Share

Part 6. Ipah purik.

Aku Bukan Menantu Impian.

Part 6. Ipah purik.

Pukul 06.30. Mobil travel yang di tumpangi Ipah berhenti tepat di depan rumah Ibu mertua. Ipah pulang bersama tiga orang anaknya. Sementara tiga lainnya tinggal di Jakarta bersama suami dan mertua Ipah.

Aku tersenyum menyambutnya, dan sedikit berbasa basi. .

"Sehat Mbak?" Ipah menyalami tanganku dengan senyum terukir di wajahnya

"Alhamdulillah sehat,"jawabku singkat.

Ada yang berubah dengan Ipah. Ia mau menegurku lebih dulu. Bahkan menyalamiku. Berbeda ketika terakhir kali kami bertemu. Ia tak mau bicara kalau aku tak mengajaknya bicara. Bahkan ketika aku basa basi bertanya, ia hanya menjawab sekenanya. Lebih banyak diam tak menjawab.

Mungkin, karena sekarang aku sudah punya rumah sendiri. Sudah tinggal pisah dari Ibunya, dan merasa ia tak bisa lagi menindasku, fikirku.

Aku bawakan jajanan untuk anak-anak Ipah. Yang paling kecil umur setahun, kemudian tiga tahun dan yang paling besar, sekitar lima tahun.

Kemudian aku tinggalkan Ipah ketika Ibu menghampirinya.

Biarkan dia melepas rindu atau mungkin Ibu mau menceritakan tentang aku,seperti biasanya. Bodo amat!

Tapi, beberapa saat kemudian, yang ku denger Ibu malah bersumpah serapah.

"Dari dulu Ibu suruh kamu pisah. Suami pemalas seperti itu kok di bela belain. Sekarang anak kamu sudah banyak. Kebutuhan kamu sudah banyak. Baru sekarang kamu sadar?" Ibu terus nyerocos menyambut kedatangan Ipah.

'Oh, jadi ceritanya Ipah sedang purik. Alias pulang kampung dalam keadaan ngambek dan akan tinggal di kampung,' batinku dengan kepala menganguk tanda mengerti.

Sejak melahirkan anak ke enamnya, setahun yang lalu, Ipah dan anak anaknya di boyong suaminya ke rumah mertuanya. Karena Berat membayar kontrakan dengan gaji seorang ART. Sementara suaminya, kadang kerja, kadang tidak. Lebih banyak nganggur nya.

'' Untuk makan pun sangatlah berat," katanya.

Maka itu mereka kemudian tinggal bersama keluarga Robi, suami Ipah. Di dalam rumah yang kecil, dan dengan beberapa adik Robi yang juga sudah berkeluarga dan punya beberapa anak.

"Mertuamu baik kan Pah?" tanya Meli sang tetangga mendengar cerita Ipah.

"Hugh.. apanya yang baik. Kalau di kasih duit ya baik. Aku kan jarang punya duit. Jarang ngasih duit. Makanya mertuaku benci banget sama aku dan anak anakku. Boro boro kasih duit buat Mertua, buat makan sendiri kadang tak cukup. Mana Robi nganggur melulu, ,malas banget dia kerja. Eh malah sekarang dia pacaran sama janda," keluhnya.

Ipah nyerocos menceritakan kisah pilu hidupnya sambil sesekali berlinang air mata.

Ah Ipah, mungkin derita mu lebih dari apa yang ku alami. Semoga dengan ini,membuat Ibu mu bisa menghargai aku sebagai menantu. Karena sesungguhnya menantu pun adalah seorang manusia.

Sekarang, Ipah ingin menata hidup di kampung. Tak ingin lagi mengikuti Robi tinggal di Jakarta. Apalagi serumah dengan sang mertua yang kata Ipah jahat dan matre.

Tentu saja kisah hidup Ipah yang begitu miris, membuat Mertua ku bengong. Padahal selama ini juga sering di bantu kirim uang. Tapi semua tidak membuat keluarga anaknya berubah lebih baik. Bahkan lebih hancur dari sebelumnya.

Terbayang, bagaimana Ibu mertua bisa menghidupi anak anak Ipah, apalagi kalau suami Ipah menyusul dan membawa tiga orang anaknya lagi. Nampaknya, mertuaku sudah kebingungan sendiri.

Dulu saja, anak Ipah baru satu sudah ribut terus menerus. Kebutuhan dapur tidak terpenuhi karena suami Ipah selalu nganggur. Bagaimana dengan sekarang? Anak Ipah sudah banyak. Apa iya mau pisah kompor, seperti kehidupan nya dengan sang menantu selama ini?

Lalu siapa yang akan menafkahi Ipah dan anak anaknya selama tinggal di kampung? Apa mungkin suaminya mau kirim uang untuk Ipah? Bukankah Ipah pulang juga karena suaminya tidak pernah kasih uang padanya.

Tiba tiba, ku lihat badan Ibu oleng dan limbung. Beberapa saat kemudian Ibu terduduk dikursi sambil memegangi kepalanya, lalu jatuh pingsan.

Aku berlari ke arah Ibu. Menangkap tubuh Ibu supaya tidak terjatuh. Sambil berteriak memanggil Mas Ridwan. Begitu juga Ipah dan Meli yang sedang bercengkerama. Kami sama sama terkejut bukan main.

