"Dekorasinya sudah dilepas, Lan? Bukannya biasanya tiga hari?"
Wulan memaksakan senyumnya pada sang kakak ipar. Wanita itu baru saja datang dengan kendaraan roda duanya. Wajahnya tampak terkejut melihat dua wanita dan seorang laki-laki yang sedang mengangkut perlengkapan dekorasi kamar pengantin.Tampak sekali sang kakak ipar mengernyitkan dahi. Pandangannya tak lepas dari ketiga pegawai rumah rias pengantin yang telah mengubah penampilan Wulan saat hari bahagianya kemarin. Harusnya, walaupun tidak pada kenyataannya."Percuma juga. Mengapa harus menunggu tiga hari? Mas Damar baru lusa akan pulang. Lebih baik semua dekorasi dilepaskan saja menurut Wulan, Kak."Wulan sedikit meringis seiring deru mobil pick up berwarna putih itu. Bagian belakangnya dipenuhi beragam benda-benda yang sempat menghiasi bilik Wulan untuk beristirahat. Kendaraan roda empat itu baru saja meninggalkan halaman rumah mereka."Masuk, Kak! Se"Mas Damar belum bisa mengambil cuti, Kak. Pekerjaannya sedang menumpuk saat ini," sahut Wulan dengan nada kecewa.Bulan madu? Setiap gadis yang baru menikah tentu pasti menginginkan hal tersebut. Menikmati saat berdua, menjelajah tempat-tempat yang indah dengan pasangan halalnya. Hanya berdua, menghabiskan waktu bersama."Jadi kalian tak kemana-mana setalah menikah ini, Lan? Lantas untuk apa kamu mengambil cuti jika suaminya sendiri masih sibuk dengan tumpukan pekerjaannya?" Terlihat sekali jika kakak ipar Wulan itu sangat terkejut atas apa yang baru didengarnya. Walaupun akhirnya Ayu cepat-cepat menutup mulut dengan telapak tangan kanannya. Dirinya baru menyadari jika reaksi spontan yang ditunjukkannya itu akan semakin membuat adik iparnya bersedih. Wulan menggelengkan kepalanya dengan lesu. Pertanyaan yang diucapkan kakak iparnya itu sempat terucap lirih dari bibirnya. Tepat saat menengadahkan telapak tangan setelah menun
Pil pahit yang bernama kecewa lagi-lagi harus ditelan Wulan di hari kedua pernikahannya. Jika di hari pertama Damar masih meneleponnya, di hari ini hanya pesan yang dikirimkan laki-laki itu kepadanya.[Dek, sehat? Mas rindu]Pesan singkat itu dibaca Wulan saat membuka aplikasi pesan di gawainya jam empat pagi. Lagi-lagi dikirimkan pukul dua dini hari. Apakah di saat selarut itu suaminya belum juga tidur karena banyaknya tumpukan pekerjaan? Sebesar itukah resiko waktu yang harus dikorbankan lelaki yang baru menghalalkannya? Hanya emotikon senyum dan hati yang dituliskan Wulan sebagai balasannya. Tak ingin mengungkapkan apa pun pada laki-laki yang bergelar suaminya itu.[Adek sehat? Rindukan Mas selalu ya! Mas akan pergi ke Puncak nanti sore dengan rekan-rekan kantor. Adek mau dibelikan apa?]Penunjuk waktu tepat pukul enam pagi saat Wulan membuka pesan yang baru dikirimkan Damar itu. Pesan itu masuk saat Wulan bar
Lagi-lagi Bu Yayuk menyampaikan petuahnya. Wulan yang sedari tadi tampak serius memperhatikan ibunya itu sepertinya berpikir keras untuk memperbaiki dirinya untuk hari-hari ke depan."Menjaga laki-laki itu lebih sulit daripada mendapatkannya, Lan. Karena setelah didapatkan, biasanya laki-laki akan merasa menang dan tertantang untuk mencoba hal menantang lainnya. Sudah dulu ya! Ibu mau ke pasar, nanti kesiangan. Tolong siapkan bumbu untuk bikin pepes ikan! Ayahmu tadi minta dibuatkan pepes untuk lauk hari ini!"Tak menunggu jawaban putrinya, Bu Yayuk cepat berlalu dari hadapan Wulan. Setelah membalikkan tubuh, wanita itu dengan sigap meraih kunci motor yang ada di dekat televisi lantas berjalan cepat ke arah pintu samping yang terhubung dengan garasi sederhana. "Lan, tolong sirami bunga Ibu! Mumpung kamu di rumah tak ada kerjaan!"Masih terdengar pekik wanita itu sebelum deru motor terdengar meninggalkan halaman rumah. Meningga
