Share

Part 5.Ketika suami kembali kerja.

Aku Bukan Menantu Impian

Part 5.Ketika suami kembali kerja.

Beberapa bulan telah berlalu. Kisah menantu dan mertua bergulir seperti biasa.Tak ada yang istimewa, tak ada pula yang berubah.

Hubungan Ibu dan Ipah nampaknya sudah membaik.Terlihat beberapa kali ibu menerima telfon dan juga mengirim uang untuk Ipah. Suami lpah tidak bekerja. Hanya Ipah yang bekerja sebagai ART. Tentunya tidak cukup untuk makan dan bayar kontrakan. Karena itulah Ipah menelpon ibunya untuk minta kiriman uang.

"Biasanya yang dari Jakarta kirim uang untuk yang di kampung. Tapi ini terbalik. Yang di kampung kirim uang untuk yang di Jakarta," nyinyiran dan sumpah serapah mertuaku. Masalah sumpah serapah tentu Ibu belum berubah. Masih seperti biasanya.

Kondisi negeri sampai saat ini belum juga pulih.Tapi Setidaknya, ada sedikit kelonggaran peraturan, yang diberikan pemerintah, demi berjalannya roda perekonomian.

Mas Ridwan kembali bekerja di tempat semula. Ekonomi keluarga kecilku ikut bergerak. Walau sedikit, Mas Ridwan sudah aktif terima gaji setiap panenan.

Namun, drama kembali di mulai,,

Mertua sibuk sekali mencari cari kesalahanku. Beliau bahkan mencari bala tentara untuk membenciku. Curhat, sana sini pada para tetangga juga saudara yang tinggal agak jauh dari rumah, yang bahkan aku belum mengenalnya.

Bagaimana bisa mengenal, sejak awal kami datang, ibu tidak pernah mengenalkan ku pada saudaranya.Hanya mereka sendiri yang datang mengenalkan diri padaku, sambil menunjukkan salah satu sifat Mertuaku.

"Harusnya dikenalin sama saudara, ini malah datang ke kondangan, sendiri aja. Memang begitu sifatnya. Kayak mampu hidup sendiri. Nggak nyadar udah tua, nggak butuh anak cucu apa?" begitulah komentar salah satu saudara.

Aku mengagguk sembari tersenyum.

Tetangga, satu persatu mengadukan ucapan mertua yang menjelekkanku.

"Mba Yani," panggil Mbok Lastri padaku ketika aku pulang dari warung untuk belanja sayuran. Mertua sudah tidak lagi membuka warungnya

Katanya, banyak kerugian karena diambil Mas Ridwan dan anak anakku. padahal yang mengisi warung itu aku, menggunakan uangku. Tapi aku juga sudah tidak lagi memusingkannya,,sejak ku tau bagaimana sifat Mertuaku.

"Kenapa Mbok ?"aku menoleh padanya dan berjalan beriringan dengannya.

"Mbak Yani katanya nggak pernah ngurus suami yah? Yang kasih makan Mas Ridwan aja mertua Mbak," katanya.

Aku terdiam.

"Kata siapa Mbok?" tanya ku.

"Ya kata Mertuamu."

"Oh, Enggaklah Mbok. Kalau Mas Ridwan makan masakan Ibunya ya wajar saja. Namanya ibu. Tidak bisa di gantikan dengan siapapun. Apalagi masakannya."

"Memang dari dulu Mertuamu tidak berubah. Nggak anak sendiri, nggak menantu. Pasti jadi musuh,"

"Biarin ajalah Mbok, nggak usah di urus."

"Mbak Yani yang sabar yah, memang orangnya begitu dari dulu."

Sambil berjalan , Mbok Lastri juga sedikit bercerita tentang mertuaku yang dulu juga berkonflik dengan Ipah. Sewaktu Ipah tinggal bersamanya. Aku hanya diam mendengarkan.

Entah dan biarkanlah, pikirku.

Esok harinya, lagi-lagi aku mendengar laporan dari tetangga yang lain.

Sebenarnya sudah berapa banyak tetangga, yang sudah ibu hasut untuk menjelekkanku?

"Mba Yani, katanya Mba nggak pernah membuat kopi buat suami Mba yah?"

"Kata siapa?"

"Kata mertuamu."

Aku hanya menghela napas saat mendengar kalimat itu. Lagi dan lagi. Apa ibu tidak bosan?

"Oh, mungkin karena suami saya nggak pengen ngopi, atau kopi sedang abis. jadi saya nggak buatin," jawabku asal.

Aku lelah menjelaskan kebenaran pada ibu ibu julid yang menyapaku, untuk sekedar bertanya hal yang sangat tidak penting.

