Share

AKU BISA TANPA KAMU
AKU BISA TANPA KAMU
Penulis: Reinee

IJIN PULANG

Penulis: Reinee
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-10 05:25:26

"Ibu sakit, Mas. Aku minta ijin pulang ya?" pintaku saat menghampiri tempat duduknya.

"Sakit apa?" tanya mas Bram yang sedang duduk-duduk di teras rumah bersama ibu dan dua adik perempuannya, bahkan tanpa menoleh sebentar pun ke arahku. 

"Aku belum tau, Mas. Barusan mba Santi ngasih kabar katanya semalem ibu pingsan, tapi katanya udah dibawa ke klinik."

"Ooh, ya udah, pulang aja sana nggak apa-apa," katanya enteng. 

Aku tercenung di tempatku berdiri. Heran dengan sikapnya yang begitu tak peduli dengan keadaan orang tuaku. Dia bahkan langsung melanjutkan obrolannya dengan ibu dan dua adiknya yang nampak serius. 

Ini memang bukan pertama kalinya sikap suamiku seperti itu jika menyangkut aku dan keluargaku. Namun kali ini benar-benar sangat menyesakkan.

"Mas," panggilku lagi.

"Ada apa lagi sih?" Setelah menoleh padaku, dia pun langsung berdiri dengan gerutu kesalnya sambil berjalan menghampiriku. 

"Bisa ngomong sebentar nggak? Ini penting, Mas," pintaku lagi. 

"Ya udah, ayo!" 

Dengan langkah cepat mas Bram menuju ke kamar kami, sedangkan aku mengikuti di belakangnya. 

Sesampainya di kamar, kulihat dia segera mengambil dompet dari celana panjangnya, lalu mengulurkan selembar uang 100 ribuan padaku. 

"Nih!" katanya sedikit kasar. 

"Cuma segini, Mas?" 

"Maunya berapa? Cuma buat ongkos jalan aja kan? Rumah ibumu juga nggak jauh-jauh amat."

"Bukan gitu, Mas. Ibu lagi sakit. Tadi mba Santi bilang butuh uang 1 juta buat bawa pulang ibu sore ini dari klinik. Boleh ya mas aku minta?"

"Apa? Satu juta? Gila kamu, Din. Kamu nggak denger apa tadi aku, ibu, Dira, sama Lina lagi ngobrolin apa? Minggu ini Lina waktunya bayar semesteran kuliahnya, trus Dira bulan depan mau nikah. Kamu tau berapa besar biaya yang harus aku keluarkan untuk itu semua?" 

"Iya mas, aku tahu. Tapi ini mendesak buat ibu. Cuma satu juta lho, Mas," rengekku meminta belas kasihan.

"Cuma kok satu juta. Ya biar dipikir lah sama mbak Santimu itu. Masa' aku yang harus mikirin juga. Urusanku udah banyak, Dindaaa."

"Ya Allah, Mas, mbak Santi nggak ada uang. Tau sendiri kan mbak Santi dan suaminya hanya  buruh kerjanya. Dia nggak punya mas uang segitu."

"Halah alasan saja mah itu. Makanya kalian itu jadi orang jangan miskin kenapa sih?" 

"Mas! Keterlaluan banget sih ngomongnya? Ya sudah kalau aku nggak boleh minta uang buat biaya sakit ibuku, aku pinjem dulu nanti aku kembalikan, Mas."

Tiba-tiba terdengar suara tawa suamiku yang menggelegar di dalam kamar hingga membuat Icha, anak semata wayang tiga tahun kami yang masih pulas tertidur jadi bangun karena kaget. 

"Apa? Pinjem kamu bilang? Kamu aja nggak kerja gimana caranya nanti mau balikinnya? Ada-ada aja kamu ini, Din."

"Mas, tapi aku serius. Aku bener-bener butuh uang untuk biaya ibu, Mas." Kali ini aku tak kuasa membendung air mata.

"Nggak bisa! Udahlah sana kalau kamu mau pulang nengokin ibu kamu, pulang aja. Nggak usah pake ikut mikirin biaya berobat dia atau apalah itu. Dah, aku mau nganterin ibu belanja keperluan pernikahan Dira dulu. Hati-hati nanti di jalan kalau mau berangkat," katanya kemudian. 

"Ya Allah, Maass!" teriakku.

Namun percuma saja aku meneriakinya, karena lelaki itu tetap saja pergi meninggalkan kamar kami menuju ibu dan saudara-saudaranya. 

Aku menghela nafas berat. Sesak rasanya dada ini. Selama ini mas Bram memang jarang memperhatikan keperluanku, apalagi keluargaku. Namun aku masih bertahan karena dia masih begitu perhatian dengan anak kami. Kali ini, kurasa sikapnya sudah benar-benar keterlaluan. Aku sudah tidak sanggup lagi rasanya. 

