Judul: AKU BUKAN WANITA PENGHIBUR.
Part: 7.
***
Aku berangsur sadar. Mataku terbuka lebar saat menyaksikan Mini dan Mili berada di sampingku dengan wajah yang lebam."Apa yang terjadi pada kalian?" tanyaku lemah.
"Kami tidak apa-apa, Nyonya. Mereka orang-orang yang tak memiliki hati. Kami berdua terpaksa membawa Nyonya pergi dari rumah itu. Posisi Nyonya di sana sudah tidak aman," ujar Mili.
"Benar, Nyonya. Beruntung Nyonya tidak berhasil ditemukan mereka. Saya dan Mili mengatakan Nyonya sedang keluar. Mereka juga tetap mengupayakan pencarian. Siapa sangka, kalau Nyonya menyelam di kolam renang," sambung Mini.
Aku masih mengatur napasku. Setelah itu barulah aku menyadari, kalau saat ini aku berada di tempat yang berbeda dari sebelumnya.
"Terima kasih, banyak. Aku berhutang nyawa pada kalian," ucapku sembari meraih tangan keduanya.
"Nyonya jangan pikirkan itu! Terpenting sekarang, Nyonya selamat. Maaf, hanya bisa menyediakan rumah tua yang jauh dari kata layak ini," papar Mini.
"Tidak masalah. Aku pun terbiasa hidup susah di desa. Rumah ini sudah lebih dari cukup. Bagaimana nasib kedua penjaga di rumah Tuan Abraham itu?" tanyaku menyelidik.
"Keduanya pingsan, Nyonya. Kami pun diancam akan segera dilenyapkan jika tidak segera pergi. Istri Tuan Abraham memberi perintah agar kami tidak memunculkan muka di hadapan suaminya lagi. Semua akan dibuat seperti telah terjadi perampokkan. Dua penjaga tidak sempat melihat Nyonya Jelita. Jadi posisinya aman," papar Mili panjang lebar.
"Keterlaluan. Ternyata Nyonya Jelita sangat licik. Jangan-jangan keberadaanku saat di apartemen juga dirinya yang membocorkan."
"Benar, Nyonya. Istri Tuan Abraham terlihat begitu licik dan jahat. Kasian sekali Tuan Abraham memiliki pasangan seperti dia," cibir Mini.
Aku menarik napas panjang. Saat ini aku tengah memikirkan Tuan Abraham.
Jangan sampai kecemburuan Nyonya Jelita membuat Tuan Abraham ikut terluka. Aku tidak akan rela.
-
-Hari berganti.
Mili dan Mini sangat rajin memanen ubi kayu di belakang rumahnya ini. Mereka tak berani mencari rezeki keluar untuk sementara waktu.
Ancaman dari Nyonya Jelita sangat serius. Aku pun tak bisa membiarkan keduanya celaka.
"Nyonya, entah sampai kapan kita mampu bertahan dengan bahan pokok seadanya ini," ujar Mili.
"Tenanglah! Kita bisa menambah tanaman yang lain untuk sementara waktu. Aku berjanji, keadaan ini akan segera berlalu. Aku akan berjuang agar bisa mendapat uang kembali," sahutku.
"Nyonya jangan berpikir macam-macam. Biarlah kami yang mencari rezeki di luar. Keberadaan Nyonya masih diincar oleh mereka," papar Mini pula.
Aku terharu dengan sosok kakak beradik yang baru aku kenal ini. Mereka begitu tulus melindungiku.
"Nyonya, Tuan Abraham mengirim pesan. Di tempat ini memang susah jaringan. Pesan Tuan Abraham baru masuk sekarang. Apa saya harus mengatakan yang sebenarnya pada Tuan Abraham?" tanya Mili.
Aku bergeming sejenak sembari memikirkan keputusan yang tepat.
"Kirimkan saja alamat tempat ini, tapi dengan catatan tak boleh ada satu orang pun yang tahu termasuk Nyonya Jelita!" perintahku.
Mili mengangguk setuju.
Permainan akan segera dimulai. Nyonya Jelita telah mengibarkan bendera perang. Aku akan melawannya.
.Tepat pukul 10 malam, Tuan Abraham sampai di gubuk tua yang letaknya jauh dari warga ini.
Lampu khas pedesaan menemani gelapnya malam.