Ibu, memang benar-benar keterlaluan, dia telah menyebar keburukan yang tidak aku lakukan kepada semua orang, rasanya tidak ada seorang yang tersisa.

Jorok, malas, pelit, dan semua kejelekan lainnya telah ia sebar atas nama diriku.

Tapi bodo amat!

Mau ngomong sampai mulutnya pindah kebelakang pun, aku sudah nggak peduli. Yang penting aku tidak bersalah dan suami percaya padaku, menyayangiku, menafkahi ku, dan juga anak-anakku.

'Bodoh amat dengan yang lain.Tak perlu juga memikirkan hal tak penting. Siapapun dia, kalau hanya ingin meruntuhkan masa depanku dan keluargaku, maka dia bukanlah orang penting bagiku.'

*****

Hari ini, Ipah kembali datang bersama anaknya dan tanpa suami. Aku menyambut kedatangannya dengan baik. Ku layani dia bak seorang tamu dan bertanya mengenai beberapa hal untuk mencairkan suasana tetapi dia hanya menjawab sekenanya, dan banyak terdiam.

'Mungkin dia sedang lelah,' pikirku.

Aku berharap, kedatangan Ipah memberi sedikit pencerahan bagi Ibunya. Aku berharap Ipah memberikan nasehat pada Ibunya untuk tidak terlalu membenciku. Karena aku tau, Ipah pernah ada di posisiku. Hanya bedanya Ipah anak kandung sementara aku hanya menantu.

'Siapa yang akan mengurus Ibu nanti kalau sudah tua. Anak-anak Ibu kan jauh. Siapa yang akan menjaga Ibu, kalau bukan Mas Ridwan dan anak istrinya,' aku berharap Ipah bicara begitu.

Secara, dulu Ipah kabur juga karena tak tahan dengan sifat ibunya. Karena itu Ipah pasti tau apa yang aku rasakan.Aku juga yakin Ibu pasti curhat sama Ipah. Mengingat Ibu selalu curhat dengan siapa saja yang di temui nya.

Tapi, lima hari berlalu...

"Ternyata kalian ini nggak ada gunanya juga tinggal serumah sama Ibu, kalau masak aja Ibu harus sendiri, apa apa sendiri. Kalian di sini kan hanya numpang," kata Ipah sore itu. " Ingat. Kalian itu hanya numpang."

Aku bingung. Bicara sama siapa dia? Apa, sedang telponan sama suaminya?

Tapi tidak! Ipah yang tadi ada di kamar Ibunya kini datang mendekatiku yang duduk berdua suamiku.

"Hei, mbak Yani," telunjuknya terarah padaku.

"Kamu dan anak-anak kamu itu numpang di rumah ini. Jadi jangan sok menguasai rumah ini," ucap Ipah melabrak.

"Kamu ngomong sama aku Pah!?" ujar ku.

"Terimakakasih sudah di ingatkan. Tanpa kamu bicara pun aku sudah tau kalau aku numpang, dan tidak ada yang menguasai apapun disini, suatu hari kamu akan mengingat ucapanmu ini."

Mas Ridwan terdiam. Wajahnya memerah. Butiran bening kembali ada di ujung matanya.

Samar-samar aku masih mendengar sumpah serapah Ipah yang pergi meninggalkan aku dan Mas Ridwan.

Aku menoleh Pada Mas Ridwan dengan napas masih memburu. Sepertinya jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya.

"Ada apa sih Mas?! Tuh orang kenapa?" tanyaku agak heran.

"Kenapa nggak ada hujan nggak ada angin dia bersumpah serapah seperti itu. Ucapannya kasar?"

'Persis kayak ibunya, pikirku.

"Tadi sepertinya Ibu ngadu sama Ipah. Mas sih dengar dikit dikit," jawab Mas Ridwan.

Tak ada yang bisa diharapkan dari Ipah. Kedua wanita itu sama. Hanya bisa menghakimi. Hanya bisa mencari kesalahan dan keburukanku, untuk menyakitiku.

Tak adakah sedikit saja kebaikan yang nampak dariku?

Tidak. Kalian tidak akan menemukan kebaikan itu. Karena yang kalian cari hanya keburukanku.

Apa yang salah dari ku? Aku menumpang di sini karena ini rumah suamiku.

'Ini terakhir kalian merendahkan aku, dan setiap kata yang kalian ucapkan, akan ada di dalam hati ku seumur hidup. Catat dan ingat itu!' janjiku dalam hati.

Sejak hari itu, aku tak punya lagi airmata. Aku tak punya rasa. Aku benar benar sudah tak peduli dengan wanita tua itu. Tak sedikitpun aku merasa punya yang namanya mertua.