Dengan gerakan cepat aku pun segera mengganti bajuku dan anakku. Mengisi tas dengan beberapa lembar pakaian kami dan bergegas meninggalkan rumah yang sudah nampak sepi karena sebagian penghuninya sudah meninggalkan rumah ini dengan roda empat milik mas Bram beberapa menit yang lalu. 

.

.

.

Dengan angkutan umum, akhirnya aku dan anakku sampai juga di klinik tempat ibu di rawat. Mba Santi sudah menyambutku di depan pintu kamar perawatan ibu. Sadar bahwa aku datang tanpa membawa solusi untuk keluargaku, segera saja aku menubruknya dan menangis sesenggukan di dada kakakku itu.

"Maaf mba, aku nggak bawa uangnya. Mas Bram nggak mau memberikan uangnya padaku," kataku dengan terbata menahan tangis. 

Mba Santi segera mengelus punggungku dengan lembut. 

"Sudah nggak apa-apa, Din. Masalahnya sudah selesai kok. Pakdhe Arno tadi datang menjenguk ibu. Alhamdulillah semua biaya ibu sudah diselesaikan sama pakdhe."

Seketika kulepaskan pelukanku ke mbak Santi. Mataku membelalak lebar menatapnya. 

"Pakdhe Arno?" Dahiku berkerut penasaran.

"Iya Pakdhe Arno, saudara jauh ibu, anaknya kakaknya kakek. Kamu inget nggak? Yang tinggal di jakarta itu."

"Ooh itu. Iya mbak aku ingat. Jadi pakdhe kesini dan membayar biaya pengobatan ibu?" tanyaku meyakinkan.

"Iya, Din. Semuanya sudah beres, tinggal bawa pulang ibu nanti sore."

"Alhamdulillah," ucap syukurku dengan senyuman lega. "Trus dimana mbak sekarang pakdhe?" Aku celingukan mencari-cari sosok pahlawan yang telah menyelesaikan masalah kami itu.

"Sudah pulang baru saja sebelum kamu datang tadi. Oiya, tadi pakdhe juga nanyain kamu lho kerja apa katanya. Dia mau menawarimu kerjaan, Din. Pakdhe kan lagi buka cabang perusahaan barunya di kota ini."

"Maksudnya? Pakdhe buka kantor cabang di sini, mbak?"

"Iya, Din. Dan dia nawarin kamu kerjaan kalau kamu mau. Kecuali kamu tetep mau jadi ibu rumah tangga aja."

"Aku mau mbak. Aku mau. Aku memang lagi butuh kerjaan sekarang. Aku lelah bergantung terus sama mas Bram kalau setiap saat cuma selalu direndahkan seperti ini." 

Kutundukkan kepala lemas. Teringat kembali kata-kata menyakitkannya setiap kali kami bertengkar. 

Seandainya saja mbak Santi tahu apa yang mas Bram katakan saat tadi aku meminta uang untuk biaya pengobatan ibu. 

"Jangan terburu-buru. Pikirkan saja dulu matang-matang. Pakdhe rencananya juga akan tinggal lama kok di sini, Din. Jadi kamu bisa pikirkan dulu dan bicarakan dulu sama Bram."

"Nggak perlu, Mbak. Aku nggak perlu lagi ngomongin masalah ini sama mas Bram. Sudah kuputuskan, sudah waktunya aku mandiri. Aku lelah, aku yakin bisa sendiri kok tanpa dia."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (4)
goodnovel comment avatar
Ida Yakoub
lanjut bakalan seru kayanya.
goodnovel comment avatar
aliyauma akbarcan
wanita yang bijak sana
goodnovel comment avatar
Irwin rogate
cerita bagus senang ada istri yang mau berusaha tidak selalu bergantung pada suami brengsek.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • AKU BISA TANPA KAMU   RENCANA LAIN PAK ARNO

    Usai ditemui bu Intan, beberapa myhari berikutnya Hanif menjadi lebih waspada. Percakapan w******p Delisha dengan seorang yang disebutnya notaris yang menyuruh Delisha mengambil berkas-berkas penting di kantornya untuk dipindahtangankan secara paksa itu membuatnya harus ekstra hati-hati. Meskipun kenyataannya, Hanif harus mentertawakan kebodohan orang-orang yang menyangka bahwa perusahaan sebonafid milik pak Arno itu dipikir akan menyimpan berkas-berkas aset penting di kantor. 'Penjahat yang sangat bodoh rupanya,' kata Hanif dalam hati. Pak Arno bukan orang amatir dalam dunia bisnis. Perusahaan yang dirintisnya bertahun-tahun dari nol itu tak mungkin mengamankan berkas-berkas aset berharganya sembarangan. Orangtua itu jelaslah sudah menyimpannya di tempat yang sangat aman. Namun kenyataannya, Delisha memang membabi buta dalam bertindak. Mengincar harta ayah angkatnya dengan caara yang kotor namun tanpa perhitungan. Hingga kemudian hari yang ditunggu Hanif pun tiba. Saat pagi itu di