"Kalian di sini? Bagaimana keadaanmu, Luka? Saya rasanya tidak percaya ketika mendapati rumah raib dirampok. Saya pikir, saya tidak akan pernah bertemu denganmu lagi," ujar Tuan Abraham memegang tanganku erat.
Hatiku berdebar-debar. Kebaikan Tuan Abraham membuat aku semakin larut dalam perasaan yang belakangan ini aku ketahui bernama cinta.
Ya, aku telah jatuh cinta padanya.
"Aku sangat takut, Tuan. Perampok itu hampir saja menemukanku. Mereka juga dengan tega menganiaya Mili dan Mini."
"Ada saya di sini, Luka. Saya minta maaf karena telah gagal menjagamu. Saya berjanji akan lebih hati-hati lagi."
"Aku tidak berani untuk keluar dari tempat ini, Tuan. Perampok itu tidaklah lain dari Mami Mery, dan Mami Asni. Mereka ingin membawaku kembali ke tempat mereka, Tuan."
"Jadi ini ulah mereka lagi?" tanya Tuan Abraham.
Aku mengangguk.
"Laporan sudah saya ajukan, Luka. Kasus ini akan saya kenakan pasal berlapis. Semua harta yang saya miliki, akan saya pertaruhkan demi kemenangan kasus ini. Kau tak perlu khawatir. Sekarang, ayo ikut dengan saya!"
Tuan Abraham meyakinkan aku dengan sebegitu kerasnya. Aku pun menerima dengan sukarela.
Selain rasa cinta yang telah tumbuh, rasa dendamku pun menyala siap membalas dengan yang lebih sadis.
Nyonya Jelita akan menangis darah saat mendapati suaminya telah berputar haluan ke arahku.
Lihat saja nanti.
-
-Pagi telah menampakkan kecerahannya. Aku dan yang lain sampai di depan halaman rumah mewah, bahkan lebih mewah dari rumah yang aku tempati sebelumnya.
"Kalian akan tinggal di rumah saya bersama Jelita. Saya yakin, di sini lebih aman karena penjaga lebih banyak," papar Tuan Abraham.
Wajah Mili dan Mini langsung menjadi pucat. Namun, aku malah tersenyum hangat.
Permainan segera berlangsung. Sandiwara Nyonya Jelita akan kubalas dengan sandiwara pula. Hingga nanti, kebenaran sendiri yang akan membongkar kebusukannya di hadapan Tuan Abraham.
Kami semua turun bergantian. Hingga pintu rumah terbuka. Mungkin karena mendengar suara mobil yang tiba.
Nyonya Jelita terlihat mematung menatap ke arahku yang sedang tersenyum lebar.
"Sayang, mohon pengertianmu untuk mengizinkan Luka dan dua asistennya tinggal di sini, sampai situasi aman," ujar Tuan Abraham.
Nyonya Jelita diam seribu bahasa. Aku yakin, saat ini pasti ia tengah kebingungan.
"Sayang," lirih Tuan Abraham lagi menyadarkan tatapan Nyonya Jelita.
"I-iya, Mas. Ba-baiklah ... mereka boleh tinggal di sini sementara waktu," ucap wanita cantik itu akhirnya.
Aku melangkah masuk dengan santai. Diiringi Mili dan Mini yang tak setenang diriku.
"Nyonya, bagaimana kalau istri Tuan Abraham melancarkan aksinya di sini?" bisik Mili.
"Itu tidak akan mungkin. Kita bisa membalikkan keadaan. Buat hidupnya tak tenang, dan dihantui rasa takut sepanjang malam," sahutku pelan.
Kini kami semua sudah duduk di ruang tengah.
"Dimana, Mas menemukan mereka?" tanya Nyonya Jelita dengan suara gemetar.
"Di tempat yang jauh. Beruntung Mili dan Mini cekatan. Mereka berhasil membawa Luka pergi ke tempat yang aman," jawab Tuan Abraham.
"Oh, syukurlah. Saya merasa ikut terancam, Mas. Bagaimana, jika perampok itu kembali mencari Luka?"
"Mereka memang akan terus mencari Luka. Sebab bukan harta yang mereka incar, melainkan Luka. Orang-orang itu adalah orang yang sama yang pernah menculik Luka. Maka dari itu, saya membawa Luka ke sini. Rumah kita jauh lebih aman. Untuk beberapa minggu ke depan, saya akan tetap berada di rumah saja. Perusahaan biar Roy yang handle," papar Tuan Abraham.
