas yang ada di tangan Monika dengan kasar, kemudian meneguknya sampai habis.
"Kamu gak papa, 'kan?" tanya Monika. Dia meraih tangan Anton, mengelusnya dengan pelan.
Tanpa banyak bicara, Anton langsung bangkit, kemudian meraih tasnya yang tergeletak di sofa.
Melihat hal tersebut, mata Dona maupun Monika sama-sama terbuka lebar, bahkan mulut keduanya ikut membulat sempurna.
Dengan gelagapan, Monika langsung menghampiri Anton, keringat dingin tiba-tiba membasahi tubuhnya, dia takut kalau Anton akan memutuskan hubungan dengannya, hanya gara-gara sebuah kopi.
"Sayang, kamu mau ke mana?"
Monika kembali bertanya, padahal pertanyaan dia yang tadi pun belum di jawab oleh Anton.
"Aku mau pulang, tiba-tiba teringat dengan sebuah janji."
Monika langsung mengerutkan bibirnya, matanya tiba-tiba memanas kala mendengar hal tersebut.
"Sayang, kenapa tiba-tiba seperti ini, bukannya kamu sudah membatalkan itu semua?"
"Tidak Monika, aku harus datang."
"Sayang, kenapa malah pergi?"
Monika terus berteriak, kala melihat Anton melangkah ke arah pintu, sebelum akhirnya sosok itu benar-benar menghilang.
Setibanya di luar rumah, secara tidak sengaja Anton melihat seorang perempuan yang tidak lain adalah Kakak ipar Monika tengah duduk di teras, membelakanginya.
Anton sempat terdiam selama beberapa saat, memperhatikan Yuni yang tengah mengelus perutnya. Anton ikut memikirkan sesuatu.
Hingga ketika dia hendak menghampiri Yuni, Ramdani tiba-tiba datang dari arah samping.
Ramdani sempat menatap Anton sekilas, tatapannya tidak bisa diartikan sama sekali dan selang beberapa detik kemudian, Anton kembali melangkah, menghampiri mobilnya yang terparkir di halaman. Anton mengurungkan niatnya untuk menghampiri Yuni
"Sayang, ayo masuk ke rumah, nanti masuk angin," ajak Ramdani.
"Tumben sekali, biasanya kamu tidak pernah menghiraukanku."
Mendengar hal tersebut, Anton menoleh, kembali menatap Yuni dengan ekspresi yang tidak bisa di artikan. Anton kembali memikirkan sesuatu yang tadi sempat terlintas di otaknya.
"Yuni," gumamnya.
***
"Mbok, bisa tolong belikan tempat minum untuk Rion ke pasar, gak?"Mbok Darmi yang kebetulan sedang memotong sayur-sayuran untuk sarapan, langsung menoleh, kemudian mengangguk pelan."Bisa, Nyonya. Sekalian saya mau beli ikan, tadi Tuan Ramdani minta di masakin ikan goreng.""Baik, Mbok. Terima kasih banyak."Mbok Darmi tidak membalas ucapan Yuni, dia menatap majikannya itu dengan sendu, beberapa kali dia menelan ludah susah payah, berusaha mengusir gejolak di hatinya.Bagaimana tidak, bagian bawah mata Yuni tampak begitu menghitam, wajahnya pun tampak pucat pasi dengan bibir yang memutih.Belum lagi, akhir-akhir ini Yuni jarang sekali makan, membuat Mbok Darmi begitu khawatir. Padahal dia sering sekali mengingatkan Yuni.Akan tetapi, jarang sekali Yuni gubris, dia hanya mengangguk saja, kemudian kembali bermain dengan Rion dan yang
Ramdani pulang dari kantong dengan keadaan lesu. Hari ini, pekerjaan jauh lebih banyak dari yang dia pikirkan sebelumnya. Bahkan, gara-gara hal itu dia sampai tidak sempat mengisi perut.Ketika masuk ke rumah, Ramdani langsung melesat pergi ke dapur, duduk di meja makan, kemudian membuka tudung makanan.Namun, seketika dia terbelalak ketika netranya hanya menangkap goreng telur dan sayur asam saja yang tersaji."Mbok Darmi! Mbok," teriak Ramdani dengan nyaring. Dia begitu lapar, tapi kenapa hanya makanan itu saja yang tersaji.Tidak lama kemudian, Mbok Darmi tergopoh-gopoh dari pintu belakang."Iya, Tuan, ada apa?""Kenapa tidak ada makanan yang lainnya? Masa saya harus makan sama telur goreng sama sayur asem saja, mana ikan goreng yang sama minta?"Mbok Darmi menunduk dalam, dia meremas tangannya sendiri dengan begitu gugup.