Aku dan Mas Ridwan rajin bekerja. Kami sedikit demi sedikit mengumpulkan uang, demi bisa membuat rumah. Supaya aku segera pisah rumah dengan mertua.

Suatu hari, di warung sayur di mana kami biasa membeli keperluan sehari hari, aku melihat Mertua tengah berbelanja. Ada berbagai macam sayuran sudah ada ditangan nya.

"Itu aja Mak sayurnya?" tanya si tukang sayur.

"Iya. Segini aja. Namanya orang Sudah tua. Nggak ada yang ngasih, belanja dikit aja "jawab Mertuaku.

"Amin, Bu. kalau nggak ada yang ngasih. Amin. Moga moga jadi kenyataan," aku menjawab.

Ibu segera pergi dan meninggalkan sayuranya. Tidak jadi membeli karena mendengar jawabanku yang tiba tiba muncul.

'Ku rasa Ibu tak pantas selalu bicara seperti itu. Anak anaknya selain Ipah, ku rasa sering kirim uang. Mas Ridwan juga. Setiap gajian memberi uang pada ibunya, walau mungkin jumlahnya tidak banyak. Sekali lagi ucapan adalah doa. Apalagi bila di ucapkan berulangkali oleh seorang ibu. Ibu adalah malaikat bagi anak anak nya, yang di telapak kakinya terletak surga.

"Sabar Mbak. Ga usah di perpanjang," ucap tukang sayur merasa tidak enak.

"Nggak apa apa Pak, dah biasa," jawabku.

Aku bergegas pulang setelah membayar keperluanku hari ini.

Di Rumah ternyata Ibu sedang kebakaran jenggot. Sambil mengomel tidak jelas.

Dumbrang... Dumbreng...Dumbrang!!!

"Bu kenapa? kok ngamuk-ngamuk?" tanyaku berbasa basi.

"Dasar menantu tak tau diri. Udah numpang sombong."

"Bu," kataku pelan menahan emosi.

"Ibu kan juga punya anak perempuan yang sekarang juga numpang pada mertua nya. Apa Ibu tidak kasian misalkan anak Ibu di caci maki mertuanya setiap hari seperti saya. Apa ibu tidak sedih anak Ibu numpang di rumah orang yang sangat membencinya?"

"Anak saya tidak numpang! Dia ngontrak," bukannya memahami kata kataku tapi justru Ibu semakin emosi.

"Bu, Walau saya numpang di rumah Ibu, tapi Mas Ridwan itu rajin cari uang buat keluarganya. Jungkir balik di jalanin demi anak istrinya. Kami tidak pernah minta apapun pada Ibu. Tapi Ibu membenci saya dan anak-anak saya. Ingat Bu. Suami Ipah itu pemalas. Tinggal sama mertua aja dia malas. Apa lagi sekarang tinggal dekat orang tuanya.Bagaimana kalau hal buruk menimpa Ipah? Lebih buruk dari yang saya alami. Bukan hanya Ipah, tapi Ibu juga akan merasakan, seperti apa sakitnya.Satu hari nanti, Ibu akan menyesali pernah melakukan semua ini pada saya."

"Kamu nyumpahin saya!? Dasar menantu tak tau diri!"

"Terserah Ibu."

Aku pergi meninggalkan Ibu. Kalau di layani akan panjang urusannya. Sementara Ibu masih bersumpah serapah,seperti biasanya.

Yang sekarang harus ku lakukan, banyak berdoa. supaya pekerjaan suamiku lancar, usaha salon ku lancar. Kami bisa menabung agar segera membuat rumah. Walau gubuk kecil, aku pasti bahagia. Bisa pisah rumah dengan mertua.

******

Empat tahun berlalu,,

Anakku Fara sudah lulus sekolah. Sekarang dia sudah bekerja di sebuah pabrik konveksi. Dia juga rajin menabung.

" Supaya bisa cepet punya rumah,'' katanya.

Akhirnya, rumah impian kami berdiri juga.

Masih di pekarangan Ibu. Tepatnya di sebelah kanan rumahnya.

Di bagian depan khusus ku buat untuk buka salon. Belum terlalu bagus tetapi rumahnya telah kami tempati. Alhamdulilah. Rasanya hidup kami begitu nyaman dan indah. Akhirnya kami punya ketenangan.

Kami bahagia walau hidup sederhana.

Dan kudengar lewat Dewi, Ipah akan pulang dan kembali tinggal di kampung.Sekarang Ipah juga sudah mempunyai enam orang anak. Dia tidak bisa KB. Makanya anaknya lumayan banyak, untuk ukuran keluarga Masa kini.

Bersambung..

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status