"Apa, Mas? Kamu mau pukul aku? Pukul saja, ayo!" tantangku. Tapi dia justru bergeming.
"Kenapa diam? Biasanya juga begitu kan? Ayo pukul!" Sekali lagi kuberanikan diri untuk menantangnya. Aku bahkan sudah memejamkan mata. Hanya satu hal dalam pikiranku saat ini. Aku tidak akan diam saja saat nanti terjadi seperti sebelumnya. Kali ini semua perbuatannya akan kujadikan bukti untuk perjuanganku selanjutnya.
Karena beberapa saat tak merasakan apa-apa, aku pun membuka mata dan kulihat mas Bram tetap tak bergerak di tempatnya. Namun matanya menatapku sangat tajam. Sepertinya bukan karena kasihan yang membuatnya jadi terdiam sekarang ini, mungkin lebih karena dia kaget, aku yang biasanya ketakutan menghadapinya, kini berbalik menantangnya.
"Siapa yang membuatmu jadi seperti ini, hah!" tanyanya kemudian. "Kakakmu atau ibumu yang mengajarimu untuk menentang suami seperti ini? Jawaaabbb!" teriaknya.
Aku sudah berniat untuk membalas teriakannya saat tiba-tiba kudengar Icha menangis keras di kursi dimana tadi aku mendudukkannya. Rupanya teriakan keras ayahnya membuatnya takut. Segera kuhampiri gadis kecilku itu dan kuangkat ke gendongan.
"Pergi, Mas!" teriakku kemudian, walaupun tak sekeras seperti yang dilakukannya tadi. "Pergi dari sini atau kamu akan membuat anakmu lebih takut lagi! Icha butuh makan sebelum dia tidur. Kalau kamu masih punya hati, pergilah dari sini, tinggalkan kami!"
Dengan wajah masih bersemu merah karena marah, pada akhirnya dia pun meninggalkan kami juga berdua di dapur.
Sementara keributan tadi rupanya membuat ibu mertua dan kedua adik iparku begitu penasaran hingga mereka terlihat berdesakan di pintu dapur saking ingin melihat apa yang terjadi. Namun kemudian mereka segera membubarkan diri saat mas Bram melewati pintu itu.
Icha masih terus saja menangis di gendonganku sementara sebelah tanganku lanjut sibuk menyelesaikan pekerjaanku menyiapkan makan malam untuknya.
Untungnya tak butuh waktu lama untukku membuat anakku itu kembali tersenyum ceria lagi. Saat kududukkan di kursi sebelahku lalu kusuapi perlahan sesendok demi sesendok dengan mulutku tak henti bercerita tentang hal-hal lucu, akhirnya Icha pun kembali bisa tertawa lebar. Semoga saja, dia sudah lupa dengan bentakan ayahnya tadi dan bisa tidur dengan pulas malam ini. Karena biasanya Icha selalu menangis dalam tidurnya selama ini jika kebetulan melihat mas Bram berlaku kasar atau berteriak-teriak di rumah ini.
Saat akhirnya dua jam setelah itu Icha bisa tertidur pulas, kupandangi wajah mungil nan cantik itu sambil berjanji dalam hati.
'Tak lama lagi, hidup kita akan berubah, Sayang. Ibu janji,' ucapku dalam hati.
.
.
.
Pagi harinya aku memang sengaja menunggu mas Bram berangkat ke kantor. Semalaman aku sudah memikirkan apa yang akan kulakukan di hari berikutnya. Aku akan tetap memulai pekerjaanku di kantor Pakdhe Arno. Tapi aku tidak akan menitipkan Icha pada mbak Santi. Mbak Santi dan ibu tidak akan sanggup menghadapi mas Bram dan keluarganya jika nanti mereka datang untuk mencari Icha di rumah itu lagi.
Aku sudah berpikir keras kemana akan membawa anakku dengan aman dan akhirnya aku pun menemukan solusi. Diam-diam aku menghubungi seorang sahabat baikku, Ema, yang kebetulan saat ini sedang bekerja di sebuah yayasan penitipan anak yang lumayan terkenal di kota kecil ini. Semalam kami sudah berkencan untuk bertemu sebelum aku berangkat ke kantor hari ini.
Pagi buta sebelum subuh aku sudah bangun untuk menyiapkan sarapan ala kadarnya untuk kami. Urusan makan siang dan makan malam biar saja mereka pikirkan sendiri. Lagipula banyak orang yang hidup nganggur dan enak-enakan di rumah ini. Mereka lebih bertanggung jawab untuk itu.
