“Siapa namamu?”
Aku duduk tegang di samping bajingan yang telah membeliku. Orang itu pasti berpikir kalau aku akan mengatakan semua hal yang diinginkan.
Tidak akan! Bahkan jika pria di sampingku ini memukuli aku seperti Ibu dulu, ia takkan mendapatkan apa-apa. Persetan dengan keselamatan yang telah diberikan. Siapa yang selamat? Jelas-jelas saat ini aku terperangkap!
“Tidak mau jawab, ya?” Lalu pria itu terkekeh-kekeh tertawa.
Aku merinding mendengarnya. Sementara sopir yang tadi menenangkan saat aku masuk ke dalam mobil hanya bisa melirik melalui kaca spion tengah. Harusnya pria tua itu membiarkan aku lari saja. Dengan begitu mereka tidak akan bertemu lagi. Dengan begitu sopir itu tidak akan membuat dosa.
“Kamu bisu?” tanya pria itu padaku. “Tadi sepertinya kamu berteriak keras sekali!” Yang keluar dari mulut pria gagah itu hanyalah ejekan.
“Biarkan aku pergi!”
“Hah?” Setelah menyuarakan ketidakpercayaan pria yang membeliku itu tertawa terbahak-bahak lagi. Tampaknya aku semacam hiburan untuknya.
“Aku akan membayar semuanya! Tolong biarkan aku pergi!” Aku bisa merasakan kalau mataku panas saat ini.
Apalagi saat pria yang membeliku menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ia bagaikan seorang pembeli yang menilai barang yang baru saja dibelinya.
“Kamu tahu aku membelimu dengan harga berapa?”
Mana mungkin aku tahu hal seperti itu. Aku hanya diminta untuk berdandan dan bersiap dijemput oleh pembeli.
“Aku pasti bisa mengumpulkan uang kalau bekerja keras!” Aku bertekad. Aku jelas-jelas memiliki tubuh yang sehat. Aku juga punya keterampilan dalam membersihkan rumah.
Walau aku sama sekali tidak tamat dari SD. Aku yakin ada banyak pekerjaan tanpa harus melampirkan ijazah. Aku tidak bodoh dan bisa membaca.
“Hah … benar-benar. Bagaimana sebenarnya orang-orang itu mengurusmu?”
Sampai kemarin aku masih diperlakukan dengan sangat baik. Tentu saja, aku adalah barang yang akan dijual dengan harga mahal.
“Pak, surat kontraknya ada di dashboard depan kan? Tolong ambilkan dan julurkan ke belakang sini!”
“Ya, Pak!” Suara sopir yang sedang menyetir terdengar ramah dan sopan, tetapi aku mengingat perlakuan orang ini. Orang di depan itu adalah orang yang jahat yang sama dengan yang duduk di sampingku.
Lembaran-lembaran dengan huruf kecil tersebut sampai di tangan pria di samping Ayu. “Kata orang itu kamu bisa membaca! Baca ini! Baca angka yang tertulis di sana!” Disodorkan padaku kertas-kertas itu.
Aku berusaha keras untuk tidak menyentuh jari-jari milik pria di sampingku. Kemudian saat kertas-kertas itu telah ada di pangkuanku, aku memperhatikan dengan sangat seksama.
Dengan ini Pihak kedua menerima uang sebesar RP. 150.000.00 dari pihak pertama.
Aku tidak pernah melihat uang sebanyak itu. Jadi aku tidak bisa membayangkannya. Tanganku mendadak menjadi gemetar hingga kertas-kertas yang dipegang berjatuhan ke lantai mobil.
“Kamu masih yakin mau membayar semuanya sendiri? Pikirkan berapa lama kamu harus bekerja untuk membayarnya!” Setelah mengatakan itu pria yang duduk di sampingku mendorong pintu mobil hingga terbuka. “Pikirkan dengan baik! Saat ini aku masih belum melakukan apa-apa padamu!” Ia menyeringai mengejek.
Aku menelan ludah susah payah. Kepalaku mendadak pusing. Tubuhku gemetar dan aku benar-benar ingin menangis. Kenapa ini terjadi padaku? Aku bertanya dalam hati.
***
Yang Aku butuhkan hanyalah seorang anak. Darah daging yang akan mewarisi seluruh harta kekayaan keluargaku. Namun istriku, Alina tidak suka memiliki seorang anak dari rahimnya.