Aku tersenyum puas. Drama akan segera dimulai. Nyonya Jelita pastinya akan semakin merasa tidak tenang.
.
Malam harinya, kami semua sudah berkumpul di meja makan. Mili dan Mini juga turut bergabung bersama.
"Tugas kalian berdua hanyalah melindungi, Luka! Untuk pekerjaan rumah, biarkan saja ketiga asisten rumah tangga Jelita yang mengurus," ujar Tuan Abraham pada Mini dan Mili.
"Baik, Tuan. " Keduanya menjawab dengan kompak.
Sedangkan Nyonya Jelita menatapku tak suka. Wajahnya semakin terlihat jelas kalau saat ini ia sangat kesal.
"Mas, saya tidak setuju dengan keputusan Mas yang ingin di rumah saja. Harusnya Mas tidak mudah menyerahkan tanggung jawab perusahaan pada orang lain. Bagaimana kalau Roy tak sejujur dugaanmu, Mas?" Nonya Jelita mulai bersuara.
"Roy adalah orang kepercayaan saya. Dia tidak akan pernah mengecewakan saya. Lagipula, saat ini keadaan kalian semua tidak aman. Saya harus berada di rumah untuk memastikan keselamatan semuanya," papar Tuan Abraham.
"Mas sendiri yang membuat keadaan ini menjadi tidak aman. Apa untungnya Mas melindungi Luka? Mas benar-benar munafik! Sebagai seorang istri, saya merasa sakit hati melihat sikap Mas yang begitu peduli dengan wanita lain."
Suasana makan malam menjadi riuh dengan perdebatan. Namun, aku menikmatinya.
Nyonya Jelita akan terus merasa terancam karena adanya aku di sini.
Bersambung.
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 17.***POV Dinda.Aku terdiam mendapati pertanyaan sensitif dari Mas Ridwan. Ada rasa mau bercampur bahagia. Ingin aku teriak menyatakan aku mencintainya. Namun, bibir ini sungguh kaku."Jawab, Din!" perintah Mas Ridwan.Aku tersenyum dan mengangguk dengan malu-malu.Mas Ridwan mengangkat daguku dengan tulunjuk tangannya. "Benarkah?""Benar, Mas." Pelan aku menjawab pertanyaan itu.Mas Ridwan sontak memelukku. Sungguh aku terpaku dan tak menyangka dengan hal ini. Debaran di dadaku memburu. Air mataku menetes karena bahagia. Apa aku sedang bermimpi?"Dinda, saya berjanji akan menjadi suami yang baik untukmu," lirihnya di telingaku.Aku membalas pelukan itu. Lalu hubungan suami istri yang selama ini belum terlaksana, akhirnya terpenuhi sekarang.Aku dan Mas Ridwan memadu cinta dengan begitu indahnya.--Hari berikutnya, aku keluar membeli sesuatu. Tak disangka aku bertemu lagi dengan Mas Andi."Dinda, tolong dengarkan aku dulu! Kembalilah pad
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 16.***POV Ridwan.Hari ini aku akan menjemput si kembar. Saat aku sedang bersiap-siap, Dinda pun menghampiri."Mas aku boleh ikut?" tanya-nya.Aku bergeming. Jujur aku lebih nyaman pergi sendirian. "Mas," lirih Dinda lagi."Iya, Din. Boleh kok," sahutku.Dinda tersenyum. Sebenarnya hatiku terasa teduh saat melihat senyum wanita yang sekarang sah menjadi istriku itu. Namun, aku sendiri masih bingung. Cintaku pada Mawar membuat aku enggan memikirkan wanita lain, walaupun itu istriku sendiri saat ini..Di perjalanan suasana membisu. Aku tak mengajak Dinda bicara, pun sebaliknya.Jarak yang ditempuh cukup memakan waktu. Aku menyalakan musik agar tak begitu kaku.Sesekali aku menoleh ke arah Dinda. Ia tampak cuek dengan tatapan lurus ke depan. Tak seperti biasanya.Aku jadi resah. Apa benar Dinda tak bahagia?Kemarin, saat mantan suaminya datang dan bicara di depan halaman rumah, aku mengintai dari balik jendela.Aku mendengar semuanya. Saat itu