Setelah memastikan mas Bram berangkat dengan roda empatnya menuju kantor dibarengi oleh Lina yang juga ke kampus untuk kuliah, aku pun segera keluar dari kamar sudah dengan seragam kerja lamaku yang masih kusimpan selama ini di lemari. Pakaian yang masih lumayan bagus karena jarang dipakai.
Dengan menenteng tas dan menggendong Icha di pinggang aku berjalan pelan keluar dari kamar. Usai sarapan, jam segini biasanya ibu mertua dan Dira, si calon pengantin, pasti kembali masuk ke kamar masing-masing untuk kembali bermimpi indah.
"Mau kemana kamu, Din?" Aku kaget saat tiba-tiba mendengar suara ibu mertua di belakangku.
"Kerja, Bu," jawabku singkat berusaha menyembunyikan kekagetanku.
"Kerja? Bukannya Bram sudah melarang kamu kerja? Kok masih nekat sih? Dan itu apa? Kok pakai bawa-bawa Icha segala? Kamu mau minggat dari rumah ini?" tanya ibu mertua penuh curiga.
"Iya, aku bawa Icha ke tempat kerja," sahutku sekenanya.
"Kamu jangan gila, Din? Bram nyuruh kamu untuk di rumah saja mengurus rumah. Kamu nggak nerimo banget ya jadi istri?!"
"Bukannya saya nggak nerimo, Bu. Tapi kenyataannya saya nggak pernah dikasih nafkah sama mas Bram. Itulah kenapa saya harus mencukupi kebutuhan saya sendiri."
"Lancang kamu, Din! Kamu itu istri, tugas kamu di rumah ngurus rumah, ngurus suami, ngurus anak."
"Saya tahu, Bu. Nggak perlu dijelaskan lagi. Saya juga sudah melakukan tugas saya dengan baik melayani suami dan mengurus anak. Selebihnya maaf, karena saya juga punya kebutuhan sendiri ya saya harus berjuang untuk diri saya sendiri. Saya pamit, Bu." Kataku cepat bermaksud melanjutkan langkahku meninggalkan rumah.
"Dinda!" Namun kemudian terdengar ibu berteriak hingga menghentikan langkahku lagi.
"Ada apa lagi, bu?" tanyaku malas.
"Kamu kembali ke kamarmu atau aku telpon Bram sekarang? Biar Bram bisa hajar kamu. Biar kamu nggak kurang ajar lagi jadi istri!"
"Silahkan, Bu. Saya sudah siap apapun resikonya. Permisi!" kataku tetap kekeh melanjutkan langkah yang tadi sempat tertunda.
Sementara itu di belakangku masih sempat kudengar ibu mertua berteriak-teriak memanggil Dira yang mungkin sedang tertidur pulas di kamarnya.
Dengan langkah cepat aku segera masuk ke dalam taksi online yang sebelumnya telah kupesan. Lega rasanya walaupun hatiku masih dipenuhi dengan tanda tanya. Kira-kira apa yang akan dilakukan oleh mas Bram nanti setelah mengetahui aku nekat pergi dari rumah untuk bekerja dan membawa Icha?
Tapi tekadku sudah bulat. Aku bahkan sudah siap dengan resiko terbesar yang mungkin akan terjadi dengan hidupku setelah ini.
