Share

Saya Bukan Barang

Pemberitahuan yang bagaikan ledakan granat itu membuatku nyaris tidak bisa berpikir. Seolah mendukung ledakan tersebut, petir menyambar dengan sangat hebat dan kemudian hujan mulai turun dengan lebat.

Aku nyaris tidak tidur semalam.

“Yu!”

Aku mengangkat kepala, tidak tahu apa yang dirasakan kini. “Ya, Bi!”

“Sana mandi! Kita harus mulai sekarang. Orang-orang itu akan datang sekitar tengah hari. Dan aku harus pergi ke suatu tempat juga sebelum itu!” Bibinya menyusun kuas, kotak-kotak pipih berisi riasan, juga beberapa pakaian di dekat lemari meja rias dalam kamar sempit milik Bibi.

“Apa Ayu boleh nggak pergi, Bi! Ayu akan lakukan pekerjaan rumah dengan lebih baik!” Kali ini aku merasa seperti tercekik.

Gerakan tangan bibiku berhenti. Ia tidak berbalik, tetapi menatapku dari pantulan di cermin. “Apa mengurusi rumah ini bisa menghasilkan uang? Jangan bercanda! Kalau kamu nggak mau dijual ke orang sembarangan, maka cepat mandi sekarang!” Nada suara wanita yang biasanya ramah itu dingin.

“Baik, Bi!” Tidak ada yang bisa aku lakukan lagi. Setidaknya selama beberapa saat ini.

Aku mandi asal-asalan. Lalu keluar dengan melilitkan handuk di sekeliling tubuh. Rambutku setengah basah dan Bibi langsung menarik aku dengan kasar untuk duduk di depan cermin besar.

“Kenapa kamu tidak mengeringkan badan dengan benar? Sialan!”

Sebuah handuk lagi muncul dan dengan kasar digosokkan ke atas kepala. Setelah setengah kering, headdryer menyemburkan udara panas ke kepalaku. Aku memejamkan mata.

“Bibi apa yang ....” Aku protes saat handuk yang melilit tubuhku ditanggalkan.

“Apa memangnya? Tentu saja kita harus memberimu pakaian dalam yang baru!” Nada suara bibiku tinggi. Ia menyodorkan pakaian yang lumayan tranparan pada aku. “Pakai!”

“Ini pakaian dalam?” Aku tidak percaya.

“Kamu mau pakai sendiri atau aku yang pakaikan?” Bibiku membelalakan mata.

Ayu tersedak seketika. Aku meraih pakaian dalam yang tembus pandang itu dan memakainya dengan hati-hati karena takut robek. Setelah itu sang bibi memakaian gaun luar untukku.

“Bi, ini terlalu terbuka!” keluhku.

“Diam dan pakai saja!”

Aku direngut kembali, dipaksa untuk duduk di depan cermin dan dirias tanpa persetujuan. Tak lama aku telah selesai, tampak cantik dan siap dijual. Giliran bibinya yang berganti pakaian, menggunakan gaun yang sama dengan Ayu.

“Aku tidak mau mengirimmu ke sana, sungguh!” Pamanku memeluk pinggang sang bibi saat berada di ruang tamu. Aku melihat dari kamar tempat aku berada.

“Tapi, kamu tetap mengirimku, kan? Sialan! Bajingan!”

Suara klakson mobil terdengar. Kedua orang itu yang sedang berpelukan pergi keluar, mengintip siapa yang datang. “Jemputanmu!”

“Ini yang terakhir kan? Setelah anak itu terjual, kita akan pindah, kan?”

“Ya!”

***

Hujan di luar turun lebih lebat dibandingkan sebelumnya. Pamanku ada di ruang tamu, minum. Sementara itu aku tetap di kamar, menahan haus. Sesekali aku mengintip Paman dengan perasaan khawatir.

Saat aku mengintip untuk kesekian kalinya, pria yang  sejak tadi minum itu tengah terkulai lemas karena mabuk. Dan aku memutuskan untuk keluar mengambil minum.

