Sumpah Al-Qur'an (36)Aku segera beranjak dari sofa saat pintu utama dibuka. Adi muncul di baliknya. Raut wajahnya nampak beda, tak lagi tegang dan gusar seperti sebelumnya. Sekarang terlihat jauh lebih tenang dan berseri. Seperti ada binar lega yang terpancar dari wajahnya."Halah, sudah Ibu tebak. Pasti kedatangan kamu ditertawakan sama Asti yang licik itu!" Gerutuku seraya melangkah ke arahnya.Adi menggelengkan kepalanya pelan. "Ibu salah!" sanggahnya. "Justru Bu Asti menyambutku dengan baik. Bahkan aku bisa melihat ketulusannya saat mendoakan Ayah. Dan takjubnya, Bu Asti sama sekali tidaklah dendam terhadap keluarga kita, Bu!" papar Adi tersenyum samar. Senyumannya itu seolah mengejekku."Halah itu mah topeng!" balasku tak mau kalah."Terserah Ibu. Yang jelas sekarang aku lega. Dan aku minta sama Ibu, setelah ini tolong jangan pernah ganggu siapa pun. Siapa pun! Bukan hanya keluar-""Sudah kubilang jangan pernah sok jago dengan menasehatiku! Aku ini ibumu, lebih tahu mana yang ba
Sumpah Al-Qur'an (37)PoV; Bu AyuAku menanti dokter itu di gerbang utama rumah sakit, sembari menenangkan diri dengan menghirup udara sejuk dini hari. Tak bohong, dokter itu tiba justru lebih cepat. Sebelum adzan Subuh. Ia segera ke ruang UGD, setelah sebelumnya pergi ke ruangannya dulu.Wajah dokter nampak tegang, tak ada senyum mengejek seperti yang kuterka. Bahkan aku tak sempat sedikit berbicara dengannya, karena ketika turun dari mobil, dokter tua itu segera melangkah tanpa peduli padaku yang siap menghakiminya.Dokter dan dua perawat di dalam tak kunjung keluar. Aku menanti dengan cemas. Kuminta Adi dan Nisa untuk shalat Subuh di mushalla rumah sakit, sembari mendoakan kesembuhan ayahnya. Pintu dibuka, dokter muncul di baliknya. Aku segera beranjak dari bangku besi itu, dan segera menghampirinya."Gimana, Dok? Suami saya bisa sembuh?" tanyaku langsung. "Kami berikan surat rujukan untuk ke rumah sakit pusat di luar kota, ya, Bu!" jawabnya lemah. Raut wajah dokter nampak tak be
Sumpah Al-Qur'an (38)Aku pulang dengan menggunakan ojek, setelah pamit pada Adi dan Nisa. Entah Nisa paham atau tidak dengan situasi ini, ia tak banyak bertanya. Justru sekarang menjadi lebih pendiam. Cuaca cukup terik. Sinar matahari terasa menyengat kulit. Padahal tadi pagi mendung. Sial!Tak tahan dengan panas yang menyengat, juga pantat yang mulai terasa panas, aku meminta pada kang ojek untuk menepi sejenak, di bawah pohon yang rindang. Begitu terus, tidak berbeda dengan perjalanan selama berangkat. Berkali-kali menepi untuk sekadar merenggangkan punggung.Tiba di rumah, aku lekas masuk dan merebahkan diri di lantai. Sudah lama rasanya tak kurasakan kenyamanan ini. Sekujur tubuh terasa rileks, aku memejamkan mata untuk menikmati, hingga terlelap di lantai yang dingin ini.***Suara dering ponsel membuatku mengerjap. Aku mengabaikannya, mencoba untuk kembali terlelap. Rasa lelah masih mendera, terlebih karena tidur di lantai yang keras, membuat tubuhku makin pegal.Dering ponsel
Sumpah Al-Qur'an (39)Lidahku mulai kelu, bibirku gemetar tak keruan. Aku mencoba berontak saat kang ojek itu menarik paksa tanganku memasuki lorong bangunan. Aku mencoba berteriak, tetapi kang ojek itu segera membungkam mulutku dengan tangannya.Dia terus membawaku masuk ke dalam lorong bangunan dengan paksa. Tak jarang aku meringis, saat kaki ini terantuk sesuatu karena mencoba berontak. Lelaki gondrong menghentikan aksinya ketika kita sudah berada di dalam sebuah ruangan. Ia melepas cengkeramannya di tanganku dengan kasar. Rasa nyeri menjalar di sana. Aku memandangi sekitar, untuk mencari pintu dan mencoba kabur, tetapi hanya kegelapan yang terlihat. Hanya ada cahaya temaram dari ponsel kang ojek, yang sama sekali tidak membantu untuk meneliti bagian ruangan.Aku mencoba berjalan dengan perlahan, mengitari ruangan. Rasa takut menyerang, kala pandanganku menangkap sosok berbaju putih yang mengapung di bagian sudut. Bulu kuduk mulai meremang, tetapi mataku terpaku padanya. Aku tak