  • AKU BISA TANPA KAMU   KETAHUAN

    Hanif baru akan menyalakan mesin mobilnya di parkiran sebuah kafe usai bertemu dengan seorang klien malam itu, saat sebuah suara menghentikannya."Pak Hanif, tunggu!" teriakan seorang wanita. Saat Hanif menoleh, ternyata bu Intan sudah ada di samping pintu mobilnya yang kacanya belum sepenuhnya tertutup."Bu Intan? Ngapain di sini?" tanya Hanif keheranan."Pak, saya ingin bicara sebentar. Ini penting, Pak. Menyangkut bu Delisha," ucap wanita itu sedikit terbata. Hanif sontak mengernyitkan dahi. Haruskan dia percaya pada wanita yang ternyata sudah berkhianat pada kepercayaan yang diberikan selama bertahun-tahun oleh pakdhenya itu? Hanif ragu.Melihat ketidakpercayaan dalam sorot mata mantan atasanny

  • AKU BISA TANPA KAMU   KEMBALINYA ICHA

    "Baju-baju Icha mau diapakan, Yah?" Icha sedikit kaget melihat Bram sedang duduk di lantai rumah dan memasukkan baju dan barang-barang Icha ke dalam tas besar."Ke sinilah, Cha. Duduk dekat ayah," ucap Bram.Icha melangkah pelan mendekati ayahnya. Lalu duduk bersila sembari memperhatikan Bram yang hampir selesai memasukkan semua barang ke dalam tasnya."Ayah tau beberapa hari ini kamu sedang mikirin ibu. Kamu pasti kangen kan sama ibu?""Enggak kok, Yah," sahut anak itu."Dengarkan ayah dulu. Ayah ini sudah mengenalmu sejak kamu bayi, Cha. Ayah juga bisa merasakan apa yang kamu rasakan. Sama kayak ibu. Hari ini tadi ayah ketemu sama

  • AKU BISA TANPA KAMU   PENGAKUAN BU INTAN

    Kekacauan di rumah Hanif karena marahnya Santi dan bu Ranti rupanya terbawa oleh Hanif sampai di kantor. Penampilan sang direktur hari itu sangat kusut membuat beberapa staf berbisik-bisik usai menyambutnya."Tolong kumpulkan seluruh staf. Ada hal penting yang ingin saya bicarakan," kata Hanif cepat pada salah satu karyawan sebelum dirinya masuk ke ruang kerjanya.Delisha yang rupanya telah berada di ruangannya itu sedikit kaget melihat kekacauan di wajah Hanif."Ada apa? Kenapa kacau begitu, Hanif?" tanyanya basa-basi. Padahal wanita itu sudah bisa menduga pasti telah ada sesuatu yang terjadi di rumah Hanif hingga lelaki itu nampak sangat kacau pagi itu."Bukan urusanmu!" gertak Hanif. Dia b

  • AKU BISA TANPA KAMU   TERJEBAK

    Kian hari Delisha makin gencar mendekati Hanif. Sementara bu Intan berada pada dilemanya dari hari ke hari. Meski pada awalnya dia tergoda dengan tawaran sang anak angkat pemilik perusahaan untuk merebut kepemimpinan dengan iming-iming sebuah mobil mewah, namun rupanya semakin ke sini hatinya tak tega juga menyaksikan niat jahat Delisha pada Hanif."Tolong hentikan, Bu. Pak Hanif itu orang baik. Ibu jangan libatkan pak Hanif dalam rencana ibu," pintanya siang itu pada Delisha saat wanita itu datang berkunjung ke ruang kerjanya."Siapa sih memangnya yang melibatkan Hanif? Aku hanya memperalatnya saja, bu Intan. Itu beda.""Itu malah lebih menyedihkan, Bu. Saya mohon hentikan saja ini. Pak Hanif itu sangat dekat dengan Pak Arno. Saya yakin jika Anda bisa baik dengannya,

  • AKU BISA TANPA KAMU   KEGELISAHAN ICHA

    Malam itu pukul 12 malam, warung kopi Bram sudah tampak sepi. Lelaki yang sudah mulai sedikit tumbuh jenggot di dagunya itu terlihat sedang membersihkan peralatan kotor sambil sesekali melirik ke anaknya yang duduk termenung di sebuah bangku pelanggan yang kosong.Malam minggu, Bram biasanya membiarkan Icha untuk menemaninya hingga larut. Walau biasanya Icha akan sudah mengantuk saat jarrum jam menunjuk angka 9. Kali ini sedikit berbeda. Anak gadis kecilnya itu berulang kali mengatakan bahwa dirinya belum mengantuk kala Bram menanyainya. Hingga kemudian saat jam menunjuk angka 12, Icha pun masih terjaga menemani sang ayah berjualan.Selesai dengan pekerjaannya, Bram pun melangkah pelan menghampiri Icha dengan dua gelas teh panas di tangannya."Belum ngantuk juga,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status