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 15.***Selesai berlatih berenang, aku dan Mas Ridwan masuk kembali ke kamar.Suasana menjadi canggung. Dadaku masih saja berdebar hebat. Sedangkan Mas Ridwan tampak buru-buru ke dalam kamar mandi..Malam harinya, kami sekasur dan saling menatap. "Din, seharusnya semalam kita tak melakukannya, tapi saya sungguh tak mengingat kejadian itu," ucap Mas Ridwan."Mau diapakan, Mas. Nasi sudah jadi bubur," sahutku dengan memasang wajah serius.Mas Ridwan memalingkan wajahnya dan membelakangiku. Entah apa yang ia rasakan, tapi aku cukup senang.Ibu mertua memang paling mengerti. Rasanya aku tak mau pulang ke rumah.--Hari berganti, kini tiba waktunya kami pulang.Sepanjang perjalanan Mas Ridwan hanya diam. Mungkin ia menyesali kejadian yang sebenarnya tak pernah terjadi itu.Hatiku sedikit kecewa. Nanti aku akan menceritakan semuanya dengan jujur.Saat ini, sepertinya suamiku belum siap menjalani rumah tangga normal bersamaku.Tak apa. Aku masih lag
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 14.***Pagi harinya, aku masih enggan menyapa Mas Ridwan. Rasanya ada sesuatu yang mengganjal sejak ia mengatakan kalimatnya semalam.Sebagai seorang istri, aku merasa Mas Ridwan sama sekali tak menginginkan aku. Lalu, kenapa ikatan pernikahan ia coba ikrarkan?"Din," lirihnya.Aku hanya menoleh sekilas, kemudian aku melanjutkan sarapan."Din, kamu marah?" tanya-nya pula.Aku menggeleng."Din, tolong bicaralah!""Aku tidak marah, dan apa hakku untuk marah?""Hem, baiklah. Saya minta maaf. Saya tidak bermaksud menyinggung perasaanmu, Din. Saya cuma ....""Cukup, Mas. Tidak perlu dibahas!" Suasana pagi ini jadi tegang. Mas Ridwan tampak gelisah. Sedangkan aku sengaja bersikap sedikit tegas. Jika, Mas Ridwan memang tak bisa menerima aku, pun tak masalah. Namun, aku juga tidak akan kembali pada Mas Andi.Hidup sendirian bukanlah suatu perkara besar, tapi pernikahan ini juga bukan mainan. Selagi aku mampu mempertahankan, maka akan tetap aku pertah
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 13.***POV Dinda.Setelah sah menjadi istri dari Mas Ridwan. Aku tetap merasa ada jarak antara kami.Dan benar, malam ini ia mengutarakan ungkapannya yang ternyata belum siap menjalani hubungan layaknya suami istri.Aku sebisa mungkin mencoba tersenyum dan berlapang dada. Bibirku berkata memahami, tapi hatiku terasa sembilu.Jika, cinta itu tak ada untukku kenapa harus menikahiku?Aku bisa menjagakan putri-putrinya. Kalau sudah begini, aku bagai tak dianggap.Suara dengkuran Mas Ridwan terdengar begitu keras. Ia tidur di atas sofa. Sementara aku memeluk lututku sendiri di atas kasur empuk yang dulu miliknya bersama Mbak Mawar.Entah sejak kapan rasa cintaku hadir, yang jelas saat ini hatiku sakit menerima penolakannya.Mas Ridwan sosok yang sempurna. Bahkan untuk berkata hal menyakitkan itu saja ia menggunakan kalimat lembut hingga membuat aku tak berkutik.Malam ini hujan pun turun menemani kesedihanku. Pintu jendela kamar terbuka dan tertutup
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 12.***POV Ridwan.Weekend ini aku berniat membahagiakan Anak-anak. Kami melepas rasa bosan dengan berenang.Kedua putri kecilku sudah siap menggunakan baju pengaman agar tetap terapung.Kami bermain air sembari bercanda riang. Namun, tiba-tiba saja terdengar bunyi dentuman.Sepertinya ada yang melompat ke kolam renang. Dasar menyebalkan. Anak-anakku sampai kaget."Tolong!"Suara teriakan itu sepertinya tidak asing di telingaku. Di kolam yang sama, terlihat seseorang sedang berusaha menyelamatkan dirinya sendiri.Mataku membesar saat mengetahui Dinda yang tenggelam. Ternyata dia tidak bisa berenang.Dengan gerakan cepat, aku langsung menuju ke arahnya. Telapak tangan Dinda berhasil aku genggam, kemudian dengan terpaksa aku menyentuh bagian pinggang agar ia dapat aku naikan ke permukaan."Tolong bantu angkat ke atas," pintaku pada penjaga kolam.Dinda akhirnya berhasil selamat. Namun, ia pingsan. Sementara Cika dan Tika sudah menangis karena ke