Usai ditemui bu Intan, beberapa myhari berikutnya Hanif menjadi lebih waspada. Percakapan w******p Delisha dengan seorang yang disebutnya notaris yang menyuruh Delisha mengambil berkas-berkas penting di kantornya untuk dipindahtangankan secara paksa itu membuatnya harus ekstra hati-hati. Meskipun kenyataannya, Hanif harus mentertawakan kebodohan orang-orang yang menyangka bahwa perusahaan sebonafid milik pak Arno itu dipikir akan menyimpan berkas-berkas aset penting di kantor. 'Penjahat yang sangat bodoh rupanya,' kata Hanif dalam hati. Pak Arno bukan orang amatir dalam dunia bisnis. Perusahaan yang dirintisnya bertahun-tahun dari nol itu tak mungkin mengamankan berkas-berkas aset berharganya sembarangan. Orangtua itu jelaslah sudah menyimpannya di tempat yang sangat aman. Namun kenyataannya, Delisha memang membabi buta dalam bertindak. Mengincar harta ayah angkatnya dengan caara yang kotor namun tanpa perhitungan. Hingga kemudian hari yang ditunggu Hanif pun tiba. Saat pagi itu di
Hanif baru akan menyalakan mesin mobilnya di parkiran sebuah kafe usai bertemu dengan seorang klien malam itu, saat sebuah suara menghentikannya."Pak Hanif, tunggu!" teriakan seorang wanita. Saat Hanif menoleh, ternyata bu Intan sudah ada di samping pintu mobilnya yang kacanya belum sepenuhnya tertutup."Bu Intan? Ngapain di sini?" tanya Hanif keheranan."Pak, saya ingin bicara sebentar. Ini penting, Pak. Menyangkut bu Delisha," ucap wanita itu sedikit terbata. Hanif sontak mengernyitkan dahi. Haruskan dia percaya pada wanita yang ternyata sudah berkhianat pada kepercayaan yang diberikan selama bertahun-tahun oleh pakdhenya itu? Hanif ragu.Melihat ketidakpercayaan dalam sorot mata mantan atasanny
"Baju-baju Icha mau diapakan, Yah?" Icha sedikit kaget melihat Bram sedang duduk di lantai rumah dan memasukkan baju dan barang-barang Icha ke dalam tas besar."Ke sinilah, Cha. Duduk dekat ayah," ucap Bram.Icha melangkah pelan mendekati ayahnya. Lalu duduk bersila sembari memperhatikan Bram yang hampir selesai memasukkan semua barang ke dalam tasnya."Ayah tau beberapa hari ini kamu sedang mikirin ibu. Kamu pasti kangen kan sama ibu?""Enggak kok, Yah," sahut anak itu."Dengarkan ayah dulu. Ayah ini sudah mengenalmu sejak kamu bayi, Cha. Ayah juga bisa merasakan apa yang kamu rasakan. Sama kayak ibu. Hari ini tadi ayah ketemu sama
Kekacauan di rumah Hanif karena marahnya Santi dan bu Ranti rupanya terbawa oleh Hanif sampai di kantor. Penampilan sang direktur hari itu sangat kusut membuat beberapa staf berbisik-bisik usai menyambutnya."Tolong kumpulkan seluruh staf. Ada hal penting yang ingin saya bicarakan," kata Hanif cepat pada salah satu karyawan sebelum dirinya masuk ke ruang kerjanya.Delisha yang rupanya telah berada di ruangannya itu sedikit kaget melihat kekacauan di wajah Hanif."Ada apa? Kenapa kacau begitu, Hanif?" tanyanya basa-basi. Padahal wanita itu sudah bisa menduga pasti telah ada sesuatu yang terjadi di rumah Hanif hingga lelaki itu nampak sangat kacau pagi itu."Bukan urusanmu!" gertak Hanif. Dia b
Kian hari Delisha makin gencar mendekati Hanif. Sementara bu Intan berada pada dilemanya dari hari ke hari. Meski pada awalnya dia tergoda dengan tawaran sang anak angkat pemilik perusahaan untuk merebut kepemimpinan dengan iming-iming sebuah mobil mewah, namun rupanya semakin ke sini hatinya tak tega juga menyaksikan niat jahat Delisha pada Hanif."Tolong hentikan, Bu. Pak Hanif itu orang baik. Ibu jangan libatkan pak Hanif dalam rencana ibu," pintanya siang itu pada Delisha saat wanita itu datang berkunjung ke ruang kerjanya."Siapa sih memangnya yang melibatkan Hanif? Aku hanya memperalatnya saja, bu Intan. Itu beda.""Itu malah lebih menyedihkan, Bu. Saya mohon hentikan saja ini. Pak Hanif itu sangat dekat dengan Pak Arno. Saya yakin jika Anda bisa baik dengannya,
Malam itu pukul 12 malam, warung kopi Bram sudah tampak sepi. Lelaki yang sudah mulai sedikit tumbuh jenggot di dagunya itu terlihat sedang membersihkan peralatan kotor sambil sesekali melirik ke anaknya yang duduk termenung di sebuah bangku pelanggan yang kosong.Malam minggu, Bram biasanya membiarkan Icha untuk menemaninya hingga larut. Walau biasanya Icha akan sudah mengantuk saat jarrum jam menunjuk angka 9. Kali ini sedikit berbeda. Anak gadis kecilnya itu berulang kali mengatakan bahwa dirinya belum mengantuk kala Bram menanyainya. Hingga kemudian saat jam menunjuk angka 12, Icha pun masih terjaga menemani sang ayah berjualan.Selesai dengan pekerjaannya, Bram pun melangkah pelan menghampiri Icha dengan dua gelas teh panas di tangannya."Belum ngantuk juga,