Dalam kondisi hamil besar seperti ini, Yuni terpaksa berjalan sambil mendorong kereta bayi yang biasa dinaiki Rion menuju jalan raya yang ada di depan rumahnya.Bukan tanpa alasan, tetapi anaknya itu terus merengek minta keluar rumah, padahal dia sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja.Baru saja Yuni berjalan beberapa langkah, tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan rumahnya.Tidak lama kemudian, Dona dan Monika keluar dari mobil. Awalnya mereka tidak menyadari keberadaan Yuni, tetapi tanpa sengaja, sudut mata Monika menangkap kehadiran Yuni."Bu, lihat deh, ada si Yuni."Dona terkesiap, ekor matanya sedikit menyipit. Hanya dalam hitungan detik, dia langsung tersenyum sinis."Yuni, sini kamu!"Yuni menghela napas kasar, dia terus melajukan kereta bayi yang di tumpangi Rion. Dia tidak peduli dengan Dona dan Monika.&n
"Mbak, baik-baik saja?"Anton beralih menatap Yuni yang membisu. Tangannya mencengkram kereta bayi kuat-kuat. Sementara itu, tatapan wanita itu tampak kosong, seperti tidak ada kehidupan di dalamnya."Saya baik-baik saja. Terima kasih telah membelaku, walaupun pada akhirnya mereka akan lebih kejam padaku."Anton menghela napas panjang, dia menoleh, menatap Monika yang masih histeris.Entah kenapa, tidak ada sedikitpun simpati di hatinya, ketika melihat wanita itu menangis seperti orang yang kesetanan.Meraung-raung tidak jelas, bahkan sampai ikut menghentakkan kaki, seperti anak kecil saja.Anton bergidik ngeri, malah dia yang merasa malu atas tingkah laku Monika. Beruntung sekali Anton, karena sekarang hubungannya dengan Monika sudah berakhir."Saya, permisi dulu, ya!" sambung Yuni, membuat Anton langsung tersadar dari lamunannya."Mau ke mana?" tanya Anton secara refleks.
"Bu, uang yang kita dapat hari ini, mau di apakan?" tanya Monika sambil memandangi uang yang ada di tangannya. Hatinya benar-benar berbunga-bunga.Bayangan demi bayangan barang yang akan dia beli, benar-benar memenuhi pikirannya. Rasanya Monika tidak sabar untuk pergi ke mall dan berbelanja serta makan enak."Belanjakan saja, Sayang," jawab Dona tanpa ragu, karena memang dia pun menginginkan hal yang sama. "Ah, ini taksinya mana, sih, kok gak ada. Mana panas lagi," keluh Dona sambil mengibaskan tangannya."Aku udah gak kuat, panas banget. Nyesel gak bawa mobil," sesal Monika.Tidak lama kemudian, sebuah angkot berhenti di depan keduanya. Monika sempat melirik Dona sekilas, meminta persetujuan Ibunya."Bu, gimana?" sambung Monika, kembali mempertegas.Karena memang, dia sudah sangat merasa kepanasan, wajahnya t
Ketika memasuki pekarangan rumah, Ramdani melihat mobil adiknya terparkir. Dia belum menyadari, jika motor istrinya raib.Tanpa banyak berpikir, Ramdani langsung masuk ke rumahnya, tetapi dia tidak melihat keberadaan anak dan istrinya, maupun adik dan Ibunya tersebut."Mbok!" panggil Ramdani dengan lantang. Tetapi, dia tidak ada sahutan dari siapapun.Ramdani lantas menyimpan tasnya di sofa, kemudian melenggang ke dapur sambil sesekali memanggil nama Mbok Darmi."Ke mana, sih, orang-orang," gumam Ramdani, kemudian kembali ke ruang tamu, meraih tasnya, lalu menaiki satu demi satu anak tangga yang membawanya menuju kamar utama.Sesampainya di kamar, Ramdani langsung melempar tasnya ke atas ranjang, lalu ikut merebahkan tubuhnya yang terasa begitu lelah.Tidak lama kemudian, Ramdani menoleh ke arah rak buku. Tanpa basa-basi, dia langsung bangkit, kemudian
Ramdani segera bergegas menuju garasi, dicarinya motor istrinya tersebut. Netranya berputar, mengamati seisi garasi, tetapi nihil dia tidak menemukan apapun.Hingga, ketika Ramdani menunduk, dia mendapati sebuah bekas motor melintas di lantai, tetapi nodanya itu samar-samar, seperti baru beberapa jam yang lalu.Kemudian, Ramdani menoleh ke arah lain, di mana motor miliknya terparkir. Ramdani menyipit, lalu menghampiri dua kendaraan yang menjadi saksi dalam sejarah hidupnya.Di mana dia yang awalnya hanya bekerja sebagai tukang ojeg, tiba-tiba ketiban rezeki nomplok dengan bekerja di sebuah perusahaan yang cukup besar, hingga mampu mengangkat perekonomian keluarganya."Ya Tuhan, ke mana motor Yuni, kenapa bisa hilang seperti ini," gerutu Ramdani.Sekarang dia kesal, karena tidak menuruti perintah Yuni untuk memperbaiki cctv, karena memang Ibunya melarang Ramdani untuk melaku
Melalui balkon rumahnya, Yuni terus menatap Ramdani yang tengah duduk di depan kolam ikan sambil menyesap sebatang rokok.Ketika mereka berpapasan tadi, Yuni dapat menangkap raut kebingungan yang terpancar dari wajah suaminya.Akan tetapi, Yuni tidak bertanya maupun menyapa Ramdani, begitupun sebaliknya.Yuni yakin, jika suaminya itu pasti tengah pusing tujuh keliling mengenai permintaannya beberapa waktu yang lalu dan Yuni pun tidak peduli, sebab itu resiko yang harus suaminya pertanggungjawabankan."Nyonya, minum tehnya dulu.""Terima kasih, Mbok."Yuni meraih gelas yang ada di sampingnya, kemudian meneguk teh hangat yang baru saja Mbok Darmi bawa sampai habis.Sensi hangat yang ditimbulkan oleh teh tersebut mampu memberikan sebuah ketenangan pada Yuni."Mbok, Rion sudah tidur?""Sudah, Ny