Sumpah Al-Qur'an (40)PoV; Bu Ayu.***Adzan Subuh berkumandang. Aku segera beranjak untuk mandi. Cukup lama aku menghabiskan waktu di kamar mandi, mengundang pertanyaan dari Adi."Lama banget, Bu? Biasanya ogah-ogahan karena dingin, atau kamar mandi rumah sakit nggak bersih," ujarnya menyindir."Gerah," jawabku singkat. Jika menuruti amarah, ingin rasanya mengumpatnya karena sudah berani mengurusi bahkan menyindirku. Tetapi aku sudah teramat lelah, aku sedang tidak ingin berdebat."Mbak, saya boleh masuk?" tanyaku, saat seorang perawat melintas. Aku beranjak menghampirinya."Jam kunjungan jam tujuh, Bu. Nanti kalau jam tujuh, keluarga boleh masuk," jawabnya sopan. Tapi aku tak suka dengan larangannya."Heh, saya ini istrinya. Kamu siapa berani-beraninya melarang saya, hah?!" sentakku. Raut wajah perawat itu pun seketika berubah."Bu, Ibu ... ini sudah aturan rumah sakit, Bu. Biasanya juga seperti ini, dari kemarin-kemarin di rumah sakit sebelumnya juga jam kunjungan dimulai pukul tuj
Sumpah Al-Qur'an (41)PoV ; Ramlah***Pasti kalian sudah banyak tahu, kan, tentang misi kami dari Mbak Ayu? Jadi, kurasa tidak perlu untuk dijabarkan lagi semuanya.Ya, misi kami untuk membuat si Asti janda dekil itu segera pergi dari sini. Setelah misi pertama kami berhasil dalam merebut tanah di sebelahnya untuk dijadikan ternak kambing, walau melalui proses yang cukup panjang, karena Asti yang kuanggap lemah ternyata tak menyerah begitu saja ketika tanahnya kami rampas.Misi kedua kami, agar ia pergi dari rumah itu. Jika ia segera pergi, maka tanah dan rumahnya akan jatuh ke tangan kami lagi. Tanah yang ibunya si Rahmat ambil dengan merayu nenekku, lebih tepatnya Nenek dari Bahri.Kami berunding dengan matang. Aku yang kurang pandai untuk bersikap galak dan tegas, hanya ditugaskan untuk mengusili Asti oleh Mbak Ayu. Tentu harus dengan cara yang baik. Pikiran licikku mulai merespon, yaitu dengan mengirimi makanan-makanan yang sudah tak layak.Bahkan aku dengan sengaja menyisihkan s
Sumpah Al-Qur'an (42)PoV; Ramlah.***Sungguh, aku merasa malu dengan diri sendiri. Perlakuan Asti pada anak-anak membuatku begitu kagum. Ia sama sekali tidak menaruh dendam, setelah apa yang kulakukan padanya berbulan-bulan.Selama Mas Bahri dirawat, ia menjaga anak-anak dengan baik. Aku sendiri yang bertanya pada anak-anak, dan tidak mungkin mereka berbohong. Bahkan aku sendiri juga menginap di rumahnya. Sangat tak tahu diri, bukan? Namun, Asti sama sekali tidak mengungkit perbuatan jahatku padanya, ia menyambutku dengan hangat. Bahkan ia dan anak-anaknya rela tidur di lantai beralaskan selembar kain, karena kasur kumalnya yang sudah tipis itu dipakai anak-anakku.Aku bisa dengan tenang dan fokus di rumah sakit, tanpa memikirkan anak-anak. Aku menaruh kepercayaan penuh Asti akan menjaga mereka dengan sangat baik. Jam kunjungan belum dimulai. Aku duduk termenung melempar pandangan ke depan, menatap dinding datar dan menggeluti suatu hal yang selalu menganggu pikiran.Ah iya, ada sa
Sumpah Al-Qur'an (43)PoV; Ramlah.***Kurang lebih enam hari perawatan, Mas Bahri sudah diziinkan untuk pulang. Walau kondisinya belum pulih sempurna, tetapi dokter berkata jika luka-lukanya bisa dirawat mandiri di rumah.Aku mengiyakan dengan senang, sebab sebagian luka Mas Bahri pun mulai sedikit mengering, jadi kurasa sanggup untuk merawatnya dalam beberapa hari saja. Aku mengernyitkan dahi heran ketika mobil yang kutumpangi mulai merayap pelan untuk menepi, mendapati Asti berdiri seorang diri tepat di depan pintu rumahku. Tangannya bergerak memutar anak kunci lalu menggenggamnya. Sial. Aku terlalu percaya padanya, dengan menitipkan kunci rumah di tangannya. Hingga ia mulai besar kepala dan ngelunjak. Pasti si janda dekil itu masuk ke dalam rumah dan mengobrak-abrik barang-barangku, bahkan tidak mustahil ia akan mencuri benda-benda mahal di rumahku ini. Toh, di rumah tidak ada orang. Anak-anak juga ada di rumahnya, lalu untuk apa ia masuk ke dalam rumahku jika bukan untuk mencur