"Mas! Mas Ridwan. Tolong Ibu Mas!"

Mas Ridwan berlarian ke arah Ibu. Lalu membopong tubuh ibunya di bantu Ipah dan aku. Beberapa saat Ibu tak sadarkan diri.

Ibu di bawa kerumah sakit terdekat.

Tiga hari sudah ibu di rumah sakit, keadaan Ibu sudah lebih baik. Kata dokter,darah Ibu naik, dan ada gejala stroke. Ibu boleh di bawa pulang dan melakukan rawat jalan.

Biaya rumah sakit cukup besar. Mas Anton anak pertama dan Heru anak kedua Ibu, pulang.

Bertiga suamiku, mereka membayar biaya rumah sakit.

Ibu susah sekali untuk bicara. Kakinya terasa berat. Hingga Ibu juga susah berjalan. Tangan kanannya lumpuh. Tapi yang kiri masih bisa di gerakkan.

Untuk saat ini, Ibu harus istirahat total.

"Ini semua karena kamu Ipah!!" bentak Mas Anton di sore itu.

" Rumah tanggamu yang selalu menyusahkan ibu."

"Kamu nyalahin aku Mas?" Ipah tak terima di salahkan.

"Ya. Kamu kalau ada masalah dikit-dikit sudah laporan sama Ibu."

"Ya tuh. Ga bisa selesaiin sendiri masalahnya." tambah Mas Heru.

"Dah pada tua anak juga udah banyak, masih saja ngga berubah. Buat apa kamu dulu minggat, terus balik lagi. Tapi masalahnya tetap sama."

'Nah kena kamu sekarang Pah,'aku mencibir.

Di keroyok sama saudara kamu sendiri. Di saat tak berdaya, dan tak mampu berbuat apa apa. Hai, rasakan itu, itu yang aku rasakan dulu saat kamu caci maki aku.

"Ja-nga-ngan ma-ra-hi di-dia!"

Ibu mertua berucap. Terpatah patah. Susah sekali.

'Nah itu Bu, kisah hidup Ipah jauh lebih miris di bandingkan aku. Aku yang kau benci dan sering kau caci maki, selalu di lindungi oleh Mas Ridwan dengan penuh kasih sayang. Tapi lihatlah Ipah, anakmu. Bahkan suaminya pun tak perduli dengannya lagi. Penderitaan Ipah akan Kau rasakan juga, Ibu Mertuaku tersayang,

Dua hari berikutnya, Mas Heru dan Mas Anton pamit pulang. Pekerjaan nya tidak bisa menunggu lebih lama. Anak dan istrinya pun mengharap mereka untuk segera pulang.

"Yani," kata mas Anton pagi itu. Ada Ipah, Mas Heru dan Mas Ridwan juga.

"Saya minta tolong kamu jaga ibu ya," katanya.

"Kalian keluarga terdekat Ibu."

"Loh Mas, sejak kapan Ibu anggap saya kelurga terdekatnya? Coba Mas tanya dulu ke Ibu, kalau Ibu nggak terima nanti malah sakitnya lebih parah loh," aku menyindir.

" Tidak begitu juga Yan,," tambah Mas Heru." Ridwan dan keluarganya lah sekarang yang bantuannya sangat di perlukan Ibu."

" Sekarang!? Kemarin kemana kalian, waktu aku di caci maki Ibu. Kemana kalian waktu sepanjang hidup ku di tindas. Kemana kalian ketika saya tidak punya harga diri di rumah ini. Apakah kalian ada yang membela saya di depan Ibu.Kamu juga Mas,"aku menunjuk Mas Ridwan. "Apa kamu pernah membela aku di depan Ibu kamu. Kamu hanya diam waktu saya di caci maki. Sekarang saja kalian bilang aku kelurga dekat!"

Aku bicara dengan nada yang sedikit terbawa emosi. Mereka yang mendengar hanya terdiam.

Suasana hening, tak ada yang menjawab. Ku rasa Ibu juga mendengar ucapan ku, karena pembicaraan kami ini ada di depan kamar Ibu.

"Yan," kata Mas Anton akhirnya. "Atas nama Ibu aku minta maaf, Ridwan juga sering curhat sama aku tentang perlakuan Ibu padamu. Maaf aku juga nggak bisa berbuat apa-apa. Dan dengan kejadian yang menimpa Ibu, mungkin Ibu akan berubah."

Terlambat! bisa apa Ibu dengan keadaannya sekarang?

Tak berubah pun tak masalah buat ku, aku bisa menghidupi keluargaku sendiri. Apalagi aku sudah pisah rumah. Hidupku sudah normal, tidak akan ada lagi tekanan dari keluarga kalian.

Dulu, kalian tidak berbuat apa-apa, tapi saat ibu kalian tak berdaya, kalian minta bantuan ku.

"Kan ada Ipah," sahutku sinis menunjuk Ipah.

"Ipah tidak bisa di andalkan. Dia juga punya bayi."

Kami semua melirik ke arah Ipah yang merengut. Wajahnya di tekuk. Kesal tapi tak bisa berbuat banyak.

" Hmm. Lihat aja nanti, kalau aku sempat," jawabku sambil pergi meninggalkan mereka.

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status