"Kenapa kalian melibatkan Dokter Lutfi dalam masalah ini?" tanyaku menahan geram.Licik. Sungguh licik. Mereka sungguh iblis yang melakukan segala cara agar rencana mereka berjalan mulus."Tentu saja kami tidak ingin orang luar mengetahui masalah keluarga ini," jawab Tante Merly. "Semua demi nama baik keluarga.""Kalian licik!" ucapku."Semua terserah padamu, Ara. Semua keputusan ada di tanganmu," ucap Tante Merly sambil tersenyum sinis.Aku terdiam, mencoba untuk berpikir jernih."Sudah cukup!"Semua orang menatap ke arah pintu. Tampak Om Adam berjalan masuk dan mendekat pada kami. Papa seketika berdiri melihat kedatangan Om Adam."Sudah cukup kalian menyudutkan keponakanku!" ucapnya sambil seketika memasang badan di depanku."Memangnya kamu siapa?" tanya Tante Merly dengan senyum meremehkan. "Orang luar sepertimu tidak usah ikut campur pada urusan keluarga kami."Om Adam hanya menatap tajam pada Tante Merly."Orang luar? Lihat dirimu dulu sebelum berkata seenaknya," jawab Om Adam ya
Dokter Lutfi membiarkan pria yang menemuinya tadi pergi, lalu berdiri mematung seraya membuang napas. Setelah beberapa lama terdiam di sana, dia berbalik ke arah pintu. Dia tampak sedikit tersentak saat melihatku berdiri di sana.Dokter Lutfi membuang napas lagi, lalu berjalan ke arahku."Maaf ada sedikit masalah. Ayo kita makan lagi," ucapnya seraya mengajakku kembali masuk.Kami duduk kembali di atas tikar, lalu menikmati makanan kami lagi. Pikiranku berkecamuk. Aku urung menyuap, lalu melirik ke arah Dokter Lutfi yang masih menikmati makanannya."Dokter," panggilku lirih.Dokter Lutfi menghentikan makannya, lalu menatapku. Aku meletakkan sendok yang kupegang, lalu membalas tatapannya."Kau tidak bohong padaku, kan?" tanyaku lirih.Dokter Lutfi tampak tersentak, lalu menatapku dengan mata membulat."Katakan kalau Dokter tidak seperti orang-orang yang selama ini ternyata telah mengkhianatiku," ucapku lagi. "Katakan kalau Dokter tidak sedang membohongiku."Dokter Lutfi tampak terdiam,
"Tolonglah, San. Jangan putuskan kerja sama dengan perusahaan kami. Kami benar-benar membutuhkan bantuanmu," ucap Hermawan pada Hasan, rekan kerja sekaligus sahabat karibnya itu."Maaf, Wan. Aku sudah berusaha selama beberapa tahun ini, tapi bisnis kita tidak ada kemajuan sama sekali, malah cenderung menurun," jawab Hasan. "Kalau begini terus aku yang rugi, Wan.""Ayolah, San. Kita sudah membangun perusahaan besar ini bersama-sama dari nol. Kalau kamu mundur sekarang, aku bisa bangkrut. Masak kamu tega sih, San?"Hasan seketika terdiam. Mereka memang bersahabat sejak lama, dan membangun perusahaan besar itu bersama-sama. Tapi belakangan diperusahaan dia menemukan banyak sekali kejanggalan. Keuntungan yang mereka peroleh tak sesuai dengan kerja kerasnya selama ini. Dia tidak ingin curiga pada sahabatnya itu, tapi kenyataan berkata sebaliknya."San, please lah. Aku pasti akan segera menemukan orang yang melakukan kecurangan di perusahaan kita," ucap Hermawan meyakinkan Hasan lagi.Hasan
Om Adam menatap Ara, lalu membuang napas berat."Kau harus mempersiapkan diri untuk apa yang akan kau lihat," ucapnya lirih.Ara menatap Om Adam penuh tanda tanya."Mamamu satu-satunya saksi atas apa yang Hermawan dan Merly lakukan, tapi kondisinya saat ini ... ," Om Adam tak meneruskan kata-katanya.Ara mengerutkan kening, masih belum mengerti sepenuhnya apa yang Om Adam katakan."Sudahlah, ikutlah dengan Om," ucap Om Adam kemudian seraya berdiri dari duduknya.Dia mengajakku masuk ke dalam mobilnya, dan dalam beberapa menit mobil meluncur mulus menuju jalan kota yang ramai. Lumayan jauh juga perjalanan yang mereka tempuh. Hingga mereka sampai di sebuah gedung tinggi bernuansa putih.Mobil masuk ke dalam area parkir yang lumayan luas, lalu berhenti di antara beberapa mobil yang terparkir di sana lebih dulu. Om Adam mengajak Ara turun dari mobilnya.Sesaat Ara tertegun menatap gedung tiga lantai di hadapannya. Itu adalah sebuah rumah sakit, tapi bukan rumah sakit pada umumnya. Ya, ged