Judul: Kepergianku, penyesalanmu.Part: 11.***POV Dinda.Seminggu setelah Mbak Mawar tiada. Aku semakin besar memberikan perhatian untuk si kembar. Namun, aku tak lagi tinggal serumah dengan mereka. Karena aku segan.Sehabis isya aku pulang ke kontrakan yang letaknya bersebelahan dengan rumah Almarhumah Mbak Mawar. Seperti malam ini, aku berpamitan pada Mas Ridwan."Saya ingin bicara sesuatu, Din. Bisakah kamu menunda sebentar lagi kepulanganmu?" tanya-nya.Aku mengangguk sembari duduk kembali ke sofa."Ingin bicara soal apa, Mas?" "Sebenarnya ini sangat berat. Saya sendiri tak mampu mengatakannya. Namun, amanah ini tetap harus saya sampaikan," ujar Mas Ridwan.Aku sedikit gugup menunggu kalimat apa yang akan diucapkan Mas Ridwan."Din, Almarhumah istri saya menginginkan kamu untuk terus menemani Anak-anak," lanjutnya.Aku mengukir senyum tulus. Sejujurnya aku sangat menyayangi Tika dan Cika. Menjaganya menurutku tugas yang paling membahagiakan."Aku berjanji, Mas. Mbak Mawar pun
Judul: Kepergianku, penyesalanmu.Part: 10.***POV Ridwan.Istriku mawar menyusul aku ke kamar. Ia menjelaskan perkataannya yang tadi sempat aku dengar."Mas, tolong jangan marah. Aku hanya berani bicara seperti itu pada Dinda saja. Karena aku sangat mempercayainya.""Tetap saja aku tidak suka. Masalah kesepian ataupun kesedihan diriku tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain, sayang. Kamu juga tahu, aku sangat mengupayakan kesembuhanmu," paparku.Istriku bergeming. Air matanya mengalir deras. Detik berikutnya aku memeluk penuh cinta.Tubuh indah itu kini mulai lemah. Namun, sedikitpun rasa cintaku tak pernah sirna.Ia adalah cinta pertama dalam hidupku, dan akan menjadi cinta terakhir..Hari berganti, keadaan Mawar semakin memburuk. Aku dan yang lain mengantarkan ke rumah sakit. Namun, kondisinya terus saja melemah. Hingga aku meminta Dinda membawa Anak-anak keluar. Tak tega jika Tika dan Cika melihat kesakitan Mamanya."Mas, sepertinya aku tidak akan bisa mendampingimu lebih l
Judul: Kepergianku, penyesalanmu.Part: 9.***Hari berganti. Harusnya saat ini adalah menjadi momen terindahku. Namun, pernikahan telah aku batalkan, walau undangan pada kerabat dekat sudah disebarkan.Mas Andi juga masih berusaha membujukku agar mau kembali rujuk. Akan tetapi hatiku sudah bulat menolaknya.Lelaki seperti Mas Andi tidak akan pernah berubah. Ia hanya bisa lembut ketika merasa sepi dan sendiri. Namun, disaat ada pilihan lain, maka dia pun akan mulai bertingkah."Din, aku mohon kali ini saja! Ayolah berikan aku kesempatan itu," ujarnya melalui panggilan suara."Tidak, Mas. Keputusanku tidak bisa lagi diganggu gugat," sahutku dengan intonasi suara menekan.Deheman keras terdengar bagai orang yang putus asa. Detik berikutnya aku langsung memutuskan panggilan telepon dengannya.Cukup sudah hatiku dipermainkan. Aku tak mau lagi ada kesakitan yang tercipta oleh lelaki yang sama..Seperti biasa, aku mengurus Tika dan Cika. Setelah selesai, aku pun segera memberikan obat ruti