Awalnya aku berpikir kalau itu hanya sebuah sindrom pasca pernikahan saja. Tetapi setelah 5 tahun akhirnya aku menyadari kalau semua itu adalah keegoisan Alina.
Alina memang mencintaiku tetapi wanita yang kunikahi itu lebih mencintai tubuhnya sendiri.
“Mana gadis itu?” Seorang wanita cantik berdiri di teras sambil berkacak pinggang.
Gaunnya yang berwarna merah menyala berkibar bagaikan kelopak bunga mawar tertiup angin. Rambutnya tergerai indah. Dan wajahnya bagaikan diukir, tanpa cacat sedikitpun. 5 tahun lalu aku jatuh cinta pada kecantikan itu. Sekarang walaupun cintaku tidak sekuat sebelumnya, aku takkan mencampakkan istriku hanya karena tidak memiliki anak.
“Masih di mobil!”
Wanita cantik itu, mengalungkan lengannya yang kurus dan jari-jarinya yang lentik di leherku. Kemudian dalam sekejap mereka berciuman.
Gatra tak merasakan apa-apa selain kewajiban.
“Kamu masih bisa berhenti dengan rencanamu sekarang!” Aku memperingatkan. “Kita bisa mengadopsi anak saja!” Aku kembali memberikan usulan yang sama sebelum menyetujui untuk memakai rahim wanita lain.
“Kamu sudah tahu jawabannya!” jawab Alina tersenyum.
Kalau soal persetujuan dari orang-orang tua yang ada di dalam keluargaku, aku yakin cepat atau lambat akan mendapatkannya. Orang-orang itu tidak akan punya pilihan lain selain menerima anak yang diadopsi kami nanti. Sebab hanya aku pewaris tunggal semua kekayaan yang dirintis oleh mereka.
“Aku sudah bilang kalau bisa mengurus semuanya kan?”
Masih belum terlambat untuk mengirim gadis yang baru saja dibeli kembali ke tempatnya. Ia sama sekali tak merasa sayang kehilangan uang sebesar 150 juta.
Ia bisa menganggap itu sebagai uang hilang. Kekayaan yang dimiliki tidak bisa dibandingkan dengan uang untuk membeli gadis itu.
“Aku tidak mau disalahkan! Kamu tahu kalau mereka semua membenciku kan, Gatra? Mereka pikir aku tidak cocok menjadi nyonya rumah ini!”
“Siapa yang bilang begitu?”
“Mereka! padahal aku sudah meninggalkan karirku yang cemerlang hanya untuk menikah denganmu!” Alina kembali merangkulku. Kemudian mengecup bibirku sambil lalu. “Dia pasti terkejut kan? Kalau begitu aku akan bertemu dengannya besok saja!”
Dahiku berkerut. “Kenapa harus besok?”
“Temanku ulang tahun! Aku akan ke sana untuk merayakannya.”
“Ini sudah malam! kenapa teman-temanmu selalu suka merayakan ulang tahunnya malam begini?”
“Kamu cemburu?”
Aku mendengus mendengar pertanyaan itu dan memilih untuk memalingkan wajah.
“Aku hanya akan pergi sebentar! Dengar ... Tidak ada yang bisa menyaingimu dalam segala hal! Jangan khawatir ada seseorang yang berhasil membuatku jatuh cinta.”
Padahal aku sudah mengatakan kepada diriku untuk tidak tersenyum. Tetapi aku tidak sanggup melakukannya.
Ciuman sebelum pergi kali ini lebih lama dibandingkan sebelumnya. Rasanya aku ingin membawa Alina masuk kembali ke dalam rumah.
“Aku mencintaimu!” Alina melepaskan pelukannya bersamaan dengan ciuman.
Gaun wanita yang kunikahi itu berkibar cantik saat berjalan. Sesaat sebelum masuk ke dalam mobil yang akan dibawanya, Alina berhenti dan menoleh ke belakang. Ia melemparkan kecupan ke arahku.
“Aku juga mencintaimu,” kataku pelan.
Setelah memastikan Alina benar-benar pergi barulah aku masuk ke dalam. Aku membiarkan pintu depan terbuka, karena seharusnya gadis yang kubawa tadi masuk bersama sopir.
