Akibat Sumpah Al-Qur'an (19)Dua ipar itu kenapa bertengkar begitu hebat, sedang anak-anaknya hanya diam, menonton ibunya yang sedang beradu urat.Genggaman Nia terasa makin erat di tangan. Aku bingung, sama sekali tidak ada seorang pun yang kulihat untuk diminta bantuan."Nia di sini, ya, sama adik. Ibu mau ke sana dulu," pintaku pada Nia. Namun, ia tak melepas tanganku. Setelah meyakinkan Nia, aku pun menghampiri Bu Ramlah dan Bu Ayu yang masih bersahutan adu bicara. "Bu ... Bu Ramlah!" cegahku. Berusaha memotong ucapannya. Namun suaraku kalah dengan teriakan mereka berdua. Aku kelimpungan. Mereka memang tidak cakar-cakaran atau main tangan, tetapi berteriak saling tunjuk seolah menyalahkan. Aku tak paham dengan apa yang dibicarakan itu.Dengan nekat aku berdiri di tengah-tengah mereka, hingga keduanya pun terdiam seketika. Sebetulnya aku takut, khawatir mereka malah mengeroyok diriku. Namun, aku harus menghentikan pertengkaran mereka, terlebih di depan rumahku."Bu berhenti! Lih
Akibat Sumpah Al-Qur'an (20)PoV ; Pak Bahul.***"Jadi gimana, Mas?" tanya Bahri memastikan. Dia adikku."Ya, jadi, dong! Bagaimana pun, kalau kita bisa memojokkannya, lama-lama tanah itu jadi milik kita. Kamu mau bangun rumah kan, buat anakmu?" ucapku meyakinkannya. Ia mengangguk, membenarkan ucapanku."Tapi aku dapet nggak, nih?" "Tentu saja!" sahutku segera. Saat ini, kami sedang membicarakan hal serius di ruang keluarga. Bahri dan istrinya, juga aku dan istriku. Mereka tampak setuju dengan usulku ini. Terutama Ayu, ia paling antusias menginginkan tanah di sebelah. Bukan tanpa alasan kami menginginkan tanah itu. Pasalnya, tanah yang seharusnya milik kami itu justru Nenek berikan ada anak tirinya, padahal ia tak punya hak atas harta Nenek. Juga, aku berniat untuk membuka usaha ternak kambing join dengan Bahri. Aku datang baik-baik ke rumahnya, janda dua anak yang masih muda itu cukup lugu, kurasa bukan hal sulit untuk merebutnya. Pun, ia hanya pendatang. Suaminya yang notabene
Akibat Sumpah Al-Qur'an (21)"Kalau begitu silakan Bu Ayu saja yang menemani mereka nggak papa. Bu Ramlah minta bantuan saya karena anak-anaknya nggak ada yang pedulikan," sahutku dengan yakin. Bukan sok jago, tetapi aku menyuarakan isi hati. Enggan dianggap cari sensasi. Mendengar sahutanku, matanya berkilat. Ia seakan meradang tak terima aku melawan.Bu Ayu mendekat dengan kedua tangan bersedekap. Tubuhku menegang kala ia mengangkat jari telunjuknya tepat di depan mukaku."Ka-kamu--" Bibir dengan polesan lipstik merah menyala itu gemetar dengan rahangnya yang mengeras. Giginya seolah saling beradu karena geram. Aku menyondongkan kepala ke belakang, sungguh gerakanku begitu terkunci. Kaki ini seolah terpaku pada bumi."Sejak kapan kamu menjadi berani? Sejak Ramlah berpihak padamu, iya?" sergahnya, suaranya pelan, tetapi penuh penekanan.Aku tak dapat berkata, hanya menggelengkan kepala yang kubisa. Ada rasa menyesal telah menanggapi ucapannya. Aku seakan serba salah, diam saat ditud
Sumpah Al-Qur'an (22)***Aku menggigit bibir kala melihat Pak Bahri seolah menahan sakit ketika berjalan. Setelah membukakan kembali pintu rumahnya, aku segera melangkah ke rumah untuk menyusul anak-anaknya.Mobil polisi datang dan menepi di pinggiran jalan. Lalu seorang bapak turun dan tergesa ke rumah Pak Bahri. Melihatnya, aku mengurungkan niat untuk membawa anak-anaknya bertemu sang Ayah. Khawatir mereka sedang membicarakan hal serius dengan polisi. Baru setelah polisi itu pulang, aku membiarkan anak-anaknya pulang.***"Di pasar lah, tokonya milik orang Cina," ujar Mbak Tatik pada seorang ibu-ibu. Aku yang baru saja tiba, tak dapat menangkap apa yang mereka bicarakan."Laki apa perempuan, Mbak?" tanya seorang wanita paruh baya. Tangannya terlihat lincah memilah aneka sayuran yang tertata di meja."Perempuan, Buk. Dia baik, nggak suka marah-marah kalau memang nggak disalahin," sahut Mbak Tatik lagi."Sistem kerjanya?" timpal yang lain."Dari jam setengah tujuh sampai pukul dua so