"Ternyata kemampuanmu memang bisa diandalkan. Hermawan pasti menyesal sudah melepaskanmu," ucap Om Adam sambil tersenyum bangga pada gadis yang sudah dianggapnya sebagai putrinya sendiri itu."Ara ingin menunjukkan padanya, bahwa dia mengira sudah membesarkan seekor kucing, tapi tanpa sadar justru singalah yang dibesarkannya," jawab Ara sambil tersenyum puas. "Menyuruh Evelin menggantikan posisiku di perusahaan itu sungguh menguntungkan kita.""Bagus, tunjukkan pada mereka kalau kamu tidak lemah, dan bisa merebut kembali apa yang sudah menjadi milikmu," ucap Om Adam.Ara tersenyum lagi, seraya mengangguk. Benar, sekarang masih ada banyak alasan untuk membuatnya tetap berjuang. Dia harus menuntut keadilan atas apa yang menimpa dirinya dan keluarga kandungnya....Ara memasuki kamar Mamanya sambil membawa nampan berisi sepiring makanan dan segelas minuman. Mamanya terlihat duduk mematung dengan pandangan kosong seperti biasanya. Tapi dia jauh lebih segar dari saat ketika di rawat di r
"Baiklah, kalau begitu aku permisi," ucap Ara sambil berdiri dari duduknya. "Silahkan kalian pikirkan baik-baik, jangan sampai memberikan keputusan yang salah.""Licik kamu, Ara!" ucap Evelin tajam. "Kau yang membuat perusahaan kami jadi seperti ini, dan sekarang datang seolah olah mau menolong. Kami tahu rencana busukmu!"Ara tersenyum, lalu berjalan mendekati Evelin dan berdiri di depannya. Ditatapnya sosok yang dulu sangat disayanginya layaknya adik kandung itu."Aku hanya mengambil kembali apa yang seharusnya memang milikku," ucapnya dengan suara datar. "Jadi ambil saja apa yang pantas jadi milikmu.""Apa maksudmu?" tanya Evelin seraya menatap tajam pada Ara.Ara tersenyum, lalu mengangkat telunjuknya dan menunjuk ke arah Ridho."Satu-satunya yang membuatku bersyukur telah kau rebut adalah dia, pecundang yang pernah berstatus sebagai suamiku!"Muka Evelin memerah, lalu seketika mengangkat tangannya, bersiap menampar Ara. Tiba-tiba seseorang menangkis tangannya sebelum berhasil men
"Ikutlah denganku. Aku akan menjadi tempatmu pulang."Ucapan Dokter Lutfi saat di pemakaman Mamanya itu terus terngiang di kepala Ara. Dia membalikkan tubuhnya berulang kali, mencoba memejamkan mata, tapi tak bisa.Akhirnya dia bangkit, lalu duduk sambil memeluk lutut. Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Apa dia merasa kehilangan Dokter Lutfi? Tapi sejak kapan dia memiliki perasaan lebih padanya?Ara memejamkan mata rapat-rapat. Tidak, dia tidak boleh seperti ini. Dia tidak boleh lemah hanya karena perasaan pada seseorang yang sudah menjadi milik orang lain. Dia sama sekali tidak berhak untuk itu.Ara kembali membenamkan wajahnya ke dalam bantal. Pengkhianatan Papa terhadap Mamanya, juga pengkhianatan Ridho terhadap dirinya sudah cukup sebagai alasan untuk tidak membuka hatinya pada laki-laki. Ara yakin ini hanya perasaan kecewa karena Dokter Lutfi ternyata hanya memberikan harapan palsu padanya.PRAAANG!!Ara tersentak kaget. Cepat-cepat dia bangkit dan berlari menuju dapur. Sudah d
"Perkembangan mental Nyonya Nindi sudah sangat bagus. Jika terus membaik seperti ini, ingatannya akan segera pulih kembali."Ara membuang napas lega mendengar ucapan Dokter spesialis jiwa yang mereka temui hari itu. Dia tersenyum seraya menatap Mamanya."Alhamdulillah Mama sebentar lagi sembuh," ucap Ara sambil memegang tangan Mamanya.Wajah Mamanya dari tadi tampak gelisah. Dia menatap Ara dengan cemas."Ara," ucapnya.Mata Ara membulat. Mamanya mengingat namanya!"Ridho mana, Ara?" tanyanya dengan wajah kebingungan. "Kenapa dia meninggalkanku, Mamanya?"Ara terkejut mendengar pertanyaan Mamanya."Mama mengenal Mas Ridho?" tanyanya kemudian."Dia Ridho, anakku," jawab Mamanya. "Dia anakku."Mamanya mengulang kata-kata itu sampai beberapa kali. Ara terdiam mendengarnya. Satu-satunya tempat di mana dia akan menemukan jawaban adalah rumah sakit tempat Mamanya dulu dirawat."Kita pulang dulu ya, Ma. Ara akan mencari Mas Ridho dan menyuruhnya pulang menemui Mama," ucap Ara berbohong.Mama