Bahkan jika gadis itu memutuskan untuk tidur di mobil, aku sama sekali tidak keberatan.
“Bagaimana istrimu itu malah pergi dan bukannya mengurus keperluan suaminya!”
Sejak Alina mengumumkan bahwa dirinya tidak akan memiliki anak, ada banyak komentar buruk seperti ini yang didengar oleh aku.
“Aku cukup dewasa untuk mengurus diriku sendiri!”
“Kalau begitu seharusnya dia menjadi istri yang baik. Dia harusnya memberikan anak untukmu!”
“Oma, bukankah aku sudah bilang kalau aku akan mengurus soal anak itu! Alina sudah mengorbankan karirnya untuk menikah denganku! Bukankah kalian yang menyodorkan dia untuk menjadi istriku?”
Jika ada yang melakukan kesalahan maka orang itu adalah orang pertama yang mengajukan Alina sebagai calon istri. Orang pertama yang memperkenalkan Alina padaku.
“Andai aku tahu dia tidak mau memiliki anak! Aku tidak akan memperkenalkanmu padamu!”
“Kalau begitu bukankah itu impas?”
Barusan aku dengar apa?Aku menatap Gatra yang memandangku balik tanpa keraguan. Aku tahu kalau Gatra bukanlah seorang pembohong. Tetapi, menceraikan Alina sepertinya bukan hal yang mungkin.Bagaimana pun masalah yang menampar kehidupanku bagaikan angin topan adalah karena pernyataan Alina yang dengan terang-terangan tidak mau memiliki anak. Pria di depanku ini kemudian “membeliku” untuk menjadi rahim istrinya.Aku tertawa, tetapi sama sekali tidak bahagia. “Ini sama sekali tidak lucu, Tuan Gatra!” kataku padanya.“Aku sama sekali tidak sedang bercanda tuh! Apa menurutmu tampak seperti ini bercanda?” Gatra benar-benar tak tersenyum sedikit pun kulihat.Aku mengeleng pelan. “Kamu bercanda dengan hidupku menggunakan tampang seperti itu. Apa kamu ingat? Apa perlu kupanggil Pak Prana supaya memberitahumu!”Gatra sama sekali tidak gentar. Tatapannya masih sama saja seperti sebelumnya, tanpa keraguan. Dilain pihak, aku yang mulai ragu pada diriku sendiri sekarang. Bagaimana aku merasa bahag
Ayu mencintai Anda, Tuan! Tetapi, dia penuh dengan ketakutan saat ini! Dia takut Anda akan membuangnya. Hubungan kalian tidak dimulai dengan cara yang bagus. Bahkan ketika itu saya berpikir kalau Anda akan merasa bosan dengannya dan kemudian mencampakkannya. Yah, lalu saya memang ingin membawanya jauh dari Anda saat tahu kalau dia adalah putri kandung saja!Benar. Aku paham betul semua yang dikatakan Pak Prana. Aku juga bisa merasakan perasaan Ayu. Tetapi, jalan hidup wanita itu telah membuatnya tak bisa mempercayai dengan mudah. Ia telah dikhianati beberapa kali sebelum kemudian bertemu denganku.“Bahkan dia menangis di dalam tidurnya!” kataku pelan.Aku memandang garis pantai yang hitam legam. Kemudian memutuskan untuk mempersiapkan semuanya dengan benar. Semuanya harus dimulai dari pertemuan yang bagus lagi. Aku harus melakukannya kalau ingin memperoleh rasa kepercayaan Ayu.“Pak, bisa aku minta nomor ponsel Anda?”Pak Prana sepertinya tengah berusaha mencari tahu apa yang kurencan
Apa aku melakukan kesalahan? Aku jelas pergi seperti yang diinginkan?Aku sangat terkejut begitu melihat Gatra di halaman. Tanpa mempedulikan apapun, aku berlari pergi. Tapi, aku bisa tahu kalau orang-orang itu berteriak-teriak mencegahku untuk berlari. Hal yang tidak kuhiraukan sama sekali.Namun, pada akhirnya aku tersandung dan tergolek di atas gundukan pasir pantai. Secubit pasir masuk ke dalam mulutku, rasanya tidak menyenangkan dan aku terbatuk-batk karena hal itu.“Apa yang terluka? Ada yang sakit?” Suara penuh kekhawatiran yang kemudian disusul dengan penampakan wajahnya hanya beberapa inci di depan wajahku terlihat.Sial!Dorongan untuk berteriak dan memaki mendesak keluar. Akan tetapi, yang lebih dulu terlaksana adalah menangis. Aku tahu. Sebab pandanganku menjadi kabur karena itu. Aku terisak.“Kita ke rumah sakit! Tidak. Aku melihat tempat praktek dokter saat dalam perjalanan kemari!” katanya sambil mengenggam kedua bahuku, menarikku untuk berdiri.Aku mendorongnya hingga