“Paman ... apa yang Paman lakukan? Lepas!” Gelas yang ada di tanganku jatuh. Aku berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan pelukan pamannya itu dari belakang.

“Kamu itu cantik, Yu, seperti ibumu. Kakakku beruntung sekali memiliki ibumu walau pun dia waktu itu sedang hamil. Kamu mau sama aku aja nggak Yu!”

Aku mual. Aku meronta dengan cepat melepaskan diri dan lari. Aku merasa jijik pada diriku, pada pikiran pamanku.

“YU! AYU!” Pria itu sempoyongan mengejar keluar.

Aku berhenti di pintu, memandang jalanan yang basah karena hujan. Aku tak kenal kota ini. Tempat terjauh yang kudatangi adalah ujung jalan tempat warung berada. Namun, Kali ini adalah satu-satunya kesempatanku untuk pergi. Aku harus melakukannya.

“Ayu! Kalau kamu pergi ... bisa saja kamu ditemukan ibumu!” Beberapa waktu sebelumnya pasti aku akan kembali masuk ke dalam, tapi sekarang tidak.

“Ayu nggak mau di sini lagi!” Aku melangkahkan kaki yang telanjang ke arah jalanan yang basah. Berlari sekuat tenaga. Aku tak akan tertangkap. Aku bukan lagi anak-anak.

Namun, pelarianku berhenti hanya berjarak 100 meter dari rumah. Sebuah mobil menyerempetku. Aku tak terluka parah, tapi kakiku sakit.

Dari pintu-pintu mobil keluar dua orang laki-laki. Satu memakai jas, yang satu lagi memakai kemeja putih.

“Ah, Anda sudah datang ya? Anak ini baru saja mau melarikan diri!” Suara pamanku terdengar di antara hujan. Layaknya setan yang berbisik dengan cara mengerikan.

“Sekarang dia sudah tidak bisa lari sepertinya!” Entah siapa yang saat ini bicara.

Hujan sudah membutakanku. Aku merasakan panas di mata dan leherku kembali tercekik.

“Uangnya sudah disiapkan, Pak?”

“Saya bukan barang!” Aku  mendesis bagaikan ular berbisa yang mengancam.

Kepala-kepala itu tertunduk ingin tahu. Aku tidak bisa melihat jelas. Pandanganku masih kabur. Mungkin karena hujan, atau bisa saja karena rasa takut.

“Sayangnya kamu sudah dijual dengan harga yang pantas oleh pria ini. Kamu tidak bisa melarikan diri sekarang?”

Aku masih tidak tahu siapa yang bicara.

Aku berusaha berdiri, menyeret kakiku yang sakit untuk pergi dari tempat itu. Aku bukan barang, berkali-kali kukatakan hal yang sama pada diriku.

“Bisa bawa calon istri saya masuk ke dalam mobil, Pak?”

Segera tangan-tangan kekar mencengkeram bahuku, setelah menyelimutiku dengan jaket yang tak tahu dari mana. Aku berontak. “Lepas! Lepaskan saya!” Tapi, setiap kali berontak kakiku semakin sakit saja.

“Jangan melawan, Nak! Selama tidak melawan kamu akan baik-baik saja.” Suara pria yang bicara padaku lembut, begitu menenangkan, nyaris seperti mendiang Ayah.

“Tapi, saya nggak mau! Saya nggak mau!” Akh menangis, masih belum pasrah untuk masuk ke dalam mobil.

Dari tempatnya berdiri sekarang aku bisa melihat Paman menerima koper. Wajahnya sangat senang. “Ini cash, kan?”

“Tentu saja! Semuanya 150 juta rupiah, tunai! Terima kasih!”

Kepalaku ditekan ke bawah. Layaknya lubang hitam yang menyeramkan, pintu mobil menelanku seketika. Bertepatan dengan itu pria yang menyerahkan koper tadi masuk ke dalam mobil juga.

“Bajingan!” Aku memakinya.

Pria itu hanya memandangku sedikit. Tatapannya jelas meremehkan. “Bukannya kamu harus bersyukur karena aku yang membelimu?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status