Sumpah Al-Qur'an (23)PoV ; Pak Bahul***"Yu, semalem itu ledakan apa?" tanyaku lemah. Untuk sekadar bersuara keras saja aku tak begitu mampu. Bahkan kini Ayu sering uring-uringan saat merawatku. Mungkin ia sudah mulai capek. "Nggak tau! Nggak usah peduliin orang, dirimu aja sendiri peduliin," sahutnya datar. Semalam, dentuman keras membuatku terjaga. Aku tak tahu apa sebab untuk bangkit sekadar mengecek saja tak mampu. Suara itu terdengar begitu dekat. Sekarang, aku begitu trauma kala mendengar suara-suara yang terdengar keras. Khawatir seperti kemarin, kandang kambingku yang roboh. Hingga kini, kandang itu masih terbengkalai. Kesehatanku benar-benar membuat gerakanku terbatas. Dan menghambat segalanya.Terlebih kaki ini sudah sekitar dua minggu tak kunjung sembuh. Tidak ada hasil baik yang didapat. Hasil rontgen dari dokter, tidak menunjukkan adanya patah tulang atau penggeseran. Namun, lain hal yang dikatakan tukang urut, berkata jika tulang lutut ini bergeser. Lalu, lain perkar
Sumpah Al-Qur'an (24)***Hari baru dengan semangat baru. Kali ini, aku bangun di subuh hari dengan perasaan bahagia yang membuncah. Berharap, semoga esok hari dan seterusnya akan selalu kulalui dengan perasaan yang sama. Yakni semangat dan kebahagiaan.Aku segera membuat sarapan dan memandikan Ica. Setelahnya, merapikan diri sendiri. Nia berangkat sekolah masih dengan anak-anak Pak Bahri. Saat kutanya adakah anak sulung Pak Bahri berbuat tidak baik padanya, Nia menggeleng. Ia juga terlihat selalu senang dan semangat berangkat sekolah. Setelah memastikan Nia berangkat, aku mengunci rumah dengan rapat. Lalu segera melangkah menuju pasar. Saat kaki ini menginjak jalan paving, panggilan Bu Ramlah terdengar. Aku membalikan badan."Mau ke mana?" tanyanya penasaran. "Ke pasar, Bu.""Ngapain?" tanyanya lagi. Alisnya yang cetar saling bertaut, seiring dahinya yang mengkerut."Kerja, Bu. Alhamdulillah dapet kerjaan," sahutku semringah.Mulutnya membulat. Bu Ramlah mengangguk-angguk paham."Y
Sumpah Al-Qur'an (25)***Hampir satu minggu sudah sejak kepulangan Pak Bahri ke rumahnya. Sejak itu pula, tak pernah kulihat Bu Ayu atau Pak Bahul lewat di depan rumah untuk menjenguk saudaranya itu. Apakah mereka belum baikan? Ah, sudahlah! Itu bukan urusanku. Dan, aku tak perlu lagi ikut campur urusan mereka. Sore tadi, saat aku memetik terong di depan rumah, tak sengaja netra ini beradu dengan Bu Ramlah. Namun, ada hal yang tak biasa dari tatap matanya, ia tak lagi menatapku dengan tatapan persahabatan. Aku khawatir Bu Ramlah marah karena penolakanku pagi tadi."Buu ...," sapaku ramah dengan tersenyum. Bu Ramlah melengos, membuang muka tanpa merespon ucapanku. Lalu melangkah masuk ke dalam rumahnya.Aku tertegun melihat perlakuannya itu. Ia yang tak pernah lagi kulihat menatap penuh angkuh, tak pernah kulihat memandangku dengan tatapan bengis, kini aura itu kembali terlihat dari matanya.Selama satu minggu lebih, sejak Pak Bahri masuk ke rumah sakit hingga ia pulang, aku tak pern
Sumpah Al-Qur'an (26)"Dek!" Panggilan Tacik membuatku terperanjat."Eh, biasa aja. Kenapa gitu?" tanya Tacik keheranan. Keningnya mengkerut.Aku salah tingkah dibuatnya. Kata 'nikah' tadi seolah terus menggema di telinga, suara-suara asing seakan saling bersahutan menyebut kata nikah. Aku malu dan juga gugup."Nikah?" Aku mengulang perkatannya. Tacik mengangguk masih dengan raut wajah bingung. "Kamu masih muda. Tacik aja yang sudah tua baru setahun lalu nikah, setelah menjanda sekitar sembilan bulan," terang Tacik, membuatku lagi-lagi membelalakkan mata. Kenyataan yang baru kuketahui. Mbak Tatik tak pernah bercerita sebelumnya mengenai keluarga Tacik ini.Aku berdehem pelan untuk sekadar menghilangkan rasa gugup. Entah kenapa, mendengar kata nikah membuatku salah tingkah. Sebelumnya, sama sekali tak pernah terpikirkan olehku masalah pernikahan. Yang ada dalam benak hanya bagaimana membesarkan anak-anak dengan baik, sesuai permintaan terakhir Mas Rahmat."Maaf, Tacik baru menikah?" t