Aku segera kembali ke rumah, meninggalkan segala pekerjaan yang ada di kantor. Pencarian ini lebih penting. Dan aku benar-benar harus bersiap jika tidak ingin kehilangan Ayu lagi.Suara putraku terdengar begitu aku masuk ke dalam rumah. Tampaknya dia terbangun dari tidurnya atau sudah saatnya anak lelakiku itu makan malam. Beberapa pelayan berlarian dengan nampan. Dan tak lama Oma muncul dari kamar yang harusnya dihuni Ayu dan putraku.“Ada apa, Oma?” tanyaku sedikit binggung karena Oma tampaknya dalam keadaan marah.“Wanita itu … kenapa dia tidak pergi dari rumah ini setelah kamu ceraikan!” teriak Oma di depan wajahku.Aku tahu betul siapa yang Oma maksud. Aku juga tidak mengerti kenapa Alina bertahan di tempat ini setelah kami bercerai. Bahkan sikapnya menjadi lebih baik pada Oma dan aku. Tentu saja itu tidak berlaku pada putraku dan Ayu.“Apalagi yang dilakukannya?”“Aku tidak melakukan apapun!”Aku menoleh lekas ke arah suara yang kukenali sebagai milik Alina. Wanita itu berdiri d
Berapa lama waktu yang diperlukan manusia untuk melupakan hal yang ingin dilupakan?Selama apapun aku memikirkannya, aku sama sekali tidak memperoleh jawaban dari apa yang aku inginkan. Aku tidak bisa melupakan hal yang ingin kulupakan walau berusaha setiap hari sekuat tenaga.Bagaimana bisa orang-orang berkata dengan mudah kalau manusia harus melangkah maju?Sudah tiga bulan. Benar. Suah tiga bulan sejak aku meninggalkan rumah Gatra. Luka cesar sudah kering sepenuhnya. Kalau aku merenung masih akan tiba-tiba berdenyut, tetapi hanya itu saja. Tidak ada hal yang lebih lebih dari itu.Benarkah? Yah … aku hanya mengatakan sesuatu yang angkuh saja. Sebab setiap kali luka itu berdenyut aku jadi ingat wajah anakku yang mirip Gatra. Aku jadi ingat Oma. Dan saat sendirian, aku jadi ingat suamiku.Ah … apakah aku masih bisa menyebutnya sebagai suamiku sekarang? Aku kabur loh. Aku melarikan diri dari manusia yang aku sebut suamiku itu karena takut. Aku takut harus mendengar dari mulutnya sebuah
Aku tertidur selama perjalanan. Begitu aku bangun, tak ada satu pun pemandangan yang aku kenali. Semuanya begitu asing, tetapi juga tidak kubenci karena indah.“Ini di mana?” tanyaku pelan sambil menguap dan mengucek mata.Bekas operasi cesarku tiba-tiba saja terasa sedikit nyeri sekarang. Aku mengerang sedikit, menengadah menatap langit-langit mobil. Beberapa kali aku mengambil napas panjang, berusaha menepis rasa sakit yan datang. Lalu pada akhirnya aku berhasil bertahan sedikit.“Kamu baik-baik saja?”Aku berusaha tersenyum pada Pak Prana, tetapi yang berhasil tercipta di mulutku hanyalah seringaian. Perlahan aku beringsut keluar dari mobil. Sedikit pusing saat pertama kali kaki ini menginjak tanah.“Kemarilah, aku akan memapahmu!” kata Pak Prana masih dengan perhatian yang terlihat tulus di matanya.Aku mundur selangkah hingga punggungku terbentur badan mobil. Kehangatan dan perhatiannya mengangguku. Aku tidak terbiasa dengan kebaikan hati seperti yang dipancarkannya saat ini.“Ak