Wulan memperhatikan bayangan dirinya di cermin. Bahagia, itu yang dirasakannya saat ini. Tak lama lagi dirinya akan bertemu dengan laki-laki yang telah menghalalkannya tiga hari yang lalu. Gurat bahagia itu jelas terpancar dadi wajahnya, sempurna dan tak dapat tertutupi. Akhirnya penantiannya berakhir. Kembali Wulan meraih gawainya, lantas membuka aplikasi pesan berlogo hijau. Memastikan apa yang sempat dibacanya beberapa saat yang lalu tak salah. Melafalkan kembali rangkaian huruf demi huruf, meskipun hanya di dalam hati. [Mas ikut penerbangan jam tujuh malam. Semoga tak terjadi penundaan. Mas merindukanmu. Sangat-sangat merindu]Lengkung indah itu terlukis di bibir mungil Wulan. Tak salah. Benar-benar tak salah. Laki-laki yang merindukannya itu akan datang tak lama lagi. Mereka akan bertemu kembali setelah berpisah sejak tiga hari lalu saat akad baru saja diucapkan.Penunjuk waktu menunjukkan pukul delapan ma
Baru saja Pak Wawan hendak menimpali ucapan istrinya, terdengar deru suara mobil memasuki halaman rumah mereka. Wulan cepat melangkahkan kakinya ke arah depan, menuju sumber asal suara.Dua laki-laki turun dari kendaraan roda empat berwarna hitam itu. Wulan sangat mengenal salah seorang di antara mereka.Memilih tetap berdiri di teras menyambut kedatangan suaminya, Wulan melihat Damar menyerahkan sesuatu kepada laki-laki yang menjadi sopir kendaraan roda empat itu. Wulan menduga itu merupakan lembaran uang sebagai bentuk pembayaran jasa laki-laki itu."Assalamu'alaikum," ujar Damar sembari melangkah ke arah Wulan yang sudah menunggunya. Tangan kanan laki-laki itu menarik koper hitam kecil sementara bahu kirinya menyandang tas kecil berwarna coklat. Ada satu kantong plastik di tangan kiri Damar. Dengan setelan celana bahan dan kemeja berwarna biru dongker membuat penampilan laki-laki itu paripurna di mata Wulan."
Tangan Wulan baru saja terulur menyentuh koper hitam milik Damar saat terdengar pintu kamar dibuka seseorang dari luar."Dek, kopernya tak usah dibongkar! Besok kita pamitan dengan Ibu dan Ayah. Kita ke rumah dinas Mas saja. Lebih nyaman di rumah sendiri menurut Mas."Ucapan Damar yang tiba-tiba membuat gerakan tangan Wulan berhenti mendadak tepat di pegangan koper itu. Wulan menolehkan kepala dan melihat langkah kaki sang suami mendekat ke arahnya. "Harus besok ya, Mas? Kenapa tak dua atau tiga hari lagi kita di rumah ini?" tanya Wulan sembari menegakkan kembali posisi tubuhnya dari berjongkok."Apa bedanya besok dengan dua atau tiga hari lagi, Dek? Sama saja kan?" balas Damar sembari mengusap rambut basahnya dengan handuk.Wajah Wulan sempat merona melihat tubuh bagian atas Damar yang polos, tanpa penutup apa pun. Laki-laki itu hanya mengenakan celana pendek berbahan kaos tebal. Rambut basah Dama
Wulan membuka pintu kamar lantas keluar dari ruangan berukuran enam belas meter persegi itu. Damar mengikuti langkah istrinya dari belakang.Mengisi piring putih dengan nasi, lantas Wulan menambahkan piring itu dengan satu ekor utuh nila cabai hijau berukuran sedang."Sayurnya Mas isi sendiri atau mau aku yang mengisinya?" tanya Wulan sembari menatap wajah Damar.Ada sepiring capcai dan beberapa iris tempe goreng tepung di hadapan laki-laki itu."Adek saja yang mengisinya. Mas mau merasakan dilayani seorang istri untuk pertama kalinya."Posisi Wulan dan Damar yang bersebelahan membuat Wulan kembali melayangkan cubitan ke pinggang laki-laki itu."Cukup Mas menggodanya! Bilang saja mau, selesai!" sahut Wulan sembari menambahkan tumpukan capcai dan dua potong tempe goreng ke piring putih berisi nasi milik Damar.Tak ada sahutan, hanya kekehan saja yang terdengar dari mulut Damar. Ekor mata
Ponsel Mas jatuh setelah menelepon Adek di pagi Senin itu. Tersenggol saat Mas makan. Layarnya retak dan sama sekali tak bisa dihidupkan. Karena itu mungkin Adek tak dapat menghubungi Mas seharian."Tampak sekali Damar menunjukkan rasa penyesalannya. Dan itu membuat Wulan merasa bersalah. Mengapa dirinya langsung menghakimi suaminya tanpa meminta penjelasan terlebih dahulu? Harusnya Wulan bertanya, bukan justru menuduh tanpa tahu apa yang terjadi sebenarnya. "Aktivitas Mas seharian itu sangat padat. Mas tak bisa pergi kemana-mana karena banyaknya agenda kegiatan yang harus Mas ikuti. Akhirnya Mas memutuskan malam harinya untuk meminta tolong salah seorang karyawan hotel membelikan ponsel dengan spesifikasi yang sudah Mas tentukan."Damar menatap wajah Wulan dengan penuh kesungguhan. Rasa bersalah dan penyesalan jelas terbingkai pada rahang tegas lelaki itu. Wulan merasa suaminya benar-benar mengatakan yang sesu